Anda di halaman 1dari 4

Ketahanan Pangan

Deptan vs Bulog: Tantangan Ketahanan Pangan


Perang terbuka kadang terkesan panas dan menggebu-gebu, seakan
menjadi perang pemikiran dan ideologidalam mencapai ketahanan pangan di
Indonesia. Mentan tampak lebih agresif mengkritik ketidaktegasan Bulog
menyerap gabah petani. Dari target 1,2 juta ton, Bulog hanya mampu menyerap
309 ribu ton selama April-Mei 2000 Mentan juga melemparkan wacana untuk
mencabut kewenangan Bulog dalam menyalurkan beras untuk keluarga miskin
(raskin).
Dirut Bulog tampak berusaha lebih

Cool, dengan menunjukkan

kemampuan Bulog menyerap gabah 2,3 juta ton atau 7 persen dari produksi
nasional tahun 2005. Dirut Bulog sengaja membuat pernyataan bersayap bahwa
program raskin yang dijalankannya bahkan ikut berkontribusi pada stabilisasi
harga beras, walaupun kebijakan pemerintahan terbaru (Inpres 13/2005) tidak
secara tegas mengamanatkan demikian. Sebenarnya, tidak terlalu salah untuk
mengungkit-ungkit Keppres 103/2001 tentang Tugas, Fungsi, dan Bentuk
Organisasi

Bulog,

tetapi

ketika

pemerintah

tidak

lagi

secara

eksplisit

mengamanatkan stabilisasi harga, kritik yang tepat perlu diarahkan kepada


pemerintah. Sejak keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2003
tentang Perum Bulog maka perangkat kelembagaan yang baru inilah yang
menjadi penunjuk arah perjalanan Bulog, disamping beberapa peraturan
perundangan lain yang masih relevan.
Dirut Bulog memang tidak melayani pancingan Mentan yang menonjolkan
program LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), sebagai salah satu
alternatif penjaminan harga ditingkat petani. Akan tetapi, total dana LUEP yang
hanya Rp 500 miliar tentang sangat kecil untuk mampu bersaing dengan aktivitas
pengadaan dan distribusi yang dilakukan sanakan Bulog. Masyarakat tentu
sangat menginginkan pencerahan pemikiran dan pemahaman tentang masa
depan ketahanan pangan Indonesia. Ketahanan pangan tentu saja bukan
semata persoalan beras atau yang berhubungan dengan perut, tetapi jauh lebih
strategis karena berhubungan dengan otak alias pemenuhan kualitas gizi dan
protein yang dibutuhkan bagi pengembangan sumber daya manusia sebagai
penentu daya saing bangsa Indonesia ke depan.
Kasus ledakan gizi buruk dan gizi kurang di Nusa Tenggara Barat Tahun
2005 lalu, misalnya, merupakan salah satu dari contoh buruknya sinergi antara

ketersediaan pangan ditingkat makro dan aksesibilitas individu dan rumah


tangga terhadap bahan pangan. Aksesibilitas pangan kelompok miskin dan
rawan ini tentu tidak akan dapat dipecahkan dengan eksplorasi saling pendapat
diantara kaum elite, tetapi memerlukan ikhtiar bersama (Collective Actions)
segenap lapisan masyarakat.
Ketahanan Pangan Di Persimpangan Jalan
Persoalan ketahanan pangan kembali menyita perhatian publik ketika
para elite politik sibuk berdebat tentang perlu tidaknya impor beras karena
kesimpangsiuran data produksi dan konsumsi yang dimiliki pemerintah. Konsep
ketahanan pangan ini mengandung tiga dimensi yang saling berkait, yaitu:
1) Ketersediaan pangan
2) Aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, dan
3) Stabilitas harga pangan
Sesuatu yang diyakini para ahli adalah apabila salah satu dari dimensi
tersebut tidak terpenuhi, suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai
ketahanan pangan yang baik. Demikian pula, walaupun ketersediaan dan
aksesibilitas masyarakat dapat dikatakan cukup, jika stabilitas harga pangan
tidak mampu terjaga secara baik (dan tentunya berakibat pada ketersediaan dan
aksesibilitas), ketahanan pangan tidak dapat dikatakan telah cukup kuat.
Ketersediaan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar
setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kelori dan energi untuk
menjalankan aktivitas ekonomi dan peningkatan standar hidup sumber daya
manusia Indonesia.
Pertengahan Desember 2005, beberapa instansi pemerintah mencapai
konsensus tentang data makro produksi dan konsumsi beras, yaitu minus
sekitar 25 ribu ton untuk tahun 2005. Hal yang menarik adalah ketika kaum elite
kembali melempar pertanyaan yang konon berasal dari aktivitas salah satu
organisasi petani bahwa kelangkaan pupuk yang terjadi pada saat musim panen
seperti saat ini akan menurunkan produksi beras sampai 20 persen. Ditingkat
rumah tangga, ketersediaan pangan diukur dengan membandingkan tingkat
konsumsi energi dan protein dengan angka kecukupan gizi (AKG). Indonesia
memiliki standar AKG yang dihasilkan dari Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG)
ke-VI, pada Mei 2004, yaitu 2.000 kilo kalori (kkal) dan 52 gram protein untuk
tingkat konsumsi, serta 2.200 kkal dan 57 gram pada tingkat penyediaan.

Dalam dimensi penyediaan pangan, ketahanan pangan yang harus


diperjuangkan adalah ketersediaan pangan dan kecukupan kalori dan protein
ditingkat rumah tangga, terutama kaum miskin di pedesaan dan perkotaan.
Dimensi aksesibilitas masyarakat terhadap pengan dapat dijelaskan misalnya
dengan proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan
salah satu indikator ketahanan pangan ditingkat rumah tangga tersebut.
Kasus ledakan gizi buruk dan gizi kurang di Nusa Tenggara Barat,
misalnya,

merupakan

salah

satu

dari contoh

buruknya

sinergi antara

ketersediaan pangan ditingkat makro dan aksesibilitas individu dan rumah


tangga terhadap bahan pangan. Mereka inilah yang masuk dalam kategori
penduduk miskin dan memiliki akses buruk terhadap pangan.
Apabila pembangunan katahanan pangan difokuskan langsung pada
kelompok miskin ini, maka manfaatnya akan terlihat secara jelas ketika kelompok
pendapatan rendah ini telah mampu memenuhi kecukupan pangan, baik energi
maupun proteinnya. Disinilah indonesia dapat dikatakan telah melaksanakan
salah satu komitmennya ditingkat global dalam mencapai tujuan pembangunan
milenium atau Millenium Development Goals = MDGs, yaitu mengurangi proporsi
penduduk yang hidup kemiskinan dan kelaparan, sampai setengahnya pada
tahun 2015 nanti. Stabilitas harga menjadi salah satu dimensi yang penting
dalam ketahanan pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi,
politik, dan sosial kemasyarakatan yang berat. Fluktuasi harga pangan dan
komoditas pertanian umumnya terjadi antar waktu karena pengaruh iklim dan
cuaca (seasonal variations) serta perbedaan waktu tanam dan waktu panen yang
berkisar tiga bulan atau lebih. Fluktuasi harga cenderung mengarah pada
instabilitas harga pangan juga terjadi karena pengaruh lokasi dan wilayah
produksi dan konsumsi.
Sejak tahun 1967, Indonesia telah berupaya menjalankan stabilitasi harga
pangan tersebut melalui Badan Urusan Logistik (Bulog), dengan pasang surut
prestasi yang diembannya. Singkatnya tingkat ketahanan pangan Indonesia saat
ini memang berada di persimpangan, apakah akan mampu menuju negara
berketahanan

pangan

tinggi

dari

seluruh

ketiga

dimensi

ketersediaan,

aksesibilitas dan stabilitas harga; atau bahkan tidak mampu mencapai salah satu
dari ketiga dimensinya. Indonesia harus mentransformasi kelembagaan pangan
menjadi lebih baik karena selama ini tidak mampu mengikuti irama perputaran
roda perekonomian, sistem ekonomi politik dan kondisi eksternal lain yang

berubah demikian cepat. Disinilah fungsi yang harus dimainkan oleh negara,
terutama para elite ekonomi dan politik, bukan memperpanjang persoalan kisruh
data beras yang sebenarnya sangat akademik tersebut dengan mengusulkan
hak angket dan sebagainya.
Tantangan Baru Pangan Dunia
Tradisi peringatan hari pangan itu sekaligus untuk mengenang dari jadi
Organisasi Pangan Dunia (FAO = Food and Agricultural Organization), yang jatuh
pada 16 Oktober. Dibeberapa tempat, memang diselenggarakan acara seminar,
diskusi panel tentang tema nasional hari pangan, Membangun Kemandirian
Pangan Berbasis Perdesaan.

Anda mungkin juga menyukai