Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL KLINIK

JANUARI 2014

DEMAM REMATIK

Etwien Reskinta Paulus (G 501 09 020)


Ichsan Noor (G 501 09 040)
Ari Rahmatullah (G 501 09 059)
Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp.A
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2014

A. Pengertian
Demam rematik adalah suatu penyakit akut yang datang terutama dengan
gejala-gejala nyeri dan bengkak sendi dan gejala-gejala yang lain sesuai dengan
kriteria Jones. Demam rematik masih merupakan problem dinegara berkembang
karena sekuele yang ditimbulkannya berupa cacat katup jantung pada anak.
Infeksi streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan diketahui sebagai
pencetus penyakit ini. (1)
B. Etiologi
Infeksi streptokokus hemolitik grup A telah lama diketahui mempunyai
hubungan dengan terjadinya penyakit demam rematik. Meskipun mekanisme
patogenesis yang pasti tidak diketahui. Berbagai teori telah dikemukakan dalam
mekanisme pathogenesis demam rematik. Hipotesis yang paling popular
menyatakan adanya respon imun yang abnormal pada host yang akan
menghasilkan

antibody

terhadap

komponen

Streptokokusgrup

dan

menyababkan kerusakan imunologik dan menimbulkan manifestasi klinik. Tidak


semua serotype Streptokokus hemolitik grup A dapat menyebabkan penyakit
ini. Diketahui streptokokus grup A

serotype tertentu (tipe M1, 3, 5, 6, 18, 24)

lebih sering diisolasi daripada serotype lain pada penderita demam rematik, tetapi
kerena serotype ini tidak dapat diketahui pada saat diagnosis klinis demam
rematik ditegakkan, maka para klinis harus mengangap bahwa semua
Streptokokus hemolitik grup A dapat menyebabkan demam rematik. Oleh
karena itu seluruh episode faringitis streptokokal mesti diobati secara adekuat.(1)(2)
C. Epidemiologi
Insidensi penyakit ini dinegara maju telah jauh berkurang bila disbanding
sebelumnya dan di Amerika Serikat dilaporkan adanya kecenderungan
peningkatan penyakit ini pada pertengahan tahun1980-an dan menimbulkan
kematian 5014 orang pada tahun 1997. Dinegara sedang berkembang penyakit ini
masih merupakan problem public health dan data yang akurat tidak diperoleh
karena belum baiknya system pencatatan dan pelaporan mengeni penyakit ini.

Dirasakan Insidennya di Negara sedang berkembang tidak berkurang. Di


Indonesia data yang pasti mengenai insiden penyakit ini belum ada dan yang
sering dilaporkan adalah insiden di beberapa rumah sakit pendidikan.
Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik dan penyakit jantung
rematik di Indonesia untuk tahun 1981-1990 didapati 0,7 diantara 1000 anak
sekolah yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negra berkembang
lainnya. Padahal prevalensi penyakit ini biasanya tinggi pada populasi yang
pendapatannya rendah.(1)
D. Patogenesis
Meski pengetahuan mengenai penyakit ini serta penelitian terhadap kuman
Streptococcus hemolyticus grup A sudah berkembang pesat namun sampai saat ini
patogenesis secara pasti masih belum dapat diketahui. Pada umumnya para ahli
mengatakan bahwa demam rematik adalah penyakit autoimun.
Streptokokus menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel, produkproduk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam rematik diduga
merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk
ekstrasel dari streptokokus, Karena merupakan antigen, tubuh akan membentuk
antibody untuk menetralisirnya. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya
reaksi silang antibody terhadap streptokokus dengan otot jantung yang
mempunyai susunan antigen mirip dengan streptokokus. Hal inilah yang
menyebabkan reaksi autoimun.
Demam rematik biasanya menyerang jaringan otot miokardium, endokardium
dan pericardium, terutama pada katup mitral dan katup aorta. Secara
histopatologis, infeksi demam rematik ditandai dengan adanya proses aschoff
bodies yang khas. Daun katup dan korda tendinea akan mengalami edema, proses
fibrosis, penebalan, vegetasi dan mungkin kalsifikasi.

Proses-proses tersebut menunjukan bahwa demam rematik memang


merupakan suatu penyakit autoimun, dimana reaksi silang yang terjadi antara
streptokokus dengan jaringan tubuh tertentu dapat menyebabkan kerusakan
jaringan secara imunologik.(1)

Perjalanan penyakitnya dibagi menjadi 4 stadium :

1. Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran nafas bagian atas oleh kuman beta
streptococcus hemolyticus grup A. seperti infeksi saluran nafas pada umumnya,
gejala yang terjadi termasuk demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak
jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada
pemeriksaan fisis sering didapatkan eksudat ditonsil yang menyertai tanda
peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular sering kali membesar.
Infeksi ini biasanya berlang 2-4 hari, dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

2. Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, merupakan masa antara infeksi
streptokok dengan permulaan gejala demam rematik. Biasanya periode ini
berlangsung antara 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau
bahkan berbulan-bulan kemudian.

3. Stadium III

Ini merupakan stadium fase akut demam rematik,saat timbulnya berbagai


manifestasi klinis demam rematik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan
dalam gejala peradangan umumdan manifestasi spesifik demam rematik. Gejala
peradangan umum :biasanya pasien mengalami demam yang tidak tinggi, tanpa
pola demam tertentu. Anak menjadi lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan berat
badan menurun. Anak tampak pucat karena anemia akibat tertekannya
eritropoesis, bertambahnya volume plasma serta memendeknya umur eritrosit.
Dapat pula terjadi epistaksis, yang bila banyak dapat menambah derajat anemia.
Atralgia, rasa sakit disekitar sendi selama beberapa hari atau beberapa minggu
juga sering didapatkan, rasa sakit akan bertambah dengan latihan fisik.pada
pemeriksaan lab terdapat tanda peradangan akut berupa C- reactive protein dan
leukositosis serta meningginya LED. Titer ASTO meninggi pada kira-kira 80%
kasus. Pada EKG terjadi pemanjangan interval P-R.

4. Stadium IV
Stadium ini disebut stadium inaktif. Pada stadium ini pasien demam rematik
tanpa kelainan jantung, atau pasien penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa
katup, tidak menunjukkan gejala. Pada pasien penyakit jantung reumatik dengan
gejala sisa selain katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta
beratnya penyakit.(3)

E. Manifestasi klinis dan diagnosis


Tidak ada satu manifestasi klinis atau uji laboratorium spesifik yang dengan
tegas menegakkan diagnosis demam reumatik. Agaknya, ada sejumlah tanda
klinis tertentu, yang disebut dengan kriteria Jones, yang membuat diagnosis
demam reumatik akut sangat mungkin dan memerlukan pembahasan manifestasi
klinis dan diagnosis bersama. Walaupun kriteria Jones telah diubah beberapa kali

sejak publikasi aslinya, kriteria ini tetap pada dasarnya stabil dan merupakan
metode yang diterima, yang dengan metode ini diagnosis penyakit diperkuat.
Biasanya manifestasi klinik dari demam reumatik akut, yang pertama yaitu terjadi
infeksi akut Streptokokus beta hemolitikus grup A, kemudian setelah melewati
masa laten yang lamanya 2-4 minggu, akhirnya timbul tanda-tanda dari demam
reumatik akut yang sesuai rekomendasi American Heart Association untuk
mendiagnosis serangan awal demam reumatik yang dapat di golongkan sebagai
kriteria mayor dan kriteria minor.(2)(4)
Kriteria Mayor
Karditis
Poliarthritis
Eritema Marginatum

Kriteria Minor
Demam
Artralgia
Kenaikan reaktan fase akut ( LED,

Khorea

PCR)
Interval P-R memanjang pada
elektrokardiogram

Nodulus Sub Kutan


Plus
Bukti adanya infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A sebelumnya (biakan,
antigen cepat, antibodi muncul/kenaikan)
Tabel 1. Kriteria Jones Untuk Diagnosis Serangan Demam Rematik(2)
Dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor plus bukti
adanya infeksi streptokokus sebelumnya menunjukkan sangat mungkin demam
reumatik. Pada kategori spesial yang didaftar bawah, diagnosis demam reumatik
dapat diterima tanpa dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria
minor. Namun, hanya untuk a dan b syarat-syarat untuk bukti adanya streptokokus
sebelumnya dapat diabaikan(2)
a. Khorea, jika penyebab lain telah dikesampingkan
b. Karditis yang berjalan secara tidak kentara atau mulainya lambat tanpa
penjelasan yang lain jantung reumatik atau demam reumatik sebelumnya ada
satu kriteria mayor, atau demam, atau artralgia atau kenaikan reaktan fase akut

memberi kesan dugaan diagnosis kumat. Bukti adanya infeksi streptokokus


sebelumnya diperlukan disini.
c. Reumatik kumat: pada penderita dengan catatan penyakit

1. Karditis
Penemuan penting pada demam reumatik akut adalah pankarditis yang
melibatkan perikardium, epikardium, miokardium, dan endokardium. Karditis
adalah satu-satunya sisa demam reumatik akut yang mengakibatkan perubahan
kronis. Manifestasi yang lazim adalah bukti adanya insufisiensi valvula, paling
sering mengenai katup mitral, tetapi katup mitral dan aorta mungkin terkena.
Keterlibatan katup aorta murni jarang. Katup trikuspidal atau keterlibatan katup
pulmonal tidak biasa.(2)
Pada fase akut biasanya terjadi insufisiensi, dan bila terjadi stenosis
menandakan bahwa prosesnya telah berlangsung bertahun/berpuluh tahun setelah
fase akut. Tanda-tanda klinik dari karditis akut ialah takikardia dan murmur, dan
pada derajat sedang/berat dapat dijumpai kardiomegali, gagal jantung kongestif
(ditandai oleh hepatomegali, edema tepi dan paru). Regurgitasi mitral ditandai
adanya murmur holosistolik bernada tinggi di apeks jantung dan menjalar ke
aksila kanan. Regurgitasi mitral yang hebat dapat disertai oleh murmur middiastolik di apeks disebabkan oleh stenosis relatif dari katub mitral. Insufisiensi
aorta ditandai oleh adanya murmur diastolik bernada tinggi, dekresendo
terdengar di garis sternum kiri bagian atas. Konsekuensi utama dari demam
reumatik akut ialah kelainan katub yang bersifat progresif dan kronik terutama
berupa stenosis katub yang mungkin memerlukan penggantian katub dan
konsekuensi terjadinya endokarditis infektif.(2)
2. Khorea
Khorea Sydenham, suatu bagian unik sindrom demam reumatik, terjadi jauh
lebih lambat daripada manifestasi lain. Gerakan khorea athetoid ini dapat mulai
dengan sangat tidak kentara. Periode laten pasca faringitis streptokokus dapat

selamam beberapa bulan, dan gerakan sering amat sukar untuk dideteksi pada
permulaannya. Namun, pada anamnesis orang tua dan guru yang teliti biasanya
menunjukkan bukti bertambah nya kecanggungan. Khorea Sydenham terjadi
pada kurang lebih 10-15% kasus demam reumatik akut, biasanya neurobehaviour
bersifat tunggal dan berlangsung secara samar dengan ditandai oleh emosi labil,
inkoordinasi, prestasi sekolah buruk, gerakan tidak terkendali, dan ekspresi
wajah grimace yang timbul bila stres dan hilang waktu tidur. Beberapa manuver
untuk mengetahui adanya korea ialah gerakan memerah susu, bila lengan
ekstensi terjadi gerakan menyendok, bila lidah dijulurkan akan terlihat seperti
gerakan cacing, dan gangguan motorik waktu menulis. Khorea jarang
menimbulkan sekuele bersifat menetap. (2)
3. Eritema marginatum
Ruam unik yang ditemukan pada penderita demam reumatik merupakan
manifestasi mayor lain yang sukar didiagnosis. Eritema ini sangat jarang terjadi,
karenanya sedikit klinisi yang telah mempunyai pengalaman yang luas dalam
mengenalinya. Pada awal penyakit eritema ini nampak sebagai makula merah
muda non spesifik, ditengahnya terlihat pucat, menjadi lebih nyata bila terkena
panas, tidak disertai rasa gatal, terdapat ditubuh dan ekstremitas, dan tidak
terdapat di wajah. (2)
4. Nodulus subkutan
Lesi ini jarang terjadi dengan insiden 1%, nodulus ukuran kacang polong
1 cm adalah keras dan tidak sakit, serta tidak ada radang. Nodulus ini khas
ditemukan pada permukaan ekstensi sendi, seperti lutut dan siku. (2)
Manifestasi minor jauh kurang spesifik tetapi diperlukan untuk memperkuat
diagnosis demam reumatik. Kriteria minor ini meliputi tanda-tanda klinis demam
dan artralgia. Artralgia ada jika penderita merasa tidak enak pada sendi ketika
tidak ada tanda-tanda objektif (misalnya nyeri, merah, hangat)pada pemeriksaan
fisik. (Artralgia tidak dapat dimasukkan dalam memperkuat kriteria Jones jika ada
arthtritis). Demam mungkin ada, biasanya tidak lebih tinggi daro 101F atau

102F. Demam yang tinggi 103 atau 104F memerlukan re-evaluasi yang teliti
dan pertimbangan diagnosis lain. (2)
Termasuk kriteria minor adalah beberapa uji laboratorium. Reaktan fase akut
seperti LED atau protein C-reaktif, yang mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik
untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan) dan digunakan oleh beberapa
klinisi sebagai pedoman untuk mengubah dosis obat-obat anti radang.
Pemanjangan interval P-R pada EKG juga termasuk pada kriteria minor. Ini juga
merupakan tanda non spesifik dan harus digunakan hanya sesudah pertimbangan
yang cermat. (2)
Bukti adanya infeksi Streptokokus Grup A, merupakan salah satu dari segisegi kriteria Jones yang paling penting. Harus ada bukti infeksi streptokokus grup
A yang mendahului yang tercatat dengan biakan tenggorok yang positif, riwayat
demam skarlet, atau kenaikan antibodi streptokokus seperti streptolisin O (ASO),
antideoksiribonuklease B (anti-DNAse B), atau antihialuronidase (AH). Diagnosis
demam reumatik tidak harus dipandang secara serius pada penderita tanpa adanya
bukti infeksi stretokokus grup A baru (kecuali untuk khorea dan karditis). Sekitar
80% individu dengan demam reumatik mengalami kenaikan titer ASO, tetapi jika
dua titer antibodi stretokokus tambahan juga naik atau meningkat, kenaikan
setidak-tidaknya satu antibodi terdapat lebih daripada 95% penderita demam
reumatik.(2)
Ada tiga golongan penderita yang dapa didiagnosis sebagai menderita demam
reumatik akut walaupun tidak ada dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor, seperti yang telah disesuaikan dengan kriteria Jones. Tiga
golongan ini dengan kuat mempertimbangkan demam reumatik jika ada khorea
dan karditis yang berjalan lamban tanpa penyebab yang lain yang mungkin.
Lagipula, kumat demam reumatik harus dipikirkan pada penderita dengan demam
reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya yang mempunyai bukti
infeksi streptokokus baru dengan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor. (2)

F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada satu uji laboratorium spesifik yang dapat memperkuat diagnosis
demam reumatik akut. Bukti laboratorium adanya infeksi streptokokus
sebelumnya diperkuat oleh organisme itu sendiri (biakan) atau bukti adanya
respon imun terhadap antigen streptokokus grup A, walaupun uji deteksi antigen
cepat tersedia. Semua penderita yang dicurigai menderita demam reumatik harus
sekurang-kurangnya dilakukan satu kali biakan tenggorok sebelum mulai terapi
antibiotik. (2)
Uji antibodi streptokokus merupakan metode lain yang mendokumentasikan
adanya infeksi streptokokus grup A sebelumnya. Uji yang paling sering
digunakan adalah uji ASO. Uji lain yang mungkin diguanakan adala anti-DNAse
B dan uji AH. Uji skrining aglutinasi yang tersedia di pasaran kurang memuaskan
karena kesukaran tekniknya. Kenaikan titer antibodi jelas merupakan bukti
adanya infeksi streptokokus grup A sebelumnya, tetapi cara memperagakan
infeksi sebelumnya yang lebih dapat dipercaya adalah dengan menunjukkan
kenaikan titer antara serum akut dan konvalesen. Ujia ASO mencapai puncaknya
3-6 minggu sesudah infeksi, sedang uji anti-DNAse B mencapai puncaknya
sedikit lebih lambat (6-8 minggu). Jika serum akut dan konvalesen diuji, mereka
harus diuji bersamaan. Penentuan harga kenaikan titer dapat bervariasi menurut
umur penderita, interval sejak infeksi streptokokus, dan populasi. (2)
Reaktan fase akut seperti LED atau PCR biasanya naik pada permulaan
demam reumatik akut. Namun, uji ini tidak spesifik. Penentuan faktor reumatoid,
uji untuk adanya antibodi nuklear, dan penentuan kadar kompelemen jarang
membantu dalam membuat diagnosis demam reumatik akut. Kadang-kadang,
kenaikan nonspesifik gamma globulin serum dapat ditemukan. (2)
Elektrokardiogram dapat menunjukkan blokade jantung pertama
(pemanjangan interval PR), dan pada keadaan yang jarang, blokade dearajat 2
atau 3 dapat juga ada. Pada serangan pertama elektrokardiogram biasanya tidak
luar biasa. Pada penderita penyakit jantung reumatik kronis manifestasi

elektrokardiografi akibat penyakit jantung, seperti pembesaran atrium kiri,


mungkin jelas. (2)
G. Penatalaksanaan demam rematik
Manajemen demam rematik akut dapat dibagi dalam 3 pendekatan.
1. Pengobatan infeksi Streptococcus Grup A yang menyebabkan penyakit,
Semua penderita yang datang dengan demam rematik akut harus diobati untuk
infeksi Streptococcus grup A pada saat diagnosis dibuat, apakah organisme pada
mulanya diisolasi dari organisme atau tidak. Sepuluh hari penuh dengan antibiotik
oral yang tepat atau satu injeksi intramuscular benzatin penisilin G 1.200.000 unit
dianjurkan. Karena pengobatan secara intramuscular dengan benzatin penisilin G
dapat mengalami kenaikan LED non spesifik, beberapa klinisi memilih mengobati
penderita pada mulanya dengan penisilin oral. Sulfadiazin merupakan agen yang
tidak tepat untuk pengobatan faringitis Streptococcus akut. (1)(5)

Tabel 2. Pencegahan primer dan sekunder demam rematik(2)


2. Penggunaan agen anti radang untuk mengendalikan manifestasi penyakit
Ada tiga manifestasi sistemik demam rematik akut yang padanya diberikan
terapi segera. Manifestasi ini adalah artritis, karditis, dan korea Sydenham.
Salisilat memberikan penyembuhan segera dan dramatis pada penderita dengan
artritis demam rematik akut. Poliartritis migrans yang sangat nyeri dapat
disembuhkan dalam 12-24 jam dengan penggunaan salisilat. Pemberian salisilat
awal pada penderita yang dicurigai menderita demam rematik sebelum diagnosis
ditegakkan dengan pasti dapat mengaburkan diagnosis dengan mengganggu

perkembangan penyakit artritis migrans. Karenanya, salisilat atau agen antiradang


lain harus dihentikan sampai perjalanan penyakit klinisnya jelas dengan
sendirinya. Untuk penderita dengan artritis yang sangat sakit, dapat diberikan
pereda dengan menggunakan dosis kecil kodein atau obat yang serupa, karena
obat-obat tersebut tidak mengganggu perjalanan maju dan diagnosis penyakit
selanjutnya.kortikosteroid jarang terindikasi untuk pengobatan artritis demam
rematik. Tidak ada penelitian yang tersedia yang mencatat kemanjuran agen anti
radang non steroid lain pengobatan demam rematik. Untuk penderita dengan
karditis ringan tanpa bukti adanya gagal jantung kongestif, terindikasi salisilat
saja. Namun pada penderita dengan gagal jantung kongestif atau manifestasi
karditis lain yang berarti, diperlukan kortikosteroid. Tidak ada bukti yang
memastikan bahwa penggunaan salisilat atau kortikosteroid bermanfaat dalam
mencegah penyakit jantung rematik. Hal ini berbeda dengan kesan klinis bahwa
kortikosteroid mungkin mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada
penderita dengan karditis sedang sampai berat, terutama mereka yang terbukti ada
gagal jantung. (2)
Pemberian steroid harus dibatasi baik jumlahnya ataupun lamanya untuk
mengurangi efek sampingnya yang tidak baik. Pada kebanyakan anak, dosis total
2,5 mg/kg/24 jam prednisone dibagi dalam dua dosis adalah tepat. Pemberian
steroid singkat sekitar 2-3 minggu biasanya cukup, tergantung pada respons
penderita secara klinis dan pada uji laboratorium (LED, PCR). Walaupun
pemberian steroid singkat dalam dosis ini, efek samping mungkin terjadi,
termasuk beberapa perubahan cushingoid dan hipertensi. Pemberian steroid
selang sehari dapat mengurangi efek sampingtersebut, tetapi penelitian terkendali
belum dilakukan. Dosis harus dikurangi sedikit demi sedikit, bukannya dihentikan
secara mendadak. (2)
Salisilat harus diberikan dalam dosis yang menimbulkan kadar darah 20-25
mg/dL. Biasanya 90-120 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi 4 adalah cukup
uuntuk mencapai kadar ini dalam darah. Namun, kadar salisilat serum harus

dengan hati-hati dipantau. Fungsi hati harus dipantau.

Pada penderita yang

mendapat kortikosteroid untuk terapi karrditis, dianjurkan untuk menambah


salisilat pada steroid, terutama bila dosis mulai diturunkan untuk mencegah
kemungkinan rebound rematik. (2)
Pada pasien dengan karditis, prednisone (dosis 2 mg/kg/hari diberikan selama
2-6 minggu, dosis jangan melebihi 60-80 mg/hari) diindikasikan pada kasus
dengan karditis. Pada karditis ringan dan sedang dianjurkan pemberian aspirin
dengan dosis 90-100 mg/kg/hari dibagi dalam 4-6 kali pemberian. Dosis
diteruskan untuk 4-8 minggu bergantung pada respons klinik. Bila didapati
perbaikan, dosis tapering selama 4-6 minggu disertai pemantauan reaksi fase akut.
(2)

Pada pasien dengan artritis, aspirin (dosis 100 mg/kg/hari) diberikan untuk 2
minggu dan dosis perlahan-lahan diturunkan setelah 2-3 minggu. Gejala artritis
yang segera menghilang setelah pemberian aspirin dalam 24-36 jam, sangat
menyokong artritis yang disebabkan demam rematik.
Hanya

Karditis

(1)

Karditis

artritis
minimal
sedang
Karditis berat
Prednison
0
0
2-4 minggu
2-6 minggu
Aspirin
1-2 minggu
2-4 minggu
6-8 minggu
2-4 bulan
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan anti inflamasi pada demam rematik(1)
Ket:

Dosis Prednison 2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis


Aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 6 dosis
Dosis prednison ditappering
Dosis aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kg/hari setelah 2 minggu
pengobatan

3. Terapi pendukung yang lain, termasuk manajemen gagal jantung kongestif,


jika gagal jantung ini terjadi
Gagal jantung kongestif harus diobati dengan teknik konvensional. Diuretik
terindikasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif berat. Glikosida jantung

seperti digitalis juga dapat digunakan, walaupun biasanya dengan dosis yang
relatif kecil. Dahulu, Tirah baring digunakan terutama pada dua kelompok
penderita. Kelompok pertama adalah kelompok yang menderita artritis, tetapi ini
biasanya bukan merupakan faktor sesudah terapi salisilat 24 jam. Tirah baring
yang ketat tidak diperlukan. Kelompok kedua adalah penderita dengan karditis,
terutama dengan gagal jantung. Kadang-kadang steroid, tirah baring dan
antikongestif tidak efektif dalam mengobati karditis demam rematik. Pada kasus
yang jarang ini, pembedahan kardiovaskular dengan penggantian katup atau
valvuloplasti mungkin diperlukan. (2)
Lamanya tirah baring tergantung kondisi penderita. Digoksin dapat
digunakan, walaupun penggunaan digoksin pada penderita demam rematik masih
kontroversi karena resiko intoksikasi dan aritmia. (1)
Pengobatan khorea Sydenham adalah kontroversial. Pada mulanya,
fenobarbital atau sedative lain digunakan, kemudian klorpromazin menjadi
popular, diresepkan pada penderita dengan khorea ringan. Pada penderita dengan
khorea berat, haloperidol telah digunakan dengan berhasil. Tidak ada terapi
spesifik untuk eritema marginatum atau nodulus subkutan demam rematik.
Penderita khorea dianjurkan mengurangi stress fisik dan emosi. Penggunaan
antiinflamasi masih kontroversi dan tidak diperlukan pada penderita dengan
khorea murni. Untuk khorea yang berat dapat digunakan fenobarbital (dosis 1530 mg tiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan
sampai 2 mg setiap 8 jam). Selain itu dapat juga digunakan asam valproate,
klorpromazine dan diazepam.(2)

G. Komplikasi demam rematik


Komplikasi demam rematik adalah perkembangan penyakit katup jantung
rematik. Tidak ada manifestasi lain yang mengakibatkan penyakit kronis. Katup
mitral paling sering terlibat, tetapi katup aorta dan tricuspid dapat terkena.
Biasanya, katup tricuspid menjadi terlibat hanya pada penderita yang menderita

penyakit katup mitral dan aorta yang berarti yang menyebabkan hipertensi
pulmonal. (2)
Insufisiensi mitral berat dapat mengakibatkan gagal jantung yang dapat
dipercepat oleh penjelekan proses rematik, mulainya fibrilasi atrium dengan
respons ventrikel cepat atau endocarditis infektif. Sesudah bertahun-tahun,
pengaruh insufisiensi mitral kronis dapat menjadi nyata secara klinis tanpa
kejadian rematik baru. Gagal jantung sisi kanan dapat disertai dengan insufisiensi
katup trikuspidal atau pulmonal. Kadang-kadang tampak ekstrasistol atrium atau
ventrikel. Fibrilasi atrium lebih sering bila insufisiensi mitral disertai dengan
atrium kiri yang besar. Penderita dengan fibrilasi atrium biasanya memerlukan
antikoagulasi untuk pencegahan tromboemboli dan stroke. (2)
Lesi katup mitral paling banyak dikenai (52,9%) diikuti lesi katup multiple
(39,7%) dan lesi katup aorta (7,3%).(2)
H. Prognosis demam rematik
Pada demam rematik hanya kelainan jantung yang dapat menetap,
meninggalkan sekuele. Kelainan sendi bagaimanapun juga beratnya, selalu akan
sembuh sempurna tanpa gejala sisa. Juga tidak akan ada kelainan syaraf yang
menetap, kecuali episode serangan korea berulang. Jadi prognosis pasien terutama
ditentukan oleh kelainan jantung pada fase akut dan gejala sisi kelainan
jantungnya. Prognosis lebih buruk pada pasien yang berumur dibawah 6 tahun,
atau bila pemberian profilaksis sekunder tidak adekuat sehingga terdapat
kemungkinan terjadinya reaktivasi penyakit. (3)
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat
keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat,
komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%)
namun masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain
menurunkan

mortalitas,

perkembangan

penisilin

juga

mempengaruhi

kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan


demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi

penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin


yaitu hanya sebesar 9-39%. (3)
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut
hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka
penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur.
Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat
memberikan prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung
yang berat. (3)

DAFTAR PUSTAKA
1. Aditiawati, Bahrun, D, Herman, E, Prambudi, Editors. IDAI Palembang, Naskah
lengkap sinas nefrologi anak VIII SINAS kardiologi anak V Tema: Mendekatkan
pelayanan ginjal dan jantung anak pada masyarakat;2001.
2.

Todd, J, In: Nelson, WE (Ed.): Nelson Ilmu


Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2, Jakarta: EGC, 2000: 929-36.

3.

Chazwin, 2013. Referat Demam Rematik (serial


online)

(cited

2014

Jan

29).

Available

from:

URL:

http://www.scribd.com/doc/190630647/105377855-Referat-Demam-RematikWilson.
4. Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak Dengan Demam, Jakarta:
Sagung Seto, 2012.
5.

Rauf, S, Albar, H, Adoe, TH, Hasanuddin, A,


editors. Naskah Lengkap Nefrologi, Kardiologi, dan Gizi. Simposium Nasional
Nefrologi Anak VII dan Pertemuan Ilmiah Berkala Ilmu Kesehatan Anak VIII FK
UNHAS; 1998.

Anda mungkin juga menyukai