Anda di halaman 1dari 3

Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai strategis?

Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah,


khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang
merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam
membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan
Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.Beberapa permasalahan pokok
yang perlu direspon adalah sebagai berikut:1. Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi. Mengapa penilaian kewajaran
belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan
di atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka
urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.2. Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah. Bila
usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari
target sebenarnya.3. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran. Secara
normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran
adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta
cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.4. Kurangnya keterpaduan, konsistensi
dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan
penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah
kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.5.Relevansi Program / Kegiatan:
kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi. Peningkatan relevansi dan
responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah
dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan
serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.6. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada
pelaporan penggunaan dana. Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja
kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja. Tanpa pertanggungjawaban tersebut,
perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola
penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.7. Spesifikasi indikator kinerja dan
target kinerja masih relatif lemah. Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran
(output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja
Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas.8. Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan
rakyat. Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks,
potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.
Problem Belanja Daerah
Dalam menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab salah satu isu strtegis adalah bagaimana pengelolaan angaran ini bisa dihindarkan dari kebocoran
serta pemberosan dalam pembelanjaannya. Dalam masa reformasi telah dilakukan terobosan kebijakan dengan penciptaan dokumen anggaran induk APBN dan APBD yang berubah

dari sistem T-account yang telah dipakai selama lebih dari tiga dasawarsa oleh pemerintah Orde Baru menjadi sistem I-account yang lebih terbuka, lugas dan menuntut pertanggung
jawaban anggaran yang jelas serta diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) (Kumorotomo, 2008).
Menurut Mercer (2002) sebagaimana yang dikutip dalam Kumorotomo , anggaran kinerja adalah sistem yang menekankan keterkaitan antara pendanaan dengan hasil- hasil yang
dicapai; A performance budget is an integrated annual performance plan and annual budget that shows the relationship between program funding levels and expected results. It indicates
that a goal or a set of goals should be achieved at a given level of spending. Secara ideal, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan prestasi jajaran pemerintahan dalam
penyelenggaraan kegiatan administrasi atau pelayanan publik. Bahkan dalam salah satu laporannya Bank Dunia mengatakan bahwa dengan menyertakan informasi yang jelas tentang
kinerja pemerintah, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan akuntabilitas publik dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (World Bank, 2003).
Namun dalam kenyataannya mesti sistem ini di berlakukan persoalan dalam pembelanjaan anggaran cenderung terjadi pemborosan dan tidak berpihak pada masyarakat masih berjalan.
Berdasarkan berita yang dimuat di koran harian Kompas Bandung, disebutkan bahwa telah terjadi banyak kebocoran pada RAPBD 2007 Kab. Bandung. Pernyataan tersebut dimulai dari
temuan-temuan FDA (Forum Diskusi Anggaran) ketika menganalisis enam RKA (Rencana Kegiatan dan Anggaran) dari beberapa dinas sebagai sampel, yaitu Dinas Pekerjaan Umum,
Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kesehatan, dan Dinas Permukiman dan Tata Wilayah. Pemborosan terjadi karena ketidaksesuaian dengan
Permendagri No 26/2006 mengenai tata cara penyusunan APBD 2007 atau keputusan bupati mengenai standar harga. Dari 77 kegiatan Dinas Pendidikan ternyata sudah ditemukan
pemborosan sebanyak Rp 81,5 miliar yang berasal dari penggelembungan accress (kebutuhan untuk mengantisipasi kenaikan gaji berkala, pangkat, tunjangan keluarga, dan
penambahan jumlah pegawai karena mutasi) melebihi ketentuan, yaitu 17,5 persen dan harga satuan belanja barang. Ironisnya, masyarakat sering kali harus mengeluarkan biaya
tambahan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, dengan alasan keterbatasan anggaran. Sementara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, FDA menyoroti rencana pembangunan
Gedung Kesenian yang menghabiskan Rp 19 miliar, Rp 16 miliar untuk pembebasan lahan dan Rp 3 miliar untuk pembangunan gedung.
Hal ini menggambarkan bahwa anggaran yang disusun tidak menggambarkan kepentingan untuk bisa meningkatkan pelayanan pemerintahan serta potret dari kebutuhan masyarakat.
Mengapa ini terjadi karena kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak
efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003; Ablo dan Reinikka, 1998).
Dalam konteks pengelolaan pembelanjaan keuangan daerah, pengalokasian belanja modal mestinya sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama
pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Konsep multi-term expenditure framework (MTEF) menyatakan bahwa kebijakan belanja modal
harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang (Allen dan
Tommasi, 2001).
Perbaikan Sistem Penganggaran Publik
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kinerja penganggaran daerah membutuhkan Akuntabilitas anggaran daerah yang baik. Sedangkan Akuntabilitas sejatinya adalah kunci dari
konsep good governance yang merupakan bagaian kajian ilmu administrasi yang kini sedang menguat dalam geliat dan situasi dunia yang sedang mengglobal. Akuntabilitas menjunjung
tinggi equitable dan responsivenes to peoples needs merupakan resultante dari proses dan prinsip-prinsip good governance (transparansi, efectivitas, efisiensi) serta globalisasi
(demokrasi dan kompetisi). Terkait dengan good governance maka hal-hal yang perlu di lakukan sebagai strtategi perbaikan dalam penganggaran publik adalah :
Penekanan akuntabilitas pengeluaran negara adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan
kegiatan yang terkait dengan menggunakan uang publik, kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung-jawaban tersebut (DPR dan masyarakat luas).
Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer pemerintah adalah: a) Aspek legalitas pengeluaran negara yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat
dilacak otoritas legalnya; b) Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran negara yang baik, perlindungan aset fisik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus.
Adapun prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran negara adalah: (1) Adanya sistem akuntansi dan sistem kemampuan negara yang dapat menjamin bahwa pengeluaran negara
dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pengeluaran negara yag dilakukan dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan; dan (3) Pengeluaran negara yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.

Value for Money dalam Pengeluaran negara harus berdasarkan konsep value of money, yaitu: a) Ekonomi, adalah hubungan antara pasar (nilai uang) dan masukan (input).
Ekonomi adalah praktek pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Sesuatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila
dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Oleh karena itu pada hakekatnya ada pengertian yang serupa antara efisiensi dengan ekonomi, karena keduaduanya menghendaki penghapusan/penurunan biaya; b) Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan
terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisien apabila suatu target kinerja tertentu (outcome) dapat dicapai dengan
menggunakan sumber daya dan biaya yang serendahrendahnya; dan c) Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggungjawaban dengan tujuan
atau sasaran yang harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintahan dapat diartikan penyelesaiannya kegiatan tepat pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia, dapat
berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang telah direncanakan.
Peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis bagi setiap aparat pemerintah, hal ini penting terutaama dalam proses penyusunan anggaran berbasis kinerja menjadi
kebutuhan yang mendesak. Proses penyusunan anggaran berbasis kinerja merupakan alat bantu dalam menciptakan pelayanan publik yang efisien, efektif auditable, akuntabel, dan
responsif.

Anda mungkin juga menyukai