Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI KLINIK
PRAKTIKUM KE-6

THERAPEUTIC DRUG MONITORING DAN


ADVERSE DRUG REACTION

Oleh :
Golongan / Kelompok

: II / I

Minat

: Farmasi Klinik dan Komunitas

Hari / Tanggal Praktikum

: Senin / 10 November 2014

No

Nama Mahasiswa

NIM

1.

Ihda Yusriyya

11/314091/FA/08732

2.

Khairunisa N. S.

11/314204/FA/08733

3.

Silvia Kusuma M.

11/314334/FA/08735

4.

Chlara Nikke D.

11/315704/FA/08737

Dosen Jaga Praktikum

: Dra. Nurlaila, M.Si, Apt

Asisten Jaga Praktikum

: Mawardi Ihsan

TTD

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK


BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

THERAPEUTIC DRUG MONITORING DAN


ADVERSE DRUG REACTION
I.

TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi penatalaksanaan terapi terutama pada
obat-obat dengan indeks terapi sempit dengan mangacu data therapeutic drug
monitoring (TDM) serta terapi pada pasien yang mengalami kejadian adverse drug
reactions.

II.

PENDAHULUAN
EPILEPSI
A. DEFINISI
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006).
B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik)
maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya
epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30% (MJ, 1998).
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid
dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita

ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan


hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan
menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan
epilepsi.
C. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi
vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik dengan melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.
3. Pemeriksaan penunjang.

a. Elektro ensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
b. Rekaman video EEG
Prosedur ini bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk


melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta
untuk membantu terapi pembedahan.
D. KLASIFIKASI EPILEPSI
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
a.

Kejang umum (generalized seizure) : Jika aktivasi terjadi pada kedua


hemisfere otak secara bersama-sama.
Kejang umum terbagi atas:
Tonic-clonic convulsion = grand mal

Merupakan bentuk paling banyak terjadi

Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur

Bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah

Terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit


kepala atau tidur
Abscense attacks = petit mal

Jenis yang jarang

Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja

Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan


kepala terkulai

Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari


Myoclonic seizure

Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur

Pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba

Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
Atonic seizure

Jarang terjadi

Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera


recovered

b.

Kejang parsial/focal : Jika dimulai dari daerah tertentu dari otak.


Kejang parsial terbagi menjadi :

Simple partial seizures

Pasien tidak kehilangan kesadaran

Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh


Complex partial seizures

Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan


mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran

E. PENGOBATAN
a.
Sasaran terapi : Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisasi
b.

adverse effect of drug.


Strategi terapi : Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf
yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan

c.

neurotransmitter.
Tatalaksana terapi
Non farmakologi:
1.
2.

Amati faktor pemicu


Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

Farmakologi :
1.

Menggunakan obat-obat antiepilepsi.


Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
Inaktivasi kanal Na menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin, karbamazepin,
lamotrigin, okskarbazepin, valproat
Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:

Agonis reseptor GABA meningkatkan transmisi inhibitori


dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA contoh:

benzodiazepin, barbiturat.
Menghambat GABA transaminase konsentrasi GABA

meningkat contoh: Vigabatrin.


Menghambat GABA transporter memperlama aksi GABA

contoh: Tiagabin.
Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal
pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari
non-vesikular pool contoh: Gabapentin

(Dipiro at al, 2009)


TUBERCULOSIS
I. DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis dapat

dorman, terkena

infeksi laten serta bersifat progresif dan menjadi penyakit aktif (Dipiro, 2009).
Secara global, 2 miliar orang terinfeksi dan 2.000.000-3.000.000 orang
meninggal disebabkan TB setiap tahunnya. Mycobacterium tuberculosis ditularkan
dari manusia ke manusia lain melalui batuk atau bersin. Kontak dengan orang terdekat
pasien TB, paling mungkin untuk terkena infeksi (Dipiro, 2009).
II. PATOFISIOLOGI
Infeksi primer dimulai dengan adanya penempelan pada alveolar dari organisme
dalam droplet yang cukup kecil (1-5 mm) untuk melepaskan diri dari siliari sel epitel
saluran pernapasan bagian atas hingga mencapai permukaan alveolar. Setelah menempel,
organisme berkembang biak dan dicerna oleh makrofag paru-paru, mereka dibunuh, atau,
mereka terus bertambah banyak. Dengan bereplikasinya bakteri, makrofag akhirnya
pecah dan melepaskan banyak basil (Dipiro, 2009).
Sejumlah besar makrofag diaktifkan mengelilingi padatan (seperti keju) fokus TB
(daerah nekrotik) sebagai bagian dari imunitas seluler. Hipersensitivitas tipe tertunda juga
berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk
granuloma mengandung organisme (Dipiro, 2009).
III. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang
berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman
(tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).
IV.

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka

prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB Paru
BTA Positif dan kematian kasus TB dapat dilihat di tabel 1. Berdasarkan tabel 1 tersebut

menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000
penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar
228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus
baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru
TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang
per hari.
V. GEJALA
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit 15 Pelayanan Kesehatan)
dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) asien TB paru dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2002).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan
diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagi sewaktu (S-P-S) (Depkes,
2008).
VI.

DIAGNOSIS
Metode skrining yang paling banyak digunakan untuk infeksi TB adalah
tuberkulin skin test, yang menggunakan Purified Protein Derivative (PPD). Populasi yang
paling mungkin memperoleh manfaat dari uji kulit tercantum dalam Tabel 49-2.

(Dipiro, 2009)
Metode Mantoux dalam pemberian PPD merupakan teknik yang paling dapat
diandalkan karena terdiri dari injeksi intrakutan dari PPD yang mengandung 5 unit
tuberkulin. Tes dibaca 48-72 jam setelah diinjeksikan kemudian mengukur diameter zona
indurasi (Dipiro, 2009).
Beberapa pasien mungkin menunjukkan hasil positif setelah tes awal
menunjukakan negatif, ini disebut sebagai booster effect (Dipiro, 2009).
Untuk dapat memastikan kecurigaan klinis TB, maka harus dilakukan x-ray dada
dan pemeriksaan mikrobiologis dahak atau bahan terinfeksi lainnya (Dipiro, 2009).
Bila pasien merupakan TB aktif, maka upaya yang harus dilakukan adalah
mengisolasi M. tuberculosis dari bagian yang terinfeksi. Pengumpulan sputum
dianjurkan setiap hari selama 3 hari berturut-turut (Dipiro, 2009).
VII.

OUTCOME YANG DIHARAPKAN


Identifikasi cepat terhadap kasus TB baru
Isolasi pasien dengan TB aktif untuk mencegah penyebaran TB
Pengumpulan sampel sputum untuk dilakukan kultur bakteri
Monitoring dan follow up terhadap tanda dan gejala dari penyakit setelah inisiasi
pengobatan
Pencapaian keadaan tidak menular, sehingga tidak perlu diisolasi
Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan

Pengobatan secepat mungkin (biasanya dengan setidaknya 6 bulan pengobatan)


(Dipiro, 2009)
VIII. TREATMENT
Terapi obat merupakan landasan manajemen TB. Minimal dua obat-obatan, dan

umumnya tiga atau empat obat harus digunakan secara bersamaan.


Terapi obat dilanjutkan selama minimal 6 bulan dan hingga 2 sampai 3 tahun untuk

beberapa kasus multidrug-resistant TB (MDR-TB).


Langkah-langkah untuk menjamin kepatuhan sangatlah penting, seperti terapi yang

diamati secara langsung.


Pasien dengan TB aktif harus diisolasi untuk mencegah penyebaran penyakit.
Departemen kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran

TB, menemukan di mana TB telah menyebar dengan cara investigasi.


Pasien dengan system imun lemah mungkin memerlukan terapi untuk kondisi medis
lainnya, termasuk penyalahgunaan obat dan infeksi HIV, dan beberapa mungkin perlu

peningakatan jumlah gizi.


Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan jaringan paru-paru yang
hancur, space-occupying lession, dan beberapa lesi paru.
(Dipiro, 2009)

Algoritma terapi TBC :

(PDPI, 2006)

Pengelompokan Obat Anti Tuberculosis dan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak:

(Dipiro, 2009)

Rekomendasi dosis dari lini pertama obat anti tuberkulosis untuk dewasa
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap


(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
(Depkes, 2005)

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

III.DESKRIPSI KASUS
Ny. Sinta (25 th), seorang penganten baru (4 bulan yang lalu), mempunyai riwayat
epilepsi sejak usia 17 th. Riwayat pengobatan pernah menggunakan fenitoin, tetapi
sudah tidak dapat mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan
gangguan psikis. Valproat juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek
samping yang timbul dan berat badan naik 10 kg. Pengobatan terakhir menggunakan
karbamazepin 400 mg 3 kali sehari sejak 2,5 th yang lalu, dan selama ini epilepsinya
cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien juga terdiagnosis mengidap TBC dan
mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg,
pirazinamid 1500 mg dan etambutol 750 mg selama 2 bulan dan dikonsumsi setiap hari,
setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin 450 mg dan isoniazid 600 mg yang
diminum 3 kali seminggu. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan
frekuensi kejang tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga
menginginkan untuk segera punya anak.
Pertanyaan : Kembangkan kasus tersebut, beri pengatasan yang terbaik buat pasien dan
bagaimana dengan rencana pasien untuk segera punya anak.

PENGEMBANGAN KASUS
Hasil pemeriksaan fisik:
Kondisi umum : lemah. TB : 156 cm, BB : 39 kg
Vital sign

: BP 100/70 mmHg, HR : 75x/menit, T : 37OC, RR: 20x/menit

Hasil pemeriksaan lab:

Carbamazepin
Na
K
HCO3
BUN
SCr
Cl Cr
Hct

: 3 g/ml
: 135 mEq/L
: 4 mEq/L
: 24 mEq/L
: 20 mg/dL
:1,2 mg/dL
: 85 ml/min
: 51%

Hb
WBC
Plt
AST
ALT
PO4
Chol
TG

: 6,5 g/dL
: 7000/mm3
: 175x103/ mm3
: 36 IU/L
: 43 IU/L
: 1.60 mmol/L
: 190 mg/dL
: 135 mg/dL

IV. ANALISIS DAN PENYELESAIAN KASUS


Pada kasus ini, Ny.Sinta (pasien) mempunyai riwayat epilepsi. Pengobatan
terakhir menggunakan karbamazepin sejak 2.5 tahun yang lalu, dan selama ini

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

epilepsinya cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien terdiagnosis mengidap
TBC dan mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid
dan etambutol selama 2 bulan, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin
dan isoniazid. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan frekuensi kejang
tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga menginginkan untuk
segera punya anak.
Pasien mengalami kejang umum dengan jenis tonik klonik. Pilihan obat lini
pertama pada kejang tersebut yaitu asam valproat, fenitoin, dan karbamazepin. Dari
kasus dapat diketahui pasien pernah mendapat fenitoin, tetapi sudah tidak dapat
mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan gangguan psikis.Valproat
juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek samping yang timbul dan
berat badan naik 10 kg. Sehingga pilihan obat lini pertama yang masih dapat
digunakan karbamazepin. Dalam kasus ini karbamazepin diberikan dosis 400 mg
dengan frekuensi pemakaian tiga kali sehari. Mekanisme aksi obat ini adalah
mempertahankan

kanal

natrium

dalam

kondisi

tidak

teraktivasi

sehingga

mennyebabkan penurunan rangsang pada neuron, selain itu dapat mengurangi


aktivitas nucleus ventralis pada thalamus dan menurunkan transmisi sinaptik serta
peningkatan stimulasi temporal yang menyebabkan pemutusan rangsangan neuron.
Alasan pemilihan karbamazepin sebagai obat antiepilepsi dalam kasus ini adalah
pasien telah menggunakan obat tersebut selama 2,5 tahun dan kejangnya terkontrol.
Dalam kasus ini pasien juga didiagnosa menderita TB dan telah menjalani
pengobatan selama empat bulan. Pengobatan TBC dibagai dalam 2 fase, yaitu fase
intensif dan fase lanjutan. Durasi pengobatan untuk fase intensif selama 2-3 bulan,
sedangkan untuk fase lanjutan selama 4-5 bulan. Diketahui dari kasus, pasien telah
selesai menjalani tahap intensif dan tahap lanjutan selama 2 bulan. Saat ini pasien
sedang menjalani pengobatan TBC tahap lanjutan yang masih kurang 2 bulan. Pada
tahap lanjutan, diberikan INH dan Rifampisin sebagai obat TB. Alasan pemilihan obat
tersebut adalah Rifampisin dan INH telah lama digunakan sebagai obat TB dan
terbukti efektif menyembuhkan TB. Secara farmakologi INH dan rifampisin terjadi
interaksi tetapi tidak menghasilkan efek klinis. INH mempunyai kemampuan

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

membunuh 90% bakteri TBC yang aktif, tetapi tidak bisa membunuh bakteri yang
dorman. Sedangkan rifampisin bisa membunuh bakteri yang aktif maupun bakteri
dorman, Dengan pemilihan kombinasi tersebut diharapkan efektif untuk mengobati
TBC pasien karena efek tiap obat saling menguatkan/ sinergis. INH dan rifampisin
diberikan dalam 2 kombinasi dosis tetap/ KDT (obat yang berisi kombinasi dari
beberapa jenis obat dengan dosis tetap). Sediaan KDT yang digunakan adalah
Kombipak dengan komposisi rifampisin 150 mg dan INH 150 mg.
Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan.
Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor kuat
enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Dirjen Binfar
(2005) melaporkan bahwa terjadi interaksi antara karbamazepin dan rifampisin yaitu
dapat menurunkan kadar karbamazepin dalam darah sementara itu terjadi interaksi
yang berlawanan antara INH dan karbamazepin menyebabkan peningkatan kadar
karbamazepin dalam darah. Efek rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin
di dalam darah lebih besar dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang
dihasilkan INH. Sehingga secara keseluruhan dari kombinasi Rifampisin dan INH
adalah berkurangnya konsentrasi karbamazepin. Hal tersebut dapat diatasi dengan
meningkatkan dosis karbamazepin sebesar 25% dari dosis yang sudah digunakan.
Pasien juga diberikan vitamin B6 untuk mengurangi efek samping neuropati
perifer (keracunan saraf tepi) yang diakibatkan oleh penggunaan INH. Tanda tanda
keracunan pada saraf tepi misalnya kesemutan dan nyeri otot; gangguan kesadaran.
Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin. INH juga dapat menyebabkan
timbulnya kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek
samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.

Dari data pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan nilai Hb rendah yaitu


6,5 g/dL dapat diketahui bahwa pasien mengalami anemia. Diketahui juga bahwa
pasien menginginkan untuk hamil sehingga kondisi anemia tersebut harus diatasi. Hal
ini untuk mengurangi resiko melahirkan bayi dengan BBLR (berat badan lahir rendah
Selama masa kehamilan, janin mendapatkan nutrisi dan oksigen dari ibu melalui

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

darah yang dialirkan lewat plasenta sehingga jumlah darah ibu harus cukup dan tidak
boleh kurang supaya janin mendapatkan nutrisi yang optimal untuk perkembangannya
di dalam rahim. Bila sang ibu mengalami anemia, maka aliran darah menurun karena
jumlah darah menurun sehingga menyebabkan nutrisi yang masuk ke janin menjadi
berkurang. Oleh karena itu, anemia pada pasien sangat penting untuk diatasi.
Pada kasus ini, obat anemia yang direkomendasikan adalah ferrous sulfate.
Mekanisme aksi fe sulfat dengan menggantikan zat besi pada hemoglobin, myoglobin
dan enzim, memperlancar transport oksigen melalui hemoglobin. Obat yang
dipilihkan adalah Befozi produksi Soho, obat tersebut dipilih sesuai dengan
indikasinya yaitu untuk pencegahan dan pengobatan anemia, membantu memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral selama masa kehamilan dan laktasi. Befozi
mengandung 80 mg Fe Sulphate, 500 mcg asam folat, dan Zinc sulfat monohidrat
sebesar 61.8 mg.
Durasi pemberian ferrous sulfate hingga anemia terkoreksi atau dalam kasus
ini diberikan hingga Hb pasien mencapai nilai normal, kemudian masih dilanjutkan
beberapa bulan guna menjamin kondisi tersebut stabil. Untuk meningkatkan absorbsi
Fe sulfat, pasien dapat mengonsumsi vitamin C dan harus menghindari teh dan kopi
(Maakaron, 2014).
Efek samping penggunaan ferrous sulfate di antaranya adalah konstipasi,
iritasi, diare, iritasi GI, obstruksi GI, GI hemorrhage, mual, muntah, nyeri perut. Efek
samping tersebut sebagian besar adalah pada gastrointestinal, sehingga obat sebaiknya
dikonsumsi bersama makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI.
Selama dilakukan pengobatan, pasien diberikan konseling untuk menunda
kehamilan karena sedang dalam pengobatan tuberculosis. Setelah pengobatan
tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan untuk
hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang berisiko
tinggi terhadap janin terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik yang merupakan
jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Oleh karena itu, penting bagi

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

wanita hamil untuk menyelesaikan pengobatan tuberculosis agar infeksi tuberculosis


tidak tertular ke janin.
Dalam mencegah kehamilan, pasien dapat menggunakan kontrasepsi
nonhormonal seperti diafragma dan kondom. Kontrasepsi tersebut dianggap aman
digunakan karena tidak terjadi interaksi dengan obat-obatan yang digunakan dalam
kasus ini. Kontrasepsi hormonal seperti kontrasepsi oral tidak direkomendasikan
untuk digunakan karena terjadi interaksi dengan rifampisin dimana rifampisin dapat
menginduksi enzim pemetabolisme dari kontrasepsi oral sehingga efikasi kontrasepsi
oral menurun dan menyebabkan siklus menstruasi tidak teratur. Oleh karena itu,
penggunaan kontrasepsi efektif dalam penundaan kehamilan bila digunakan
bersamaan dengan obat TB dan antikejang
Pada kasus ini, apabila Ny. Shinta tetap merencanakan kehamilannya
direkomendasikan untuk mengonsumsi asam folat dan vitamin K. Asam folat dapat
digunakan setelah pengobatan tuberculosis selesai dan dapat dikonsumsi 6 bulan
sebelum dan selama masa kehamilan. Asam folat yang direkomendasikan pemberian
dosis tinggi bagi penderita epilepsy yaitu 1 mg per hari. Alasan pemilihan obat
tersebut yaitu mencegah malformasi fetus (Ahmed, 2014).
Efek samping dari obat antiepilepsi adalah penurunan pembekuan darah yang
mengakibatkan peningkatan resiko hemoragik sehingga direkomendasikan pemberian
vitamin K pada masa akhir kehamilan (Ahmed, 2014). Obat yang diberikan pada
pasien dalam kasus ini yaitu Kayman yang berisi vitamin K, dengan dosis sebesar 5
mg yang diminum 3 kali sehari.

V.

PEMILIHAN OBAT RASIONAL


Karbamazepin
Mekanisme aksi: Mengurangi influx ion Na+ dan Ca2+ dalam neuron sehingga
mengurangi depolarisasi CNS berulang. Mengurangi transmisi eksitatori pada
celah sinaptik di nukelus trigeminal tulang belakang.

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Kontraindikasi: hipersensitivitas carbamazepin, memiliki riwayat supresi


sumsum tulang, bersamaan mengonsumsi MAOI, jaundice, hepatitis,
pregnancy, mengonsumsi obat NNRTI dan nefazodone
Efek Samping: mengantuk, pusing, mual-muntah, sakit kepala, ataksia, kulit
iritasi, gatal dan kemerahan.
Interaksi obat: serius-gunakan alternatif dengan rifampisin dan isoniazid
Dosis: dosis awal umumnya 400 mg/hari; dosis maintenancae 800 1200
mg/hari; dosis maksimum per hari 400 2400 mg; konsentrasi terapi 4-12
mcg/ml; konsentrasi toksik >15mcg/ml.
Isoniazid
Mekanisme aksi: agen bakterisida mencegah pembentukan dinding sel bakteri
dan pembentukan DNA bakteri
Kontraindikasi: hipersensitivitas dan gangguan hati akut
Efek Samping: neuropti perifer, mual, muntah, gangguan hati
Dosis: Dosis awal 5 mg/kgBB ; Dosis maksimum 300 mg/hari; dosis lanjutan
10mg/kgBB; dosis maksimum 900 mg/hari.
Interaksi obat: serius-gunakan alternatif dengan carbamazepine
Rifampicin
Mekanisme aksi: menghambat RNA polimerase sehingga pembentukan RNA
dan transkripsi DNA tidak terbentuk
Kontraindikasi: hipersensitivitas dan penggunaan dengan antiretroviral dapat
mengubah konsentrasi obat dalam plasma
Efek Samping: kulit gatal dan kemerahan, mual-muntah, kenaikan enzym tes
fungsi liver
Dosis: dosis inisial 10mgkgBB; dosis maksimum 600 mg/hari; dosis lanjutan
10mgkgBB; dosis maksimum lanjutan 600mg
Interaksi obat: serius-gunakan alternatif lain dengan carbamazepin

Fe Sulfat
Mekanisme aksi : Fe sulfat menggantikan zat besi pada hemoglobin,

myoglobin dan enzim, memperlancar transport oksigen melalui hemoglobin


Efek samping : konstipasi, diare, obstruksi GI, GI hemorrhage, iritasi GI,
mual, muntah, nyeri perut

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Kontraindikasi : hipersensitivitas, anemia hemolitik


Interaksi Obat : doxycycline, tetrasiklin, ofloxacin, simetidin, famotidin,
levodopa, lansoprazol, omeprazol, ranitidin

VI.

EVALUASI OBAT TERPILIH


Terapi Utama
Carbamazepine
Komposisi : Karbamazepin
: 200 mg

Dosis

Karbamazepin dan rifampisin sama-sama merupakan inducer enzim CYP 450


A34 sehingga membuat konsentrasi karbamazepin berkurang, di bawah
therapeutic range (4-12 mcg/ml). Sehingga dosis dinaikkam 25% dari dosis
awal 400 mg x 25% = 500 mg
Frekuensi : 3 x sehari 2 tablet
Interaksi obat

: Rifampisin dan INH

Analisis biaya

: Rp 35000 (10 strip @ 10 tablet)

Alasan :
Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan.
Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor
kuat enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Efek
rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin di dalam darah lebih besar
dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang dihasilkan INH. Hal tersebut
dapat diatasi dengan meningkatkan dosis karbamazepin sebanyak 25% dari
obat yang telah digunakan sebelumnya.

Kombinasi rifampisin dan isoniazid


Combipack
Komposisi

: Rifampisin 450mg dan isoniazid 600mg

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Frekuensi : 3 x seminggu
Durasi

: 2 bulan

Interaksi obat

: Karbamazepin

Analisis biaya

: gratis

Alasan : Combipak ini diberi bertujuan untuk mengobati penyakit TB pasien.


Obat ini juga diberikan pada fase lanjut pengobatan TBC. Penggunaan
Kombipak lebih mudah dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien karena
berada dalam 1 paket. Obat ini merupakan program pemerintah sehingga
pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menggunakan Combipack.
Fe Sulfat
Befozi (Soho)
Komposisi : Fe Sulphate 80 mg, folic acid 500 mcg, Zn sulphate monohydrate
61.8 mg
Dosis : 1 2 kapsul/ hari dapat diberikan bersama atau tanpa makanan
Interaksi Obat : Harga : Rp 15.000 (kaps 3 x 10)
Alasan : untuk pencegahan dan pengobatan anemia, membantu memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral selama masa kehamilan dan laktasi.

Vitamin B Complex IPI

Dosis : Vitamin B1 2 mg, B2 2 mg, B6 2 mg, Calcium pantothenate 10 mg,


nicotinamide 20 mg

Interaksi Obat : --

Frekuensi : 1 x sehari 1 tablet setiap hari

Durasi : 2 bulan (terapi intensif) + 4 bulan terapi lanjutan

Biaya : Rp 3.750,00 untuk 50 tablet

Alasan : Diberikan vitamin B kompleks untuk meningkatkan nafsu makan;


serta mengurangi efek samping neuropati perifer misalnya kesemutan dan

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

nyeri otot yang diakibatkan oleh penggunaan INH, dimana INH menyebabkan
defisiensi vitamin B dan defisiensi inilah yang menyebabkan timbulnya
neuropati perifer.

Terapi Tambahan
Kaywan
Komposisi

: Vitamin K

Dosis

: 5 mg

Frekuensi

: 3 kali sehari

Durasi

: Digunakan di akhir masa kehamilan, sampai sebelum

melahirkan.
IO

:-

Analisis biaya : Dus 10x10 tab Rp 35200.


Alasan : Untuk mencegah terjadinya perdarahan
Folavit

Komposisi

: Asam folat 1 mg

Dosis

: 1 mg/hari

Frekuensi

: 1 kali sehari 1 tablet

Durasi

IO

Analisis biaya

Alasan : Untuk mencegah terjadinya defisiensi asam folat

: 6 bulan sebelum dan selama masa kehamilan


:: Dus 25 x 4 tab 1 mg Rp138500.

VII. MONITORING DAN FOLLOW UP-NYA


Monitoring
Terapi Epilepsi

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

1.

TDM dilakukan dengan mengukur kadar atau konsentrasi pada target aksi. Untuk
TDM karbamazepin dapat menggunakan saliva. Alasan perlu dilakukan TDM
dikarenakan farmakokinetik obat antiepilepsi sulit diprediksi. Metabolisme obat
antiepilepsi tergantung fungsi organ, faktor genetik dan interaksi antar obat.
Karbamazepin dan rifampisin merupakan induser sitokrom P450 seperti CYP3A4
dan CYP2C9 yang dapat mengacaukan konsentrasi serum/plasma apabila tidak
dilakukan TDM. Idealnya, TDM akan mengarahkan serum/plasma pada kondisi
dimana bisa mengontrol kejang dan menghindari adverse effect.
Yang perlu diukur dalam monitor karbamazepin adalah kadarnya di dalam darah.
Seperti pada obat antiepilepsi lain, efek samping yang berhubungan dengan
syaraf akan muncul pada karbamazepin yang digunakan dalam dosis tinggi yaitu
lebih dari 15 mg/L. Selain itu, bila kadarnya di bawah rentang terapetik dapat
menyebabkan kondisi kejang pasien tidak bisa terkontrol. Karbamazepin
mempunyai bioavailabilitas >70, serum protein 75, waktu puncak 4-8 jam, waktu
paro serum 10-20 jam dan rata-rata serum dalam darah 4-12 mg/L. Apabila kadar
tidak sesuai maka diperlukan pengukuran dosis berulang. Dosis diubah dengan
aturan 25% dari dosis awal. Kemudian dilihat perkembangannya selama 2-3
minggu. Apabila dalam 2-3 minggu belum terjadi perubahan maka dilakukan lagi
perubahan 25% dari dosis awal. Perubahan dosis tersebut dapat berupa
penambahan maupun penurunan dosis tergantung hasil pengukuran kadar yang
diperoleh dari monitoring.

2.

Pasien diminta untuk mencatat tingkat keparahan dan kekerapan (frekuensi)


kejang dalam Catatan harian khusus kejang.

3.
4.

Skrining terhadap gangguan neuropsikiatrik, efek samping obat


Monitoring karbamazepin :
Memonitor kadar serum carbamazepine seperti untuk mengevaluasi respon

terapi, kepatuhan, dan kemungkinan terjadinya toksisitas.


Menilai fungsi ginjal dan hati sebelum memulai terapi.
Memantau fungsi ginjal dan hati berkala selama pengobatan.
Memantau CBC selama pengobatan,
Jika WBC atau jumlah trombosit rendah atau menurun dicatat.
Pemeriksaan mata secara berkala, funduscopy, dan tonometry.

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Memantau kadar obat dalam serum secara periodik untuk mengevaluasi efikasi
atau potensi efek samping.
Terapi TBC
1.

Cek kepatuhan pasien minum obat : kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
TB harus dipastikan, karena kepatuhan tersebut berpengaruh besar terhadap
keberhasilan pengobatan. Ketidakpatuhan dalam penggunaan obat dapat
menyebabkan timbulnya resistensi. Adanya resistensi akan membuat TB menjadi
sulit untuk disembuhkan karena memerlukan durasi pengobatan yang lebih
panjang dan kombinasi obat yang mungkin lebih banyak. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien perlu adanya PMO (pengawas minum obat) atau bisa juga

2.

pasien memasang alarm supaya tidak terlupa waktu minum obat.


Tes BTA pada bulan ke 2 (akhir tahap intensif), 5 dan 6 (akhir pengobatan). Tes
BTA dilakukan untuk memastikan bahwa pasien telah bersih dari bakteri. Tes ini
penting untuk menilai keberhasilan pengobatan TB. Adanya BTA pada pasien
sangat beresiko menyebabkan kasus TB baru karena BTA inilah yang dapat
menularkan TB.

3.

(Depkes RI, 2011)


Rontgen dada

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Pasien yang terkena infeksi TB, maka pada pemeriksaan rontgen dada akan
menunjukkan adanya penumpukan sputum di paru parunya karena hipersekresi
mucus akibat adanya bakteri. Setelah tahap pengobatan selesai, maka dilakukan
rontgen dada untuk mengecek apakah paru paru pasien sudah bersih dari
4.

sputum.
Tes fungsi hati : pengecekan ALT, AST
Obat obat anti TB memiliki efek samping hepatotoksis, sehingga pasien yang
menggunakan obat obat tersebut berpotensi mengalami kerusakan hepar, oleh
karena itu perlu dilakukan pengecekan fungsi hati. Tujuannya untuk memantau
apakah pasien terkena efek samping hepatotoksis serta mengetahui kondisi hepar
pasien selama menjalani pengobatan TB.

Anemia
Cek darah : nilai Hb
Nilai Hb normal untuk wanita adalah 12 16 g/dL dan untuk wanita hamil adalah 10
15 g/dL.

VIII. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI KEPADA PASIEN


a. Pasien diberikan informasi supaya compliance atau patuh dalam menggunakan obat
Pengobatan pada pasien epilepsy dan TBC memiliki waktu yang lama untuk
sembuh. Jadi, kemungkinan terjadi ketidakpatuhan itu sangat tinggi karena pasien
mungkin sudah bosan dan mengganggap obat yang dikonsumsi tetap tidak
memberikan efek. Diperlukan dukungan orang terdekat atau keluarga untuk
mengingatkan pasien mengkonsumsi obat
b. Pasien diberitahu untuk menghindari faktor pemicu terjadinya kejang misalnya
stress, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan
lain-lain
c. Pasien diberitahukan mengenai penggunaan obat yang tepat:
INH, rifampisin sebaiknya diminum pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau
2 jam sesudah makan)

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

Bila pencernaan terganggu (mual dan sebagainya) dapat diminum 2 jam sesudah
makan.
Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis
berikutnya, kembali ke jadwal semula jangan didobel dosisnya
d. Pasien diberitahu agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga,
olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum
sembarangan.
Pasien harus hindari kacang-kacangan dan biji-bijian, karena kacang-kacangan
memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, dan asupan kandungan karbohidrat
yang terlalu berlebihan pada penderita penyakit epilepsi harus diwaspadai.
Hindari makanan yang mengandung zat glutamine dan asam amino, seperti pada:
kacang-kacangan, biji-bijian, oat, dan gandum. Jika makanan yang mengandung
glutamine ini dikonsumsi oleh penderita penyakit epilepsi, maka kemungkinan
untuk kambuh akan sangat besar dan sangat mungkin terjadi. Hindari makan
jeroan serta beberapa makanan berikut, seperti: kuning telur, kaki sapi, lemak
udang.
e. Pasien diberikan informasi tempat penyimpanan obat :
Harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Simpan di tempat yang terlindung dari api atau cahaya.
Jangan menyimpan obat tablet di kamar mandi, di dekat bak cuci dapur atau di
tempat yang lembab karena panas atau lembab menyebabkan obat akan rusak.
f. Selama masa pengobatan pasien diberikan konseling untuk menunda kehamilan.
Pasien sedang dalam pengobatan tuberculosis maka setelah pengobatan
tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan
untuk hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang
berisiko tinggi terhadap janin. Terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik
yang merupakan jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Apabila
pasien sudah mulai merencanakan kehamilan maka pasien tetap menggunakan
carbamazepin, dimana pasien sudah terkontrol menggunakan obat tersebut. Selain
itu penting bagi pasien yang merencanakan hamil untuk mengkonsumsi asam
folat dosis tinggi sedini mungkin bahkan sebelum konsepsi. Asam folat
diperlukan untuk mencegah malformasi fetus.

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

h. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang
dialami.
Dengan adanya catatan, maka dokter akan lebih mudah untuk melakukan evaluasi
terhadap pengobatan. Frekuensi kejang juga menggambarkan tingkat keparahan
penyakit serta ketidakcocokan obat. Apabila masih sering terjadi kejang maka
diperlukan penyesuaian dosis. Selain itu apabila terdapat efek samping serta
gejala baru timbul yang dicurigai berasal dari obat yang dikonsumsi maka
hendaknya disampaikan ke dokter.
i. Perubahan warna cairan tubuh mungkin terjadi pada penggunaan rifampisin seperti
warna urin sehingga diperlukan pemberian penjelasan kepada pasien agar pasien tidak
panik. Selain itu pengguna rifampisin juga dianjurkan untuk menghindari pemakaian
softlens.

IX.

JAWABAN PERTANYAAN
Rika 08779 Apakah perlu diberikan hepatoprotektor dan vitamin B6 atau tidak?
Hepatoprotektor bisa digunakan tetapi juga bisa tidak digunakan. Sebab menurut
penelitian www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/25160904/ menggunakan maupun
tidak menggunakan hepatoprotektor tidak berbeda signifikan.
Vitamin B6 perlu diberikan untuk mengurangi efek samping INH yaitu
kekurangan vitamin B6
Dian 08774 Alasan pemilihan karbamazepin, INH dan Rifampisin kenapa?
Hepatoprotektor menggunakan apa? Vitamin B6 perlu dimonitor bagaimana?
Pemilihan karbamazepin alasannya adalah pasien sudah terkontrol dengan
karbamazepin jadi dilanjutkan karena untuk jangka panjang. INH dan rifampisin
digunakan sebab pasien sudah dalam fase lanjutan 2 bulan untuk terapi TBC,
dimana fase lanjutan dari panduan menggunakan INH dan rifampisin.
Pada saat terapi TBC perlu dimonitoring efek samping jika kelebihan B6 yaitu
neuropati
Shinta 08773 Ada interaksi temulawak dan obat-obat yang digunakan?
Di dalam temulawak terkandungannya senyawa kurkumin saja. Kurkumin tidak
memiliki interaksi dengan obat yang digunakan (Medscape). Namun sebenarnya
setelah mempelajari lebih dalam lagi di antara temulawak, kunyit, kencur yang

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

paling baik digunakan sebagai hepatoprotektor adalah temulawak karena hanya


mengandung kurkumin yang paling tinggi yang berfungsi sebagai hepatoprotektor
Riris 08787 Prioritas epilepsi atau TB? Isoniazid dan rifampicin cara kerjanya
berlawanan, ada alternatif tidak?
Terapi epilepsi dengan TB sama-sama merupakan prioritas sebab keduanya harus
segera diobati. Isoniazid dan rifampicin merupakan first line untuk mengobati TB
dan walau pun cara kerjanya berlawanan namun pada banyak pasien yang
menggunakan tidak ada masalah klinis sehingga tidak perlu menggunakan
alternatif. Second line dan pengobatan selain itu juga memiliki toksisitas yang
makin meningkat.
Prima 08750 Cara menunda kehamilan bagaimana? Kalau pakai kontrasepsi oral
ada interaksi dengan obat tidak? Kalau ada apa interaksinya?
Cara menunda kehamilan dengan menggunakan kontrasepsi selain kontrasepsi
oral misalnya kotrasepsi mekanik (kondom) yang tidak berinteraksi dengan obatobat yang digunakan. Interaksi kontrasepsi oral dengan obat yang digunakan
adalah dapat menurunkan efek kontrasepsi.
Lusi 08761 Karbamazepin dan rifampisin sama-sama inducer, apakah ada
alternatif selain peningkatan dosis?
Tidak ada
Agnia 08744 Bila waktu hamil ada serangan kejang, apa obat epilepsi paling aman
untuk ibu hamil?
Obat epilepsi masuk dalam kategori C dan D pada kehamilan. Kategori C berarti .
Kategori D berarti. Obat yang paling aman adalah lamotrigin karena masuk
kategori C. Sedangkan karbamazepin, termasuk dalam kategori D.
Mas Mawardi Hb Ny. Sinta 6,5 beresiko berat bayi lahir rendah (BBLR) , maka
obat yang digunakan untuk anemianya?
Untuk anemianya diberikan Fe (Zat besi)
Bu Nurlaila Monitoring TB bagaimana? Kenapa obat-obat masuk di KIE bukan
pemilihan obat rasional? Penggunaan asam folat sampai kapan?
Monitoring TB:
Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) apakah masih positif atau sudah
negatif pada bulan ke 2,5 dan 6
Rontgen dada untuk melihat apakah masih ada sputum yang tersisa
Monitoring fungsi hati yaitu ALT dan AST
Obat-obat masuk KIE karena obat-obat tersebut harus digunakan ketika Ny. Sinta
hamil. Padahal bila Ny. Sinta hamil dan masih mengkonsumsi obat epilepsi dan

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

TB maka dapat berpengaruh ke janin sehingga rencana edukasi yang diberikan


pada Ny. Sinta adalah menunda kehamilan selama 2 bulan sampai pengobatan TB
selesai.
Penggunaan asam folat
Saat mencoba merencanakan kehamilan: 400 mcg
Untuk kehamilan bulan ke 1-3: 400 mcg
Untuk kehamilan bulan ke 4-9: 600 mcg
Saat menyusui: 500 mcg
X.

KESIMPULAN
1.

Pasien menderita epilepsi jenis tonik-klonik yang disertai dengan TBC.

2.

Terapi yang dipilih untuk mengobati TBC yaitu digunakan adalah Combipack yang
merupakan kombinasi INH dan rifampisin untuk fase lanjutan.

3.

Terapi untuk epilepsi digunakan karbamazepin.

4.

Untuk mencegah terjadinya anemia diberikan Feri Sulfat, vitamin K untuk


mencegah terjadinya perdarahan, Folavit untuk menambah asam folat.

5.

Monitoring kadar karbamazepin secara berkala untuk mengetahui kemungkinan


terjadinya toksisitas.

6.

Monitoring BTA pada bulan ke 2, 5 dan 6, pemeriksaan fungsi hati dan dilakukan
rontgen dada.

7.

Dilakukan monitoring nilai Hb secara berkala.

8.

Pasien diberikan informasi supaya compliance atau patuh dalam menggunakan


obat

g. Pasien diberitahu untuk menghindari faktor pemicu terjadinya kejang misalnya


stress, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan
lain-lain
9.

INH, rifampisin sebaiknya diminum pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau 2
jam sesudah makan)

10. Pasien disarankan agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga,
olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum
sembarangan.
11. Selama masa pengobatan TBC pasien diberikan konseling untuk menunda
kehamilan.

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik


Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp. (0274)902660 Fax (0274)543120

12. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang
dialami.
XI.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed R., Appen K., Endean C., 2014, Epilepsy in Pregnancy, A Collaborative Team
Effort of Obstetricians, Neurologists and Primary Care Physicians for A Succesful
Outcome, Australian Family Physicians 2014; 43(3) : 113-116.
Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI,
Jakarta.
Depkes RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberculosis, Depkes RI,
Jakarta.
Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United
States.
Gofir, A., Wibowo, S., 2006. Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta.
Maakaron, J.E., 2014, Anemia Treatment,
http://emedicine.medscape.com/article/198475-treatment#3, diakses pada 10
November 2014.
Merck Manuals, 2014, Maintenance Anticonvulsant Therapy,
http://www.merckmanuals.com/vet/pharmacology/systemic_pharmacotherapeutic
s_of_the_nervous_system/maintenance_anticonvulsant_therapy.html diakses
pada 10 November 2014.
PDPI, 2006, Tuberculosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Webmd, 2014, Vitamin and Suplements Guideline Therapy,
http://www.webmd.com/vitamins-and-supplements/lifestyle-guide11/supplement-guide-folic-acid diakses pada 13 November 2014.

Anda mungkin juga menyukai