FARMASI KLINIK
PRAKTIKUM KE-6
Oleh :
Golongan / Kelompok
: II / I
Minat
No
Nama Mahasiswa
NIM
1.
Ihda Yusriyya
11/314091/FA/08732
2.
Khairunisa N. S.
11/314204/FA/08733
3.
Silvia Kusuma M.
11/314334/FA/08735
4.
Chlara Nikke D.
11/315704/FA/08737
: Mawardi Ihsan
TTD
TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi penatalaksanaan terapi terutama pada
obat-obat dengan indeks terapi sempit dengan mangacu data therapeutic drug
monitoring (TDM) serta terapi pada pasien yang mengalami kejadian adverse drug
reactions.
II.
PENDAHULUAN
EPILEPSI
A. DEFINISI
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006).
B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik)
maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya
epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30% (MJ, 1998).
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid
dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita
Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
Atonic seizure
Jarang terjadi
b.
E. PENGOBATAN
a.
Sasaran terapi : Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisasi
b.
c.
neurotransmitter.
Tatalaksana terapi
Non farmakologi:
1.
2.
Farmakologi :
1.
benzodiazepin, barbiturat.
Menghambat GABA transaminase konsentrasi GABA
contoh: Tiagabin.
Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal
pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari
non-vesikular pool contoh: Gabapentin
dorman, terkena
infeksi laten serta bersifat progresif dan menjadi penyakit aktif (Dipiro, 2009).
Secara global, 2 miliar orang terinfeksi dan 2.000.000-3.000.000 orang
meninggal disebabkan TB setiap tahunnya. Mycobacterium tuberculosis ditularkan
dari manusia ke manusia lain melalui batuk atau bersin. Kontak dengan orang terdekat
pasien TB, paling mungkin untuk terkena infeksi (Dipiro, 2009).
II. PATOFISIOLOGI
Infeksi primer dimulai dengan adanya penempelan pada alveolar dari organisme
dalam droplet yang cukup kecil (1-5 mm) untuk melepaskan diri dari siliari sel epitel
saluran pernapasan bagian atas hingga mencapai permukaan alveolar. Setelah menempel,
organisme berkembang biak dan dicerna oleh makrofag paru-paru, mereka dibunuh, atau,
mereka terus bertambah banyak. Dengan bereplikasinya bakteri, makrofag akhirnya
pecah dan melepaskan banyak basil (Dipiro, 2009).
Sejumlah besar makrofag diaktifkan mengelilingi padatan (seperti keju) fokus TB
(daerah nekrotik) sebagai bagian dari imunitas seluler. Hipersensitivitas tipe tertunda juga
berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk
granuloma mengandung organisme (Dipiro, 2009).
III. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang
berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat gelap dan lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman
(tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).
IV.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka
prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB Paru
BTA Positif dan kematian kasus TB dapat dilihat di tabel 1. Berdasarkan tabel 1 tersebut
menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000
penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar
228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus
baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru
TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang
per hari.
V. GEJALA
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat
ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit 15 Pelayanan Kesehatan)
dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) asien TB paru dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2002).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan
diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagi sewaktu (S-P-S) (Depkes,
2008).
VI.
DIAGNOSIS
Metode skrining yang paling banyak digunakan untuk infeksi TB adalah
tuberkulin skin test, yang menggunakan Purified Protein Derivative (PPD). Populasi yang
paling mungkin memperoleh manfaat dari uji kulit tercantum dalam Tabel 49-2.
(Dipiro, 2009)
Metode Mantoux dalam pemberian PPD merupakan teknik yang paling dapat
diandalkan karena terdiri dari injeksi intrakutan dari PPD yang mengandung 5 unit
tuberkulin. Tes dibaca 48-72 jam setelah diinjeksikan kemudian mengukur diameter zona
indurasi (Dipiro, 2009).
Beberapa pasien mungkin menunjukkan hasil positif setelah tes awal
menunjukakan negatif, ini disebut sebagai booster effect (Dipiro, 2009).
Untuk dapat memastikan kecurigaan klinis TB, maka harus dilakukan x-ray dada
dan pemeriksaan mikrobiologis dahak atau bahan terinfeksi lainnya (Dipiro, 2009).
Bila pasien merupakan TB aktif, maka upaya yang harus dilakukan adalah
mengisolasi M. tuberculosis dari bagian yang terinfeksi. Pengumpulan sputum
dianjurkan setiap hari selama 3 hari berturut-turut (Dipiro, 2009).
VII.
(PDPI, 2006)
Pengelompokan Obat Anti Tuberculosis dan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak:
(Dipiro, 2009)
Rekomendasi dosis dari lini pertama obat anti tuberkulosis untuk dewasa
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
III.DESKRIPSI KASUS
Ny. Sinta (25 th), seorang penganten baru (4 bulan yang lalu), mempunyai riwayat
epilepsi sejak usia 17 th. Riwayat pengobatan pernah menggunakan fenitoin, tetapi
sudah tidak dapat mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan
gangguan psikis. Valproat juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek
samping yang timbul dan berat badan naik 10 kg. Pengobatan terakhir menggunakan
karbamazepin 400 mg 3 kali sehari sejak 2,5 th yang lalu, dan selama ini epilepsinya
cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien juga terdiagnosis mengidap TBC dan
mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg,
pirazinamid 1500 mg dan etambutol 750 mg selama 2 bulan dan dikonsumsi setiap hari,
setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin 450 mg dan isoniazid 600 mg yang
diminum 3 kali seminggu. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan
frekuensi kejang tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga
menginginkan untuk segera punya anak.
Pertanyaan : Kembangkan kasus tersebut, beri pengatasan yang terbaik buat pasien dan
bagaimana dengan rencana pasien untuk segera punya anak.
PENGEMBANGAN KASUS
Hasil pemeriksaan fisik:
Kondisi umum : lemah. TB : 156 cm, BB : 39 kg
Vital sign
Carbamazepin
Na
K
HCO3
BUN
SCr
Cl Cr
Hct
: 3 g/ml
: 135 mEq/L
: 4 mEq/L
: 24 mEq/L
: 20 mg/dL
:1,2 mg/dL
: 85 ml/min
: 51%
Hb
WBC
Plt
AST
ALT
PO4
Chol
TG
: 6,5 g/dL
: 7000/mm3
: 175x103/ mm3
: 36 IU/L
: 43 IU/L
: 1.60 mmol/L
: 190 mg/dL
: 135 mg/dL
epilepsinya cukup terkontrol. Empat bulan yang lalu pasien terdiagnosis mengidap
TBC dan mendapatkan obat Combipack terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid
dan etambutol selama 2 bulan, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian rifampisin
dan isoniazid. Dua bulan terakhir ini pasien mengalami peningkatan frekuensi kejang
tonik-klonik menjadi 1 kali seminggu. Padahal pasien juga menginginkan untuk
segera punya anak.
Pasien mengalami kejang umum dengan jenis tonik klonik. Pilihan obat lini
pertama pada kejang tersebut yaitu asam valproat, fenitoin, dan karbamazepin. Dari
kasus dapat diketahui pasien pernah mendapat fenitoin, tetapi sudah tidak dapat
mentoleransi lagi karena munculnya efek samping berat dan gangguan psikis.Valproat
juga sudah dihentikan karena tidak tahan terhadap efek samping yang timbul dan
berat badan naik 10 kg. Sehingga pilihan obat lini pertama yang masih dapat
digunakan karbamazepin. Dalam kasus ini karbamazepin diberikan dosis 400 mg
dengan frekuensi pemakaian tiga kali sehari. Mekanisme aksi obat ini adalah
mempertahankan
kanal
natrium
dalam
kondisi
tidak
teraktivasi
sehingga
membunuh 90% bakteri TBC yang aktif, tetapi tidak bisa membunuh bakteri yang
dorman. Sedangkan rifampisin bisa membunuh bakteri yang aktif maupun bakteri
dorman, Dengan pemilihan kombinasi tersebut diharapkan efektif untuk mengobati
TBC pasien karena efek tiap obat saling menguatkan/ sinergis. INH dan rifampisin
diberikan dalam 2 kombinasi dosis tetap/ KDT (obat yang berisi kombinasi dari
beberapa jenis obat dengan dosis tetap). Sediaan KDT yang digunakan adalah
Kombipak dengan komposisi rifampisin 150 mg dan INH 150 mg.
Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan.
Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor kuat
enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Dirjen Binfar
(2005) melaporkan bahwa terjadi interaksi antara karbamazepin dan rifampisin yaitu
dapat menurunkan kadar karbamazepin dalam darah sementara itu terjadi interaksi
yang berlawanan antara INH dan karbamazepin menyebabkan peningkatan kadar
karbamazepin dalam darah. Efek rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin
di dalam darah lebih besar dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang
dihasilkan INH. Sehingga secara keseluruhan dari kombinasi Rifampisin dan INH
adalah berkurangnya konsentrasi karbamazepin. Hal tersebut dapat diatasi dengan
meningkatkan dosis karbamazepin sebesar 25% dari dosis yang sudah digunakan.
Pasien juga diberikan vitamin B6 untuk mengurangi efek samping neuropati
perifer (keracunan saraf tepi) yang diakibatkan oleh penggunaan INH. Tanda tanda
keracunan pada saraf tepi misalnya kesemutan dan nyeri otot; gangguan kesadaran.
Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin. INH juga dapat menyebabkan
timbulnya kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek
samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.
darah yang dialirkan lewat plasenta sehingga jumlah darah ibu harus cukup dan tidak
boleh kurang supaya janin mendapatkan nutrisi yang optimal untuk perkembangannya
di dalam rahim. Bila sang ibu mengalami anemia, maka aliran darah menurun karena
jumlah darah menurun sehingga menyebabkan nutrisi yang masuk ke janin menjadi
berkurang. Oleh karena itu, anemia pada pasien sangat penting untuk diatasi.
Pada kasus ini, obat anemia yang direkomendasikan adalah ferrous sulfate.
Mekanisme aksi fe sulfat dengan menggantikan zat besi pada hemoglobin, myoglobin
dan enzim, memperlancar transport oksigen melalui hemoglobin. Obat yang
dipilihkan adalah Befozi produksi Soho, obat tersebut dipilih sesuai dengan
indikasinya yaitu untuk pencegahan dan pengobatan anemia, membantu memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral selama masa kehamilan dan laktasi. Befozi
mengandung 80 mg Fe Sulphate, 500 mcg asam folat, dan Zinc sulfat monohidrat
sebesar 61.8 mg.
Durasi pemberian ferrous sulfate hingga anemia terkoreksi atau dalam kasus
ini diberikan hingga Hb pasien mencapai nilai normal, kemudian masih dilanjutkan
beberapa bulan guna menjamin kondisi tersebut stabil. Untuk meningkatkan absorbsi
Fe sulfat, pasien dapat mengonsumsi vitamin C dan harus menghindari teh dan kopi
(Maakaron, 2014).
Efek samping penggunaan ferrous sulfate di antaranya adalah konstipasi,
iritasi, diare, iritasi GI, obstruksi GI, GI hemorrhage, mual, muntah, nyeri perut. Efek
samping tersebut sebagian besar adalah pada gastrointestinal, sehingga obat sebaiknya
dikonsumsi bersama makanan untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada GI.
Selama dilakukan pengobatan, pasien diberikan konseling untuk menunda
kehamilan karena sedang dalam pengobatan tuberculosis. Setelah pengobatan
tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan untuk
hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang berisiko
tinggi terhadap janin terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik yang merupakan
jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Oleh karena itu, penting bagi
V.
Fe Sulfat
Mekanisme aksi : Fe sulfat menggantikan zat besi pada hemoglobin,
VI.
Dosis
Analisis biaya
Alasan :
Pasien menggunakan karbamazepin, rifampisin dan INH bersamaan.
Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim CYP450, INH merupakan inhibitor
kuat enzim CYP450 dan rifampisin adalah inducer kuat enzim CYP450. Efek
rifampisin dalam menurunkan kadar karbamazepin di dalam darah lebih besar
dibandingkan kenaikan kadar karbamazepin yang dihasilkan INH. Hal tersebut
dapat diatasi dengan meningkatkan dosis karbamazepin sebanyak 25% dari
obat yang telah digunakan sebelumnya.
Frekuensi : 3 x seminggu
Durasi
: 2 bulan
Interaksi obat
: Karbamazepin
Analisis biaya
: gratis
Interaksi Obat : --
nyeri otot yang diakibatkan oleh penggunaan INH, dimana INH menyebabkan
defisiensi vitamin B dan defisiensi inilah yang menyebabkan timbulnya
neuropati perifer.
Terapi Tambahan
Kaywan
Komposisi
: Vitamin K
Dosis
: 5 mg
Frekuensi
: 3 kali sehari
Durasi
melahirkan.
IO
:-
Komposisi
: Asam folat 1 mg
Dosis
: 1 mg/hari
Frekuensi
Durasi
IO
Analisis biaya
1.
TDM dilakukan dengan mengukur kadar atau konsentrasi pada target aksi. Untuk
TDM karbamazepin dapat menggunakan saliva. Alasan perlu dilakukan TDM
dikarenakan farmakokinetik obat antiepilepsi sulit diprediksi. Metabolisme obat
antiepilepsi tergantung fungsi organ, faktor genetik dan interaksi antar obat.
Karbamazepin dan rifampisin merupakan induser sitokrom P450 seperti CYP3A4
dan CYP2C9 yang dapat mengacaukan konsentrasi serum/plasma apabila tidak
dilakukan TDM. Idealnya, TDM akan mengarahkan serum/plasma pada kondisi
dimana bisa mengontrol kejang dan menghindari adverse effect.
Yang perlu diukur dalam monitor karbamazepin adalah kadarnya di dalam darah.
Seperti pada obat antiepilepsi lain, efek samping yang berhubungan dengan
syaraf akan muncul pada karbamazepin yang digunakan dalam dosis tinggi yaitu
lebih dari 15 mg/L. Selain itu, bila kadarnya di bawah rentang terapetik dapat
menyebabkan kondisi kejang pasien tidak bisa terkontrol. Karbamazepin
mempunyai bioavailabilitas >70, serum protein 75, waktu puncak 4-8 jam, waktu
paro serum 10-20 jam dan rata-rata serum dalam darah 4-12 mg/L. Apabila kadar
tidak sesuai maka diperlukan pengukuran dosis berulang. Dosis diubah dengan
aturan 25% dari dosis awal. Kemudian dilihat perkembangannya selama 2-3
minggu. Apabila dalam 2-3 minggu belum terjadi perubahan maka dilakukan lagi
perubahan 25% dari dosis awal. Perubahan dosis tersebut dapat berupa
penambahan maupun penurunan dosis tergantung hasil pengukuran kadar yang
diperoleh dari monitoring.
2.
3.
4.
Memantau kadar obat dalam serum secara periodik untuk mengevaluasi efikasi
atau potensi efek samping.
Terapi TBC
1.
Cek kepatuhan pasien minum obat : kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
TB harus dipastikan, karena kepatuhan tersebut berpengaruh besar terhadap
keberhasilan pengobatan. Ketidakpatuhan dalam penggunaan obat dapat
menyebabkan timbulnya resistensi. Adanya resistensi akan membuat TB menjadi
sulit untuk disembuhkan karena memerlukan durasi pengobatan yang lebih
panjang dan kombinasi obat yang mungkin lebih banyak. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien perlu adanya PMO (pengawas minum obat) atau bisa juga
2.
3.
Pasien yang terkena infeksi TB, maka pada pemeriksaan rontgen dada akan
menunjukkan adanya penumpukan sputum di paru parunya karena hipersekresi
mucus akibat adanya bakteri. Setelah tahap pengobatan selesai, maka dilakukan
rontgen dada untuk mengecek apakah paru paru pasien sudah bersih dari
4.
sputum.
Tes fungsi hati : pengecekan ALT, AST
Obat obat anti TB memiliki efek samping hepatotoksis, sehingga pasien yang
menggunakan obat obat tersebut berpotensi mengalami kerusakan hepar, oleh
karena itu perlu dilakukan pengecekan fungsi hati. Tujuannya untuk memantau
apakah pasien terkena efek samping hepatotoksis serta mengetahui kondisi hepar
pasien selama menjalani pengobatan TB.
Anemia
Cek darah : nilai Hb
Nilai Hb normal untuk wanita adalah 12 16 g/dL dan untuk wanita hamil adalah 10
15 g/dL.
Bila pencernaan terganggu (mual dan sebagainya) dapat diminum 2 jam sesudah
makan.
Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis
berikutnya, kembali ke jadwal semula jangan didobel dosisnya
d. Pasien diberitahu agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga,
olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum
sembarangan.
Pasien harus hindari kacang-kacangan dan biji-bijian, karena kacang-kacangan
memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, dan asupan kandungan karbohidrat
yang terlalu berlebihan pada penderita penyakit epilepsi harus diwaspadai.
Hindari makanan yang mengandung zat glutamine dan asam amino, seperti pada:
kacang-kacangan, biji-bijian, oat, dan gandum. Jika makanan yang mengandung
glutamine ini dikonsumsi oleh penderita penyakit epilepsi, maka kemungkinan
untuk kambuh akan sangat besar dan sangat mungkin terjadi. Hindari makan
jeroan serta beberapa makanan berikut, seperti: kuning telur, kaki sapi, lemak
udang.
e. Pasien diberikan informasi tempat penyimpanan obat :
Harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Simpan di tempat yang terlindung dari api atau cahaya.
Jangan menyimpan obat tablet di kamar mandi, di dekat bak cuci dapur atau di
tempat yang lembab karena panas atau lembab menyebabkan obat akan rusak.
f. Selama masa pengobatan pasien diberikan konseling untuk menunda kehamilan.
Pasien sedang dalam pengobatan tuberculosis maka setelah pengobatan
tuberculosis selesai serta kejang sudah terkontrol maka pasien diperbolehkan
untuk hamil. Hal ini disebabkan karena obat-obat tuberculosis serta anti kejang
berisiko tinggi terhadap janin. Terlebih pasien mengalami kejang tonik klonik
yang merupakan jenis kejang paling beresiko tinggi terhadap kehamilan. Apabila
pasien sudah mulai merencanakan kehamilan maka pasien tetap menggunakan
carbamazepin, dimana pasien sudah terkontrol menggunakan obat tersebut. Selain
itu penting bagi pasien yang merencanakan hamil untuk mengkonsumsi asam
folat dosis tinggi sedini mungkin bahkan sebelum konsepsi. Asam folat
diperlukan untuk mencegah malformasi fetus.
h. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang
dialami.
Dengan adanya catatan, maka dokter akan lebih mudah untuk melakukan evaluasi
terhadap pengobatan. Frekuensi kejang juga menggambarkan tingkat keparahan
penyakit serta ketidakcocokan obat. Apabila masih sering terjadi kejang maka
diperlukan penyesuaian dosis. Selain itu apabila terdapat efek samping serta
gejala baru timbul yang dicurigai berasal dari obat yang dikonsumsi maka
hendaknya disampaikan ke dokter.
i. Perubahan warna cairan tubuh mungkin terjadi pada penggunaan rifampisin seperti
warna urin sehingga diperlukan pemberian penjelasan kepada pasien agar pasien tidak
panik. Selain itu pengguna rifampisin juga dianjurkan untuk menghindari pemakaian
softlens.
IX.
JAWABAN PERTANYAAN
Rika 08779 Apakah perlu diberikan hepatoprotektor dan vitamin B6 atau tidak?
Hepatoprotektor bisa digunakan tetapi juga bisa tidak digunakan. Sebab menurut
penelitian www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/25160904/ menggunakan maupun
tidak menggunakan hepatoprotektor tidak berbeda signifikan.
Vitamin B6 perlu diberikan untuk mengurangi efek samping INH yaitu
kekurangan vitamin B6
Dian 08774 Alasan pemilihan karbamazepin, INH dan Rifampisin kenapa?
Hepatoprotektor menggunakan apa? Vitamin B6 perlu dimonitor bagaimana?
Pemilihan karbamazepin alasannya adalah pasien sudah terkontrol dengan
karbamazepin jadi dilanjutkan karena untuk jangka panjang. INH dan rifampisin
digunakan sebab pasien sudah dalam fase lanjutan 2 bulan untuk terapi TBC,
dimana fase lanjutan dari panduan menggunakan INH dan rifampisin.
Pada saat terapi TBC perlu dimonitoring efek samping jika kelebihan B6 yaitu
neuropati
Shinta 08773 Ada interaksi temulawak dan obat-obat yang digunakan?
Di dalam temulawak terkandungannya senyawa kurkumin saja. Kurkumin tidak
memiliki interaksi dengan obat yang digunakan (Medscape). Namun sebenarnya
setelah mempelajari lebih dalam lagi di antara temulawak, kunyit, kencur yang
KESIMPULAN
1.
2.
Terapi yang dipilih untuk mengobati TBC yaitu digunakan adalah Combipack yang
merupakan kombinasi INH dan rifampisin untuk fase lanjutan.
3.
4.
5.
6.
Monitoring BTA pada bulan ke 2, 5 dan 6, pemeriksaan fungsi hati dan dilakukan
rontgen dada.
7.
8.
INH, rifampisin sebaiknya diminum pada saat perut kosong (1 jam sebelum atau 2
jam sesudah makan)
10. Pasien disarankan agar menjaga pola makanannya, sirkulasi udara harus terjaga,
olahraga, istirahat yang cukup, mencuci tangan, tidak membuang sputum
sembarangan.
11. Selama masa pengobatan TBC pasien diberikan konseling untuk menunda
kehamilan.
12. Pasien diminta untuk membuat sebuh catatan khusus terkait dengan kejang yang
dialami.
XI.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed R., Appen K., Endean C., 2014, Epilepsy in Pregnancy, A Collaborative Team
Effort of Obstetricians, Neurologists and Primary Care Physicians for A Succesful
Outcome, Australian Family Physicians 2014; 43(3) : 113-116.
Depkes RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI,
Jakarta.
Depkes RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberculosis, Depkes RI,
Jakarta.
Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United
States.
Gofir, A., Wibowo, S., 2006. Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta.
Maakaron, J.E., 2014, Anemia Treatment,
http://emedicine.medscape.com/article/198475-treatment#3, diakses pada 10
November 2014.
Merck Manuals, 2014, Maintenance Anticonvulsant Therapy,
http://www.merckmanuals.com/vet/pharmacology/systemic_pharmacotherapeutic
s_of_the_nervous_system/maintenance_anticonvulsant_therapy.html diakses
pada 10 November 2014.
PDPI, 2006, Tuberculosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.
Webmd, 2014, Vitamin and Suplements Guideline Therapy,
http://www.webmd.com/vitamins-and-supplements/lifestyle-guide11/supplement-guide-folic-acid diakses pada 13 November 2014.