Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Subyek
hukum
merupakan
segala
sesuatu
yang
memiliki
hukum
menikah.
Berjiawa sehat dan berakal sehat.
Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan
Pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap
istri.
Badan hukum (Rechts Person)
B. Obyek Hukum
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek
hukum dan yang dapat menjadi obyek suatu hubungan hukum karena
hal itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Dalam bahasa hokum,
obyek hokum dapat juga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai
dan/ dimiliki subyek hukum. Misalnya, Ansi meminjamkan buku kepada
Budi. Di sini, yang menjadi obyek hukum adalah buku karena buku
menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Bagian-Bagian Objek hukum dapat dibedakan menjadi :
1. Benda bergerak
Pengertian benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat
berpindah sendiri ataupun dapat dipindahkan. Benda bergerak dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Benda bergerak karena sifatnya
Segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.
Contoh : Kapal dengan bobot 20 M Kubik (Pasal 314 KUHPer) meskipun
menurut sifatnya dapat dipindahkan
Membedakan benda bergerak dan tidak bergerak sangat penting karena
berhubungan dengan 4 hak yaitu : pemilikian, penyerahan, kadaluarsa, dan
pembebanan.
1.
Pemilikan
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang
tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang
bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk
barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
2. Penyerahan
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan
penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan,
sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
3. Daluwarsa
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal
daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas
benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak
mengenal adanya daluwarsa.
4. Pembebanan
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand
(gadai, fidusia) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik
adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah
digunakan fidusia.
C. Akibat Hukum
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang
diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan
hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat
yang dikehendaki hukum.
Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang
terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum
terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena
kejadian-kejadian
tertentu
oleh
hukum
yang
bersangkutan
telah
hukum
yang
bersangkutan.
Misalnya,
mengadakan
perjanjian jual-beli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual
beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk
mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar barang
tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak
untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban
untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan
subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum itu dapat berujud:
1.
Contoh:
tindakan hukum.
2.
antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak
yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Contoh:
A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, maka lahirlah hubungan
hukum antara A dan B. Setelah dibayar lunas, hubungan hukum
tersebut menjadi lenyap.
3.
Contoh:
Seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari
perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa
hak dan secara melawan hukum.
4.
D. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan
tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku
konkrit.
Misalnya
suatu
peraturan
hukum
yang
mengatur
tentang
sosial
yang
tidak
secara
otomatis
dapat
2.
hubungan itu.
b.
Misalnya: A menjual satu unit mobil kepada B. Perjanjian jual beli ini
akan menimbulkan hubungan antara A dan B dan hubungan itu diatur
oleh hukum (Pasal 1457 KUH Perdata). A wajib menyerahkan satu unit
mobil kepada B sebaliknya B wajib membayar mobil sesuai dengan
perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak, atau kedua-duanya telah
melalaikan kewajibannya maka oleh hakim dapat dijatuhi sanksi
hukum. Hubungan antara A dan B yang diatur oleh hukum itu
disebut hubungan hukum.
dua
segi:
bevoegdheid
(kekuasaan/kewenangan/hak)
dengan
seorangpun
manusia
yang
tidak
mempunyai
hak,
tetaapi
Hak dapat timbul pada subyek hokum disebabkan oleh beberapa hal
berikut:
-
melakukan perjanjian.
Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan
public.
Kewajiban Perdata : kewajiban yang berkorelasi dengan hak-
hak perdata.
3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif
- Kewajiban Positif : kewajiban yang
-
menghendaki
suatu
perbuatan positif.
Kewajiban Negatif : kewajiban yang menghendaki untuk tidak
melakukan sesuatu.
G. Asas Hukum
Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan
tiap aturan hukum itu berakar pada suatu asas hukum, yakni suatu nilai
yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil.
Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum adalah pikiranpikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masingmasing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusanputusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
putusan-putusan
individual
tersebut
dapat
dipandang
sebagai
penjabarannya.
Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, asas hukum merupakan metakaidah yang berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang
untuk dapat menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau
konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum.
Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah
penerapan aturan hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai
kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan
legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau
kaidah-kaidah
hukum,
menjaga/memelihara
konsistensi
dan
koherensi
aturan-aturan hukum.
Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan
hakim dan dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang
terkait pada masalah kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas
hukum dapat ditemukan dari putusan hakim ataupun hukum positif pada
umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum, baik secara
tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.
Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan.
Dalam hal terjadi demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan
ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia. Arief Sidharta mengutip
D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke dalam klasifikasi
berikut:
1. asas-asas hukum materiil:
1.
2.
3.
4.
asas pertanggungjawaban
5.
asas keadilan
asas konsistensi
2.
asas kepastian
3.
asas persamaan.
keputusan tata usaha yang baru, dengan atau tidak disertai ganti rugi dan/
atau rehabilitasi (vide Pasal 97 ayat (9), (10) dan (11) UU Peradilan Tata
Usaha Negara). Namun demikian, penggunaan asas-asas tersebut sebagai
batu uji, lebih disebabkan karena asas-asas tersebut telah bertransformasi
menjadi norma hukum/normatifisasi (diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 dan perubahannya), tidak murni sebagai asas hukum.
Walaupun pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak
mengindahkan asas hukum, namun jika hal itu tersebut terjadi, maka sangat
mungkin hukum positif tersebut tidak atau kurang memenuhi dasar-dasar
keberlakuan hukum yang baik. Dasardasar keberlakuan hukum yang
dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis (Bagir Manan:
1992).
Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibu kandung (dan keluarga ibunya). Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah asas yang mendasari Pasal 43
ayat (1) undang-undang tersebut secara fundamental. Putusan tersebut
menegaskan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, tidak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, namun
juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya (vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).
Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan,
bahwa:
hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak sematamata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan
tersebut
menunjukkan
adanya
hukum
positif
yang
tidak