Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Menurut

Undang-Undang

Kesehatan

No.29,

2004

bahwa

pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan


dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal.
Dalam upaya mencapai visi dan misi pemerintah daerah Kabupaten
Majalengka dengan melihat permasalahan dan pencapaian IPM khususnya
sektor kesehatan, maka dibutuhkan masyarakat yang sehat dan memiliki
kemampuan serta akses terhadap semua program pembangunan termasuk
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM),

melalui

pembangunan

kesehatan

Kabupaten

Majalengka

diformulasikan dalam Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka yaitu


MAJALENGKA SEHAT 2OO8 (Dinas Kesehatan Kabupaten
Majalengka, 2006 : 4).
Dengan visi Majalengka Sehat 2008 tidak berarti bahwa pada tahun
2008 tidak ada lagi penduduk Majalengka yang sakit, namun diartikan pada
tahun 2008 diharapkan setiap penduduk/orang di Kabupaten Majalengka
sudah memiliki keterjangkauan/aksebilitas terhadap pelayanan kesehatan
serta keterjangkauan terhadap berbagai peluang untuk mengembangkan

kemampuan hidup sehat melalui kesadaran berperilaku hidup sehat (Dinas


Kesehatan Kabupaten Majalengka Tahun 2006 : 5).
Di Indonesia Angka Kematian Baru Lahir (AKBBL) saat ini masih
jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 sesuai dengan
kesepakatan sasaran pembangunan millennium. Hasil Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002 2003, jadi Angka Kematian Bayi Baru
Lahir (AKBBL) di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup atau
dua kali lebih besar dari target WHO sebesar 15 per 1000 kelahiran hidup.
Menurut Menteri Kesehatan 2007, berdasarkan Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001, penyebab kematian bayi baru lahir di
Indonesia diantaranya asfiksia 27%, BBLR 29%, tetanus neonatorum 10%,
masalah pemberian makanan 10%, gangguan hematologik 6%, infeksi 5%,
dan lain-lain 13%.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Propinsi Jawa Barat masih tinggi bila
dibandingkan dengan angka nasional yaitu 321,15 per 100.000 kelahiran
hidup (BPS, 2003). Penyebab langsung kematian bayi adalah asfiksia,
komplikasi pada bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan infeksi.
Penyebab tidak langsung AKB adalah faktor lingkungan, perilaku, genetik
dan pelayanan kesehatan sendiri (Retnasih, 2005).
Di Kabupaten Majalengka Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007
adalah 41,25 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini masih diatas target dalam
indikator Majalengka Sehat Tahun 2008, yakni < 35 per 1000 kelahiran
hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2007). Berdasarkan data

dari Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2007 jumlah


kematian bayi di Kabupaten Majalengka sebanyak 346 kasus. Penyebabnya
adalah BBLR, Asfiksia neonatorum, infeksi, tetanus neonatorum dan lainlain. Dari data Dinas Kesehatan Majalengka tahun 2007 bahwa penyebab
kematian bayi terbesar kedua adalah asfiksia yaitu 69 kasus (19,94%) dari
346 bayi meninggal.
Menurut data medis RSUD Cideres tahun 2007 jumlah seluruh bayi
tahun 2007 yang dirawat di ruang Perinatologi yaitu 1.073 bayi, bahwa
kejadian asfiksia di RSUD Cideres yaitu 215 bayi, angka BBLR tahun 2007
adalah 279 bayi. Jumlah BBLR dengan Asfiksia adalah 107 bayi. Sedangkan
jumlah seluruh angka kematian bayi pada tahun 2007 yaitu 102 bayi.
Penyebab utamanya ialah BBLR dengan asfiksia 23 kasus (22,55%),
pneumonia 6 kasus (5,9%) dan lain-lain 73 kasus (71,6%). Dari data Rekam
Medik RSUD Cideres tahun 2007 kejadian BBLR dan asfiksia masih tinggi,
sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
Hubungan Antara BBLR Dengan Terjadinya Asfiksia di Rumah Sakit
Umum Daerah Cideres Tahun 2007.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah pokok yang diuraikan dalam latar belakang di
atas, maka dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut : Belum
diketahuinya hubungan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia di Rumah
Sakit Umum Daerah Cideres Tahun 2007.

Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas maka pertanyaan


penelitian adalah Apakah ada hubungan antara BBLR dengan terjadinya
asfiksia di SUD Cideres Majalengka pada tahun 2007?.

1.3
1.3.1

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan terjadinya
asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun 2007.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui distribusi frekwensi kasus BBLR di RSUD Cideres
tahun 2007.
1.3.2.2 Untuk mengetahui distribusi frekwensi kasus asfiksia di RSUD Cideres
tahun 2007.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia di
RSUD tahun 2007.

1.4

Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah secara khusus akan meneliti
tentang BBLR sebagai variabel bebas dan Asfiksia sebagai variabel terikat di
Rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun 2007.

1.5

Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan


Untuk dokumentasi agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.

1.5.2 Manfaat Bagi Institusi Rumah Sakit


Dapat mengetahui hubungan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia
sehingga dapat mengantisipasi kejadian asfiksia akibat BBLR.

1.5.3

Manfaat Bagi Penulis


Sebagai aplikasi antara ilmu yang didapat di pendidikan dengan
kondisi nyata di lapangan. Untuk menambah wawasan, pola pikir,
pengalaman dan meningkatkan pengetahuan tentang hubungan antara
BBLR dengan terjadinya asfiksia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

2.1.1 Definisi
BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran
kurang dari 2.500 gram (sampai 2.499 gram) (Jumiarni, 1995 : 73). BBLR
adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang 2.500 gram tanpa
memandang masa kehamilan. BBLR ialah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram)
(Prawirohardjo, 2006 : 376).
WHO (1961) mengganti istilah bayi prematur dengan Berat Badan
Bayi Lahir Rendah. Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi dengan berat
badan kurang dari 2.500 gram pada waktu lahir bayi prematur.
Bayi dengan berat badan lahir rendah dibagi 2 golongan yaitu :
2.1.1.1 Prematur Murni
Prematur Murni, yaitu bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37
minggu dan berat badan sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan
(Ester 2003 : 30-31).
2.1.1.2 Dismaturitas
Dismaturitas adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari
berat badan seharusnya untuk masa kehamilan, hal ini karena mengalami
gangguan pertumbuhan dalam kandungan dan merupakan bayi yang kecil
untuk masa kehamilannya (Ester 2003 : 30-31).

Masalah bayi dismatur (Ester 2003 : 30-31) :


a. Sindrom aspirasi mekonium
Hipoksia intrauterin akan mengakibatkan janin mengalami gasping
dalam uterus. Selain itu mekonium akan dilepaskan dan bercampur
dengan cairan amnion. Cairan amnion yang mengandung mekonium
akan masuk ke dalam paru janin karena inhalasi. Ketika bayi lahir akan
menderita gangguan pernapasan karena melekatnya mekonium dalam
saluran pernapasan.
b. Hipoglikemia simtomatik
Keadaan ini terutama terdapat pada bayi laki-laki, penyebabnya belum
jelas, mungkin karena cadangan glikogen yang kurang pada bayi
dismatur. Diagnosis dibuat setelah pemeriksaan kadar gula darah,
dinyatakan hipoglikemia bila kadar gula darah kurang dari 20 mg/dL
pada bayi berat lahir rendah.
c. Penyakit membran hialin
Penyakit ini diderita bayi dismatur yang preterm terutama bila masa
gestasi kurang dari 35 minggu, hal ini disebabkan karena pertumbuhan
surfaktan paru yang belum cukup.
d. Hiperbilirubinemia
Bayi dismatur lebih sering menderita hiperbilirubinemia dibandingkan
bayi yang beratnya sesuai dengan masa kehamilan. Berat hati bayi
dismatur kurang dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan
gangguan pertumbuhan hati.

e. Asfiksia neonatorum
Bayi

dismatur

lebih

sering

menderita

asfiksia

neonatorum

dibandingkan bayi biasa. Membedakan bayi prematur murni atau


dismatur penting karena :
1. Morbiditas yang berlainan
2. Prematuritas murni mudah menderita komplikasi membran hialin,
perdarahan intraventrikuler, pneumonia aspirasi
3. Bayi dismatur mudah menderita sindrom aspirasi mekonium,
hipoglikemia simtomatik dan hiperbilirubinemia
4. Bayi dismatur yang preterm dapat menderita komplikasi bayi
dismatur dan bayi prematur
5. Bayi dismatur harus mendapat makanan dini yang lebih dini dari
bayi prematur
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram)
(Prawirohardjo, 2001 : 376).
Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, Bayi Berat
Lahir Rendah dibedakan dalam :
a. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1.500 2.500 gram.
b. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir < 1.500 gram.
c. Bayi Berat Lahir Ekstrem Rendah (BBLER), berat lahir < 1.000 gram.

2.1.2 Etiologi
BBLR dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Jumarni, dkk., 1994
74), yaitu :
2.1.2.1 Faktor ibu, meliputi penyakit yang diderita ibu misalnya, tosemia
gravidarum, perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis, nefritis
akut, diabetes melitus, dan lain-lain. Usia ibu saat hamil lebih dari 35
tahun, multi gravida yang jarak kelahirannya terlalu dekat, dan lain-lain.
Keadaan sosial ekonomi, golongan sosial ekonomi dan perkawinan yang
tidak sah. Sebab lain termasuk karena ibu adalah seorang perokok dan
peminum minuman beralkohol atau pengguna narkotika.
2.1.2.2 Faktor janin, meliputi hidramnion, kehamilan ganda, kelainan kromosom,
dan lain-lain.
2.1.2.3 Faktor lingkungan, meliputi tempat tinggal, radiasi dan zat-zat beracun.
2.1.3

Faktor-Faktor Penyebab BBLR


Menurut Manuaba (1998, : 326), faktor-faktor yang mengakibatkan
terjadinya BBLR adalah :

2.1.3.1 Faktor Ibu


a. Gizi saat hamil yang kurang
Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk terhadap janin
seperti prematuritas, gangguan pertumbuhan janin, kelahiran mati
maupun kematian neonatal dini. Penentuan status gizi yang baik yaitu
dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikkan berat
badan selama hamil (Setyowati, 1996).

10

b. Umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun


Ibu-ibu yang terlalu muda seringkali secara emosional dan fisik
belum matang, selain pendidikan pada umumnya rendah, ibu yang
masih muda masih tergantung pada orang lain. Kelahiran bayi BBLR
lebih tinggi pada ibu-ibu muda berusia kurang dari 20 tahun (Doenges,
2001 : 148).
Pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi
kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga
dapat mempengaruhi janin intra uterin dan dapat menyebabkan
kelahiran BBLR (Setyowati, 1996).
Faktor usia ibu bukanlah faktor utama kelahiran BBLR, tetapi
kelahiran BBLR tampak meningkat pada wanita yang berusia di luar
usia 20 sampai 35 tahun (Departemen Kesehatan, 1996 : 14).
c. Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat
Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan
pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan perdarahan pada
saat persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik
(Departemen Kesehatan, 1998 : 33).
Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan
(dibawah dua tahun) akan mengalami peningkatan resiko terhadap
terjadinya perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan
placenta previa, anemia dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah (Ilyas, 1995 : 106).

11

d. Paritas ibu
Jumlah anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan
pertumbuhan janin sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah
lemah (Departemen Kesehatan, 1998 : 33).
2.1.3.2 Faktor Kehamilan
a. Hamil Dengan Hidramnion
Hidramnion

yang

kadang-kadang

disebut

polihidramnion

merupakan keadaan cairan amnion yang berlebihan. Hidromnion dapat


menimbulkan persalinan sebelum kehamilan 28 minggu, sehingga
dapat menyebabkan kelahiran prematur dan dapat meningkatkan
kejadian BBLR (Cuningham, 1995 : 625).
b. Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada kehamilan
diatas 22 minggu hingga mejelang persalinan yaitu sebelum bayi
dilahirkan (Saifuddin, 2002 : 160). Komplikasi utama dari perdarahan
antepartum adalah perdarahan yang menyebabkan anemia dan syok
yang menyebabkan keadaan ibu semakin jelek. Keadaan ini yang
menyebabkan gangguan ke placenta yang mengakibatkan anemia pada
janin bahkan terjadi syok intrauterin yang mengakibatkan kematian
janin intrauterin (Wiknjosastro, 1999 : 365). Bila janin dapat
diselamatkan, dapat terjadi berat badan lahir rendah, sindrom gagal
napas dan komplikasi asfiksia (Mansjoer, 1999 : 279).

12

c. Komplikasi Hamil
1. Pre-eklampsia / Eklampsia
Pre-eklampsia / Eklampsia dapat mengakibatkan keterlambatan
pertumbuhan janin dalam kandungan atau IUGR dan kelahiran
mati. Hal ini disebabkan karena Pre-eklampsia / Eklampsia pada
ibu akan menyebabkan perkapuran di daerah placenta, sedangkan
bayi memperoleh makanan dan oksigen dari placenta, dengan
adanya perkapuran di daerah placenta, suplai makanan dan oksigen
yang masuk ke janin berkurang (Ilyas, 1995 : 5).
2. Ketuban Pecah Dini
Ketuban dinyatakan pecah sebelum waktunya bila terjadi sebelum
proses persalinan berlangsung. Ketuban Pecah Dini (KPD)
disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran yang
diakibatkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan
serviks (Mansjoer. 1999 : 310). Pada persalinan normal selaput
ketuban biasanya pecah atau di pecahkan setelah pembukaan
lengkap, apabila ketuban pecah dini, merupakan masalah yang
penting dalam obstetri yang berkaitan dengan penyulit kelahiran
prematur dan terjadinya infeksi ibu (Mansjoer, 1999 : 313).
3. Hipertensi
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan
vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam
kehamilan atau pada permulaan persalinan, hipertensi dalam

13

kehamilan menjadi penyebab penting dari kelahiran mati dan


kematian neonatal (Sukadi,2000:3). Ibu dengan hipertensi akan
menyebabkan terjadinya insufisiensi placenta, hipoksia sehingga
pertumbuhan janin terhambat dan sering terjadi kelahiran prematur
(Sukadi, 2000;6).
2.1.3.4 Faktor Janin
a. Cacat Bawaan (kelainan kongenital)
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur
(Wiknjosastro, 1999 : 723). Bayi yang dilahirkan dengan kelainan
kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) atau bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi
Berat Lahir Rendah dengan kelainan kongenital yang mempunyai
berat kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya
(Wiknjosastro, 1999 : 723).
b. Infeksi Dalam Rahim
Infeksi hepatitis terhadap kehamilan bersumber dari gangguan
fungsi hati dalam mengatur dan mempertahankan metabolisme tubuh,
sehingga aliran nutrisi ke janin dapat terganggu atau berkurang. Oleh
karena itu, pengaruh infeksi hepatitis menyebabkan abortus atau
persalinan prematuritas dan kematian janin dalam rahim (Manuaba,
1998 : 277).

14

Wanita hamil dengan infeksi rubella akan berakibat buruk terhadap


janin. Infeksi ini dapat menyebabkan bayi berat lahir rendah, cacat
bawaan dan kematian janin (Mochtar, 1998 : 181).
c. Hamil Ganda
Berat badan kedua janin pada kehamilan kembar tidak sama, dapat
berbeda antara 50 sampai 1.000 gram, karena pembagian darah pada
placenta untuk kedua janin tidak sama (Wiknjosastro, 1999 : 391).
Regangan pada uterus yang berlebihan kehamilan ganda salah satu
faktor yang menyebabkan kelahiran BBLR (Departemen Kesehatan,
1996 : 14). Pada kehamilan ganda distensi uterus berlebihan, sehingga
melewati batas toleransi dan sering terjadi partus prematus. Kebutuhan
ibu akan zat-zat makanan pada kehamilan ganda bertambah yang dapat
menyebabkan anemia dan penyakit defisiensi lain, sehingga sering
lahir bayi yang kecil. Kematian perinatal anak kembar lebih tinggi
daripada anak dengan kehamilan tunggal dan prematuritas merupakan
penyebab utama (Wiknjosastro, 1999 : 393).

2.1.4

Prognosis BBLR
Prognosis BBLR ini tergantung dari berat ringannya masalah
perinatal, misalnya masa gestasi. Makin muda masa gestasi atau makin
rendah berat bayi makin tinggi angka kematian. Prognosis ini juga
tergantung dari keadaaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan
perawatan pada saat kehamilan, persalinan dan postnatal. Bayi Berat Lahir

15

Rendah cenderung memperlihatkan gangguan pertumbuhan setelah lahir


(Wiknjosastro, 1999 : 783).
2.1.4.1 Masalah Bayi Dengan BBLR
Menurut Manuaba (1998 : 327), menghadapi bayi BBLR harus
memperlihatkan masalah-masalah berikut :
a. Suhu tubuh yang belum stabil
1. Pusat mengatur napas badan masih belum sempurna
2. Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya bertambah
3. Otot bayi masih lemah
4. Lemak kulit dan lemak coklat kurang, sehingga cepat kehilangan
panas
5. Pusat pengaturan suhu yang belum berfungsi dengan baik
b. Gangguan pernapasan
1. Pusat pengaturan pernapasan belum sempurna
2. Surfaktan paru-paru masih kurang, sehingga perkembangan tidak
sempurna
3. Otot pernapasan dan tulang iga masih lemah
4. Penyakit gangguan pernapasan : penyakit hialin membran, mudah
terkena infeksi paru-paru dan gagal pernapasan
c. Gangguan alat pencernaan makanan dan problema nutrisi
1. Alat

pencernaan

belum

berfungsi

sempurna

penyerapan makanan masih lemah dan kurang baik

sehingga

16

2. Aktifitas otot pencernaan makanan masih belum sempurna,


sehingga pengosongan lambung berkurang
d. Hepar yang belum matang (immatur)
Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin, sehingga
mudah terjadi hiperbilirubinemia (kuning) dan defisiensi vitamin K.
e. Ginjal masih belum matang
Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme dan air
masih belum sempurna sehingga mudah terjadi edema dan asidosis
metabolic.
f. Perdarahan dalam otak
1.

Pembuluh darah bayi prematur masih rapuh dan mudah pecah

2. Pemberian O2 belum mampu diatur sehingga mempermudah terjadi


perdarahan dan nekrosis
3. Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan menyebabkan
kematian bayi
4. Sering mengalami gangguan pernapasan sehingga mempermudah
terjadi perdarahan otak
Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh
sebab itu, ia mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus
ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna
pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya
komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya. (Prawirohardjo, 2005 :
775). Pada saat persalinan, BBLR mempunyai resiko yaitu asfiksia atau

17

gagal untuk bernapas secara spontan dan teratur saat atau beberapa menit
setelah lahir. Hal itu diakibatkan factor paru yang belum matang. (Kosim,
2008).

2.1.5

Penanganan BBLR

2.1.5.1 Mempertahankan suhu dengan ketat


BBLR mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu suhu tubuhnya harus
dipertahankan dengan ketat.
2.1.5.2 Mencegah infeksi dengan ketat
BBLR sangat rentan akan infeksi, perhatikan prinsip-prinsip pencegahan
infeksi termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi.
2.1.5.3 Pengawasan nutrisi / ASI
Refleks menelan BBLR belum sempurna, oleh sebab itu pemberian nutrisi
harus dilakukan dengan cermat.
2.1.5.4 Penimbangan ketat
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi / nutrisi bayi dan erat
kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat
badan harus dilakukan dengan ketat (Prawirohardjo, 2006 : 377)
2.1.6

Upaya Pencegahan BBLR


Mengingat bahwa perawatan BBLR sebagaimana yang kita ketahui
dilaksanakan di negara maju ataupun di beberapa rumah sakit rujukan di
Indonesia membutuhkan biaya yang sangat besar. Maka upaya pencegahan
pada masa pra hamil dan masa hamil menjadi sangat penting.

18

Pada masa hamil perawatan antenatal harus mampu mendeteksi


dini resiko terjadinya BBLR. Bila resiko ini ada maka penatalaksanaannya
yang tepat adalah merujuk kasus ke pusat pelayanan yang memiliki
kemampuan diagnostik lebih lengkap guna penelitian laboratorium,
sehingga terapi akan ditentukan dengan baik (Arcan, 1995).
Adapun upaya-upaya lain yang dapat dilaksanakan untuk
mencegah terjadinya BBLR :
2.1.6.1 Upaya agar melaksanakan antenatal care yang baik, segera melakukan
konsultasi dan merujuk bila ibu terdapat kelainan.
2.1.6.2 Meningkatkan gizi masyarakat sehingga dapat mencegah terjadinya
persalinan dengan BBLR.
2.1.6.3 Tingkatkan penerimaaan keluarga berencana.
2.1.6.4 Anjurkan lebih banyak istirahat, bila kehamilan mendekati aterm, atau
istirahat berbaring bila terjadi keadaan yang menyimpang dari kehamilan
normal.
2.1.6.5 Tingkatkan kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat
kepercayaan masyarakat (Arcan, 1995).

2.2

Asfiksia

2.2.1 Definisi
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernapas secara spontan dan teratur setelah melahirkan (Prawirohardjo,
2002 : 709). Asfiksia neonatorum dapat diartikan sebagai kegagalan

19

bernapas pada bayi yang baru lahir, sehingga bayi tidak dapat
memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari
tubuhnya (Departemen Kesehatan RI, 1996 : 1).
Asfiksia adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke
berbagai macam organ (Soetomo, 2004 : 1).
Asfiksia adalah keadaan janin dalam rahim yang tertekan, karena
terjadinya hipoksia atau kekurangan nutrisi (Manuaba, 1999 : 255).
2.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya asfiksia menurut (Manuaba, 1999 : 255 256).
2.2.2.1 Faktor Intrauterin
a.

Keadaan Ibu
1. Hipotensi (syok) dengan berbagai sebab
2. Penyakit kardiovaskuler dan paru
3. Anemia / malnutrisi
4. Keadaan asidosis / dehidrasi
5. Sindrom supin-hipotensi (posisi tidur)
6. Penyakit diabetes melitus

b.

Uterus
1. Kontraksi uterus yang berlebihan
2. Gangguan sistem pembuluh darah uterus

c.

Placenta
1. Gangguan pembuluh darah placenta

20

2. Perdarahan pada placenta pravia


3. Solusio placenta
4. Gangguan pertumbuhan placenta
d.

Tali Pusat
1. Kompresi tali pusat
2. Simpul tali pusat
3. Tali pusat terpuntir pada tempat jelli whartom yang lemah
4. Lilitan tali pusat
5. Prolapsus / tali pusat terkemuka

e.

Fetus
1. Infeksi intrauterin
2. Gangguan pertumbuhan intrauterin
3. Perdarahan pada janin
4. Anemia

2.2.2.2 Faktor Umur Kehamilan


a. Persalinan prematur
b. Persalinan presipitatus
c. Persalinan lewat waktu
2.2.2.3 Faktor Persalinan
a. Persalinan memanjang / terlantar
b. Persalinan dengan tindakan operatif
c. Persalinan dengan induksi
d. Persalinan dengan anestesi

21

e. Perdarahan (solusio placenta marginalis)


2.2.2.4 Faktor Buatan (Iatrogenik)
a. Sindrom hipotensi supinasi (posisi tidur)
b. Asfiksia intrauterin pada induksi persalinan
c. Asfiksia intrauterin pada persalinan dengan anestesi
Gangguan menahun dalam kehamilan pada ibu dapat berupa gizi
buruk, anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain. Faktor-faktor
yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu
mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia
bayi (Prawirohardjo, 2005 : 709).
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena
gangguan pertukaran gas serta transportasi O2 dari ibu ke janin sehingga
terdapat

gangguan

dalam

O2

dan

dalam

menghilangkan

CO2

(Prawirohardjo, 2005 : 709).


Penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu :
1.

Gangguan oksigenasi pada ibu hamil

2. Penurunan aliran darah dari ibu ke placenta atau dari placenta ke fetus
3. Gangguan pertukaran gas yang melalui placenta atau fetus
4. Peningkatan kebutuhan fetal oksigen (Soetomo, 2004 : 3)
2.2.3

Klasifikasi Klinis Asfiksia


Klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam :

2.2.3.1 Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih
baik, reaksi rangsangan positif, bunyi jantung reguler, prognosi lebih baik

22

2.2.3.2 Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang,
tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek
2.2.4

Patofisiologi Asfiksia Intrauterin


Pada asfiksia (hipoksia) intrauterin, dengan semakin turunnya
tekanan O2 atau dengan adanya kekurangan nutrisi, maka akan terjadi
perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik dalam pemecahan
glukosa / glikogen (melalui tes) dan protein. Glukosa yang pertama akan
dipecah adalah cadangan dalam lever (hati) dan lemak diubah menjadi
glukosa (Manuaba, 1999 : 259).
Gangguan pertukaran gas dan transpor O2 dapat terjadi karena
kelainan dalam kehamilan atau persalinan yang bersifat menahun atau
mendadak. Kelainan menahun seperti gizi ibu yang buruk atau penyakit
menahun pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain)
dapat ditanggulangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal ibu yang
teratur. Kelainan yang bersifat mendadak yang umumnya terjadi pada
persalinan hampir selalu mengakibatkan anoksia / hipoksia yang berakhir
dengan asfiksia bayi (Kapita Selekta Kedokteran, 1982 : 539).

2.2.5 Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoreksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia dapat dibuat
dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal
yang perlu mendapatkan perhatian (Prawirohardjo, 2005 : 710 - 711) :

23

2.2.5.1 Denyut Jantung Janin


Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 denyutan dalam semenit.
Selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada
keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak
banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai dibawah 100
semenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal ini merupakan
tanda bahaya.
2.2.5.2 Mekonium Dalam Air Ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi
dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
2.2.5.3 Pemeriksaan Darah Janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks
dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah
janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya
pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7.2, hal itu dianggap sebagai
tanda bahaya. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan tandatanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga
perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat
asfiksia, tingkatnya perlu dikenal untuk dapat melakukan resusitasi yang
sempurna. Untuk hal ini diperlukan cara penilaian menurut APGAR.
2.2.6

Klasifikasi

24

2.2.6.1 Tanpa asfiksia (nilai APGAR 8-10).


2.2.6.2 Asfiksia ringan sedang (nilai APGAR 4 7).
2.2.6.3 Asfiksia berat (nilai APGAR 0 3).
2.2.7

Penatalaksanaan
Prinsip resusitasi (Prawirohardjo, 2005 : 711)

2.2.7.1 Menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi dan mengusahakan tetap
bebasnya jalan napas.
2.2.7.2 Memberikan bantuan pernapasan secara aktif kepada bayi dengan usaha
pernapasan buatan.
2.2.7.3 Memperbaiki asidosis yang terjadi.
2.2.7.4 Menjaga agar peredaran darah tetap baik.
Nilai APGAR 7 10 (bayi dinyatakan baik)
Pada keadaan ini bayi tidak memerlukan tindakan istimewa.
penatalaksanaan terdiri dari :
1. Memberikan lingkungan suhu yang baik pada bayi
2. Pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah
3. Kalau perlu melakukan rangsangan pada bayi
(Kapita Selekta Kedokteran, 1982 : 540).
Nilai APGAR 4 6 (asfiksia ringan sedang)
Cara penanganannya :
1. Menerima bayi dengan kain hangat
2. Letakkan bayi pada meja resusitasi

25

3. Bersihkan jalan napas bayi


4. Berikan oksigen 2 liter per menit. Bila berhasil teruskan perawatan
selanjutnya
5. Bila belum berhasil rangsang pernapasan dengan menepuk-nepuk
telapak kaki, bila tidak berhasil juga pasang penlon masker di pompa
60 x / menit
6. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, biasanya
diberikan terapi natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc, dekstrose
40% sebanyak 4 cc, disuntikkan melalui vena umbilikalis masukkan
perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya perdarahan intra kranial
karena perubahan pH darah mendadak (EGC, 1995 : 81).
Nilai APGAR 0 3 (asfiksia berat)
Prawirohardjo (2005 : 712 713) : Resusitasi aktif dalam keadaan
ini harus segera dilakukan. Langkah utama ialah memperbaiki ventiliasi
paru-paru dengan memberikan O2 secara tekanan langsung dan berulangulang. Cara yang terbaik ialah melakukan inkubasi endotrakeal dan setelah
kateter di masukkan ke dalam trakea, O2 diberikan dengan tekanan tidak
lebih dari 30 ml air. Tekanan positif dikerjakan dengan meniupkan udara
yang telah diperkaya dengan O2 melalui kateter. Untuk mencapai tekanan
30 ml, air peniupan yang dapat dilakukan dengan kekuatan kurang lebih
1/3 dari tiupan maksimal yang dapat dikerjakan.
Untuk memperoleh tekanan yang positif yang lebih aman dan
efektif, dapat digunakan pompa resusitasi. Pompa ini dihubungkan dengan

26

kateter trakea, kemudian udara dengan O2 dipompakan secara teratur


dengan memperhatikan gerakan-gerakan dinding toraks. Bila bayi telah
memperlihatkan pernapasan spontan, keteter trakea segera dikeluarkan.
Keadaan asfiksia berat ini hampir selalu disertai asidosis yang
segera membutuhkan bikarbonas natrikus 7,5 dengan dosis 2 4 ml / kg
berat badan. Diberikan dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Untuk
menghindarkan efek samping obat, pemberian harus diencerkan dengan air
steril atau kedua obat diberikan bersama-sama dengan satu semprit melalui
pembuluh darah umbilikus.
Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan
frekuensi jantung menurun (kurang dari 100 permenit) maka pemberian
obat-obat lain serta massege jantung segera dilakukan. Massege jantung
dikerjakan dengan melakukan penekanan diatas tulang dada secara teratur
80 100 per menit. Tindakan ini dilakukan berselingan dengan napas
buatan, yaitu setiap 5 kali massege jantung diikuti dengan satu kali
pemberian napas buatan. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan
kemungkinan

timbulnya

komplikasi

pneumotoraks

atau

pneumomediastinum apabila tindakan dilakukan secara bersamaan.


Di samping massege jantung ini, obat-obatan yang diberikan antara
lain adalah larutan 1 / 10.000 adrenalin dengan dosis 0,5 1 cc secara
intravena / intrakardial (untuk meningkatkan frekuensi jantung) dan
kalsium glukonet 50 100 mg / kg berat badan secara perlahan-lahan
melalui intravena (sebagai obat inotropik).

27

Bila tindakan-tindakan tersebut diatas tidak memberikan hasil yang


diharapkan, hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan
asam dan basa yang belum diperbaiki secara semestinya, adanya
gangguan organik seperti hernia diafragmatika, atresia atau stenosis jalan
napas, dan lain-lain.

2.3

Hubungan BBLR dengan Terjadinya Asfiksia


Bayi prematur secara umum bayi lahir dalam keadaan belum
matang, dan karena itu belum dilengkapi dengan kemampuan untuk
adaptasi fisiologik di luar uterus sehingga terjadi asfiksia (Departemen
Kesehatan RI, 1996 : 15).
Hipoksia sering ditemukan pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Kejadian ini umumnya telah dimulai sejak janin di kandungan, berupa
gawat janin atau terjadinya stres janin pada waktu proses kelahiran.
Akibatnya, bayi mengalami asfiksia (kegagalan bernapas spontan dan
teratur pada menit-menit pertama setelah lahir). Umumnya terjadi akibat
belum matangnya paru-paru, kekurangan bahan surfaktan yang berfungsi
mempertahankan mengembangnya gelembung paru, bayi akan mengalami
sesak napas atau Sindroma Gangguan Napas (SGN) (Kadri, 2008 : 1).
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) cenderung mengalami kesulitan
dalam melakukan transisi akibat berbagai penurunan pada sistem
pernapasan, diantaranya : penurunan jumlah alveoli fungsional, defisiensi
kadar surfaktan, lumen pada sistem pernapasan lebih kecil, jalan napas

28

lebih sering kolaps dan mengalami obstruksi, insufisiensi kalsifikasi tulang


toraks, lemah, kapiler-kapiler paru mudah rusak dan tidak matur. Fungsi
kardiovaskuler mengalami penurunan darah, perlambatan pengisian kapiler
dan gawat napas yang berlanjut walaupun telah dilakukan oksigenasi dan
ventilasi (Jensen, 2004 : 891).
Gangguan pernapasan sering menimbulkan penyakit berat pada
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Hal ini disebabkan oleh kekurangan
surfaktan, pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna,
otot pernapasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah
melengkung, sehingga sering terjadi apneu, asfiksia berat dan sindroma
gangguan pernapasan (Prawirohardjo, 2005 : 776).

29

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Berat badan lahir rendah akan menimbulkan komplikasi medis yang lebih
berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas janin yang dilahirkan, hal ini
disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan pengembangan paru
yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih lemah dan tulang iga yang
mudah melengkung, perdarahan intraventikuler : 50% bayi prematur
menderita perdarahan intraventikuler. Hal ini disebabkan oleh karena bayi
prematur sering menderita apneu, afiksia berat dan sindroma gangguan
pernapasan.

3.1.1 Visualisasi Kerangka Konsep


Dengan

demikian

variabel-variabel

yang

akan

penulis

digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut :

Berat Badan Lahir Rendah


(BBLR)

ASFIKSIA

Variabel Bebas
(Independen)

Variabel Terikat
(Dependen)

Diagram 3.I.I Hubungan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia

29

teliti

30

3.2 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitiannya
adalah sebagai berikut : Ada hubungan antara BBLR dengan terjadinya
asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun 2007.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu :
3.3.1 Variabel Independen
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah BBLR.
3.3.2 Variabel Dependen
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah asfiksia.
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.4.1 Definisi Operasional
No.

Variabel

1.

BBLR

2.

Asfiksia

Definisi
Operasional
Bayi baru lahir
di timbang
sejak 0-24 jam
setelah lahir <
2500 gram

Cara
Ukur
Melihat
Rekam
Medik

Bayi setelah
lahir tidak dapat
segera bernapas
secara spontan
dan teratur.

Melihat
Rekam
Medik

Alat
Hasil Ukur
Ukur
Rekam 0 = BBLR jika bayi
Medik
lahir dengan
berat badan <
2500 gram.
1 = Tidak BBLR
jika bayi lahir
dengan berat
badan 2500
gram.
Rekam 1 = Asfiksia jika
Medik
frekuensi napas
bayi < 40 atau
60
kali/menit.
0 = Tidak asfiksia
frekuensi napas
bayi 40 60
kali / menit.

Skala
Ukur
Ordinal

Ordinal

31

3.5 Metode Penelitian


5.1.I Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan
menggunakan cross sectional yaitu penelitian untuk mempelajari kolerasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi
atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya, setiap objek
penelitian hanya di observasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status

karakter

atau

variabel

subjek

pada

saat

pemeriksaan

(Notoadmodjo,2002:145-146).
3.5.2
2.2.1

Populasi dan Sampel


Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi baru lahir yang
tercatat dalam Rekam Medik di RSUD Cideres periode Januari
Desember tahun 2007 yaitu sebanyak 1073 bayi.

5.1.2

Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi
dijadikan sampel yaitu sebanyak 1073 bayi karena datanya yang
digunakan adalah data sekunder dari Rekam Medik di Rumah Sakit Umum
Daerah Cideres tahun 2007.

3.5.3

Lokasi Dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian yaitu di RSUD Cideres. Waktu penelitian yaitu
bulan Maret April 2008.

32

3.5.4

Cara Pengambilan Sampel


Cara

pengambilan

sampel

dalam

penelitian

ini

adalah

menggunakan teknik nonprobability sampling yaitu teknik sampling yang


memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi
untuk di pilih menjadi anggota sampel (Sugiyono, 2004 : 57).
Cara pengambilan data ini dengan menggunakan data sekunder
yaitu dengan melihat Rekam Medik mulai bulan Januari Desember 2007
di RSUD Cideres. Sedangkan, cara yang digunakan adalah dengan
Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu.
3.5.5

Proses Pengumpulan Data

3.5.5.1 Persiapan
a. Izin penelitian dari Institusi Pendidikan ditujukan ke Kesatuan Bangsa
dan Politik.
b. Penjajagan ke lokasi penelitian.
c. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.
3.5.5.2 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder
yaitu dengan melihat status pasien mulai bulan Januari Desember 2007
di bagian Rekam Medik di RSUD Cideres.

33

3.5.6

Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

3.5.6.1 Metode Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Editing
Editing adalah pemeriksaan dan menyesuaikan data dengan rencana
semula seperti apa yang diinginkan.
b. Coding
Coding adalah memberi kode pada data, dengan merubah kata-kata
menjadi angka.
c. Sorting
Sorting adalah mensortir dengan memilih atau mengelompokkan data
menurut jenis yang dikehendaki.
d. Entry Data
Entry Data adalah memasukkan data dengan melalui pengolahan
komputer.
e. Cleaning
Cleaning adalah pembersih data dengan melihat variabel apakah data
sudah bersih atau belum.
f. Mengeluarkan informasi yang diinginkan. (Effendy, 1998 : 219)
3.5.6.2 Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis Univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap
variabel

dari

hasil

penelitian.

Umumnya

hasil

analisis

ini

34

menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel yang diteliti


dengan menggunakan rumus :
f
P=

x 100%
n

Keterangan :
P = Proporsi
f = Jumlah Kategori Sampel yang diambil
n = Jumlah Sampel
b. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat, dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan satu sama lain, dapat dalam kedudukan yang sejajar pada
pendekatan komparasi dan kedudukan yang merupakan sebab akibat
(experimentasi). Tujuan analisis ini untuk melihat hubungan variabel
indefenden (BBLR) dan variabel dependen (Asfiksia) (Badriah, 2006 :
118). Uji yang dipakai adalah Chi-squere dengan batas kemaknaan 0,5
( = 0,05). Bila < 0,05 maka Ho ditolak.
Tes signifikan menggunakan Chi-squere dengan rumus :
N 2
]
2
2
X
(a b)(c d )(a c)(b d )
N [(ad bc )

Apabila terdapat sel yang kosong atau nilai < 5 maka digunakan
Fisher Exact (Sugiyono, 2004 : 120).
Menentukan

uji

kemaknaan

hubungan

dengan

cara

membandingkan nilai p ( p value ) dengan nilai = 0,05 pada taraf

35

kepercayaan 95% dan derajat kebebasan = 1 dengan kaidah keputusan


sebagai berikut :
1. Nilai p ( p value ) < 0,05 maka Ho ditolak, yang berarti ada
hubungan yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel
terikat.
2. Nilai p ( p value ) > 0,05 maka Ho gagal ditolak, yang berarti tidak
ada hubungan yang bermakna antara varibel bebas dengan varibel
terikat.
Tabel 3.4.2
Tabel Silang (2 x 2)
Faktor Risiko ( + )
Faktor Risiko ( - )

Asfiksia
a
c
b + c (n1)

Tidak Asfiksia
b
d
b + d (n2)

a + b (m1)
c + d (m2)
n

36

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Analisis Univariat
4.1.1.1 Kejadian BBLR
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Kejadian BBLR
Di Rumash Sakit Umum Daerah Cideres
Tahun 2007
Berat Bayi Baru Lahir
BBLR (< 2500 gram)

f
279

%
26,0

Tidak BBLR ( 2500 gram)


Jumlah
Sumber : Penelitian Tahun 2008

794
1073

74,0
100

Pada tabel diatas terlihat bahwa Bayi Baru Lahir yang tercatat
dalam Rekam Medik di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun 2007
bahwa proporsi Bayi Baru dengan BBLR (< 2500 gram) sebanyak 279
bayi (26,0%) dan proporsi Bayi Baru Lahir Normal Tidak BBLR ( 2500
gram) sebanyak 794 bayi (74,0%).
4.1.1.2 Kejadian Asfiksia
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Kejadian Asfiksia
Di Rumash Sakit Umum Daerah Cideres
Tahun 2007
Bayi Baru Lahir
f
Asfiksia
215
Tidak Asfiksia
Jumlah
Sumber : Penelitian Tahun 2008

858
1073

36

%
20,0
80,0
100

37

Pada tabel diatas terlihat bahwa proporsi Bayi Baru Lahir yang
asfiksia sebanyak 215 bayi (20%) dan proporsi Bayi Baru Lahir yang tidak
asfiksia sebanyak 858 bayi (80%).

4.1.2 Analisis Bivariat


Analisis Bivariat dengan tabel silang untuk mengetahui Hubungan
antara BBLR dengan Terjadinya Asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah
Cideres Tahun 2007.
Tabel 4.3
Hubungan BBLR dengan Terjadinya Asfiksia
Di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres
Tahun 2007
Bayi Baru
Lahir

ASFIKSIA
Total

Asfiksia

Tidak
Asfiksia

BBLR
Tidak BBLR

107
108

38,4
13,6

172
686

61,6
86,4

279
794

100
100

Total

215

20,0

858

80,0

1073

100

Odd
Ratio

p
value

3,951

0,000

Sumber : Penelitian Tahun 2008


Hasil analisis hubungan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia di
rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun 2007 diperoleh bahwa Bayi
BBLR ada 107 bayi (38,4 %) yang mengalami asfiksia dari jumlah bayi
279, sedangkan bayi yang tidak BBLR sebanyak 108 bayi (13,6%) yang
mengalami asfiksia dari jumlah bayi 794.

38

Hasil uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,000 dengan demikian


ada hubungan yang signifikan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia di
Rumah Sakit Umum Daerah Cideres Tahun 2007.
Hasil analisis didapat OR = 3,951 artinya bayi yang BBLR
berpeluang 3,951 kali untuk terjadi asfiksia dibanding dengan bayi yang
tidak BBLR.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Keterbatasan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah cross-sectional, oleh karena itu
penelitian ini tidak dapat memberikan penjelasan tentang adanya
hubungan sebab akibat. Hubungan yang ada hanya menunjukkan adanya
keterkaitan saja, bukan hubungan yang kausalistik.
Secara teoritis banyak faktor yang berhubunagn dengan terjadinya
asfiksia, tetapi karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, maka peneliti
hanya meneliti variabel yang masuk dalam kerangka konsep saja.
Peneliti ini menggunakan data sekunder, oleh karena itu kebenaran
data sekunder sering dipengaruhi oleh lengkap tidaknya data yang ada.
Upaya untuk mengetahui hal tersebut, peneliti melakukan pemisahan
terhadap data yang tidak lengkap, sehingga yang dianalisis adalah data
yang lengkap saja.
4.2.2

Bias Penelitian
Penelitian

ini

memiliki

keterbatasan

yang

mungkin

akan

berhubungan dengan hasil penelitian, mengingat penelitian ini adalah

39

penelitian analitik sehingga penelitian ini memiliki keterbatasan bias


seperti bias seleksi dan bias Informasi.
4.2.2.1 Bias Seleksi
Bias seleksi adalah kesalahan sistematik dalam memilih subyek
dimana pemilihan subyek menurut status penyakit dipengaruhi oleh status
paparannya (studi kasus-kontrol), atau pemilihan subyek menurut status
paparan dipengaruhi oleh status penyakitnya. (Murti, 1997 : 228).
4.2.2.2 Bias Informasi
Bias informasi adalah kesalahan sistematik dalam mengamati,
memilih instrumen, mengukur, membuat klasifikasi, mencatat informasi
dan membuat interpretasi tentang paparan maupun penyakit. (Murti,
1997 : 228).
4.2.3 Hubungan antara BBLR dengan Terjadinya Asfiksia di Rumah Sakit
Umum Daerah Cideres Tahun 2007
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah
Cideres tahun 2007 ditemukan bahwa bayi BBLR ada 107 bayi (38,4%)
yang mengalami asfiksia dari jumlah bayi 279, sedangkan bayi yang tidak
BBLR sebanyak 108 bayi (13,6%) yang mengalami asfiksia dari jumlah
bayi 794.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p sebesar 0,000. Dengan demikian
ada hubungan yang signifikan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia di
Rumah Sakit Umum Daerah Cideres Tahun 2007.
Hasil analisis didapat OR = 3,951 artinya bayi yang BBLR
berpeluang 3,951 kali untuk terjadi asfiksia disbanding dengan bayi yang
tidak BBLR.

40

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori yang ditulis


(Prawirohardjo, 2005 : 776) bahwa gangguan pernapasan sering
menimbulkan penyakit berat pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Hal
ini

disebabkan

oleh

kekurangan

surfaktan,

pertumbuhan

dan

pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih


lemah dan tulang iga yang mudah melengkung, sehingga sering terjadi
apneu, asfiksia berat dan sindroma gangguan pernapasan.
Departemen Kesehatan RI (1996 : 15), menjelaskan bahwa Bayi
prematur secara umum bayi lahir dalam keadaan belum matang, dan karena
itu belum dilengkapi dengan kemampuan untuk adaptasi fisiologik di luar
uterus sehingga terjadi asfiksia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kosim (2008), bahwa
BBLR mempunyai resiko yaitu asfiksia atau gagal untuk bernapas secara
spontan dan teratur saat atau beberapa menit setelah lahir. Hal itu
diakibatkan faktor paru yang belum matang.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori yang ditulis oleh
Kadri (2008 : 1), bahwa Hipoksia sering ditemukan pada Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR). Kejadian ini umumnya telah dimulai sejak janin di
kandungan, berupa gawat janin atau terjadinya stres janin pada waktu
proses kelahiran. Akibatnya, bayi mengalami asfiksia (kegagalan bernapas
spontan dan teratur pada menit-menit pertama setelah lahir). Umumnya
terjadi akibat belum matangnya paru-paru, kekurangan bahan surfaktan

41

yang berfungsi mempertahankan mengembangnya gelembung paru, bayi


akan mengalami sesak napas atau Sindroma Gangguan Napas (SGN).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Jensen (2004 : 891),
bahwa Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) cenderung mengalami kesulitan
dalam melakukan transisi akibat berbagai penurunan pada sistem
pernapasan, diantaranya : penurunan jumlah alveoli fungsional, defisiensi
kadar surfaktan, lumen pada sistem pernapasan lebih kecil, jalan napas
lebih sering kolaps dan mengalami obstruksi, insufisiensi kalsifikasi tulang
toraks, lemah, kapiler-kapiler paru mudah rusak dan tidak matur. Fungsi
kardiovaskuler mengalami penurunan darah, perlambatan pengisian kapiler
dan gawat napas yang berlanjut walaupun telah dilakukan oksigenasi dan
ventilasi.

42

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
5.1.1

Angka kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres Tahun 2007
adalah 279 bayi (26,0%) dari 1073 bayi baru lahir.

5.1.2

Angka kejadian asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres tahun


2007 adalah 215 bayi (20,0%) dari 1073 bayi baru lahir.

5.1.3

Angka BBLR dengan asfiksia di Rumah Sakit Umum Daerah Cideres


tahun 2007 adalah 107 bayi (38,4%) dari 279 bayi, sedangkan bayi tidak
BBLR dengan asfiksia adalah 108 bayi (13,6%) dari 794 bayi baru lahir.

5.1.4

Ada hubungan yang signifikan antara BBLR dengan terjadinya asfiksia,


nilai pValue = 0,000, dengan OR = 3,951

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Institusi
Dari hasil penelitian ini karena ada hubungan antara BBLR dengan
terjadinya asfiksia, maka penelitian menyarankan untuk penanganan bayi
BBLR harus sesuai dengan standar pelayanan kebidanan agar dapat
mengurangi resiko kematian neonatal.

42

43

5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan


Melihat bahaya dan komplikasi yang disebabkan oleh asfiksia
diharapkan pihak institusi untuk memberikan materi perkuliahan tentang
asfiksia lebih dalam sehingga mahasiswa dapat mendeteksi lebih dari hal
yang dapat menyebabkan asfiksia dan dapat melakukan tindakan segera
terhadap bayi baru lahir dengan asfiksia.
5.2.3 Bagi Peneliti
Diharapkan

peneliti

dapat

mengembangkan

dan

menambah

pengalaman tentang ilmu pengetahuan kesehatan terhadap asfiksia


neonaturum terutama dalam penerapan dilapangan dan diharapkan pada
peneliti selanjutnya agar lebih memperdalam pengetahuan tentang asfiksia
neonatorum mengingat tingginya angka kejadian asfiksia di Indonesia.
5.2.4 Bagi masyarakat
Dari hasil penelitian ini karena ada hubungan antara BBLR dengan
terjadinya asfiksia maka peneliti menyarankan khususnya pada ibu hamil
selama hamil harus memeriksakan kehamilannya secara rutin, sehingga
terdeteksi secara dini apabila adanya kelahiran prematur dan post matur.
Selain itu karena proporsi terjadinya asfiksia pada bayi BBLR
beresiko lebih tinggi dibanding pada bayi tidak BBLR maka perlu
ditingkatkan masalah gizi ibu hamil, sehingga dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas.

44

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, 2004. Himpunan Peraturan Perundang-undangan praktek Kebidanan;


UU No.29 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 1993, Tentang Kesehatan, Jakarta :
Fokus Media
Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten
Majalengka Tahun 2006. Majalengka : Dinkes Kabupaten Majalengka.
Depkes. 1998. Buku I Perawatan Kesehatan R.I. Direktorat Bina Upaya
Kesehatan Puskesmas.
______, 1996. Buku V Kedaruratan Neonatal. Jakarta : Departemen Kesehatan
R.I. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.
Prawirohardjo, Sarwono 2001. Buku Acuan nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatural, Jakarta : EGC.
__________, Sarwono 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatural, Jakarta : EGC.
________, 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
__________, Sarwono 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatural, Jakarta : EGC.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : EGC.
_______, IBG. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan dan Keluarga Berencana
untuk Dokter Umum. Jakarta. EGC.
Setyowati, T.1996. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bayi Lahir dengan Berat
Badan Rendah (Analisa Data SDKI 1994). From : http://digilib. Litbang.
Depkes.Go.Id (diakes 02 Nopember 2008).
Sukardi, A.A, Usman, SH. Effendi, (eds). 2000. Diktat Kuliah Perinatologi
Bandung : bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak, FKUP / RSHS.
Mochtar. R. 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi, Jakarta : EGC.
Glover. B dan Hadson. C. 1995. Perawatan Bayi Prematur, Jakarta ; Arcan.

45

Wiknjosastro. 1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Prawirohardjo.
Effendi, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan. Jakarta. EGC.
Sugiyono. 2004, Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Mansjoer. K, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Edisi Ketiga, Jakarta.
Media Aescu Lapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indoensia.
Ilyas J, dkk. 1995. Asuhan Keperawatan Perinatal Cetakan I Edisi 2. Jakarta :
Buku Kedokteran. EGC.
Lailatul, Badriah Dewi. 2008. Metodologi Penelitian Ilmu-ilmu Kesehatan.
Jakarta ; Multazam.
Saifudin, A. B. 2002. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Material dan Neonatal.
Edisi ke I, Cetakan ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Winarto HO. 2002. Kebanyakan dari Keluarga mampu : Kematian Bayi Berbobot
Rendah Capai 60%, Suara Merdeka-Com.
Sholeh Kosim, M. 2007. Contact UsPerawatan Bayi Berat Lahir rendah, MUI.
IDAI.or.id (Diakses 27 januari 2008).
Nartono kadri. 2008. Jika Buah Hati Lahir Lebih Dini. http://www.tabloidnakita.com/artikel. php 3 Edisi = 01011 & rubric = Bayi (diakses 8 maret 2008).
Bobak, Lowdermilk, Jenten. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4.
Jakarta : EGC.
Monica Ester. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.
Soetomo. 2004. Laporan Tahunan Bagian Ilmu Kesehatan Anak. RSU. Surabaya.
Murti Bisma, 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gadjah
Mada Universitas Press

Anda mungkin juga menyukai