Anda di halaman 1dari 90

SKRIPSI

NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M.


(Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh
Sri Sumiati
NIM: 106013000718

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H

ABSTRAK
SRI SUMIATI: Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi W.M.
(Puisi Tuhan Kita Begitu dekat dan Puisi Meditasi)
Skripsi. Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Puisi menjadi salah satu media yang dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan atau nilai-nilai dari suatu karya sastra. Dengan demikian,
Abdul Hadi W.M banyak menyerukan nilai-nilai agama melalui media tulisan
seperti puisi, terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya iqbal, Rumi,
Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang yang bernafaskan
Islam. Salah satu karyanya yang terbaik adalah Puisi laut belum pasang (Tuhan
Kita Begitu dekat) dan Meditasi puisi ini adalah bacaan yang bukan sekedar puisi
belaka akan tetapi bisa menjadi motivasi hidup seorang muslim atau muslimah
agar menjadi lebih baik dalam mengarungi kehidupan ini.
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi mengandung nilai
agama yang kental. Dari karya sastra (puisi) kita dapat mempelajari banyak hal
salah satunya religiusitas. Dewasa ini, banyak masyarakat yang jauh dari sifatsifat kemanusiaan, tidak mengerti ajaran agama yang benar, dan lupa terhadap
kewajiban-kewajiban hidupnya. Maka melalui puisi yang berisi nilai religiusitas,
diharapkan dapat digunakan untuk menyadarkan masyarakat (pembaca) untuk
kembali ke jalan yang benar.
Penelitian ini mengangkat judul Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya
Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi) dengan
rumusan masalah bagaimana nilai religiusitas dalam dua puisi karya Abdul Hadi
W.M. Pada skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan analisis dekriptif. Penelitian ini, bertujuan mengetahui lebih jauh
mengenai nilai-nilai religiusitas yang terdapat dalam Puisi Tuhan Kita begitu
Dekat dan Puisi Meditasi. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu
teknik pengumpulan data atau dokumen untuk memperkuat informasi seperti buku
bacaan, internet, kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data yakni Puisi
Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi dan diambil kesimpulannya.
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi berisi ajakan untuk
kembali pada agama yang mulia dengan ajakan yang lembut dan penuh makna.
Nilai-nilai religiusitas yang terdapat dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan
Puisi Meditasi dapat kita lihat pada struktur fisik puisi dan struktur batin puisi
yang dibahas pada bab IV adapun struktur fisik puisi Abdul Hadi W.M. yakni
perwajahan puisi (tipografi), diksi (pilihan kata), kata konkret, bahasa figuratif,
versifikasi. Sedangkan struktur batin puisi Abdul Hadi W.M. terdiri dari: tema,
perasaan (feeling), nada dan suasana, amanat, dan makna.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim
Alhamdulillahi Rabbilalamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, atas segala taufiq dan hidayahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah berikan
kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatNya, dan para pengikutNya
sampai akhir zaman.
Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana
pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis
banyak menerima saran, petunjuk, bimbingan, dan masukkan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak,
khususnya kepada:
1.

Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan
penulis menyelesaikan skripsi ini.

2.

Bapak Drs. E. Kusnadi sebagai Mantan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa


dan Sastra Indonesia tahun 20052010 yang telah memberikan motivasi dan
dukungannya.

3.

Ibu Mahmudah Fitriyah, M.Pd. sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa


dan Sastra Indonesia yang selalu mengarahkan dan pemberi semangat.

4.

Ibu Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing yang dengan sabar
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan ilmunya kepada
penulis.

5.

Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Khususnya dosendosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama
mengikuti perkuliahan.

6.

Teristimewa untuk Ibunda Mulyati dan Ayahandaku Subi Alwi, yang selalu
menyanyangi aku sedari kecil, yang tak pernah lelah mengajariku banyak
hal, yang tak berhenti berdoa untukku, ketulusanmu dalam membimbing

vi

tak terbalaskan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya, semoga aku
bisa memberikan yang terbaik untukmu.
7.

Terimakasih untuk keluarga besar Bapak H. Slamet atas bantuan moril dan
materil.

8.

Teman-teman PBSI seperjuanganku terima kasih yang telah bersama-sama


ketika suka dan duka selama kuliah. Sahabatku tersayang Diyah (DC),
Ruslah (Ucha), Ani (terima kasih atas bantuan dan motivasinya), dan untuk
Rananda Septanta terima kasih atas kesediaaanya untuk menemani dan
mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaannya.

9.

Teman-teman seperjuanganku Mumin Soleh, Andi Awaluddin, Jefri Cecep


Khaerudin, Syariful Lazi, Siti Romlah, Dewi Astuti, dan adiku Gita, terima
kasih telah mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi
Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri, semoga yang kita amalkan

mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal alamin. Akhirnya penulis berharap


semoga skripsi ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi para
pembaca, semua pihak yang memerlukan, dan khususnya kepada penulis sebagai
calon guru.

Jakarta, 22 Juni 2011


Penulis,

Sri Sumiati

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i


LEMBAR UJI REFERENSI ..................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1


Pembatasan Masalah ............................................................................ 6
Perumusan Masalah ............................................................................. 6
Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
Metodologi Penelitian .......................................................................... 8
Tinjauan pustaka .................................................................................. 10
Sistematika Penulisan .......................................................................... 11

BAB II ACUAN TEORETIS


A. Nilai dan Religiusitas ........................................................................... 13
1. Pengertian Nilai ............................................................................. 13
2. Pengertian Religiusitas ................................................................... 14
3. Religiusitas dalam Karya Sastra ..................................................... 14
4. Jenis dan Wujud Religiusitas ......................................................... 16
5. Pengalaman Religiusitas ................................................................ 17
6. Agama yang dilepaskan dari Religiositas ....................................... 19
B. Puisi .................................................................................................... 20
1. Pengertian Puisi ............................................................................. 20
2. Puisi Sebagai Genre Sastra ............................................................. 20
3. Ciri Puisi ....................................................................................... 21
4. Hakikat Puisi ................................................................................. 21
5. Wujud Puisi ................................................................................... 22
6. Unsur Puisi .................................................................................... 22
7. Proses Penciptaan .......................................................................... 23
8. Struktur Fisik Puisi ........................................................................ 24

9. Struktur Batin Puisi ........................................................................ 26


10. Fungsi Puisi ................................................................................... 27
11. Struktur Puisi dan Unsurnya .......................................................... 28
12. Lapis Bunyi dan Lapis Arti ............................................................ 29
13. Kiasan Bunyi dan Irama ................................................................. 30

BAB III PROFIL ABDUL HADI W.M.


A.
B.
C.
D.
E.

Masa Kecil Abdul Hadi W.M. ............................................................. 32


Pendidikan Abdul Hadi W.M ............................................................... 32
Karier Abdul Hadi W.M. ..................................................................... 33
Karya Abdul Hadi W.M. ...................................................................... 34
Penghargaan ........................................................................................ 35

BAB IV HASIL PENELITIAN


NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M.
A. Analisis Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat ..................................................... 36
B. Analisis Puisi Meditasi .............................................................................. 47
BAB V KESIMPULAN
A. Simpulan ................................................................................................... 70
B. Saran ......................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada hakikatnya kehidupan manusia kompleks dengan berbagai masalah
kehidupan. Dalam kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa
permasalahan

kehidupan

yang

mencakup

hubungan

antarmasyarakat,

antarmanusia, manusia dengan Tuhannya, dan antarperistiwa yang terjadi dalam


batin seseorang. Seorang pengarang yang peka terhadap permasalahanpermasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil
imajinasinya, kemudian menuangkan gagasan atau idenya tersebut dalam karya
sastra. Maka karya sastra adalah suatu hasil dari kegiatan kreatif untuk
menciptakan sebuah karya seni. Selain sebagai karya seni, karya sastra juga
merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada
karya fiksi. Warren beranggapan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai fiksi dan
berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan sebagai sarana menghibur diri
pembaca.1
Manusia perlu menghibur diri untuk membantu dirinya menemukan solusi
permasalahannya, tidak jarang manusia mengalami kekosongan jiwa, kekosongan
berpikir dan bahkan stress karena tidak mampu mengatasi masalah yang
dialaminya. Dalam hal ini karya sastra dapat berperan untuk membatu sebagai
pencerahan, serta sebagai sarana pembelajaran sehingga dapat diambil manfaat
dan pelajaran dalam kehidupan
Menurut The World Book Dictionary, kata religiousity berarti religious
feeling or sentiment. Religi diartikan lebih luas dari pada agama, yaitu ikatan atau
pengikatan diri. 2 sedangkan menurut Koentjaraningrat, religiusitas yaitu, aktivitas
manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan suatu getaran jiwa,

Burhan, Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2005), Cet. V, h. 3.
2
Sitanggang, Religiusitas dalam Tiga Novel Moderen, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), h.
1.

biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi tersebut dapat
mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.

Sebagai

suatu kritik, religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan


orang beragama menjadi intens. Moelyanto dan Sunardi dalam Mangunwijaya
menyatakan bahwa semakin religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin
sadar terhadap kehidupannya sendiri. Bagi orang yang beragama, intensitas itu
tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus
terhadap pusat kehidupan. 4
Seperti yang telah dipaparkan di atas, Jika dilacak dari berbagai sejarah
manusia dalam upaya meraih dimensi terdalam dan paling eksistensial pada
dirinya, religiusitas merupakan sesuatu yang (1) melintasi agama, (2) melintasi
rasionalisasi, (3) menciptakan keterbukaan antarmanusia dan, (4) tidak identik
dengn sikap fasisme. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa religiusitas pada
dasarnya bersifat mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal,
dan resmi karena ia tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam
pengalaman dan penghayatan yang mendahului analisis dan konseptualisasi.
Dengan demikian, ia memperjelas bahwa religiusitas tidak berhubungan langsung
dengan ketaatan ritual, yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan yang lebih
mendasar dalam diri manusia, yaitu roh, karena huruf membunuh sedangkan roh
menghidupkan. 5
Religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati, riak getaran
hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak penuh misteri bagi orang
lain, karena menapaskan intimitas jiwa du Coeur, dalam arti pascal, yakni cita
rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman
pribadi manusia. Pada dasarnya religiusitas mengatasi, lebih dalam dari agama

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet.


VIII, h. 376.
4
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Cet. 1, h.
1115.
5
Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia
(http://www.geocities.com), diakses pada Minggu Tgl 9 Januari 2011 pukul 10:41 WIB

yang tampak, formal, dan resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban
(gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.6
Adapun sikap religiusitas sesungguhnya merupakan suatu sikap atau
tindakan manusia yang dilakukan secara terus menerus dalam upaya mencari
jawaban atas sejumlah pertanyaan itu tidak pernah dapat diperoleh karena ia
hanya bayangan yang berkelebat saja di batin manusia. Dengan demikian,
religiusitas lebih menunjuk ke suatu pengalaman, yaitu pengalaman religius,
sehingga yang muncul adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin
bersama dengan sesuatu yang abstrak.7
Pada mulanya, karya sastra adalah religius, bahkan setiap karya sastra
yang berkualitas selalu berjiwa religius. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa
dalam karya sastra terkandung nilai, norma, dan ajaran agama. Hal itu muncul
karena penulis karya sastra adalah mahluk sosial sekaligus mahluk religius, yang
tidak dapat dipungkiri pengalaman religiusnya akan mempengaruhi sastra yang
dihasilkan.8 Adapun perkembangan sastra religius memang marak akhir-akhir ini.
Hanya saja, ada yang perlu dipikirkan terkait dengan kualitas estetika dan
pemahaman pada masalah religiusitasnya. Pandangan umum menangkap bahwa
yang dinamakan sastra religius adalah sastra atau karya sastra yang mengusung
lambang-lambang agama, baik itu Islam, Kristen, dan lainnya. Dengan begitu,
penyebutan beberapa metafor dalam karya itu mengacu pada kekhasan dari
sebuah agama. Kajian

tentang religiusitas dalam kesusastraan Indonesia

sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru dalam
menafsirkan pengertian religiusitas.
Agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doctrines), peraturanperaturan (law). Jika pengertian ini yang diterapkan, religiusitas yang dibicarakan
dapat menjurus ke arah penyebaran agama (mission). Jelaslah bukan itu yang
dimaksudkan. Yang dimaksud dengan perasaan keagamaan adalah segala

Mangunwijaya, Opcit., h. 1112.


Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia
(http://www.geocities.com), diakses pada Minggu tgl 9 Januari 2011 pukul 10:41 WIB
8
Sitanggang, Religiusitas dalam Tiga Novel Moderen, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), h.
1.
7

perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan. Perasaan dosa (guilt
feeling), perasaan takut (fear to god), kebesaran tuhan (gods glory) adalah
beberapa contoh untuk menyebutkan sedikit saja. 9
Dalam hal ini persoalan agama dan sastra yakni ada dua masalah pokok,
yaitu hubungan antara kritikus dengan sastra dan hubungan antara sastra dengan
realitas pribadi, kebudayaan, atau kerohaniah yang diungkapkan dalam karya
tersebut.10 Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas berkaitan dengan
adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau
berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal
dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan
seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya.
Dari pendapat di atas, religiusitas sama pentingnya dengan ajaran agama,
bahkan religiusitas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama tertentu, religiusitas
mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan
penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa
ini, banyak muncul penyair yang menulis puisi yang berkaitan dengan religiusitas
dalam karyanya, Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan
diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu
merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah
dalam wujud yang paling berkesan.

11

Untuk mengapresiasikan sebuah puisi

langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu
sendiri, karena bahasa puisi bersifat sugestif (perayaan), asosiatif (pertalian), dan
imajis (pembayangan) sehingga pembaca dapat menafsirkan makna dalam puisi
tersebut.12 Pengalaman religi seorang penyair didasarkan atas pengalaman
hidupnya secara konkret. Jika seorang penyair bukan seorang religius yang

Subijantoro, Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra , (Bandung:


Sinar Baru, 1989), Cet. I, h. 123124
10
Andre, Harjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1985), Cet III, h.
81.
11
Rachmat, Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress, 2000), Cet. VII, h. 7.
12
Maman, S.Mahayana, 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik, (Jakarta:
Bening Publishing, 2005), Cet. I, h. 264.

khusyuk, maka sulit diharapkan ia akan menghasilkan puisi bertema ketuhanan


ataupun keagamaan yang mendalam.13
Dalam khasanah sastra Indonesia, spirit religius yang kental juga dapat
dilihat pada karya-karya Ahmadun Yosi Herfanda,

Kuntowijoyo, A Mustofa

Bisri, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Rukmi Wisnu Wardhani, dan Din M
Yanwari. Sedangkan dalam skripsi ini akan membahas puisi karya Abdul Hadi
W.M. Melalui puisi tersebut kita dapat merasakan aspek religiusitas pada tiap
larik-larik pada puisi tersebut sehingga kita dapat menafsirkan makna yang ingin
disampaikan dalam puisi tersebut. Melalui karya sastra pembaca tidak hanya
diajak untuk menikmati dan memahami ekspresi jiwa pengarang tetapi juga
menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Nilai
moral, didaktis, sosial, dan religius yang terdapat dalam sebuah karya sastra
diharapkan akan memberikan masukan, contoh dan teladan bagi pembaca yang
dapat diadaptasi dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan masingmasing. Karena itulah, menjadi penting untuk meneliti bagaimana sebuah karya
sastra memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepada para pembaca serta
bagaimana pembaca dapat menarik pelajaran dari karya yang dibacanya.
Membicarakan sastra dengan tema ketuhanan atau keagamaan biasanya
akan menunjukkan pengalaman keberagamaan (Religious Experience) seorang
sastrawan. Pengalaman religi didasarkan atas tingkat kedalaman iman seseorang
terhadap agamanya atau yang lebih luas lagi terhadap tuhan atau kekuasaan gaib.
Banyak karya sastra khususnya puisi yang menunjukkan pengalaman religi yang
cukup meskipun tidak menunjukkan identitas agama tertentu. Dalam suasana
demikian, manusia sastra termasuk penyair dapat mewakili semua manusia dalam
mengatasi perbedaan agama, bangsa, suku atau warna kulit. Sastra pada akhirnya
bersifat universal.
Pentingnya membahas sastra religius untuk tahun-tahun mendatang dapat
terjebak pada suatu asumsi menerka-nerka. Asumsi tanpa pendalaman sejarah
sastra kontemporer lebih menjurus pada suatu gelandangan literer. Yang
13

Akhmad, Muzakki, Kesusastraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2006), Cet. 1, h. 99.

dimaksud sastra Indonesia kontemporer bukan dimulai dari Sutardji Calzoum


Bachri atau Abdul Hadi W.M dalam puisi dan Arswendo Atmowiloto atau
Danarto dalam cerpen. Namun harus dimulai dari Chairil Anwar untuk puisi dan
Pramoedya Ananta Toer untuk cerpen ataupun novel.14 Dalam hal ini, Abdul Hadi
W.M merupakan seorang penyair yang religius dalam perpuisian Indonesia yang
mampu mengangkat tema-tema ketuhanan.
Abdul Hadi W.M dewasa ini memiliki kedudukan penting dalam sastra
Indonesia kontemporer.
1. Abdul Hadi merupakan salah satu putera Madura yang representatif
dalam dunia perpuisian kita
2. Abdul Hadi dianggap berhasil mempertahankan kepenyairan liris
dalam jejak Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sitor Situmorang
3. Adanya suatu eksperimen untuk mengkristalisir pengertian falsafi. Dan
itu merupakan suatu pengantar yang baru pada beberapa sajaknya.
Sajak-sajak Abdul Hadi ia membaurkan antara agama satu dengan agama
lainnya. Ia bukannya mengarah pada sinkretisme, kecuali condong ke arah dialog
antaragama. 15

A. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi penelitian ini pada masalah nilai
religiustas pada Dua puisi Karya Abdul Hadi W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu
Dekat dan Puisi Meditasi)

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Abdul Hadi W.M menampilkan struktur fisik dan struktur
batin pada Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi?
2. Bagaimanakah Abdul Hadi W.M menampilkan pemaknaan religiusitas
dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi?

14
15

Atmosuwito, Op.Cit, h. 3.
Ibid, h. 43.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui nilai religiusitas dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat
dan Puisi Meditasi Karya Abdul Hadi W.M.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan
manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran bahwa
religiusitas menjadi sebuah hal yang penting untuk terus di tingkatkan ditengahtengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus menerus mengacu nilainilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya
referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Sivitas akademika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang religiusitas dalam sebuah
karya, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk
meneliti dan menelaah karya tersebut dengan memandangnya dengan
sudut pandang yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan
menjadi calon pendidik.
c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang puisi secara
terstruktur dan mendalam.
Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang ada maka penelitian
menggunakan pendekatan secara kualitatif, Bogdan dan Taylor mendefinisikan
metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang perilakunya

yang diamati.16 Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode


deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah
penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki (seseorang),
lembaga, masyarakat, dan lain-lain, sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta
aktual pada saat sekarang.17
Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan
(library research). Artinya, permasalahan dan pengumpulan data berasal dari
tulisan-tulisan sebagai data utama (primer) dan sumber-sumber lainnya yang
relevan dengan pembahasan sebagai data sekunder, baik itu berupa buku, majalah,
hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi
ini.

E. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Desember 2010 sampai dengan
Juni 2011. Penelitian ini tidak terikat pada tempat tertentu karena bersifat
penelitian kepustakaan.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan
investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap
muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian.
Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya.
Para

peneliti

yang menggunakan pendekatan ini harus mampu

menginterpretasikan segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan.


Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu
16

Nuraida dan Halid Alkaf, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic Research
Publishing, 2009), Cet 1,h. 35.
17
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrument Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992), h. 67.

fenomena sosial dan perspektif individu yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah
menggambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Pemahaman
fenomena

ini

dapat

diperoleh

dengan

cara

mendeskripsikan

dan

mengeksplorasikannya dalam sebuah narasi.18


Dalam rangka penelitian sastra, baik fiksi maupun puisi, ada beberapa
model pendekatan (teori kritik tertentu) yang dapat diterapkan; dan penerapan
model itu sesuai dengan konsep serta tata kerjanya masing-masing. Abrams
(1979), misalnya, telah membagi model pendekatan itu ke dalam empat kelompok
besar; empat kelompok itu dapat dipandang sebagai model yang telah mencakupi
keseluruhan situasi dan orientasi karya sastra.
Diuraikan oleh Abrams bahwa

model yang menonjolkan kajiannya

terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif, yang
menitikberatkan sorotannya terhadap peran pembaca sebagai penyambut dan
penghayat sastra disebut pragmatik, yang lebih berorientasi pada aspek referensial
dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetik, sedangkan yang memberi
perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi
intrinsik disebut pendekatan objektif.19
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan objektif.
Seperti yang telah dikemukakan di atas pendekatan objektif adalah pendekatan
yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom
dengan koherensi intrinsik.
Perjalanan sejarah kritik sastra dewasa ini, baik di Barat maupun di
Indonesia, keempat model pendekatan Abrams itu memliki konsepnya masingmasing sesuai dengan perkembangan ilmu sastra.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan
Puisi Meditasi karya Abdul Hadi W.M. dan objek penelitian ini adalah aspek

18

Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,


(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. II, h. 7374.
19
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Jogjakarta: PT Hanindita Graha Widya,
2002), Cet. II, h. 53.

10

religiusitas yang terdapat dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi
Meditasi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik dokumentasi,
yaitu teknik pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen-dokumen untuk
memperkuat informasi. Teknik dokumentasi bisa disebut sebagai strategi yang
digunakan dengan mengumpulkan data-data dari buku-buku, majalah, dan
dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Penulis, dalam
penelitian ini, meneliti segala buku dan sumber lainnya (seperti internet, artikel,
dan sebagainya) yang berkaitan tentang nilai religiusitas dan puisi karya Abdul
Hadi W.M.
5. Langkah-Langkah Pengumpulan Data
Setelah mengumpulkan data-data dari hasil dokumentasi kemudian
hasilnya diuraikan dan dijelaskan dalam deskripsi hasil penelitian. Dalam
menganalisis data, penulis menggunakan pola pendekatan analisis deskriptif maka
data-data yang terkumpul dari hasil dokumentasi dijabarkan dengan memberikan
analisis-analisis kemudian diambil kesimpulan akhir.
Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode analisis deskriptif dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis.
Secara etimologis, deskripsi dan analisis

berarti menguraikan. Meskipun

demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (ana = atas, lyein
= lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan
melainkan juga memberikan penjelasan secukupnya.20 Pendekatan sastra yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Pendekatan ini
menitik beratkan pada struktur fisik puisi dan struktur batin puisi.

20

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), Cet. III, h. 53.

11

F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang religiusitas telah dilakukan pada subyek novel, namun
belum ada yang melakukan penelitian dengan topik sejenis pada puisi. Dari
tinjauan penulis, penelitian seperti subyek novel banyak ditulis oleh mahasiswa
Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
(KPI). Ada beberapa penelitian yang mengangkat tentang pesan dalam novel,
misalnya skripsi yang berjudul Analisis Wacana Pesan Moral dalam Novel
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata, yang ditulis oleh Siti Aminah,
104051001804.
Berdasarkan tinjauan tersebut, tampaknya sangat memungkinkan bagi
penulis untuk menulis skripsi dengan judul Nilai Religiusitas pada Dua Puisi
Karya Abdul Hadi W.M (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi).
Dalam penelitian mengenai Nilai Religiusitas pada Dua Puisi Karya Abdul Hadi
W.M. (Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi). Dalam hal ini, penulis
menggunakan referensi buku bacaan yang terkait dengan bahasan tersebut. Di
antaranya: Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi, Perihal Sastra dan
Religiusitas, Berkenaan dengan Prosa Fiksi, Teori Pengkajian Fiksi, Ilmu,
Filsafat, dan Agama, dan lain sebagainya.

G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab memiliki subbahasan yaitu:
Bab I. Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan
Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
Bab II. Kajian Teoretis, yang mengungkap Pengertian Nilai, Pengertian
Religiusitas, Religiusitas dalam Karya Sastra, Jenis dan Wujud Religiusitas,
Pengalaman Religiusitas, Agama yang dilepaskan dari Religiositas, Pengertian
Puisi, Puisi sebagai Genre Karya Sastra, Ciri Puisi, Hakikat Puisi Wujud Puisi,
Unsur Puisi, Proses Penciptaan, Struktur Fisik Puisi, Struktur Batin Puisi, Fungsi
Puisi, Struktur Puisi dan Unsurnya, Lapis Bunyi dan Lapis Arti, Kiasan Bunyi
dan Irama.

12

Bab III. Metodologi Penelitian, yang terdiri dari Tempat dan Waktu Penelitian,
Metode Penulisan, Fokus Penelitian, Prosedur, serta Profil Abdul Hadi W.M,
Masa Kecil Abdul Hadi W.M, Pendidikan Abdul Hadi W.M, Karier Abdul Hadi
W.M, Karya Abdul Hadi W.M, dan Penghargaan.
Bab IV. Menjelaskan Hasil Penelitian dan Pembahasan, yaitu mengenai Nilai
Religiusitas pada Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi Karya Abdul
Hadi W.M
Bab V. Penutup, yang terdiri dari Simpulan dan Saran, Bagian terakhir memuat
Daftar Pustaka dan Lampiran-Lampiran .

BAB II
ACUAN TEORETIS
A. Nilai dan Religiusitas
1. Pengertian Nilai
Menurut Desy Anwar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai
memiliki arti harga dalam arti tafsiran; harga sesuatu; harga sesuatu; angka
kedalaman; kadar mutu dan banyak sedikitnya mutu.1 Nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu
bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau berguna.2 Lebih lanjut Schwartz juga
menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara
bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4)
mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadiankejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.3
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini
sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola
pemikiran, perasaan, keterikatan, atau prilaku.4 Nilai adalah sesuatu yang abstrak,
tidak berupa barang kongkret. Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati.
Nilai berkaitan dengan cita-cita, keyakinan, harapan, dan hal-hal yang berkaitan
dengan batiniah. Menilai berarti menimbang, mengukur, dan membandingkan,
yakni kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
mengambil suatu keputusan.5
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman
tentang nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah
laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu
1

Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: Amelia, 2003), Cet.
I, h. 290.
2
Http://uzey.blogspot.com/2009/09/pengertian-nilai.html, Uzy Ibni Muhammad, Pengertian
Nilai, diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010, pkl. 20.00 WIB.
3
Http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/nilai.html,
Maria
Antoinette,
Belajar
Psikologi Bukan Hanya untuk Anda, diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010. pkl. 20.10
WIB.
4
Zakiah Daradjat, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), Cet.
X, h. 260.
5
Http://jalius12.wordpress.com/2010/10/01/pengertian-nilai/, Jalius H.R., Pengertian Nilai,
diakses pada hari Selasa, 26 Oktober 2010, pkl. 20.30 WIB.

13

14

keyakinan mengenai cara bertingkah laku, tujuan akhir yang diinginkan individu,
dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

2. Pengertian Religiusitas
Mangunwijaya mengatakan religiusitas adalah konsep keagamaan yang
menyebabkan manusia bersikap religius. Religius merupakan bagian dari
kebudayaan dan sistem dari suatu agama yang satu dengan agama yang lain
memiliki sistem religi yang berbeda. Religius merupakan wujud seseorang berdoa
untuk yakin dan percaya kepada Tuhan sehingga keadaan emosi mengalami
ketenangan dan kedamaian. Keterkaitan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber
ketentraman dan kebahagiaan dengan melakukan tindakan sesuai dengan ajaranajaran agama. Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh
pengetahuan agama dalam argumentasi rasional tentang arti dan hakikat
kehidupan, tentang kebesaran Tuhan dalam arti mutlak, dan kebesaran manusia
dalam arti relatif selaku makhluk.
Religiusitas berbeda dengan keagamaan. Dalam pengertian di atas
religiusitas mencakup keagamaan. Keagamaan itu sendiri merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan agama. Sikap-sikap yang ada dalam agama, yaitu berdiri
khidmat, membungkuk, dan mencium tanah selaku ekspresi bakti kepada Tuhan,
mengatupkan mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan setiap
mendengarkan sabda illahi dalam hati. Semua itu seolah bahwa manusia religius
yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya
juga.6

3. Religiusitas dalam Karya Sastra


Religiusitas dalam sastra Indonesia selalu hadir dalam konteks wacana
(pembacaan maupun penciptaan) sekularisme dan materialisme yang menjauhkan
manusia dari nilai-nilai spiritualitasnya. Penghayatan yang intens terhadap Tuhan,
menyoal aspek-aspek personalitas kebaktian makhluk kepada Tuhan, sedu6

5455.

Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Cet. I, h.

15

sedannya di dalam suatu karya bukan hanya karena alasan untuk memperoleh
pengetahuan tentang religiusitas, melainkan juga karena secara pragmatis sebagai
suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi. Religiusitas menurut Rumi
merupakan suatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan dan
pendewasaan mental manusia.
Sastra Indonesia dibatasi mulai dari zaman balai pustaka, yakni tahun
1917. Sebelumnya Commisie Voor de Volkslectuur, merupakan realisasi
pemerintah Hindia- Belanda yang didirikan tahun 1908 sebagai akibat Ethische
Politiek pemerintah Negeri Belanda. Agar tidak memberi kesan pengotakan
agama pengarang, dijelaskan bahwa yang ditelaah adalah prasaan, keagamaan
dalam karya sastra itu sendiri. Untuk puisi religius, karangan Amir Hamzah
merupakan karya sastra keagamaan paling berbobot dari pujangga baru. 7
Dalam sebuah puisi memiliki aspek salah satunya ialah aspek religi yang
menjadi pokok bahasan penulis dalam skripsi. Aspek religi adalah suatu ketentuan
atau nilai nilai agama yang btertuang dalam bentuk karya sastra terutama puisi.
Aspek religi ini memberikan pengaruh yang besar dalam suatu karya sastra,
karena dalam aspek ini terkandung pesan pesan religi yang sangat sekali
dibutuhkan oleh para pembaca untuk meningkatkan hubungan dengan tuhan,
hubunganh dengan manusia lainnya.
Konsep dasar religius berbeda dengan agama. Bila agama lebih mengacu
pada keterkaitan seseorang dengan agama tertentu secara formalitas, maka religius
adalah ikatan seseorang terhadap suatu religi bisa juga agama tertentu dari sisi
informalnya. Seorang dapat dikatakan tidak memiliki religiusitas yang tinggi bila
praktik batinnya kering terhadap suatu agama atau religi. Dalam hal ini
religiusitas dapat dilihat dari ungkapan batin yang kemudian direfleksikan dalam
tindakan yang terkait dengan suatu religi.

Subijantoro, Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung:


Sinar Baru, 1989), Cet. I, h. 138139.

16

4. Jenis dan Wujud Religiusitas


Tujuan mengapresiasikan puisi adalah untuk menemukan pesan yang ingin
disampaikan pengarang. Jika suatu karya rekaan mengandung mengandung pesan
religius, sebenarnya di situ terkandung lebih dari satu ajaran religius yang
diamalkan. Jenis dan wujud religiusitas yang terdapat dalam karya sastra,
bergantung pada keyakinan, minat pengarang, religiusitas dapat menyangkut
masalah yang cukup luas, meliputi masalah hidup dan kehidupan menyangkut
masalah harkat dan martabat manusia dan sebagainya.
Masalah religiusitas yang akan dikaji dalam peneltian ini meliputi berbagai
macam hubungan. Hubungan hubungan tersebut meliputi ;
1. Hubungan manusia dengan tuhan
Manusia sebagai mahluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan
penciptanya, wujud dari hubungan itu bisa berupa doadoa ataupun upacaraupacara. Doa dan upacara tersebut dilakukan oleh manusia, karena suatu
kesadaran atau rasa sadar bahwa semua yang ada di alam raya ini ada yang
menciptakan.
2. Hubungan manusia dengan masyarakat
Nilai kehidupan dalam hubungan manusia dengan lingkungan dan
masyarakatnya, menampilkan nilai nilai berikut 1). Gotong royong 2)
musyawarah 3) kepatuhan kepada adab dan kebiasaan 4) cinta tanah kelahiran
atau lingkungan tempat menjalani kehidupan. Keempat nilai itu memperhatikan
bagaimana individu mengikatkan diri Dalam kelompoknya. Individuindividu
akan selalu behubungan satu sama lainnya dalam suatu kelompok. Kelompok
tersebut adalah masyarakat individu sebagai anggotanya akan selalu mematuhi
dan menaati segala peraturan yang berlaku didalamnya. Hal itu dilakukan sebagai
bentuk segala aturan yang berlaku di dalamnya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk
segala bentuk pengikatan diri dan sebagai sarana pengikatan diri.
3. Hubungan sesama manusia
Manusia adalah mahluk sosial. Kehidupan manuisa dimuka bumi tidak
akan pernah lepas dari manusia lainnya. Dalam hubungan sesame manusia, kedua
belah pihak saling membutuhkan, saling berkerja sama, tolongmenolong, dan

17

menghargai. Walaupun sesama manusia dapat terjadi karena adanya benturan


kepentingan atau perbedaan kepentingan diantara mereka.
4. Hubungan manusa dengan dirinya
Selain sebagai mahluk sosial, manusia juga mahluk pribadi yang telah
mengutamakan kepentingannya sendiri, sebagai mahluk pribadi, manusia
mempunyai hak untuk menentukan sikap, pandangan hidup, perilaku sesuai
kemampuannya dan itulah yang membedakannya dari manusia lainnya. Hak untuk
menentukan keinginannya sendiri itulah yang mencerminkan hubungan manusia
dengan hubungannya sendiri.8

5. Pengalaman Religius
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pengalaman religius itu,
lebih dulu kita lihat apa arti pengalaman. Pengalaman berarti pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan hubungan langsung antara kesadaran dan sesuatu yang
nyata yang datang pada kesadaran, entah kejadian, keadaan, hal, atau orang.
Dengan pengalaman, orang menyadari sesuatu, dan oleh pengalaman itu terjadi
perubahan pada diri, hati, budi, dan tubuhnya. Didalam pengalaman tercakup
beberapa unsur. Subjek dan Ada subjek, manusia yang mengalami, objek yang
dialami, perjumpaan antara subjek yang mengalami dan objek yang dialami, dan
interaksi antara subjek dan objek dimana subjek menanggapi objek yang dialami.
Kata religius berasal dari kata latin religious yang merupakan kata sifat
dari kata benda religio. Asal-usul kata religious dan religio itu sulit dilacak. Orang
menghubung-hubungkan kata itu dengan kerja re-eligere yang berarti memilih
kembali atau re-ligare yang berarti memilih kembali. Atau, kata re-ligare yang
berarti mengikat kembali. Atau, kata relegare yang berarti terus menerus berpaling
kepada sesuatu. Akan tetapi, pencarian dan pemilihan asal kata itu lebih
merupakan usaha untuk memberi pembenaran pada arti kata religio daripada
pengungkapan arti yang sebenarnya. Dalam kata religio terkandung tiga unsur.

8
Muhammad Pujiono, Analisi Nilai-nilai Religius dalam Cerita Pendek Karya Mizawan
Kenzi, Repository.usu.ac.id/bitstream, diakses pada Selasa Tanggal 28 Desember 2010, Pkl.
14.00 WIB.

18

1. Unsur memilih kembali ke sesuatu yang sudah ada tetapi dengan


berjalannya waktu menjadi terlupakan.
2. Unsur mengikat diri kembali pada sesuatu yang dapat dipercaya dan
diandalkan, yang sebelumnya sudah ada akan tetapi telah putus atau tidak
disadari
3. Sesudah memilih kembali dan mengikatkan diri, manusia terus-menerus
berpaling pada sesuatu itu.
Dengan demikian, pengalaman religius adalah pengetahuan manusia akan
sesuatu yang ada di luar dirinya, melebihi dan mengatasi dirinya, yang
trasenden, yang Ilahi, yang diperoleh secara langsung melalui hubungan sadar
antara dirinya dan sesuatu yang melebihi dirinya itu.
Menurut Rudolf Otto, sewaktu mengalami yang Trasenden, manusia
mengalami dua perasaan yang saling bertentangan. Di satu pihak manusia merasa
tertarik karena yang trasenden itu fascinosum, penuh daya pesona. Akan tetapi di
lain pihak, manusia juga mengalami perasaan takut-gemetar karena yang
Trasenden itu tremendum, penuh daya yang memaksa orang menjadi takut.9
Manusia

mampu

mengetahui

Allah

melalui

pemikiran

dan

perenungannya.manusia juga dapat mengalami Allah melalui pengalaman


religiusnya. Untuk dapat mengetahui Allah dan kehendaknya bagi umat manusia,
maka mnusia perlu menggunakan akal budinya. Titik tolak untuk berpikir tentang
Allah itu adalah alam raya beserta segala gejalanya. Manusia dapat memperdalam
pengetahuannya mengenai allah itu dengan merenungkan asal-usulnya, hidup
yang sedang dijalaninya, dan hidupnya dimasa depan. Pengetahuan mengenai
Allah itu dapat diperdalam dengan mempelajari tradisi-tradisi keagamaan
masyarakat tradisional dan kitab-kitab suci agama wahyu.10
Manusia tidak hanya dapat mengetahui Allah, melainkan juga dapat
mengalaminya dalam hidup nyata. Untuk itu, manusia perlu mengembangkan
kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam peristiwa-peristiwa hidup yang
dialaminya. Dengan demikian, pengetahuan dan pengalaman akan allah tidak
9

Agus M. Harjana, Religoisitas, Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta: Kanisuis, 2005),


Cet 1, h. 2930.
10
Ibid., 2930.

19

terjadi dengan sendirinya, tetapi perlu usaha. Usaha itu tidak mudah dan tidak
ringan, tetapi hasilnya sangat melimpah-limpah. Dari pengetahuan dan
pengalaman akan Allah itu, manusia sampai pada keadaan di mana ia merasa dan
sadar akan hubungan serta ikatannya kembali dengan allah. Perasaan dan
kesadaran itu disebut religiositas, dan dari religiositas inilah lahir agama.
Dengan demikian, religiositas merupakan sumber, pangkal, jiwa,
semangat, dan roh agama. Dalam religiositas itu, agama mendapatkan semangat
dan roh yang sebenarnya. Tanpa religiositas, agama menjadi kering kerontang
seperti tanah tanpa air, sepi seperti rumah tanpa penghuni, kaku seperti batang
pohon yang sudah mati, dan dingin seperti badan tanpa nyawa.11

6. Agama dilepaskan dari Religiositas


Terpisahnya agama dari religiositas dengan kadar

yang berbeda-beda

dapat terjadi pada semua penganut dari agama apa pun dan di mana pun. Hal ini
dikarenakan sumber penyebanya bukan ada pada agama itu sendiri, tetapi ada
pada diri manusia yang menjadi pengaruhnya. Karena keterbatasannya, manusia
mudah terjebak pada kepraktisan: yang penting dilaksanakan, apa maknanya itu
urusan belakangan. Dari mental kepraktisan itu, manusia jatuh pada rutinitas.
Pokoknya berbuat seperti yang sudah-sudah tanpa ambil pusing arti dan
tujuannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada kegiatan hidup sehari-hari, tetapi juga
dalam penghayatan agama.12

11
12

Ibid., h. 47.
Ibid., h. 6162.

20

Maka tidak perlu heran melihat orang beragama mempunyai pengetahuan


tentang dogma agamanya dengan sangat mendalam dan luas, tetapi ia tidak
mengenal Allah, rajin mengikuti ibadat keagamaan, tatapi melaksanakan
kehendak Allah, aktif dalam lembaga dan organisasi keagamaan, tetapi asing
dengan urusan Allah. Karena itu, dalam penghayatan agama, manusia perlu setiap
kali mengembalikan agama ke sumbernya, yaitu religiositas. Dengan cara itu,
penghayatan agama mendapat makna dan dimensi yang sebenarnya dan
mendatangkan dampak nyata bagi hidupnya sendiri, sesame, masyarakat dan
bangsanya, bahkan dunia yang dihuninya.

B. Puisi
1. Pengertian Puisi
Puisi merupakan suatu ungkapan secara implisit, samar dengan makna
yang tersirat, dimana kata-kata condong pada artinya yang kognitif itulah yang
dimaksud dalam puisi. Menurut pendapat lain

puisi ialah hal mencari dan

melukiskan yang diidamkan (the Ideal).13 Ada pula yang mengatakan tentang
puisi sebagai karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan
diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata imajinatif.14

2. Puisi sebagai Genre Sastra


Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki bentuk yang khas,
unik, dan lazim menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dan lebih subtil
dibandingkan genre sastra lainnya, seperti cerpen, novel, maupun drama. bahwa
puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting,
yang digubah dalam wujud yang paling berkesan. Rachmat Djoko Pradopo (1990)

13

Putu Arya, Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa, (Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah,
1983), Cet. IV, h. 910.
14
Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. 1,
h. 1.

21

Sebagai karya sastra, puisi memiliki dua fungsi utama seperti yang
dikemukakan Horatius (Teeuw, 2003: 7), dulce et utile; sastra memiliki fungsi
keindahan/kenikmatan dan kegunaan/bermanfaat bagi pembacanya. Sebuah puisi
biasanya memiliki setidaknya satu dari dua fungsi tersebut. Ada puisi yang indah,
seperti puisi-puisi lirik Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., dan Goenawan
Mohamad, sehingga pembaca merasa nikmat membaca puisi itu, namun
memerlukan proses yang cukup panjang untuk memahaminya.

3. Ciri Puisi
Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud
puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan
wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan
tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan
membedakannya dari bentuk prosa.
Dengan demikian tujuan puisi bukanlah melukiskan kebenaran, melainkan
memuja kebenaran dan memberi jiwa sesuatu gambaran yang lebih indah.
Dalam puisi kita berhadapan dengan suatu cara pengungkapan yang menyirat,
ungkapan tersebut tidak dapat kita uraikan atau analisa secara tuntas, penuh
makna.

4. Hakikat Puisi
Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk
tersebut itu penting. Hakikat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut
puisi. Hakikat puisi terbagi menjadi tiga, yaitu sifat seni atau fungsi estetik,
kepadatan, dan ekspresi tidak langsung.
1) Fungsi Estetik
Puisi memiliki fungsi estetika dominan, yakni fungsi seninya yang berkuasa.
Di dalamnya terdapat unsur-unsur estetik (keindahan) yang merupakan unsurunsur kepuitisan, misalnya persajakan, diksi (pilihan kata), irama, dan gaya
bahasa.

22

2) Kepadatan
Bentuk puisi sangat padat, sebab puisi hanya mengemukakan inti masalah
atau cerita. Dengan demikian, hubungan antarkaliamat bersifat implisit, tidak
dinyatakan secara jelas dan lengkap. Dengan kata lain, puisi mengandung sedikit
kata, tetapi mengungkapkan banyak hal.15
3) Ekspresi yang tidak Langsung
Puisi merupakan ekspresi pengarang secara tidak langsung. Ketidaklangsungan
ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti,
dan penciptaan arti yang dilakukan oleh pengarang itu sendiri, pengungkapan
secara tidak langsung menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.

5. Wujud Puisi
Wujud puisi adalah wujud seni perkataan yang mesra dan mempunyai
bentuk serta criteria puitis berdasarkan pada teori dan periodisasi tertentu. Adapun
wujud puisi dalam perkembangan merupakan suatu bentuk karya liris mesra yang
menuntut pada pencipta untuk mempertanggung jawabkan hasil karya puisinya.16
Hal ini sesuai dengan realitas yang ada dan menuntut pada ketegasan pendapatnya
yang tertuang dalam karya puisi bersangkutan. Dengan demikian agar kita tetap
kembali memahami proses penciptaan puisi sesuai dengan perkembangannya.

6. Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
a. Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1)
hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada
(tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas,
ritme, dan rima.

15

Asul, Wiyanto, Kesusastraan Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,


2005), Cet. 1, h. 29.
16
Abdul, Jalil, Daniel, Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1984),
Cet. 10, h. 14.

23

b. Waluyo mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang
disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa
ungkapan batin pengarang.
c. Dick Hartoko dalam Waluyo, menyebut adanya unsur penting dalam puisi,
yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur
tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis
menunjuk ke arah struktur fisik puisi.17
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7)
bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini,
menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu
struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi,
imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).

7. Proses Penciptaan
Dalam penciptaan sebuah puisi yang harus kita pahami terlebih dahulu
adalah mengenai hidup dan kehidupan sosial. Karena dari sebuah karya puisi yang
baik di dalamnya tercermin bagian dari bentuk serta proses hidup dan
perikehidupan sosial dengan maksud menyampaikan segala aspirasi yang
timbul.18 Bahan-bahan yang terangkum dalam dari peristiwa sosial itu merupakan
bagian dari inspirasi yang memberikan jawaban bagi penilaian seorang penyair.
Hal ini merupakan tahapan dari proses penciptaan puisi, disamping itu kita harus
memahami pengertian puisi itu sendiri. Faktor penilaian terhadap suatu peristiwa
sosial memerlukan kedewasaan dalam cara menilai. Penilaian yang lebih
sempurna dapat terselusuri dari pengalaman hidup sendiri.
Lebih jelas lagi kita pelajari hal-hal di bawah ini proses penciptaan puisi
secara bertahap.

17

Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987). Cet. IV, h,

27.
18

Daniel, Op.Cit., h. 16.

24

a. Pengalaman
Pengalaman merupakan hal yang sangat penting bagi seorang penyair
untuk mengetahui secara aktual setiap peristiwa yang berkaitan dengan apa yang
akan di tuangkan dalam sebuah karya puisi.
b. Penafsiran
Pengertian penafsiran merupakan sebuah kebulatan pikiran yang
sementara dan pandangan sementara pula terhadap suatu peristiwa atau terhadap
suatu pengalaman yang mampu untuk di ungkapkan secara tertulis.
c. Penilaian
Dalam menilai suatu peristiwa tiap individu berbeda-beda, namun
hakekatnya penilaian merupakan penentuan keyakinan benar atau tidaknya suatu
peristiwa.
d. Penghayatan
Penghayatan mempunyai posisi yang sangat penting untuk mewujudkan sebuah
karya puisi yang baik dan sesuai dengan perkembangannya. Dalam proses
penghayatan adalah menegakkan keutuhan suatu peristiwa dengan sutuhnya.
e. Memutuskan
Dalam memutuskan gagasan atau idenya dalam karya puisi terletak pada
peristiwa yang dihadapinya.
f. Pencurahan
Yang dimaksud dengan pencurahan yaitu bersatunya segala aspek dan
terekrutnya segala proses yang telah bulat sehingga segala inspirasi dapat
dituangkan ke dalam bentuk karya puisi. Pencurahan merupakan proses yang
sangat menentukan hasil cipta karya puisi.19

19

Ibid., 1823.

25

8. Struktur Fisik Puisi


Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
1. Perwajahan puisi (tipografi)
Perwajahan puisi (tipografi), disebut juga ukiran betuk. Dalam sebuah
puisi diartikan sebgai tatanan larik, bait, kalimat, frasa, kata, dan bunyi untuk
menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana.20

2. Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secara cermat
mungkin.21 Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 1987:68-69)
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami sembilan aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa
tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan
kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)

3. Imaji
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu imaji penglihatan (visual), imaji suara (auditif), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakanakan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.22

20

M. Atar, Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), Cet. 1, hal. 135.
Waluyo, Op.Cit.,h. 6869.
22
Waluyo, Op.Cit.,h. 10.
21

26

4. Kata konkret
Kata konkret adalah penyair ingin mengembangkan sesuatu secara lebih
konkret. Oleh karena itu, kata-kata diperkonkret. Bagi penyair mungkin dirasa
lebih jelas karena lebih konkret, namun bagi pembaca sering lebih sulit ditafsirkan
maknanya. 23

5. Bahasa figuratif
Bahasa figuratif atau dapat disebut juga dengan bahasa kiasan, bahasa
kiasan ini dapat menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa
kiasan ada bermacam-macam, namun mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum,
yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.24

6. Versifikasi
Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima
mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan
efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi,
asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak
penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92], dan (3)
pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek,
keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

23

Waluyo, Op.Cit., h. 9.
Rachmat Djoko, Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti
Press, 2005). Cet. IX, h. 6162.
24

27

9. Struktur Batin Puisi


Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Tema atau makna (sense)
Media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun
makna keseluruhan.

b. Rasa (feeling)
Rasa yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat
dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar
belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan,
agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia,
pengalaman

sosiologis

dan

psikologis,

dan

pengetahuan.

Kedalaman

pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak


bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan
bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya.

c. Nada (tone)
Nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan
nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan
masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada
sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain.

d. Amanat atau tujuan atau maksud (itention)


Sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan
puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun
dapat ditemui dalam puisinya.

28

10. Fungsi Puisi


Fungsi puisi adalah fungsi spiritual yang sifatnya tidak langsung bagi
kehidupan fisikal yang praktis. Hal ini sesuai dengan hakikat puisi yang
merupakan ekspresi tidak langsung. Kegunaan puisi ini berhubungan dengan
kehidupan kebatianan dan kejiwaan manusia. Puisi mempengaruhi kehidupan
manusia lewat kehidupan batin dan kejiwaannya. Lewat kehidupan kejiwaan ini
puisi mempengaruhi aktivitas kehidupan fisik manusia.
Karena puisi itu karya seni untuk menyampaikan gagasan, mka fungsi
puisi adalah dulce (indah) dan utile (berguna, bermanfaat). Dulce berhubungan
dengan ekspresi dan sarana ekspresinya, sedangkan utile, berhubungan dengan
muatan yang dikandung puisi berupa ajaran, gagasan, atau pikiran.
Puisi merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa
kemanusiaan. Karya seni itu, termasuk puisi, berupa mengembalikan nilai-nilai
kemanusiaan yang terkikis teknologi dan menyadarkan kembali manusia pada
kedudukannya

sebagai

subjek

dalam

kehidupan

ini.

Puisi

berusaha

mengembalikan stabilitas, keselarasan, dan keutuhan dalam diri manusia.25

11. Struktur Puisi dan Unsur-unsurnya


Karya sastra, termasuk puisi, adalah sebuah struktur. Sebuah struktur
menyiratkan adanya unsur-unsur pembentuk. Puisi adalah sebuah struktur yang
kompleks, yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berjalinan dengan erat.
Unsur-unsur itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Sebuah unsur hanya mempunyai arti
dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya di dalam struktur itu dan kaitannya
dengan keseluruhannya. Unsur struktur adalah unsur fungsional, yaitu mempunyai
tugas (fungsi) tertentu dalam menyusun struktur.
Puisi adalah struktur yang komplek. Oleh karena itu, untuk dipahami
haruslah dianalisis. Akan tetapi, tidak semua analisis sama baiknya. Analisis yang

25

Rachmat Djoko, Pradopo, dkk, Puisi, (Universitas Terbuka, 2007), Cet. III, h. 1.44.

29

tidak benar hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen atau koleksi fragmen.
Unsur koleksi bukanlah bagian struktur yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
dalam analisi haruslah dilihat hubungan antarbagian itu mengingat unsur struktur
itu unsur yang fungsional.
Sampai sekarang dikenal analisis dikotomis bentuk dan isi karya sastra.
Analisis bentuk dan isi itu tidak menggambarkan wujud puisi yang sebenarnya
karena bentuk dan isi puisi itu tidak dapat dipisahkan secara mutlak. Bentuk dan
isi tersebut bercampur hingga mana yang bentuk dan mana yang isi itu tidak jelas.
Untuk mengatasi masalah analisis bentuk dan isi itu ada usaha lain, yaitu analisis
fenomenologis. Analisi fenomenologis itu dibuat oleh Roman Ingarden, seorang
filsuf dan ahli seni Polandia. Karya sastra itu sesungguhnya merupakan struktur
lapis norma karya sastra. Norma karya sastra itu adalah yang implicit dalam karya
sastra sendiri, tidak berasal dari luar. Analisis Ingarden itu dikemukakan Rene
Wellek dan Austin Warren sebagi berikut.
Karya sastra itu terdiri atas lapis-lapis norma. Lapis norma yang diatas
menimbulkan lapis di bawahnya. Begitu, seterusnya. Lapis norma yang pertama
adalah lapis bunyi. Lapis bunyi menimbulkan lapis kedua, yaitu lapis arti. Lapis
norma ketiga adalah lapis dunia pengarang. Ingarden masih menambahkan dua
lapis norma lagi, yang menurut Wellek dapat disatukan dengan lapis ketiga, lapis
dunia pengarang.
Analisis Ingarden ini adalah analisi yang sangat maju, tetapi ada
kekurangannya karena tidak menghubungkan dengan penilaian. Unsur-unsur
karya sastra tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai mengingat karya sastra adalah
karya seni yang fungsi estetisnya dominan. Oleh karena itu, dalam menganalisis
karya sastra, termasuk puisi, ditunjukkan satuansatuan estetis dari tiap-tiap lapis
norma dan fungsinya dalam struktur tersebut.26
26

Ibid., h. 3.133.14.

30

12. Lapis Bunyi dan Lapis Arti


Analisis lapis bunyi dan lapis arti itu sarana yang terpenting untuk
memahami puisi. Hal ini disebabkan oleh puisi itu bersifat liris. Oleh karena itu,
sarana ekspresinya yang utama berupa satuan bunyi dan satuan arti. Sebaliknya,
prosa bersifat epis atau naratif, maka sarana utamanya satuan pencerita, lapis
dunia pengarang. Satuan-satuan estetik bunyi adalah persajakan, kiasan bunyi, dan
orkestrasi. Dalam puisi, satuan-satuan bunyi itu saling berjalinan untuk bunyi itu
berjalin erat dengan satuan-satuan estetik lapis arti untuk mendapatkan nilai seni
sebanyak-banyaknya. Di antara satuan estetik bunyi adalah sajak. Sajak adalah
ulangan bunyi, bauk berupa asonansi, aliterasi, sajak awal, sajak dalam, sajak
akhir, mauun sajak tengah.
Dalam puisi lama ada pola sajak (sajak akhir) yang mengikat. Dalam puisi
pujangga barumasih dipergunakan pola sajak akhir, tetapi tidak mengikat. Dalam
arti boleh dibuat variasi pola-polanya. Dalam puisi periode berikutnya persajakan
sebagai sarana kepuitisan, tetapi disesuaikan dengan fungsi eksprsivitasnya, tidak
usah harus terpola. Bahkan, ada kecenderungan untuk tidak mempergunakan
persajakan pada periode 19701990 karena sajak ditulis seperti bentuk formal
prosa. Di samping persajakan, sarana kepuitisan bunyi berupa orkestrasi.
Orkestrasi adalah bunyi musik pada puisi. Orkestrasi ini berupa penggabungan
unsur-unsur kepuitisan bunyi yang menyebabkan merdu dan berirama. Orkestrasi
bunyi yang merdu disebut efoni, sedangkan orkestrasi bunyi parau disebut
kakofoni.
Satuan-satuan estetik lapis arti di antaranya berupa diksi, bahasa kiasan,
dan sarana retrotika. Diksi adalah pemilihan kata setepattepatnya. Pemilihan kata
itu disesuaikan dengan ekspresi bunyi, ketetapan arti yang sesuai dengan gagasan
sajak, konsep estetik, dan warna setempat (local colour). Bahasa kiasan ialah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang sebetulnya tidak sama.
Bahasa kiasan itu berfungsi untuk memperjelas gambaran angan
(citraan). Ada beberapa jenis bahasa kiasan: perumpamaan (simile), metafora,
personifikasi, metomini, sinekdoki, perumpamaan epos (epic simile), dan alegori.
Di samping bahasa kiasan, sarana kepuisian untuk mendapatkan nilai estetik

31

adalah sarana retotika (rhetorical device). Sarana retorika ini ialah muslihat
pikiran; berupa pemanipulasian penggunaan bahasa untuk menarik perhatian dan
membuat pembaca berkontemplasi. Sarana ini banyak jenis dan ragamnya.
Diantaranya adalah pleonasme, tautology, paradox, enumerasi, pararelisme,
silepsis, repetisi, dan sebagainya.27

13. Kiasan Bunyi dan Irama


a. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dalam puisi dimanfaatkan untuk
1. Peniruan bunyi atau onomatope
2. Lambang bunyi
3. Kiasan bunyi
Onomatope adalah peniruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Peniruan
bunyi ini dipilih penyair dengan harapan dapat memberikan gambaran suasana
tertentu sesuai degan keinginannya.
Lambang bunyi ialah bunyi yang dihubungkan dengan suasana hati.
Bunyi-bunyi tersebut tampaknya memiliki kaitan yang erat dengan leksikalnya,
dan mampu memberikan gambaran yang jelas atas suasana tertentu. Bahkan,
kadang-kadang bunyi tersebut memiliki semacam karakter yang khas yang erat
kaitannya dengan suasana tertentu
Kiasan bunyi ialah suasana tertentu yang dikiaskan dengan bunyi-bunyi
tertentu yang mirip dengan bunyi tiruan (onomatope)dan lambang bunyi yang ada.
Dalam onomatope antara bunyi dan acuannya memiliki hubungan yang mengacu
secara langsung, sedangkan dalam kiasan bunyi, bunyi yang memiliki acuan
tersebut dikiaskan dengan bunyi lain yang mirip dengan bunyi tersebut untuk
menggambarkan acuan yang sama
4. Rima adalah pengulangan bunyi baik yang berupa aliterasi, asonansi,
maupun rima akhir. Rima ini merupakan unsure estetis dalam puisi dan

27

Ibid, h. 3. 47.

32

dimanfaatkan untuk memberikan kesan merdu indah dan dapat mendukung


suasana yang dikehendaki penyair. 28

b.

Irama Pada umunya, irama sering disamakan dengan istilah ritme. Padahal,

irama sebetulnya ada dua macam, yaitu ritme dan metrum. Akan tetapi, karena
metrum hanya ada dalam teori Barat yang sulit diaplikasikan pada puisi Indonesia,
maka istilah irama dan ritme sering digunakan secara bergantian. Pengertian irama
selalu memiliki ciri-ciri: (1) pengulangan bunyi, (2) pengertian kesatuan
bunyidalam arus panjang pendek, dan (3) memiliki keteraturan. Ketiga cirri
tersebut pada akhirnya membentuk suatu alunan merdu, indah, dan enak didengar.
c.

Ritme ialah pengulangan bunyi abik pada suku kata, kata, frase, maupun

kalimat yang teratur, terus menerus, tidak terputus-putus, bagaikan air yang
mengalir, sedangkan metrum ialah irama yang tetap. Artinya, pergantiannya sudah
tetap dan mengikuti pola tertentu.29

28
29

Ibid., h. 4.28.
Ibid., h. 4. 39.

32

BAB III
PROFIL ABDUL HADI W.M

Data yang diperoleh penulis mengenai profil Abdul Hadi W.M. yakni dari
ensiklopedi sastra Indonesia dan majalah horison tahun 2011.

A. Masa Kecil Abdul Hadi W.M.


Abdul Hadi WM lahir di sumenep tanggal 24 Juni 1946, beliau dari garis
keturunan saudagar Tionghoa yang hijrah dan menetap di Sumenep. Ayahnya,
saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar menikah dengan putri
keraton Solo bernama RA. Martiya. Anak sulung dari empat bersaudara (semua
laki-laki) ini di masa kecilnya sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat
dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore,
dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah mencintai puisi dan dunia tulis
menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan
Chairil Anwar Orang tuanya memiliki sebuah pesantren di kota kelahirannya,
"Pesantren An-Naba", yang sampai saat ini masih dikelola Hadi.
Pada tahun 1978 ia menikah dengan wartawati dan pelukis Tedjawati
Koentjoro, dan dikarunia tiga orang putri Gayatri Wedotami, Dian Kuswandini
dan Ayusha Ayutthaya. Dengan istrinya ia sering terlibat diskusi soal seni, dan
sejak dini selalu membawa anak-anak mereka mengunjungi pameran-pameran
kesenian, di mana Taman Ismail Marzuki mereka jadikan tempat berlibur di akhir
pekan. Ia juga menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles.

B. Pendidikan Abdul Hadi W.M.


Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota
kelahirannya.

Ketika

memasuki

sekolah

menengah

atas,

Abdul

Hadi

meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu di kota


itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat
di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia

32

33

beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil


program studi Antropologi. Selama setahun sejak 19731974 Hadi bermukim di
Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di
University of Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk
mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi
dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains Malaysia di
Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di
universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari
teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina,
Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar di
tahun 2008.

C. Karier Abdul Hadi W.M.


Keterlibatannya dalam dunia jurnalistik diawali sejak menjadi mahasiswa, di
mana Hadi menjadi redaktur Gema Mahasiswa (19671968) dan redaktur
Mahasiswa Indonesia (19691974). Kemudian ia menjadi Redaktur Pelaksana
majalah Budaya Jaya (19771978), redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN) (19791981), redaktur Balai Pustaka (19811983) dan
redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur'an. Sejak 1979 sampai awal 1990-an ia
menjabat sebagai redaktur kebudayaan harian Berita Buana. Tahun 1982 ia
dilantik menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan ketika reformasi bergulir,
dalam pemilu multi partai 1999, atas desakan rekannya Dr. H. Hamzah Haz,
Abdul Hadi dipaksa maju sebagai wakil daerah wilayah pemilihan Jawa Timur
dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 2000 ia dilantik menjadi
anggota Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat Ketua Dewan
Kurator Bayt Al-Qur'an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan
Muhammadiyah, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dan anggota Dewan Penasihat PARMUSI (Persaudaraan Muslimin
Indonesia).

34

Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah
Universitas Paramadina, dosen luar biasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan The
Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London kampus Jakarta.
Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail,
Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program
Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di bawah naungan Departemen Pendidikan
Nasional dan Yayasan Indonesia, dengan sponsor dari The Ford Foundation.

D. Karya Abdul Hadi W.M.


Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi
sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan
waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering
membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi
religius. Namun ia membantah. Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk
mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan
sisi moralistisnya. Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat
dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul
Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan
pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan
prinsip-prinsip seni Islami, ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial
dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis
dan sekuler.
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat
di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan
Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka
Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi
antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji
Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin,
Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak
Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah

35

karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz,
Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis
beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis,
Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan
Spanyol. 1

E. Penghargaan
Pada Tahun 1969 ia memperoleh hadian puisi terbaik II majalah sastra
Horison, pada tahun 1978 menerima hadiah buku puisi terbaik dewan kesenian
Jakarta. Tahun 1979 Abdul Hadi mendapatkan anugerah seni dari pemerintah
republik Indonesia, dan pada Tahun 1985 SEA Write Award di Bangkok,
Thailand. Pada tahun 2003 memperoleh hadiah mastera dari Kuala Lumpur.
Banyak pertemuan penyair dan sastra dihadiri di Indonesia, Malaysia, Filipina,
Jepang. Thailan, Korea Selatan, Rotterdam, London, Amerika serikat, Libya, Iraq,
Iran, dan lain-lain. Puisi-puisinya telah diterjemahkan kedalam bahasa inggris,
Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailad, Arab, Bengali, Urdu, Korea, dan
Spanyol.2

1
2

Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu Bandung, 2004), Cet. 1, h. 10.
Nur, Sutan, Iskandar, Horison Majalah sastra, Februari, 2011. Hal 36.

36

BAB IV
HASIL PENELITIAN

NILAI RELIGIUSITAS PADA DUA PUISI KARYA ABDUL HADI W.M.


(Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi)

A. Struktur Fisik Puisi


Tuhan Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
(Abdul Hadi W.M., 1977, Tergantung Pada Angin)
1. Perwajahan Puisi (tipografi)
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat memiliki tifografi yang khas kerena puisi
tersebut masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari
empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi
W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, puisi tersebut
tiap bait terdiri dari empat baris, serta keteraturan dalam hubungan manusai
dengan tuhan, alam dan dengan dirinya sendiri. Sehingga puisi tersebut terasa
indah maknanya.

36

37

2. Diksi
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan
bunyi, dan urutan kata. Geoffrey dalam Waluyo (dalam Waluyo, 1987:68-69),
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami sembilan aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa
tertentu oleh kelompok atau profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan
kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Seperti pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, dapat dilihat pada baris
pertama sampai baris kedua. Tuhan. Kita Begitu Dekat, merupakan sapaan yang
berarti yang diyakini, dipuja, yang disembah oleh manusia sebagai yang
Mahakuasa. Kita dalam hal ini mengacu pada aku dan Tuhan, begitu
dekat berarti sangat dekat dan tidak terbatas. Hubungan antara aku dengan
Tuhan yang sangat dekat dan tidak terbatas itu duimpamakan dengan majas
perumpamaan yakni terlihat pada baris ketiga. Seperti api dengan panas. Api
dan panas merupakan dua hal yang sangat sulit dipisahkan. Adanya panas karena
adanya api, dan keberadaan api ditandai oleh panas, sehingga keduanya saling
ketergantungan, hubungan antara aku dengan Tuhan yang sangat rapat atau
bersatu dan dalam hubungan tersebut ada unsur yang saling ketergantungan.
Gambaran mengenai hubungan aku dengan Tuhan pada baris pertama
sampai baris ketiga, kemudian diperjelas lagi pada baris keempat. Aku panas
dalam apimu. aku dikiaskan dengan panas. aku adalah panas, dan
panas bersumber dari apimu. Metafora tersebut menimbulkan kejelasan sifat
aku. Kata panas dan apimu dapat diinterpretasikan sebagai manusia dan
Tuhan (Pencipta). Hubungan antara aku dengan Tuhan dalam hal ini sudah
menyatu.
Baris kelima sampai baris ketujuh. Tuhan. Kita begitu dekat. Seperti kain
dengan kapas. Pada dasarnya mengandung makna yang sama dengan baris
pertama dan kedua, hanya saja dalam konteks ini kedekatan hubungan antara
aku dengan Tuhan diumpamakan dengan majas perumpamaan pada baris
ketiga. Perumpamaan seperti kain dengan kapas pada dasarnya sama dengan

38

perumpamaan sebelumnya. kain dan kapas merupakan dua benda yang


secara aktual berbeda, namun secara esensial sama, karena kain terbuat dari kapas.
Tanpa kapas kain tidak akan ada. Dalam hal ini kapas merupakan bahan
dasar pembuatan kain, dan kain dapat berfungsi melindungi tubuh kita atau sebgai
alat pelindung.

Hubungan tersebut mencerminkan kedekatan antara aku

dengan Tuhan, dan Tuhan sebagai pelindung si aku.


Hubungan antara aku dengan Tuhan, kemudian dipertegas lagi pada
baris kedelapan. aku kapas dalam kainmu. aku dikiaskan dengan
kapas(metafora). Penggunaan metafora itu pada hakikatnya untuk memperjelas
keterikatan antara Tuhan dengan manusia. Jadi, aku merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu.
Seperti halnya dengan makna baris pertama sampai baris kesepuluh, baris
kesebelas pun menggambarkan kedekatan hubungan antara aku dengan
Tuhan. Baris kesepuluh sampai baris kebelasTuhan kita begitu dekat. Seperti
angin dengan arahnya. Hanya merupakan pengulangan dari baris sebelumnya
dan sekaligus berfungsi menekankan makna kedekatan yang terkandung pada
baris tersebut. Pada baris kesebelas kedekatan hubungan aku dengan Tuhan
diumpamakan melalui majas perumpamaan yang menggunakan kata angin dan
arahnya. Perumpamaan itu pada dsarnya sama dengan kedua perumpamaan
yang telah dibahas di atas. Angin hanya dapat dipahami melalui arahnya dan
sebaliknya, arah angin merupakan petunjuk adanya angin. Kata angin dan
arahnya masing-masing ditujukan pada Manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini
Tuhan hanya dapat dipahami, melalui mahluknya (manusia) dan manusia
merupakan bukti adanya Tuhan.
Gambaran kedekatan hubungan aku dan Tuhan yang terkandung
pada baris pertama sampai baris kesebelas, kemudian dipertegas lagi pada baris
kedua belas Kita begitu dekat. Masalah kedekatan

hubungan aku dan

Tuhan pada keenam kalimat di atas kemudian dipertegas pada baris ketiga
belas sampai baris kelima belas. Kedekatan itu dapat dikatakan sebagai persatuan
hamba dengan Tuhan yakni pada saat keadaan gelap tidak ada cahaya atau
penerangan kemudian kini aku nyala berarti adanya cahaya atau mendapatkan

39

cahaya kemudian dipertegas lagi dengan pada lampu padammu merupakan


ungkapan rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas. Hal itu
tergambar pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas dalam gelap kini
aku nyala pada lampu padammu.
Dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa
puisi mengalami Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Tuhan Kita Begitu
Dekat, adapun aspek penyimpangan yang paling dominan pada puisi Tuhan Kita
Begitu Dekat, yakni terdapat pada penyimpangan semantis dapat kita lihat pada
baris keempat aku panas dalam apimu, baris kedelapan Aku kapas dalam
kainmu, dalam gelap, kini aku nyala, pada lampu padammu.

3. Imaji
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pengimajian yang digunakan oleh
penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji
taktil).
Iamji pengliatan (imaji visual) dapat kita lihat pada baris ketiga belas
sampai baris kelima belas dalam gelap, kini aku nyala, pada lampu
padammu. Kedekatan itu dapat dikatakan sebagai persatuan hamba dengan
Tuhan yakni pada saat keadaan gelap tidak ada cahaya atau penerangan kemudian
kini aku nyala berarti adanya cahaya atau mendapatkan cahaya kemudian
dipertegas lagi dengan pada lampu padammu merupakan ungkapan rasa syukur,
bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.
Sedangkan imaji peraba atau sentuh (imaji taktil) terdapat pada baris
pertama yakni Tuhan, merupakan sapaan si aku terhadap Tuhan yang dipuja da
diyakini kemudian dilanjutkan pada baris kedua kita begitu dekat, yakni
kedekatan antara aku dengan Tuhan sangat dekat dan rapat sehingga si aku merasa
sangat dekat, baris ketiga seperti api dengan panas, merupakan dua hal yang
sulit dipisahkan, adanya panas karena adanya api dan keberadaan api ditandai oleh
panas. Kata api berarti cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar atau nyala.
Sedangkan kata panas berarti terasa seperti terbakar atau terasa dekat dengan api.
Baris keempat aku panas dalam apimu, aku diumpamakan dengan panas dan

40

Tuhan diumpamakan dengan apimu hubungan antara aku dengan tuhan sangat
melekat sebagaimana telah diumpamakan seperti api dengan panas, aku panas
dalam apimu. Baris kelima Tuhan, pengulangan kata sama seperti baris
pertama yakni si aku menyapa Tuhannya. Kemudian baris keenam Kita begitu
dekat, baris ketujuh seperti kain dengan kapas, baris kedelapan aku kapas
dalam kainmu, baris kesembilan Tuhan, baris kesepuluh, kita begitu dekat,
baris kesebelas seperti angin dan arahnya.
Pada baris kelima sampai baris kesebelas merupakan pengulanganpengulangan seperti pada baris pertama sampai baris kelima, namun
perumpamaan yang digunakan berbeda yakni pada baris ketujuh seperti kain
dengan kapas, kapas merupakan bahan untuk pembuatan kain sedangkan kain
merupakan alat pelindung tubuh kita, dengan demikian keduanya saling berkaitan
sehingga hubungan antara aku dengan Tuhan menjadi utuh. Kemudian
perumpamaan aku kapas dalam kainmu dapat diartikan hubungan antara aku
yang diumpamakan dengan kapas dan Tuhan diumpamakan dengan kainmu
mencerminkan bahwa kedekatan hubungan manusia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu. Kemudian pad baris kedua belas
kita begitu dekat, dalam konteks ini si aku menegaskan bahwa hubungan antara
aku dengan Tuhan itu sangatlah dekat, pada baris kesebelas ini si aku
menyakinkan bahwa aku dengan tuhan sangat dekat.

4. Kata Konkret
Pada puisi Tuhan kita begitu dekat kata konkret terdapat pada baris ketiga
Sebagai api dengan panas, pada kalimat tersebut menggambarkan kedekatan
antara aku dengan Tuhan. Kemudian pada baris keempat Aku panas dalam apimu
Merupakan hubungan aku dengan Tuhan sangat paralel dengan kaitan antara
panas dan api dan keduanya tak terpisahkan. Pada baris ketujuh, seperti kain
dengan kapas, baris kedelapan aku kapas dalam kainmu. Serta baris kesebelas
Seperti angin dan arahnya. Pada dasarnya maknanya sama seperti baris
sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan baris keempat belas sampai lima belas
kini aku nyala pada lampu padammu dalam hal ini si aku mendapatkan cahaya

41

kemudian dipertegas lagi dengan pada lampu padammu merupakan ungkapan si


aku atas rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.

5. Bahasa Figuratif
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat majas yang digunakan adalah:
a. Majas Perbandingan, yakni pada baris ketiga sebagai api dengan panas, baris
ketujuh seperti kain dengan kapas, dan baris kesebelas seperti angin dan arahnya.
b. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain
tetapi tidak menggunakan kata pembanding. Metafora dalam puisi Tuhan Kita
Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu, yakni aku
dikiaskan dengan panas dan Tuhan dikiaskan dengan apimu dan baris kedelapan
aku kapas dalam kainmu pada dasarnya mengiaskan antara aku (manusia) dengan
Tuhan sama seperti baris keempat.
c. Perumpamaan Epos, perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang yaitu
bentuk dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut
dalam kalimat atau frase berturut-turut. Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat
terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu dan serta pada baris ketujuh
aku kapas dalam kainmu.
d. Personfikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda
mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. Majas
personifikasi pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris ketiga api
dengan panas, baris ketujuh kain dengan kapas, serta baris kesebelas angin dan
arahnya. Dalam hal ini penyair menyamakan manusia dengan Tuhan yang
hubungannya sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.

6. Versifikasi
Verifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dna metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama
(ritme) adalah pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Sedangkan metrum
adalah pengulangan tekanan kata yang tetap.

42

a. Rima (pengulangan bunyi), pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat pada tiap baris
terdapat kesamaan bunyi [a], [i], [u], dan [e] yang muncul secara berulang.

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Bunyi [a] terdapat pada baris pertama sampai keempat yakni tuhan,
kita, dekat, sebagai, dengan, Panas, aku, panas , dalam,
apimu. Kemudian pada baris kelima sampai kedelapan, kita, dekat,
dengan, kapas, aku kapas, dalam. Baris kesembilan sampai baris
kedua belas, tuhan, kita, dekat, angin, arahnya, kita, dekat.
kemudian dilanjutkan pada baris ketiga belas sampai baris kelima belas kata
dalam, gelap, aku, Nyala.
Dalam hal ini bunyi [a] merupakan bunyi yang sangat dominan pada puisi
ini. Bunyi [a] cenderung lebih terbuka (lepas).
Bunyi [i] terdapat pada baris pertama sampai baris keempat kita,
sebagai, api. Baris keenam sampai baris ketujuh kita, seperti, kain.
Kemudian pada baris kesepuluh sampai baris kedua belas kita, seperti,
angin, kita. Dilanjutkan pada baris keempat belas kini.
Bunyi [u] pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris pertama
dan baris keempat begitu, aku, apimu. Baris kelima, keenam dan

43

kedelapan begitu, aku, kainmu. Baris kesembilan, sepuluh dna kedua belas
tuhan, begitu, begitu. Kemudian pada baris keempat belas dan lima belas
aku, lampu, padammu.
Bunyi [e] terdapat pada baris kedua dan ketiga begitu,

dekat,

seperti, dengan. Baris keenam dan ketujuh sama sepeti baris kedua dan
ketiga yakni begitu, dekat, seperti. Kemudian baris kesepuluh, sebelas ,
dua belas, dan tiga belas begitu, dekat, seperti, begitu, dekat,
gelap.
b. Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Pada puisi ini
terdapat pada baris pertama Tuhan, baris kedua kita begitu dekat, baris
kelima dan keenam Tuhan, kita begitu dekat. kemudian pada baris
kesembilan, sepuluh, dan dua belas Tuhan, kita begitu dekat, kita begitu
dekat.
c. Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Pengulangan kata
tersebut pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris baris pertama
Tuhan, baris kedua kita begitu dekat, baris kelima dan keenam Tuhan,
kita begitu dekat. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas
Tuhan, kita begitu dekat, kita begitu dekat. Hal ini menimbulkan tekanan
irama yang mengalun ritmis, lembut, dan lebih terasa akrab.

B. Berdasarkan Struktur Batin Puisi


1. Tema
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, penyair menggunakan tema religius,
yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih
merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya. Dalam hal ini
penyair menggunakan tema ketuhanan (religius), karena terdapat pada beberapa
baris penyair mengungkapkan kedekatannya degan Tuhan, dapat kita lihat pada
bagian imaji puisi tersebut yakni sebagai berikut.
Imaji peraba atau sentuh (imaji taktil) terdapat pada baris pertama yakni
Tuhan, merupakan sapaan si aku terhadap Tuhan yang dipuja da diyakini
kemudian dilanjutkan pada baris kedua kita begitu dekat, yakni kedekatan

44

antara aku dengan Tuhan sangat dekat dan rapat sehingga si aku merasa sangat
dekat, baris ketiga seperti api dengan panas, merupakan dua hal yang sulit
dipisahkan, adanya panas karena adanya api dan keberadaan api ditandai oleh
panas. Baris keempat aku panas dalam apimu, aku diumpamakan dengan panas
dan Tuhan diumpamakan dengan apimu hubungan antara aku dengan tuhan sangat
melekat sebagaimana telah diumpamakan seperti api dengan panas, aku panas
dalam apimu. Baris kelima Tuhan, pengulangan kata sama seperti baris
pertama yakni si aku menyapa Tuhannya. Kemudian baris keenam Kita begitu
dekat, baris ketujuh seperti kain dengan kapas, baris kedelapan aku kapas
dalam kainmu, baris kesembilan Tuhan, baris kesepuluh, kita begitu dekat,
baris kesebelas seperti angin dan arahnya.
Pada baris kelima sampai baris kesebelas merupakan pengulanganpengulangan seperti pada baris pertama sampai baris kelima, namun
perumpamaan yang digunakan berbeda yakni pada baris ketujuh seperti kain
dengan kapas, kapas merupakan bahan untuk pembuatan kain sedangkan kain
merupakan alat pelindung tubuh kita, dengan demikian keduanya saling berkaitan
sehingga hubungan antara aku dengan Tuhan menjadi utuh. Kemudian
perumpamaan aku kapas dalam kainmu dapat diartikan hubungan antara aku
yang diumpamakan dengan kapas dan Tuhan diumpamakan dengan kainmu
mencerminkan bahwa kedekatan hubungan manusia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari Tuhan dan keduanya menyatu. Kemudian pad baris kedua belas
kita begitu dekat, dalam konteks ini si aku menegaskan bahwa hubungan antara
aku dengan Tuhan itu sangatlah dekat, pada baris kesebelas ini si aku
menyakinkan bahwa aku dengan tuhan sangat dekat.

2. Perasaan (feeling)
Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, perasaan yang diungkapkan oleh
penyair yakni perasaan dekat karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan
perasaannya yamg menggambarkan kedekatannya kepda tuhan sehingga merasa
lebih akrab, dengan alunan yang syahdu, lembut, dan lebih bersemangat untuk
mendekati Tuhan.

45

3. Nada dan Suasana


Disamping tema, puisi juga mengungkapkan nada dan suasana kejiwaan.
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu dengan
demikian terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes,
menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas
kasih, takut, mecekam, kharismatik, filosofis, khusyuk dan sebagainya.
Nada dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, yakni terasa lebih halus,
tidak memaksa dan mengajak secara liris untuk mengayati setiap baris dalam puisi
tersebut. sedangkan suasana puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pembaca merasa
tersentuh karena penggunaan perumpamaan-perumpamaan yang sangat inderawi
seperti pada baris ketiga, keempat, ketujuh, kedelapan, dan kesebelas. Seperti api
dengan panas, Aku panas dalam apimu , Seperti kain dengan kapas, Aku
kapas dalam kainmu, Seperti angin dan arahnya.

4. Amanat
Amanat pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat bahwa hati manusia yang
mencari Tuhannya akan menjadi terang apabila mendapat petunjuk dari yang ia
tuju, yakni seperti pada baris ketiga belas, empat belas, dan kelima belas. Dalam
gelap, Kini aku nyala, Pada lampu padammu.

5. Makna
Makna puisi Tuhan Kita Begitu Dekat merupakan gambaran perasaan
keakraban yang sangat dekat (aku atau manusia) terhadap Tuhan karena
memperoleh cahaya Tuhan. Perasaan keakraban itu

sangat dekat dan rapat

bagaikan air yang mengalir lepas tanpa terputus sehingga si aku merasa sangat
dekat sehingga menyebabkan aku dan Tuhan merasa bersatu dan tak terpisahkan.
Kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan dapat kita lihat pada bagian
pengimajian yakni (imaji taktil dan imaji visual), tema, perasaan (feeling), nada
dan suasana,amanat (pesan). Dalam bagian-bagian tersebut yang menerangkan

46

kedekatan antara aku dengan Tuhan yang sulit dipisahkan antara satu dan yang
lainnya.
Ungkapan Tuhan Kita Begitu Dekat dapat dirujukkan pada QS AlBaqarah ayat 186 yang artinya Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah)bahwasanya aku dekat.
Dan QS Qaaf ayat 16 yang artinya kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya.

47

Puisi Meditasi Karya Abdul Hadi W.M.


MEDITASI
Bagian I
Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan.
Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita
sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke
sana hendak mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang
sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang
sama.
Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai.
demi jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan
dosa kami seluruhnya, begitu nyanyian mereka, Tuhan, pujaan Ayub
dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammadbentangkanlah pada
kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan.
O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini
Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore
Bagian II
Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan
cipta dalam sebatang kayu.
Kebenaran kudapat dari embun dan mawar.
Abadi.
Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang
Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan minta aku menyusu pula
hingga kering dan mandul teteknya.
Itulah dunia
Bagian III
Akupun sudah letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid.
Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya,
Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel! teriaknya.
Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula
Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.
Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa?
Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi
seorang dukun di Madura.
Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati.
Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah
flat karena aku pun adalah rumah-Nya.

48

Bagian IV
Bercakap-cakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu.
Mengetuknya berkali-kali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia
sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di gereja.
Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari
kemauanku sendri. Kata mereka, Berbaiklah kepada semua orang
dan berjalanlah Di jalan suci! Bagai seekor keledai aku pun
melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah
gurun.
Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah
malam. Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi.
Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa.
Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku
ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus. Dan kota
suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacingcacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang
berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru.
Bagian V
Tidak. Sebaiknya kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin.
Tapi jangan lagi mewujud atau menjelma.
Tuhan. Siapakah namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu?
Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula AgamaMu?
Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori
tentang Aku dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya
Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana
dan sedang menuju ke mana.
1974
A. Analisis Struktur Fisik Puisi

1. Perwajahan Puisi
Puisi Meditasi memiliki tipografi yang khas kerena puisi tersebut
merupakan puisi yang panjang yakni terdiri dari lima bagian puisi yang disebut
juga sebagai puisi prosais. Puisi ini tidak terikat dengan struktur fisik puisi yakni
pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang
klasik yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi
keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris,
pemenggalan kalimat.

49

2. Diksi (pilihan kata)


Dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa
puisi mengalami Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Meditasi, adapun
aspek penyimpangan pada puisi Meditasi, yakni terdapat pada penyimpangan
semantis dan penyimpangan grafologi. adapun penyimpangan semantik dapat kita
lihat sebagai berikut.
Pada puisi Meditasi bagian 1, dapat dilihat pada baris pertama, Kupeluk
sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Dalam hal ini penyair menggambarkan
penyatuan diri dengan alamnya. Disaat si aku merasa bersatu dengan Tuhan si aku
merasa kedinginan. Kemudian pada baris kedua, Di gerbang cahaya yang
berkilauan akan segera Nampak di depan kita sebuah gereja tua. Serta
dilanjutkan pada baris ketiga, Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke
sana hendak mensucikan diri. Baris keempat, Sebab selalu ditempuhnya jalan
yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang
sama. Pada baris kelima, Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin
di pantai.
Penyair mengungkapkan dengan melihat tanda tuhan kita akan melihat
rumah tuhan tersebut. Pada kalimat tersebut burung yang pergi ke gereja tersebut
hendak mensucikan diri. Kata paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai
tersebut mengacu pada doa burung yang hendak pergi ke gereja tersebut.
Kemudian dilanjutkan lagi pada baris keenam, Demi jesus, pahala sorga dan
kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya, begitu nyanyian
mereka. Disambung dengan baris ketujuh sampai baris kedelapan, Tuhan,
pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad bentangkanlah pada
kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan. Dalam hal ini
burung- burung bersumpah akan menghapuskan dosanya demi mendapat
pahala,serta tuhan yang dituju pun berbeda.
Baris kesembilan, O, burung-burung sudahkah kau baca farid Attar?.
Kemudian baris kesepuluh, Yerussalem dan mekkah tidak selus hati dan jiwa
ini. Dilanjutkan pada baris kesebelas, Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga
dalam hatimu. Baris kedua belas, Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang

50

sore. Si aku diperintahkan membaca buku tentang musyawarah burung-burung


serta Si aku merasa bahwa hati itu tidak seluas kota yerussalem dan mekkah, kata
pohon sebagi sesuatu yang tumbuh dalam hati si aku yang ingin menghapuskan
atas segala dosa-dosa . Dalam hal ini doa diibaratkan dengan nyanyian yang harus
dilakukan sepanjang pagi dan sore.
Kemudian pada Meditasi bagian II, dapat kita lihat pada baris pertama dan
kedua. Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan
cipta dalam sebatang kayu. Kalimat tersebut terdapat metafora pada kata Rahib
yang merupakan aku dan sebatang kayu merupakan sinekdoke dari alam. Jadi
penyair melakukan semedi atau pemusatan pikiran pada alam. Kemudian
dipertegas lagi pada baris ketiga, Kebenaran kudapat dari embun dan mawar.
Yakni kebenaran itu didapat dari embun dan mawar, embun dan mawar
merupakan sinekdoke dari alam. Jadi kebenaran yang di dapat si aku yakni
kebenaran dari alam. Yang bersifat abadi tercermin pada baris keempat Abadi.
Kemudian dilanjutkan pada baris kelima, Seperti ciuman perempuan dan
bintang-bintang. Kebenaran abadi itu dikiaskan dengan majas perumpamaan
seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang. Baris keenam dan ketujuh, Tapi
perempuan tua ini selalu merayuku dan meminta aku menyusu pula hingga kering
dan mandul teteknya. Kalimat tersebut menggunakan majas perumpamaan
bahwa perempuan tua diibaratkan bumi yang sudah tua itu selalu mengundang si
aku untuk melakukan hal-hal yang diluar kemampuannya. Kemudian diperertegas
lagi pada baris kedelapan Itulah dunia. Hal yang diungkapkan di atas
merupakan gambaran dunia dengan segala isinya sehingga mengundang si aku
untuk melakukan hal-hal diluar kemampuannya.
Kemudian pada Meditasi bagian III, pada baris pertama, Akupun sudah
letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid. Dalam hal ini si aku
merasa ketidakberdayaannya menemukan Tuhan dalam berbagai rumah ibadah.
Kemudian

dilanjutkan

pada

baris

kedua,

Tuhan

makin

sempit

rasa

kebangsaannya. Menggambarkan bahwa Tuhan itu tidak memiliki kebangsaan


tertentu. Keberadaan Tuhan yang demikian itu dipertegas lagi pada baris ketiga,
Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel! teriaknya. Baris keempat sampai

51

baris kelima, Di mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula: Akulah
hadiah selruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab. Dalam hal ini Tuhan orang
Israel merupakan metafora dari aku, dan aku merupakan hadiah bagi seluruh
dunia dan Tuhan adalah milik semua bangsa, dan semua umat manusia. Namun
pada baris keenam Aku termenung. Apa kekurangan orang Jawa?. Merupakan
perenungan listas budaya eropa, jawa, Budha, Madura, dan cina. Kemudian pada
baris ketujuh dan kedelapan, Kunyanyikan Bach dalam tembang kinanti dan
Kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura. Kata tersebut merupakan
persatuan listas budaya Eropa, Jawa, Budha, Madura, dan Cina. Kemudian pada
baris kesembilan Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah mati. Si aku
menemukan sinar atau tanda Tuhan di mata kakeknya yang sudah mati. Baris
kesepuluh sampai baris ksebelas, Bila hari menahun dan kota jadi benua, aku
akan bikin negeri di sebuah flat karena aku pun adalah rumah-Nya. Si aku ingin
membuat kehidupan baru di suatu tempat karena si aku pun merupakan rumah
Tuhan, karena Tuhan ada dalam dirinya.
Pada Meditasi bagian IV, baris pertama sampai baris ketiga, Bercakapcakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu. Mengetuknya berkalikali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah
di gereja. Si aku mencari keberadaan Tuhan yang tidak ada kepastian tempat
Tuhan tersebut di mesjid, di kuil, ataukah di gereja. Kemudian pada baris keempat
sampai baris kedelapan, Pernah aku percaya benar pada cinta dan
kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendiri. Kata mereka, Berbaiklah
kepada semua orang dan berjalanlah di jalan suci! Bagai seekor keledai akupun
melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun. Si
aku pernah pernah percaya terhadap pendapat orang lain, dan si aku hanya
mengikuti kata mereka yaitu orang-orang yang di mesjid, di kuil, dan digereja,
yang pada akhirnya si aku dinggap seperti seekor keledai yang memiliki sifat
bodoh dan penurut. Kemudian pada baris kesembilan sampai baris kesepuluh,
Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam.
Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi. Kafilah (rombongan)
itu tidak dapat melanjutkan perjalanan dalam mencapai Tuhan, kemudian

52

rombongan itu berpisah pada tengah malam dalam keadaan kesulitan, jadi dalam
pencariannya si aku tidak berhasil menemukan Tuhan dan si aku akhirnya
memisahkan diri dari rombongan tersebut, kemudian si aku akhirnya melihat
tanda Tuhan.
Setelah berpisah dengan kafilahnya, si aku berada dalam situasi kelaparan
dan panas yakni tertera pada baris kesebelas, Tapi di tengah kelaparan dan
panas aku pun menjelma seekor singa. Kemudian pada baris kedua belas sampai
baris keenam belas, Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat.
Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus. Dan
kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan cacing-cacing
akan berkumpul mendatangiku di

waktu magrib bersembahyang berzikir

mendoakan ketentraman dunia yang baru. Dalam hal ini si aku menolak
terhadap pandangan orang lain dan si aku menegaskan sikapnya terhadap
kematian, sumpah tersebut harus ditepati atau dijalankan oleh orang yang
mengucap sumpah itu, dan kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh semua
manusia. Ketidaktetapan kota yang menjadi tempat peribadatan dan hati
merupakan organ bagian tubuh yang berfungsi untuk mengetahui sifat Tuhan dan
melalui hati itulah manusia mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Kemudian si aku mempunyai keinginan untuk memanggil umatnya (yang
diumpakan dengan cacing) untuk berdoa pada Tuhan dalam ragka membangun
kehidupan yang baru.
Kemudian

dalam Meditasi bagian V, baris pertama, Tidak. Sebaiknya

kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin. Ungkapan Tidak
merupakan penolakan terhadap waktu, namun terdapat pula permintaan untuk
datang pada kau untuk datang pada sore hari saat si aku melakukan penyatuan
diri dengan Tuhan, namun pada baris kedua Tapi jangan lagi mewujud atau
menjelma. Bahwa Tuhan yang diharapkan itu adalah dalam bentuk yang
sebenarnya. Dilanjtkan pada baris ketiga yakni, Tuhan, siapakah namaMu yang
sebenarNya? Dari manakah asalMu?. Merupakan pertanyaan si aku tentang
identitas Tuhan. Baris keempat, Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula
agamaMu?. Pada baris ketiga dan baris keempat merupakan pertanyaan si aku

53

tantang identitas Tuhan seperti nama, asal, bangsa, dan agama. Pertanyaan itu
merupakan besarnya keinginan manusia untuk mengetahui identitas Tuhan. Baris
kelima sampai baris kedelapan, Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar
membuat ratusan teori tentang aku dengan susah payah. Tapi siapa aku yang
sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana
dan sedang menuju ke mana. Dalam hal ini manusia merupakan mahluk luar
biasa yang mampu membuat ratusan teori tentang Tuhan, padahal Tuhan sendiri
tidak pernah mendefinisikan diri-Nya.

3. Imaji
Pada puisi Meditasi, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji
penglihatan (imaji visual), imaji pendengaran (imaji auditif) imaji raba atau sentuh
(imaji taktil).
Pada puisi Meditasi imaji penglihatan (imaji visual) dapat dilihat pada
baris pertma, Sinar dan Bulan, baris kedua Cahaya, berkilauan, Nampak,
dalam hal ini si aku melihat cahaya yang sedemikian rupa sehingga terlihat lebih
bersinar atau berkilauan baris ketiga, Gereja tua, burung, hal tersebut kita dapat
mengatakan bahwa gereja merupakan tempat ibadah orang yang beragama Kristen
sedangkan burung diibaratkan jemaah yang hendak mendatangi tempat ibadah
tersebut. baris kesebelas, Baca, yakni membaca menunjukkan buku atau al
kitab namun yang dimaksud dalam puisi Meditasi yakni buku yang berjudul
Musyawarah Burumg-burung karya Farid Attar. baris ketiga belas, Pohonpohon. Dalam puisi ini pohon merupakan media si aku melakukan proses
meditasi atau pemusatan pikiran dengan alam. Pada Meditasi bagian II. Baris
kedua,Sebatang kayu, pada Meditasi yakni menggambarkan seorang Budha
yang sedang melakukan merenungkan pada sebatang kayu karena Budaha selalu
membawa sebatang tongkat ketika saat melakukan doa atau saat meditasi baris
ketiga, Embun, mawar, hal tersebut melambangkan suasana sejuk, damai, dari
dan mawar menimbulkan suasana yang indah baris kelima, Perempuan, bintangbintang, perempuan yang mempunyai sifat lembut, sedangkan bintang-bintang
menggambarkan suasana indah, dan keduanya masing-masing mempunyai pesona

54

yang khas. kemudian pada Meditasi bagian III, baris pertama, Candi, gereja,
mesjid, ketiganya merupakan kumpulan atau persatuan agama, budaya yang ada
di muka bumi ini. Baris kelima, Sinarku, dalam puisi Meditasi sinarku
menunjukkan kepada si aku yakni si aku mempunyai karisma dalam dirinya. Baris
kesembilan, Sinar, mata, sinar merupakan cahaya, sedangkan mata merupakan
salah satu oragan tubuh manusia dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa mata
mencerminkan sikap dari orang tersebut. Pada Meditasi bagian IV, baris pertama,
Pintu, merupakan pembatas. Baris ketiga, Mesjid, kuil, gereja, seperti yang
dijelaskan di atas terdapat candi, Gereja, Mesjid yakni menggambarkan
kumpulan keyakinan, ideologi, dan agama. Baris keenam, Keledai, keledadi
yakni binatang yang bisa digunakan dan dimanfaatkan tenaganya untuk
menggarap dan mengangkut dan hewan tersebut tidak berontak dan tidak berontak
dengan sikap tersebut dapat dikatakan hewan yang bodoh yang mau diperbudak.
Kemudian pada baris kedelapan Gurun, menggambarkan suasana yang panas,
gersang tidak ada tempat tinggal, atau pun penghuninya. Baris kesepuluh
Bintang-bintang, langit, bintang dan langit merupakan kesempurnaan sehingga
menjadi lebih indah karena adanya bintang. Baris kesebelas Singa, jika
dibandingkan dengan seekor keledai yang seperti dikatakan di atas, yakni jauh
berbeda karena singa merupakan hewan buas yang menakutkan jelas berbeda
dengan si keledai yang bodoh yang mau diperalat atau diperbudak. Baris keempat
belas, Cacing-cacinga, merupakan binatang yang menjijikan. kemudian pada
Meditasi bagian V, baris pertama, Bercermin. Dalam hal ini dapat kita amati
saat kita bercermin yakni kita dapat melihat gambaran diri kita.
Berdasarkan sifatnya, imaji tersebut dapat dikategorikan kedalam dua sifat
yakni yang kongkret dengan yang abstrak. Sifa kongkret tersebut dapat kita lihat
pada baris pertama, Sinar, Bulan, kemudian baris kedua, Cahaya,
berkilauan, Nampak. Baris ketiga, gereja tua, burung. Baris ketiga belas,
pohon-pohon. Kemudian pada Meditasi bagan II terdapat pada baris kedua,
sebatang kayu. Baris ketiga, embun, mawar. Baris kelima, perempuan,
bintang-bintang. Kemudian pada meditasi bagian III, baris pertama, candi,
gereja, mesjid. Baris kesembilan, sinar, mata. Pada Meditasi bagian IV,

55

baris pertama, pintu, baris ketiga, mesjid, kuil, gereja. Baris keenam,
keledai. Baris kedelapan gurun. Baris kesepuluh, bintang-bintang, langit.
Baris kesebelas, singa.baris keempat belas, cacing-cacing. Kemudian pada
Meditasi bagian V, terdapat pada baris pertama, bercermin. Berdasarkan sifat
tersebut kita dapat melihat dan mendeskripsikan apa yang kita lihat sehingga kita
tahu seperti apa dan bagaimana bentuknya. Sedangkan sifat yang abstrak terdapat
pada meditasi bagian I, baris kesebelas, baca. Pada meditasi bagian III, terdapat
pada baris kelima, sinarku. Dalam hal ini sifat yang ditujukan yakni sifat yang
abstrak atau yang tidak terlihat oleh kasat mata sehingga kita tidak dapat
mendeskripsikan kita hanya dapat menerka-nerka.
Adapun imaji pendengaran pada puisi Meditasi bagian I, dapat kita lihat
baris, ketiga, Lonceng, berbunyi, seperti pada umumnya lonceng merupakan
tanda sesuatu perintah dapat pula tanda ajakan, namun pada puisi meditasi
lonceng berbunyi yakni ajakan untuk orang-orang agama Kristen menghadap
Tuhan yang dituju. Baris kelima, Dinyanyikannya, lagu, yakni lagu yang
dinyanyikan tersebut merupakan doa kepada Tuhanya. Sedangkan baris keenam,
Dengar, paduan suaranya, deru angin, doa yang dipanjatkan atau yang
ditujukan kepada tuhannya terdengar seperti deru angin di pantai yang
bergemuruh bercampur dengan suara ombak karena yang memanjatkan doa
tersebut bukan hanya satu orang yakni kumplan dari agama-agama yang telah
dijelaskan di atas, dan Tuhan yang dituju pun berbeda. Baris kedelapan
Nyanyian, merupakan doa seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Baris
keempat belas, Nyanyikanlah. Menyuruh umatnya untuk memanjatkan doa.
Kemudian pada Meditasi bagian ke II, baris keenam, Merayuku. Yakni ajakan
seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kemudian pada Meditasi
bagian III, imaji pendengaran terdapat pada baris ketiga, Teriaknya, biasanya
seseorang teriak itu cara seseorang memanggil orang lain dalam keadaan tertentu.
Baris ketujuh, Kunyanyikan, bach, tembang kinanti. Nyanyian merupakan doa
seperti yang telah dijelaskan di atas. Meditasi bagian IV, imaji pendengaran
terdapat pada baris pertama, Bercakap-cakap, bernyanyi, yakni melakukan
perbincangan seseorang dan brdoa. baris kedua, Mengetuknya, berkali-kali,

56

menimbulkan suasana panik, tidak tenang. Kemudian baris kedua belas,


Mendengar khotbah, nasehat, dalam hal ini dapat dikatakan menyimak ceramah
atau seruan dan nasihat dari orang lain. Baris keempat belas, Kuteriakkan, azan,
jadi si aku mengumandangkan azan bertanda waktu untuk menghadap kepada
yang maha agung (bagi umat muslim). Baris kelima belas sampai keenambelas,
Bersembahyang, berdzikir, mendoakan. Sedangkan imaji peraba dalam puisi
Meditasi yakni terdapat pada bagian II, baris kelima, Ciuman perempuan dan
bintang-bintang.
Seperti telah dijelaskan di atas, berdasarkan sifatnya, imaji tersebut dapat
dikategorikan kedalam dua sifat yakni yang kongkret dengan yang abstrak. Sifat
kongkret tersebut pada imaji pendengaran dapat kita lihat pada Meditasi bagian I,
baris ketiga, lonceng. Kemudian pada Meditasi bagian IV, terdapat pada baris
kelima belas, bersembahyang.
Adapun sifat yang abstrak dapat kita lihat pada Meditasi bagian I, baris
ketiga yakni, berbunyi. Baris kelima, dinyanyikannya, lagu. Baris keenam,
dengar, paduan suaranya, deru angin. Baris kedelapan,

nyanyian.

Kemudian baris keempat belas, Nyanyikanlah. Pada Meditasi bagian II, baris
keenam, merayuku. Kemudian pada Meditasi bagian III, sifat abstrak terdapat
pada baris ketiga, teriaknya. Baris ketujuh, kunyanyikan Bach, tembang
kinanti. Kemudian pada Meditasi bagain IV, sifat abstrak terdapat pada baris
pertama, bercakap-cakap, bernyanyi. Baris kedua, mengetuknya. Kemudian
baris kedua belas, mendengar. Baris keempat belas, kuteriakkan. Baris kelima
belas, berdzikir, mendoakan. Sedangkan imaji peraba terdapat pada Meditasi
bagian II yakni ciuman perempuan dan bintang-bintang. Serta pada meditasi
bagian IV, yakni pada baris kedua, mengetuknya. Dalam hal ini sifat yang
kongkret terdapat pada mengetuknya, serta ciuman perempuan, dan bintangbintang.
Untuk mempermudah pembaca melihat imaji pada puisi Meditasi,
penulis mengelompokkan masing-masing imaji tersebut kedalam tabel seperti di
bawah ini.

57

Tabel Imaji Penglihatan Puisi Meditasi


Meditasi Bagian I

Meditasi Bagian II

Meditasi Bagian III

Meditasi Bagian IV

Meditasi Bagian V

Baris

Imaji Penglihatan

Sinar dan Bulan

Cahaya, berkilauan, Nampak.

Gereja tua, burung

11

Baca

12

Pohon-pohon

Sebatang kayu

Embun, mawar

Perempuan, bintang-bintang

Candi, gereja, mesjid

Mesjid

Sinarku

Sinar, mata

Pintu

Mesjid, kuil, gereja

Keledai

Gurun

Bintang, Langit

10

Singa

13

Cacing

Bercermin

58

Tabel Imaji Pendengaran Puisi Meditasi


Meditasi Bagian I

Baris

Imaji Pendengaran

Lonceng, berbunyi

Dinyanyikannya, lagu

Dengar, paduan suaranya, deru angin,

Nyanyian

14

Nyanyikanlah

Meditasi Bagian II

Merayuku

Meditasi Bagian III

Teriaknya

Kunyanyikan,bach, tembang kinanti

Bercakap-cakap, bernyanyi

Mengetuknya, berkali-kali

11

Mendengar khotbah, nasehat

13

Kuteriakkan, azan

Meditasi Bagian IV

Tabel Imaji Peraba Puisi Meditasi


Meditasi Bagian II

Baris

Imaji Peraba

Ciuman perempuan dan


bintang-bintang

Meditasi Bagian IV

mengetunya

59

Tabel Kata Kongkret Puisi Meditasi


Meditasi bagian I

Meditasi bagian II

Meditasi bagian III

Baris

Kata Kongkret

Sinar bulan

Gerbang, cahaya

Gereja tua, lonceng, burung

10

Bintang, buah-buahan

11

Burung-burung

12

Yerussalem, Mekkah

13

Pohon-pohon

Sebatang kayu

Embun, mawar

Perempuan, bintang-bintang

Perempuan tua, menyusu

teteknya

Candi, gereja, mesjid

Orang israel

Mesjid

Arab

Orang Jawa

7-8

Budha, Dukun, Di Madura,

9-11

Sinar, mata, kakekku, kota, benua,


rumahnya

Meditasi Bagian IV

Pintu

Di mesjid, di Kuil, di Gereja.

6-7

Seekor keledai, gurun

8-10

Jalan, tengah malam, bintang-bintang, di


langit, panas, seekor singa

13

Di menara, cacing-cacing,
bersembahyang

Meditasi Bagian V

Bercermin

60

4. Kata Kongkret
Pada puisi Meditasi kata kongkret terdapat pada baris pertama, sinar
bulan. Baris kedua, gerbang, cahaya. Kemudian baris ketiga gereja tua,
lonceng, burung. Kemudian pada baris kesepuluh, bintang, buah-buahan.
Baris kesebelas, burung-burung. Baris keduabelas yerussalem, mekkah.
Baris ketigabelas, pohon-pohon.
Kemudian pada Meditasi bagian II, yakni terdapat pada baris kedua,
sebatang kayu. Baris ketiga, embun, mawar. Baris kelima, perempuan,
bintang-bintang. Baris keenam, perempuan tua, menyusu. Baris ketujuh,
teteknya. Sedangkan pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris pertama,
candi, gereja, mesjid. Baris ketiga, orang Israel. Baris keempat,
mesjid. Baris kelima, arab. Baris keenam, orang jawa. Baris ketujuh
sampai baris kedelapan, Budha, dukun, di Madura. Baris kesembilan
hingga baris kesebelas, sinar, mata, kakekku, kota, benua, rumahNya.
Sedangkan pada Meditasi bagian IV, kata kongkret terdapat pada baris,
pertama, pintu ke pintu. Baris ketiga di mesjid, di kuil, di gereja.
Kemudian pada baris keenam dan ketujuh, seekor keledai, gurun. Pada baris
kedelapan hingga baris kesepuluh yakni, jalan, Tengah malam, bintangbintang, di langit, panas, seekor singa. Baris ketigabelas, Di menara,
Cacing-cacing, bersembahyang. Kemudian pada Meditasi bagian V terdapat
pada baris pertama yakni bercermin.

5. Bahsa Figuratif
Baris pertama, Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Kupeluk
merupakan penyatuan diri dengan alam, sedangkan sinar bulan menggambarkan
suasana tenang, syahdu, serta kelembutan. Tubuhku kedinginan merupkan
proses awal dalam melakukan penyatuan diri si aku merasa kedinginan. Kemudian
pada baris kedua sampai baris kelima, Kemudian pada baris kedua sampai baris
kelima. Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera Nampak di depan kita

61

sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana
hendak mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu
dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama.
Dalam hal ini, kita merupakan adanya pihak lain selain dari si aku,
sedangkan gereja tua secara harfiah berarti tempat beribadah orang Kristen,
sedangkan Tua menyatakan bahwa tempat beribadah tersebut sudah lama ada,
namun jarang dikunjungi dan tidak terawat, sedangkan burung merupakan
metafora dari manusia, dan paduan suaranya merupakan perumpamaan
berdoa. jadi kalimat tersebut bermakna melalui tanda Tuhan (Cahaya) kita akan
melihat rumah Tuhan (Gereja Tua). Sedangkan lonceng merupakan alat yang
digunakan di gereja untuk memberitahu umat Kristen agar mengingat Tuhan pada
waktu tertentu. burung merupakan metafora dari manusia. Pengiasan manusia
dengan burung lazim digunakan dalam sastra tasawuf, misalnya dalam karya
Fariduddin bin Attar yang berjudul Musyawarah Burung. Kemudian
mensucikan diri menunjukkan bahwa gereja tua itu merupakan tempat
menyucikan diri sebelum bertemu Tuhan. Kalimat tersebut berarti bahwa burungburung yang menuju gereja tua itu bermaksud mensucikan diri. Namun, dalam
perjalanannya untuk mencapai gereja itu, burung-burung itu mengalami hambatan
yang sama. Hambatan yang dialami oleh burung itu tercermin pada ungkapan
sesat yang berarti salah jalan atau kehilangan arah.
Kemudian pada baris ketujuh sampai baris kesepuluh. Demi jesus, pahala
sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya, begitu
nyanyian mereka, tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan
Muhammad bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan
buah-buahan. aroma, bintang, dan buah-buahan merupakan perumpamaan dari
persatuan agama. Kemudian pada baris kesebelas sampai baris keempat belas, O,
burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar? Yerussalem dan Mekkah tidak
seluas hati dan jiwa ini. Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore.
Farid Attar merupakan penulis buku yang berjudul musyawarah burungburung, dan hati itu lebih luas dari kota yerussalem dan mekkah, kata-kata

62

diumpamakan dengan kata hati, karena hati merupakan salah satu dari organ
rohani manusia yakni untuk mengetahui sifat tuhan dan untuk mencintai tuhan,
dan pohon sebagi sesuatu yang tumbuh dalam hati si aku yang ingin
menghapuskan atas segala dosa-dosa . Dalam hal ini doa diibaratkan dengan
nyanyian yang harus dilakukan sepanjang pagi dan sore.
Kemudia pada Meditasi bagian II, baris pertama sampai baris kedua, Di
sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang mengheningkan cipta dalam
sebatang kayu. Dalam hal ini yang dimaksdu dengan Rahib adalah pertapa
Kristen dan merupakan kiasan dari aku dan kata sebatang kayu merupakan
sinekdoke dari alam, jadi kata tersebut berarti si aku melakukan semedi atau
pemusatan pikiran pada alam kemudian kata tersebut dipertegas lagi pada baris
ketiga,Kebenaran kudapat dari embun dan mawar. embun dan mawar
merupakan perumpamaan dari alam. Yang bersifat abadi yakni tertera pada bais
keempat Abadi. Kemudian dilanjutkan pada baris kelima sampai baris
kedelapan, Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang. Tapi perempuan tua
ini selalu merayuku dan meminta aku menyusu pula hingga kering dan mandul
teteknya. Kalimat tersebut menggunakan majas perumpamaan bahwa perempuan
tua diibaratkan bumi yang sudah tua itu selalu mengundang si aku untuk
melakukan hal-hal yang diluar kemampuannya.
Pada Meditasi bagian III, pada baris kedua sampai baris ketiga, Tuhan
makin sempit rasa kebangsaannya, Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel!
teriaknya. Kemudian dilanjutkan dengan baris keempat sampai baris keenam, Di
mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula Akulah hadiah seluruh
dunia, tapi sinarku memancar di Arab. Baris ketujuh sampai baris kedelapan,
Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa? Kunyanyikan Bach dalam
tembang kinanti dan kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura. Penyair
berusaha berusaha menyatukan antara lagu klasik dengan lagu jawa dan kupulas
merupakan penyesuaian antara patung Budha dan Dukun Madura dalam mencari
dan menemukan Tuhan.
Pada baris kesembilan, Aku menemu sinar di mata kakekku yang sudah
mati. Kemudian dilanjutkan pada baris kesepuluh sampai kesebelas, Bila hari

63

menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku
pun adalah rumah-Nya. Kalimat tersebut berarti si aku akan membuat kehidupan
baru di suatu tempat. Karena si aku juga merupakan tempat Tuhan karena Tuhan
telah menyatu dalam dirinya.
Baris keempat sampai baris kedelapan, pada Meditasi Bagian IV, Pernah
aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku
sendri. Kata mereka, Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan
suci!. Bagai seekor keledai akupun melenggang membawa beban berisi
hartanya dan sampai di sebuah gurun. Dalam kalimat tersebut, Si aku pernah
percaya kepada orang lain untuk berbuat baik kepada semua orang namun si aku
dianggap seekor keledai yang dapat dibodohi, kata tersebut merupakan majas
perumpamaan bahwa si aku dianggap sebagi keledai yang memiliki sifat bodoh
dan penurut.
Kemudian pada baris kesembilan sampai baris kesepuluh, Kafilah tidak
bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah tengah malam. bintang-bintang
berloncatan gembira di langit yang tinggi. Kafilah (rombongan) itu tidak dapat
melanjutkan perjalanan dalam mencapai Tuhan, kemudian rombongan itu
berpisah pada tengah malam dalam keadaan kesulitan, jadi dalam pencariannya si
aku tidak berhasil menemukan Tuhan dan si aku akhirnya memisahkan diri dari
rombongan tersebut, kemudian si aku akhirnya melihat tanda Tuhan.
Setelah si aku diumpamakan dengan seekor keledai yang mempunyai sifat
bodoh dan penurut kini si aku berubah menjelma menjadi seekor singa dapat
dilihat pada baris kesebelas, Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun
menjelma seekor singa. Setelah berpisah dengan kafilahnya, si aku berada dalam
situasi kelaparan dan panas yakni tertera pada baris kesebelas, Tapi di tengah
kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa. Kemudian pada baris
kedua belas sampai baris keenam belas, Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah
dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terusmenerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan
cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang
berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru. Dalam hal ini si aku menolak

64

terhadap pandangan orang lain dan si aku menegaskan sikapnya terhadap


kematian, sumpah tersebut harus ditepati atau dijalankan oleh orang yang
mengucap sumpah itu, dan kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh semua
manusia. Ketidak tetapan kota yang menjadi tempat peribadatan dan hati
merupakan organ bagiantubuh yang berfungsi untuk mengetahui sifat Tuhan dan
melalui hati itulah manusia mengenal dan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Kemudian si aku mempunyai keinginan untuk memanggil semua manuisa untuk
berdoa pada Tuhan dalam ragka membangun kehidupan yang baru.

6. Versifikasi
1. Rima (Pengulangan bunyi) Rima dalam puisi Meditasi tidak menentu
dikarenakan puisi Meditasi ini merupakan puisi bebas maka puisi ini iramanya
tidak terikat
2. Ritme (pengulangan bunyi), kata, frasa dan kalimat pada puisi
Pada puisi Meditasi bagian I baris kesepuluh,

terdapat ritme

(pengulangan bunyi) yakni: Buah-buahan, baris kesebelas, Burung-burung,


baris ketiga belas pohon-pohon. Kemudian pada Meditasi bagian II, terdapat
pada baris kelima yakni, bintang-bintang pada Meditasi bagian III, terdapat
pada baris ketiga Musa! Musa!, Kemudian dapat kita lihat pada baris pertama
pada Meditasi Bagian IV, Bercakap-cakap, dan Pintu ke pintu, dan pada baris
kedua, berkali-kali. Kemudian pada baris kesepuluh, bintang-bintang, baris
keempat belas sampai baris kelima belas, cacing-cacing.

B. Analisis Berdasarkan Struktur Batin


1. Tema
Pada puisi Meditasi, penyair menggunakan tema pemusatan pikiran untuk
mencapai Tuhan, karena terdapat pada beberapa bait sang penyair mengatakan
pencapaian Tuhan. Seperti pada baris sebgai berikut.
Pada baris pertama. Kupeluk sinar bulan. Tubuhku kedinginan. Kemudian
baris ketiga pada meditasi bagian II, Kebenaran kudapat dari embun dan
mawar. Serta pada baris kesembilan. Aku menemu sinar dimata kakekku yang

65

sudah mati. Kemudian baris kesepuluh hingga baris kesebelas, Bila hari
menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah flat karena aku
pun adalah rumahnya.

2. Perasaan (Feeling)
Persaan merupakan suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan
dan harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi Meditasi sang penyair merasa
untuk mencapai Tuhan itu tidak lah mudah, pasti ada rintangan-rintangan yang
harus dihadapi, hal ini tercermin pada baris sebagai berikut:
Baris kedua sampai baris kelima, Di gerbang cahaya yang berkilauan
akan segera Nampak di depan kita sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi
beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri. Sebab selalu
ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat
di sarang yang sama. Kemudian pada baris pertama dan baris kedua pada
Meditasi bagian II. Di sini semenjak lama aku adalah seorang rahib yang
mengheningkan cipta pada sebatang kayu. Pada baris pertama dalam Meditasi
bagin III, Akupun sudah letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan
mesjid.
Baris kedua. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya, baris ketiga.
Musa! Musa! Akulah Tuhan orang Israel! teriaknya. Baris keempat. Di
mesjid, di rumah sucinya yang lain ia berkata pula kemudian pada baris kelima
Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab. Kemudian pada
baris keenam. Aku termenung. Apa kekurangan orang jawa? Kemudian
dinyanyikannya pada baris ketujuh sampai baris kedelapan. Kunyanyikan Bach
dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi seorang dukun di Madura. Pada
Meditasi bagian IV, Bercakap-cakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke
pintu. Baris kedua sampai baris ketiga. Mengetuknya berkali-kali. Sudah lama
aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di gereja.
Kemudian pada baris keempat hingga baris kedelapan. Pernah aku
percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendriri.
Kata mereka, Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah Di jalan suci!.

66

terdapat perumpamaan yakni dapat kita lihat pada kata Bagai seekor keledai
akupun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah
gurun yakni si aku diumpamakan sebagai seekor keledai. Baris kesembilan
sampai kesepuluh, Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kami berpisah
tengah malam. Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi.
Namun pada baris kekesebelas, si aku menjelma seekor singa dapat dilihat
pada kalimat Tapi ditengah kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor
singa. Kemudian Baris kedua belas sampai baris keenam belas, Aku tak mau
lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku
perobahan yang terus-menerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu
nanti kuteriakkan azan cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu
magrib bersembahyang berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru.
Pada bagian terakhir merupakan bagian V baris pertama dapat kita lihat
hingga baris kedelapan Tuhan. Siapakah namaMu yang sebenarNya? Dari
manakah asalMu? Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula AgamaMu? Manusia
begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori tentang Aku dengan
susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya Aku sendiri pun tidak pernah tahu
siapa sebenarnya Aku, dari mana dan sedang menuju ke mana.

3. Nada dan Suasana


Nada, sikap penyair terhadap pembaca. Pada puisi Meditasi yakni sikap
penyair terhadap pembaca yaitu : mengajak untuk terus bertanya tentang diri
sendiri.. Sedangkan suasana, keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yaitu :
merasaakan kerisauan atau keglauan si pengujar sehingga membuat si pembaca
merenungkan bahwa untuk mencapai sebuah keimanan sangatlah sulit dan penuh
liku. Seperti pada puisi ini terdapat pada

Meditasi bagian I.
O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini
Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore

67

Meditasi bagian II
Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang
Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan minta aku menyusu pula
hingga kering dan mandul teteknya.
Itulah dunia
Meditasi bagian IV
Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari
kemauanku sendriri. Kata mereka, Berbaiklah kepada semua orang
dan berjalanlah Di jalan suci! Bagai seekor keledai aku pun
melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah
gurun.
Meditasi bagian V
Manusia begitu ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori
tentang Aku dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya
Aku sendiri pun tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana
dan sedang menuju ke mana.
4. Amanat (Pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya. Pada puisi Meditasi. Pada bagian ketiga dan keempat tergambar
bagaimana Abdul Hadi WM dengan intens mencari sandaran keimanannya. Ia
mencari dari satu teologi ke teologi lainnya. Sementara pada bagian kedua
tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia pada umumnya) pada
dunia (alam semesta). Ia mengibaratkan wanita sebagai dunia yang seolah-olah
mendorong agar terus dimanfaatkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia tanpa
diimbangi dengan upaya pelestarian akan membuat alam murka dan kehabisan
sumber daya dan mandul.

68

5. Makna
Puisi Meditasi menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku.
Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani, melalui perasaan, atau
perenungan (meditasi) yang berlangsung dalam proses yang panjang dan rumit.
Perjalanan rohani aku itu terjadi dalam ruang (bersifat fisik dan nonfisik) dan
dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur fisik dan nonfisik (emosi atau
perasaan). dapat kita lihat pada pembahasan struktur fisik puisi seperti perwajahan
puisi, yakni puisi ini dapat dikatakan sebagai puisi bebas. Puisi yang diajukan
oleh Abdul Hadi W.M, yakni penulisan yang tidak memenuhi keselarasan
halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan
pemenggalan kalimat. Dengan demikian puisi tersebut dikatakan puisi bebas.
Kemudian diksi (pilihan kata), dalam hal ini pemilihan kata-kata sangatlah erat
kaitannya dengan pemaknaan sehingga harus dipilih secara cermat. Imaji, dalam
kaitannya

dengan

unsure

fisik

puisi

sangatlah

penting

karena

dapat

mengungkapkan pengelaman inderawi seperti, penglihatan, pendengaran,


perasaan. Kata kongkret, yakni bagaimana si penyair menggambarkan sesuatu
secara lebih konkret (bagi pnyair) sedangkan bagi pembaca akan terasa lebih sulit
menafsirkan maknanya. Penggunaan bahasa figuratif, dalam hal ini dapat
menimbulkan puisi menjadi lebih menarik dan indah, dan verifikasi yakni
menyangkut rima, ritme. Rima dalam puisi ini tidak menentu dikerenakan puisi
tersebut dapat dikatakan puisi bebas. Sednagkan ritme menyangkut pengulanganpegulangan bunyi.
Pencarian Tuhan dilakukan melalui penghayatan atas hakikat alam
semesta. Tuhan yang dicari aku adalah yang mengacu pada alam semesta dan
yang trasenden. Dalam pencarian Tuhan itu aku berhasil menyatukan diri dengan
Tuhan. Meskipun persatuan aku dengan Tuhan dalam sajak itu tercapai, aku
berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka teki yang sulit dirumuskan
dengan pasti karena memang tuhan tidak dapat dirumuskan. Sajak tersebut pada
hakikatnya merupakan monolog aku, penyair tentang pengalaman rohaninya
dalam mencari Tuhan.

69

Hal itu terlihat pada sikap aku yang tidak lagi mementingkan tempat seperti
gereja, mesjid, kuil, dan candi. Sikap yang demikian mengandung makna prsatuan
keagamaan, toleransi keagamaan, dan sekaligus sebagai pernyataan hakikat yang
tinggi, yaitu mengutamakan ketuhanan. Pencarian Tuhan dalam puisi ini adalah
untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pencarian Tuhan dalam puisi
Meditasi berlangsung dalam proses panjang yakni melalui cara tertentu dan
penuh liku.

70

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat dan Puisi Meditasi adalah karya Abdul
Hadi W.M. kedua puisi tersebut sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Kedua puisi
tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk meneguhkan dan mengukuhkan
suasana batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya serta keyakinan
atas keberadaan Tuhan.

 Struktur Fisik Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat


1. Perwajahan Puisi (tipografi)
Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat memiliki tifografi yang khas kerena puisi
tersebut masih terikat dengan struktur fisik puisi yakni pada setiap bait terdiri dari
empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang diajukan oleh Abdul Hadi
W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi keselarasan halaman, puisi tersebut
tiap bait terdiri dari empat baris, serta keteraturan dalam hubungan manusia
dengan tuhan, alam dan dengan dirinya sendiri. Sehingga puisi tersebut terasa
indah maknanya.

2. Diksi
Dalam Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat yakni masih terikat dengan
struktur fisik puisi yakni setiap bait terdiri dari empat baris, penulisan yang tidak
memenuhi keselarasan halaman, serta adanya keteraturan. Dalam hal ini
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bahasa puisi mengalami
Sembilan aspek penyimpangan. Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, adapun
aspek penyimpangan yang paling dominan pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat,
yakni terdapat pada penyimpangan semantis.

70

71

3. Imaji
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pengimajian yang digunakan oleh
penyair yakni imaji penglihatan (imaji visual) dan imaji raba atau sentuh (imaji
taktil).

4. Kata Konkret
Pada puisi Tuhan kita begitu dekat kata konkret terdapat pada baris ketiga
Sebagai api dengan panas, pada kalimat tersebut menggambarkan kedekatan
antara aku dengan Tuhan. Kemudian pada baris keempat Aku panas dalam apimu.
Merupakan hubungan aku dengan Tuhan sangat paralel dengan kaitan antara
panas dan api dan keduanya tak terpisahkan. Pada baris ketujuh, seperti kain
dengan kapas, baris kedelapan aku kapas dalam kainmu. Serta baris kesebelas
Seperti angin dan arahnya. Pada dasarnya maknanya sama seperti baris
sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan baris keempat belas sampai lima belas
kini aku nyala pada lampu padammu dalam hal ini si aku mendapatkan cahaya
kemudian dipertegas lagi dengan pada lampu padammu merupakan ungkapan si
aku atas rasa syukur, bahagia, serta kenikmatan yang tiada batas.

5. Bahasa Figuratif
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat majas yang digunakan adalah:
a. Majas Perbandingan, yakni pada baris ketiga sebagai api dengan panas, baris
ketujuh seperti kain dengan kapas, dan baris kesebelas seperti angin dan
arahnya.
b. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain
tetapi tidak menggunakan kata pembanding. Metafora dalam puisi Tuhan Kita
Begitu Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu, yakni aku
dikiaskan dengan panas dan Tuhan dikiaskan dengan apimu dan baris
kedelapan aku kapas dalam kainmu pada dasarnya mengiaskan antara aku
(manusia) dengan Tuhan sama seperti baris keempat.
c. Perumpamaan Epos, perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang yaitu
bentuk dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih

72

lanjut dalam kalimat atau frase berturut-turut. Dalam puisi Tuhan Kita Begitu
Dekat terdapat pada baris keempat aku panas dalam apimu dan serta pada baris
ketujuh aku kapas dalam kainmu.
d. Personfikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda
mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia. Majas
personifikasi pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat terdapat pada baris ketiga api
dengan panas, baris ketujuh kain dengan kapas, serta baris kesebelas angin
dan arahnya. Dalam hal ini penyair menyamakan manusia dengan Tuhan yang
hubungannya sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.

6. Versifikasi
Versifikasi yaitu menyangkut rima, ritme, dna metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Irama
(ritme) adalah pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Sedangkan metrum
adalah pengulangan tekanan kata yang tetap.
a.

Adapun Rima (pengulangan bunyi), pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat pada

tiap baris terdapat kesamaan bunyi [a], [i], [u], dan [e]

yang muncul secara

berulang.
b. Irama (ritme) pengulangan bunyi kata, frasa, dan kalimat. Pada puisi ini
terdapat pada baris pertama Tuhan, baris kedua kita begitu dekat, baris
kelima dan keenam Tuhan, kita begitu dekat. kemudian pada baris
kesembilan, sepuluh, dan dua belas Tuhan, kita begitu dekat, kita begitu
dekat.
c. Metrum adalah pengulangan tekanan kata yang tetap. Pengulangan kata
tersebut pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, terdapat pada baris baris pertama
Tuhan, baris kedua kita begitu dekat, baris kelima dan keenam Tuhan,
kita begitu dekat. kemudian pada baris kesembilan, sepuluh, dan dua belas
Tuhan, kita begitu dekat, kita begitu dekat. Hal ini menimbulkan tekanan
irama yang mengalun ritmis, lembut, dan lebih terasa akrab.

73

 Struktur Batin Puisi Tuhan Kita Begitu Dekat


1. Tema
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, penyair menggunakan tema religius,
yaitu tema puisi yang mampu membawa manusia untuk lebih bertakwa, lebih
merenungkan kekuasaan Tuhan, dan menghargai alam seisinya.

2. Perasaan (feeling)
Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, perasaan yang diungkapkan oleh
penyair yakni perasaan dekat karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan
perasaannya yamg menggambarkan kedekatannya kepda tuhan sehingga merasa
lebih akrab, dengan alunan yang syahdu, lembut, dan lebih bersemangat untuk
mendekati Tuhan.

3. Nada dan Suasana


Dalam puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, yakni terasa lebih halus, tidak
memaksa dan mengajak secara liris untuk mengayati setiap baris dalam puisi
tersebut. sedangkan suasana puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, pembaca merasa
tersentuh karena penggunaan perumpamaan-perumpamaan yang sangat inderawi
seperti pada baris ketiga, keempat, ketujuh, kedelapan, dan kesebelas. Seperti api
dengan panas, Aku panas dalam apimu , Seperti kain dengan kapas, Aku
kapas dalam kainmu, Seperti angin dan arahnya.

4. Amanat
Pada puisi Tuhan Kita Begitu Dekat bahwa hati manusia yang mencari
Tuhannya akan menjadi terang apabila mendapat petunjuk dari yang ia tuju, yakni
seperti pada baris ketiga belas, empat belas, dan kelima belas. Dalam gelap,
Kini aku nyala, Pada lampu padammu.

74

5.

Makna
Makna puisi Tuhan Kita Begitu Dekat merupakan gambaran perasaan

keakraban yang sangat dekat (aku atau manusia) terhadap Tuhan karena
memperoleh cahaya Tuhan. Perasaan keakraban itu

sangat dekat dan rapat

bagaikan air yang mengalir lepas tanpa terputus sehingga si aku merasa sangat
dekat sehingga menyebabkan aku dan Tuhan merasa bersatu dan tak terpisahkan.
Kedekatan hubungan antara aku dengan Tuhan dapat kita lihat pada bagian
pengimajian yakni (imaji taktil dan imaji visual), tema, perasaan (feeling), nada
dan suasana,amanat (pesan). Dalam bagian-bagian tersebut yang menerangkan
kedekatan antara aku dengan Tuhan yang sulit dipisahkan antara satu dan yang
lainnya. Ungkapan Tuhan Kita Begitu Dekat dapat dirujukkan pada QS AlBaqarah ayat 186 yang artinya Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah)bahwasanya aku dekat.
Dan QS Qaaf ayat 16 yang artinya kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya.

 Struktur Fisik Puisi Meditasi


1. Perwajahan Puisi
Puisi Meditasi memiliki tipografi yang khas kerena puisi tersebut
merupakan puisi yang panjang yakni terdiri dari lima bagian puisi yang disebut
juga sebagai puisi prosais. Puisi ini tidak terikat dengan struktur fisik puisi yakni
pada setiap bait terdiri dari empat baris yang dikenal sebagai kuatrin. Puisi yang
klasik yang diajukan oleh Abdul Hadi W.M yaitu penulisan yang tidak memenuhi
keselarasan halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris,
pemenggalan kalimat.

2. Diksi
Pada puisi Meditasi, yakni terdapat pada penyimpangan semantis dan
penyimpangan grafologi.

75

3. Imaji
Pada puisi Meditasi, pengimajian yang digunakan oleh penyair yakni imaji
penglihatan (imaji visual), imaji pendengaran (imaji auditif) imaji raba atau sentuh
(imaji taktil).

4. Kata Konkret
Pada puisi Meditasi kata kongkret terdapat pada baris pertama, sinar
bulan. Baris kedua, gerbang, cahaya. Kemudian baris ketiga gereja tua,
lonceng, burung. Kemudian pada baris kesepuluh, bintang, buah-buahan.
Baris kesebelas, burung-burung. Baris keduabelas yerussalem, mekkah.
Baris ketigabelas, pohon-pohon.
Kemudian pada Meditasi bagian II, yakni terdapat pada baris kedua,
sebatang kayu. Baris ketiga, embun, mawar. Baris kelima, perempuan,
bintang-bintang. Baris keenam, perempuan tua, menyusu. Baris ketujuh,
teteknya. Sedangkan pada Meditasi bagian III, terdapat pada baris pertama,
candi, gereja, mesjid. Baris ketiga, orang Israel. Baris keempat,
mesjid. Baris kelima, arab. Baris keenam, orang jawa. Baris ketujuh
sampai baris kedelapan, Budha, dukun, di Madura. Baris kesembilan
hingga baris kesebelas, sinar, mata, kakekku, kota, benua, rumahNya.
Sedangkan pada Meditasi bagian IV, kata kongkret terdapat pada baris,
pertama, pintu ke pintu. Baris ketiga di mesjid, di kuil, di gereja.
Kemudian pada baris keenam dan ketujuh, seekor keledai, gurun. Pada baris
kedelapan hingga baris kesepuluh yakni, jalan, Tengah malam, bintangbintang, di langit, panas, seekor singa. Baris ketigabelas, Di menara,
Cacing-cacing, bersembahyang. Kemudian pada Meditasi bagian V terdapat
pada baris pertama yakni bercermin.

76

5. Bahasa figuratif
Dalam puisi Meditasi banyak menggunakan bahasa kiasan sehingga
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup,
dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ada
bermacam-macam, namun mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu
bahasa-bahasa

kiasan

tersebut

mempertalikan

sesuatu

dengan

cara

menghubungkannya dengan sesuatu yang lain.

6. Versifikasi
1. Rima (Pengulangan bunyi) Rima dalam puisi Meditasi tidak menentu
dikarenakan puisi Meditasi ini merupakan puisi bebas maka puisi ini iramanya
tidak terikat
2. Ritme (pengulangan bunyi), kata, frase dan kalimat pada puisi
Pada puisi Meditasi bagian I baris kesepuluh,

terdapat ritme

(pengulangan bunyi) yakni: Buah-buahan, baris kesebelas, Burung-burung,


baris ketiga belas pohon-pohon. Kemudian pada Meditasi bagian II, terdapat
pada baris kelima yakni, bintang-bintang pada Meditasi bagian III, terdapat
pada baris ketiga Musa! Musa!, Kemudian dapat kita lihat pada baris pertama
pada Meditasi Bagian IV, Bercakap-cakap, dan Pintu ke pintu, dan pada baris
kedua, berkali-kali. Kemudian pada baris kesepuluh, bintang-bintang, baris
keempat belas sampai baris kelima belas, cacing-cacing.

 Struktur Batin Puisi Meditasi


1. Tema
Pada puisi Meditasi, penyair menggunakan tema pemusatan pikiran untuk
mencapai Tuhan, karena terdapat pada beberapa bait sang penyair mengatakan
pencapaian Tuhan.

77

2. Perasaan (Feeling)
Persaan merupakan suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan
dan harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi Meditasi sang penyair merasa
untuk mencapai Tuhan itu tidak lah mudah, pasti ada rintangan-rintangan yang
harus dihadapi.

3. Nada dan Suasana


Nada, sikap penyair terhadap pembaca. Pada puisi Meditasi yakni sikap
penyair terhadap pembaca yaitu : mengajak untuk terus bertanya tentang diri
sendiri.. Sedangkan suasana, keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yaitu :
merasaakan kerisauan atau keglauan si pengujar sehingga membuat si pembaca
merenungkan bahwa untuk mencapai sebuah keimanan sangatlah sulit dan penuh
liku.

4. Amanat (Pesan)
Pada puisi Meditasi. Pada bagian ketiga dan keempat tergambar
bagaimana Abdul Hadi WM dengan intens mencari sandaran keimanannya. Ia
mencari dari satu teologi ke teologi lainnya. Sementara pada bagian kedua
tergambar bagaimana ketergantungan penyair (manusia pada umumnya) pada
dunia (alam semesta). Ia mengibaratkan wanita sebagai dunia yang seolah-olah
mendorong agar terus dimanfaatkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sebuah isyarat lain, bahwa pemanfaatan alam untuk kehidupan manusia tanpa
diimbangi dengan upaya pelestarian akan membuat alam murka dan kehabisan
sumber daya dan mandul.

5. Makna
Puisi Meditasi menggambarkan proses pencarian Tuhan oleh aku.
Pencarian Tuhan itu dilakukan melalui perjalanan rohani, melalui perasaan, atau
perenungan (meditasi) yang berlangsung dalam proses yang panjang dan rumit.
Perjalanan rohani aku itu terjadi dalam ruang (bersifat fisik dan nonfisik) dan
dalam waktu tertentu serta melibatkan unsur fisik dan nonfisik (emosi atau

78

perasaan). dapat kita lihat pada pembahasan struktur fisik puisi seperti perwajahan
puisi, yakni puisi ini dapat dikatakan sebagai puisi bebas. Puisi yang diajukan
oleh Abdul Hadi W.M, yakni penulisan yang tidak memenuhi keselarasan
halaman, keterikatan persajakan, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan
pemenggalan kalimat. Dengan demikian puisi tersebut dikatakan puisi bebas.
Kemudian diksi (pilihan kata), dalam hal ini pemilihan kata-kata sangatlah erat
kaitannya dengan pemaknaan sehingga harus dipilih secara cermat. Imaji, dalam
kaitannya

dengan

unsure

fisik

puisi

sangatlah

penting

karena

dapat

mengungkapkan pengelaman inderawi seperti, penglihatan, pendengaran,


perasaan. Kata kongkret, yakni bagaimana si penyair menggambarkan sesuatu
secara lebih konkret (bagi penyair) sedangkan bagi pembaca akan terasa lebih
sulit menafsirkan maknanya. Penggunaan bahasa figuratif, dalam hal ini dapat
menimbulkan puisi menjadi lebih menarik dan indah, dan verifikasi yakni
menyangkut rima, ritme. Rima dalam puisi ini tidak menentu dikerenakan puisi
tersebut dapat dikatakan puisi bebas. Sednagkan ritme menyangkut pengulanganpegulangan bunyi.
Pencarian Tuhan dilakukan melalui penghayatan atas hakikat alam
semesta. Tuhan yang dicari aku adalah yang mengacu pada alam semesta dan
yang trasenden. Dalam pencarian Tuhan itu aku berhasil menyatukan diri dengan
Tuhan. Meskipun persatuan aku dengan Tuhan dalam sajak itu tercapai, aku
berkesimpulan bahwa Tuhan itu adalah misteri, teka teki yang sulit dirumuskan
dengan pasti karena memang tuhan tidak dapat dirumuskan. Sajak tersebut pada
hakikatnya merupakan monolog aku, penyair tentang pengalaman rohaninya
dalam mencari Tuhan.
Hal itu terlihat pada sikap aku yang tidak lagi mementingkan tempat
seperti gereja, mesjid, kuil, dan candi. Sikap yang demikian mengandung makna
prsatuan keagamaan, toleransi keagamaan, dan sekaligus sebagai pernyataan
hakikat yang tinggi, yaitu mengutamakan ketuhanan. Pencarian Tuhan dalam puisi
ini adalah untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Pencarian Tuhan dalam puisi
Meditasi berlangsung dalam proses panjang yakni melalui cara tertentu dan
penuh liku.

79

B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa saran
kepada:
1. Guru
Agar mampu megajarkan metode pembelajaran kepada siswa/I di sekolah
sehingga pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan Kurukulum yang di
tetapkan.
2. Siswa
Siswa dapat menganalisis puisi secara terstruktur dan mendalam. Serta
siswa mampu mengapresiasikannya.
3. Sekolah
Agar menerapkan kurikulum berdasarkan ketentuan yang berlaku.
4. Penulis
Sebagi calon pendidik, penulis memperoleh pemahaman tentang puisi
secara terstruktur dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Atmosuwito, Subijantoro. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra.


Bandung: Sinar Baru, 1989, Cet. I, h. 123.
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, instrument penelitian Bidang sosial,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, h. 67.
Harjana, Andre, Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1985, Cet
III, h. 81.
Hardjana, Agus M, Religiusitas, Agama dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius,
2005, Cet. 1, h. 6162.
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Jogjakarta: PT Hanindita Graha Widya,
2002, Cet. II, h. 53.
Jalil, Daniel Abdul. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia, Bandung: Angkasa,
1984, Cet. 10, h. 14.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet.
VIII, h. 376.
Mahayana, Maman, S. 9 Jawaban Sastra Indonesia Sebuah Orientasi Kritik,
Jakarta: Bening Publishing, 2005, Cet. I, h. 264
Mangunwijaya, Y.B. Sastra dan Religositas. Jakarta: Sinar Harapan, 1982, Cet. 1,
h. 1115.
Muhammad Pujiono, Analisi Nilai-nilai Religius dalam Cerita Pendek Karya
Mizwan Kenzi,Repository.usu.ac.id/bitstream,
diakses pada Selasa
Tanggal 28 Desember 2010, Pkl. 14.00 WIB
Muzakki, Akhmad, kesusastraan Arab pengantar Teori dan Terapan, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2006, Cet. 1, h. 99.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005, Cet. V, h. 3.
Nuraida dan Halid Alkaf, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Islamic
Research Publishing, 2009, Cet 1,h. 35.
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007, Cet. III, h. 53.

Ofm, Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta:


Kanisius, 1988, Cet. 1, h. 2930.
Pradopo, Rachmat, Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress, 2000, Cet. VII, h. 7.
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk, Puisi, Universitas Terbuka, 2007, Cet, III, h. 1.44.
Ribut Wijoto, Mari, Bicara Kritik Sastra,Wijoto.blogspot.com diakses pada senin
14 Maret 2011, Pkl. 14.00 WIB.
Rina Ratih Sri Sudaryani, Religiusitas dalam Beberapa Prosa Indonesia
(http://www.geocities.com), diakses pada Minggu Tgl 9 Januari 2011
pukul 10:41 WIB.
Sitanggang. Religiusitas dalam tiga novelmoderen. Jakarta: Pusat Bahasa, 2003,
h. 1.
Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. II, h. 7374.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2003.
Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa, Ende-Flores: Penerbit nusa
indah, 1983, Cet. IV, h. 9-10.
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet.
1, h. 1.
Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1987, h, 27.
Wiyanto, Asul Kesusastraan Sekolah, Jakarta: PT Gramedia
Indonesia, 2005, Cet. 1, h. 29.

Widiasarana

Anda mungkin juga menyukai