Anda di halaman 1dari 11

Kedudukan Ibu dalam Islam

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada duai ibu bapakmu; hanya kepada-Ku engkau akan
kembali (Q.S. 31:14-15)

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain


Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah!" - Jangan pula engkau
membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan,
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku! Sayangilah mereka berdua, sebagaimana
mereka berdua telah menyayangi aku semenjak kecil." (Q.S. 17:23-24)

Sorga terletak di bawah telapak kaki ibu (Al-Hadits)

Memandang dengan kasih sayang dan ramah tamah kepada ibu dan ayah,
adalah ibadah (Al-Hadits)

Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan-Nya


juga terletak pada kemurkaan mereka (Al-Hadits)

Apabila engkau ingin Allah memanjangkan umurmu, maka bahagiakanlah


kedua orang tuamu (Imam Ja'far Shiddiq)

Ibu ... betapa indah dan sucinya kata ini. Kata yang membawa wanginya
keramahan dan cinta kasih ke dalam jiwa, dan membuat kita merasakan
kehangatan dan kemurniannya.

Dunia Barat sekarang baru menemukan nilai mulia Ibu, sedangkan umat
Islam telah berabad-abad mempercayai kedudukannya yang mulia
berdasarkan ajaran Ilahi melalui Islam. Islam percaya pada nilai ibu yang luar
biasa, dan telah menarik perhatian manusia melalui berbagai ungkapan dan
pernyataan. Bahkan Islam menganggap bahwa mencapai tahap akhir
kesempurnaan, yakni sorga, tergantung pada kerelaan Ibu. Nabi Muhammad
saw bersabda, "Sorga terletak di bawah telapak kaki ibu."

Dalam memuliakan kedudukan ibu, Islam tidak membatasi diri pada nasihat,
perintah dan anjuran lisan. Tetapi Islam juga memandang perintah dan
larangan ibu sebagai suatu kewajiban untuk dilaksanakan dalam hal-hal
tertentu. Misalnya, dalam perkara yang disunnahkan Allah, tetapi berlawanan
dengan larangan ibu, maka anak-anak dinasihati untuk menaati larangan ibu
mereka.

Apabila seorang anak ingin berpuasa sunnah, atau melakukan perjalanan


yang disunnahkan, tetapi ibunya melarangnya, maka wajiblah bagi si anak
untuk menaati ibunya. Apabila anak itu melawan kehendak ibunya, maka
bukan saja ia tidak memperoleh pahala karena amalnya itu, melainkan ia
justru memperoleh dosa dikarenakan penolakannya untuk menaati ibunya.

Perkara lain dimana perintah ibu dihormati sebanding dengan perintah Allah
ialah apabila perintah Allah berlawanan dengan larangan ibu, dengan syarat
bahwa perbuatan itu tidak termasuk dalam perintah yang wajib seperti shalat
fardhu atau puasa Ramadhan. Misalnya dalam masalah jihad, orang yang
mampu berperang harus ikut serta dalam pertempuran. Tetapi apabila
seorang muda memenuhi semua persyaratan untuk pergi jihad, kecuali
bahwa ibunya tidak mengizinkannya pergi (dengan syarat bahwa
keabsenannya tidak membahayakan umat Islam), maka ia boleh untuk tidak
ikut dalam peperangan semata-mata karena larangan ibunya.

Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah! Saya
muda dan kuat, siap bertindak dan berbakti, dan ingin sekali pergi ke medan
jihad untuk kemajuan Islam! Tetapi ibu saya tidak membiarkan saya
meninggalkannya untuk pergi berperang." Nabi yang mulia bersabda,
"Pergilah tinggal bersama ibumu. Saya bersumpah kepada Tuhan yang
memilih saya sebagai Nabi, bahwa pahala yang engkau dapatkan untuk

melayaninya meskipun hanya semalam, dan membahagiakannya dengan


kehadiranmu, jauh lebih besar dari pahala perang jihad selama satu tahun."

Islam memandang penghormatan kepada orang tua dan pelaksanaan hakhak mereka sebagai kewajiban manusia terbesar setelah perintah Ilahi. AlQuran mengatakan dalam hubungan ini, "Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan
kepada kedua orang tuamu." (QS 31:14) Perlu diperhatikan bahwa di sini
Allah Ta'ala, segera setelah menyebut hak-Nya sendiri, menyebutkan hak
kedua orang tua.

Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah! Tunjuki
saya, kepada siapa saya mesti berbuat baik untuk mendapatkan manfaat
yang sempurna atas amal kebajikan saya?" Beliau bersabda, "Berbuat baiklah
kepada ibumu." Lelaki itu bertanya dua kali lagi, "Dan sesudah beliau?" Nabi
menjawab, "Kepada ibumu." Lelaki itu bertanya, "Kepada orang lain siapakah
saya mesti berbuat baik pula?" Nabi bersabda, "Kepada ayahmu."

Seorang lelaki bertanya kepada Imam Ja'far Shadiq (AS): "Apakah ada nikmat
yang diperintahkan Allah dalam al-Quran untuk diperlihatkan kepada orang
tua?" Imam menjawab, "Itu berarti bahwa engkau harus bersikap baik dan
terpuji dalam pergaulan dengan mereka. Tidak memaksa mereka meminta
pertolonganmu di saat perlu, bahkan justru engkau berusaha memenuhi
keperluan mereka sebelum mereka memintamu."
Allah berfirman, "Engkau sekali pun tak akan sampai pada kebaktian (yang
sempurna), sebelum engkau menafkahkan sebagian harta yang engkau
cintai. Dan apa pun yang engkau nafkahkan, maka sungguh Allah
mengetahuinya." (QS. 3:92)
"Jika orang tuamu menyebabkan perasaan tidak senang pada dirimu, maka
janganlah engkau (membalas dengan) membuat mereka tak senang. Jika
mereka memukulmu, engkau tak boleh (membalas dengan) menyakiti
mereka. Bahkan engkau mesti mendoakan mereka, dan tidak melemparkan
apapun selain pandangan cinta dan kasih sayang kepada mereka. Suaramu
tidak boleh lebih keras dari mereka, dan engkau tidak boleh berjalan
mendahului mereka!"

Imam Ahlubait yang ke-4 berpesan, "Adalah hak ibumu agar engkau
mengingatnya bahwa ia telah mengandungmu dalam rahimnya selama

berbulan-bulan. Memeliharamu dengan sari hidupnya. Mengerahkan semua


yang ada padanya untuk memelihara dan melindungimu. Ia tidak
mempedulikan rasa laparnya, sedangkan engkau diberinya makan sepuaspuasnya. Ia mengalami rasa haus sementara dahagamu dipuaskan. Ia
mungkin tak berpakaian, tapi engkau diberinya baju yang baik-baik. Ia
mungkin berdiri di panas terik matahari, sementara engkau berteduh. Ia
meninggalkan tidurnya yang enak demi tidurmu yang pulas. Ia melindungimu
dari panas dan dingin. Ia menanggung semua kesusahan itu demi engkau!
Maka engkau layak untuk mengetahui bahwa engkau tak akan mampu
bersyukur kepada ibumu secara pantas, kecuali Allah menolongmu dan
memberikan keridhaan untuk membalas budinya."

Hak-hak istimewa yang diberikan Islam bagi seorang ibu, adalah karena
susah payah yang telah ditanggungnya dalam mengembangkan kehidupan
rohani dan jasmani anak-anaknya. Sehingga hanya para ibu yang
melaksanakan tugas keibuannya dengan baik, membesarkan dan mendidik
anak menjadi bergunalah, yang layak mendapatkan kedudukan dan hak
istimewa tersebut. Sedangkan ibu yang justru memilih untuk bersenangsenang, berfoya-foya meninggalkan kewajibannya mengasuh dan mendidik
anak, serta membiarkan anaknya di panti asuhan, sesungguhnya telah
melakukan kezaliman yang tak termaafkan terhadap anaknya. Oleh karena
itu tidaklah pantas ia mengharapkan keutamaan akan hak dan kedudukan
Ibu.

Ibu-ibu semacam itu bukan saja merusak kebahagiaan anak-anak mereka,


tetapi juga memberi pukulan pada masyarakat disebabkan kegagalan mereka
mengambil manfaat dari anak-anaknya. Seorang anak yang tidak belajar dari
ajaran cinta kasih ibunda, dan yang emosinya tidak dikembangkan dalam
pangkuan ibunda, tidak dapat diharapkan untuk menunjukkan kasih sayang
di tahun-tahun berikutnya. Lihatlah betapa pribadi-pribadi besar dunia
mendapatkan keberhasilan terutama dari pengaruh ibu. Ibu mereka telah
melaksanakan tugas penting dan memainkan peranan yang berhasil dalam
membina anak-anaknya.

Jenius besar Islam, almarhum Murtadha Anshari, meratap dengan pedih


ketika ibunya meninggal. Sambil berlutut di sisi jenasah ibunya, ia menangis
dan mencurahkan air mata. Untuk menghibur dan menyatakan simpatinya,
salah seorang muridnya mengatakan, "Tidak pantas engkau yang
berkedudukan alim bersikap resah dan mengucurkan air mata, hanya karena
kematian seorang perempuan tua." Ulama besar itu mengangkat kepalanya

dan menjawab, "Sepertinya engkau belum menyadari kedudukan mulia Ibu.


Saya berhutang budi atas kedudukan saya kepada pendidikan yang diberikan
Ibu pada saya, dan kerja kerasnya. Ibulah yang meletakkan dasar kemajuan
saya, mengantarkan saya pada kedudukan sebagai ulama sekarang ini."

Inilah contoh pengaruh ibu kepada anaknya. Betapa banyak ibu yang
usahanya sekarang telah menghasilkan suatu sumbangan besar bagi
kemajuan para ilmuwan terkenal dunia.

Thomas Alfa Edison bukan saja gagal menunjukkan bakatnya di masa kanakkanak, tetapi juga kelihatan sangat bodoh, karena ia mempunyai kepala yang
terlalu besar. Keluarga dan kenalannya menganggap ia menderita penyakit
kelemahan mental. Pertanyaan-pertanyaan aneh yang sekali-kali
ditanyakannya semakin menguatkan anggapan mereka. Bahkan di sekolah,
yang hanya dikunjunginya tidak lebih dari tiga bulan, ia dijuluki "si tolol",
karena pertanyaan-pertanyaannya yang berulang kali kepada guru.

Pada suatu hari ia pulang ke rumah dengan berlinang air mata, lalu
mengadukan kepada ibunya. Sang ibu membimbing tangan putranya kembali
ke sekolah. Kepada guru itu, sang ibu berkata: "Anda tidak tahu apa yang
Anda katakan. Anak saya lebih cerdas dari Anda! Inilah letak persoalannya.
Sekarang saya akan membawanya pulang, akan saya urus sendiri
pendidikannya, dan akan saya perlihatkan kepada Anda, bakat apa
sebenarnya yang tersimpan padanya!" Semenjak itu, sang ibu memenuhi
janjinya untuk mendidik sendiri putranya itu.

Seorang sahabat keluarga Edison menulis berkaitan dengan ini, "Kadangkadang ketika melewati rumah Edison, saya melihat ibu Edison dan putranya
duduk-duduk di ruang depan, sementara sang ibu mengajari anaknya.
Tempat itu menjadi ruang kelas dan Edison adalah satu-satunya murid di situ.
Isyarat dan gerakan-gerakannya seperti ibunya, ia sangat mencintai ibunya!
Ketika ibunya berkata, Edison mendengarkan penuh perhatian seakan-akan
perempuan itu lautan ilmu."

Sebagai hasil usaha ibunya, sebelum usia 9 tahun, Edison telah membaca
karya-karya besar Gibbon, Hume, Plato dan Humerus! Ibu yang bijaksana dan
cerdas itu juga mengajarkan geografi, sejarah, matematika dan akhlak.

Edison hanya bersekolah selama tiga bulan, dan semua yang dipelajarinya di
masa anak-anak didapat dari ibunya. Ibu itulah guru yang sesungguhnya,
karena asuhannya bukan saja bagi pendidikan anaknya, tetapi juga untuk
menemukan bakat-bakat yang alami dan mengembangkannya. Kemudian
ketika Edison menjadi terkenal, ia berkata:

"Di masa kanak-kanak, saya menyadari betapa bagusnya tokoh seorang Ibu.
Ketika guru itu menjuluki saya "tolol", Ibu membela saya. Apabila Ibu tidak
mendorong saya, mungkin saya tidak akan menjadi penemu. Menurut Ibu
saya, jika orang-orang yang salah jalan setelah dewasa telah mendapatkan
pendidikan dan diasuh sebagaimana mestinya, mereka tidak akan menjadi
parasit yang tidak berguna dalam masyarakat. Pengalaman yang telah
dikumpulkannya sebagai seorang guru telah mengajarkan kepadanya banyak
rahasia watak manusia. Sebelumnya saya selalu tak peduli, dan apabila
bukan karena perhatian Ibu, kemungkinan besar saya telah menyeleweng
dari jalan yang semestinya! Namun ketabahan Ibu dan kebaikannya,
merupakan faktor kuat yang menghalangi saya dari penyelewengan dan
kesesatan."

Dengan kepribadian, simpati dan usahanya, para ibu dapat meletakkan dasar
kehidupan bahagia bagi anak-anaknya dan melatih mereka untuk masa
depan. Sedangkan para ibu yang teledor dan mementingkan diri sendiri,
dengan tindakan salahnya, justru menyeret anak-anaknya kepada kepedihan
dan nestapa.

Islam dengan jelas menyatakan bahwa salah satu penyebab utama


penyelewengan anak-anak, adalah penyelewengan orang tua sendiri. Nabi
Muhammad SAW menegaskan bahwa setiap anak memasuki dunia ini dengan
wataknya yang suci, siap menerima tauhid dan kebaikan moral, tetapi orang
tuanya justru menyeret anak-anak mereka dengan pendidikan ke arah
penyimpangan moral, dan kadang juga membawa ke jurang kekafiran dan
syirik. Karena pengaruh orang tua kepada anak-anak yang tak terhindarkan
inilah, maka Rasul SAW dan para Imam AS mengajukan banyak saran kepada
para orang tua, dan sangat menghargai usaha-usaha mereka.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Hormatilah anak-anakmu. Ajari mereka


akhlak yang baik, agar engkau mendapatkan keridhaan Ilahi dan
keselamatan."

Beliau SAW bersabda pula, "Jika engkau melatih anak-anakmu berperilaku


baik dan memberi pendidikan yang semestinya, maka hal itu lebih baik
daripada memberikan sebagian hartamu setiap harinya di jalan Allah."

Hadits lain menyebutkan bahwa: "apabila seseorang meninggal, maka


terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: 1. Jika ia berbuat amal yang selalu
membawa manfaat bagi manusia, 2. Jika ia meninggalkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat, 3. Jika ia meninggalkan anak saleh yang mendoakannya."

Apabila orang tua melaksanakan kewajibannya dengan mendidik anakanaknya dengan semestinya, maka mereka mendapatkan manfaat
sepenuhnya dari hak-hak mereka sebagai orang tua, dan mendapatkan
keuntungan berupa keturunan yang baik. Di sini Islam menyeru kepada anakanak dan menyuruh mereka untuk berbuat baik kepada orang tua.

Imam Ja'far Shadiq AS berkata, "Berlaku baik dan sopan kepada orang tua
merupakan bukti ketakwaan seseorang. Karena tak ada amal yang disenangi
Allah sebagaimana menghormati orang tua."

Nabi SAW bersabda, "Pandangan kasih sayang seorang anak kepada orang
tuanya dipandang sebagai suatu ibadah."

Imam Muhammad Baqir AS berkata, "Ada empat hal yang kepemilikannya


akan memberikan pada pemiliknya rumah di sorga melalui keridhaan-Nya: 1.
Mengasuh anak yatim dan memberikan tempat perlindungan kepada mereka,
2. Berkasih sayang kepada yang tua renta dan tak berdaya, 3. Berbaik hati
dan berperilaku ramah kepada orang tua, 4. Berhati lembut kepada bawahan
dan pelayan."

Islam juga memandang bahwa kebajikan kepada Ibu sebagai suatu jalan yang
bermanfaat untuk menghapus dosa seseorang, dan memandang kebaikan
kepada Ibu sebagai suatu sarana untuk menyelamatkan dari dosa dan
menggapai keridhaan Allah.

Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW seraya mengeluh, "Wahai Nabi!
Saya telah berbuat banyak dosa dalam hidup ini. Saya telah melakukan
segala macam perbuatan jahat. Apakah pintu taubat masih terbuka untuk
saya? Apakah Allah masih akan menerima taubat saya?" Nabi bertanya,
"Apakah orang tuamu masih hidup?" Lelaki itu mengatakan, "Ya. Ayah saya
masih hidup!" Nabi lalu berkata, "Maka pergilah kepadanya dan berbuat
baiklah kepadanya (agar dosamu diampuni Allah)." Lelaki itu pamit kemudian
keluar. Kemudian Nabi bersabda, "Saya berharap ibunya masih hidup!" [Yang
beliau maksudkan ialah bahwa apabila ibunya masih hidup untuk menerima
kebajikan anaknya, maka dosa-dosanya akan lebih cepat diampuni.]

Seorang lelaki datang kepada Nabi seraya berkata, "Wahai Nabi Allah! Saya
dianugerahi Allah seorang anak perempuan. Saya membesarkannya hingga
ia dewasa. Suatu hari saya pakaikan baju padanya, saya hiasi dia, lalu saya
membawanya ke sebuah sumur dan melemparkannya ke sana! Kata terakhir
yang saya dengar diucapkan oleh anak tak berdosa itu adalah, 'Wahai ayahku
tersayang!' Sekarang saya bertaubat atas apa yang telah saya lakukan.
Bagaimana saya bisa menebus dosa saya? Apa yang harus saya kerjakan
untuk menebus dosa itu?" Nabi SAW bertanya, "Apakah ibumu masih hidup?"
Lelaki itu menjawab, "Tidak." Nabi bertanya, "Apakah bibimu masih hidup?"
Lelaki itu mengatakan, "Ya." Nabi lalu bersabda, "Ia (bibimu) sama dengan
Ibu. Pergilah berbuat baik padanya, dengan demikian dosamu akan
diampuni!"

Dalam Islam, kemarahan dan ketidakpuasan Ibu dipandang sebagai sarana


datangnya bencana dan kehancuran. Dalam beberapa riwayat telah
dikatakan secara gamblang bahwa orang yang durhaka terhadap orang
tuanya tidak akan pernah mencium bau sorga dan tidak akan mencapai
kebahagiaan.

Seorang pemuda di masa Nabi telah jatuh sakit dan terbaring tak berdaya di
tempat tidur. Nabi pergi menjenguknya dan mendapatkan ia sakti parah di
saat terakhirnya. Nabi berkata padanya, "Akuilah keesaan Allah dan ucapkan
kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah!" Pemuda yang sakit itu menggagap dan
tidak dapat mengucapkan kalimat suci. Nabi bertanya pada seorang
perempuan yang hadir, "Apakah ia mempunyai ibu?" Perempuan itu
menjawab, "Ya. Saya adalah ibunya." Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau
tidak rela kepadanya?" Perempuan itu mengiyakan, "Ya. Saya tidak rukun

dengan dia selama enam tahun!" Nabi meminta perempuan itu memaafkan
kesalahan putranya. Perempuan itu berujar, "Wahai Nabi Allah! Saya akan
melakukannya demi engkau." Kemudian Nabi menoleh kepada pemuda itu
sambil berkata, "Sekarang ucapkanlah Laa ilaaha illallah." Pemuda itu
sekarang dengan lidah yang bebas mengucapkan kalimat suci itu.

Imam Shadiq AS berkata, "Orang yang ingin mengalami kemudahan saat


sakaratul maut, hendaklah berbuat kebaikan kepada keluarganya dan
memperlakukan ibunya dengan ramah. Sehingga sakaratul maut akan
menjadi ringan baginya, dan dalam kehidupan ia tak akan menderita
kenistaan."

Suatu hal yang perlu diingat ialah pada tanggal 22 Desember telah dipilih
sebagai Hari Ibu, dimana diadakan berbagai acara peringatan, puisi-puisi
ditulis, hadiah-hadiah diberikan kepada para ibu oleh anak-anaknya. Tentu
saja hal itu bagus, tetapi tidaklah cukup acara-acara dan pemberian hadiah
itu sebagai penghargaan terhadap usaha para ibu. Haruslah diusahakan juga
untuk memberikan penjelasan kepada para ibu tentang tanggung jawab
besar mereka, menyadarkan mereka bahwa pengelolaan suatu keluarga dan
pendidikan anak-anak termasuk pekerjaan yang paling penting, dibandingkan
dengan pekerjaan apa pun.

Ibu-ibu harus berusaha memberikan kepada masyarakat anak-anak yang


terdidik dengan baik dan mengasuh secara khusus keimanan dan keyakinan
mereka. Karena pengalaman telah menunjukkan bahwa anak yang tak
beriman bukan saja tak berguna, tetapi juga kadang merugikan dan
berbahaya. Kita telah sering membaca tentang anak-anak yang memukul ibu
atau ayah mereka, bahkan ada yang membunuhnya. Mengapa demikian?

Pengalaman mengatakan pada kita bahwa tak ada alasan lain bagi
pelanggaran dan kejahatan semacam itu, selain kekurangan sandaran iman
dan dasar kerohanian. Jika para orang tua ingin mendapatkan kemaslahatan
dari anak-anaknya di dunia dan di akhirat, mereka harus memberi perhatian
penuh kepada urusan keagamaan dan keimanan anak-anak itu, sebagaimana
mereka memperhatikan kesehatan dan pendidikan mereka. Anak-anak pun
mesti mengetahui kewajiban mereka terhadap orang tuanya, mengingat
bahwa kebahagiaan anak yang sebenarnya adalah tergantung pada
keridhaan orang tua.

Seorang lelaki bernama Zakaria ibn Ibrahim berkisah :

Dahulu saya seorang Kristen yang kemudian memeluk Islam dan melakukan
ibadah haji ke Makkah. Saya beruntung mendapat kehormatan untuk
bertemu dengan Imam Shadiq AS dan mengatakan kepadanya bahwa saya
baru masuk Islam dari agama Kristen. Imam bertanya: "Keuntungan apa yang
engkau dapatkan dari Islam setelah engkau memeluknya?" Saya mengutip
ayat al-Quran yang menyatakan: "Sebelumnya engkau tidak mengetahui
apakah al-Kitab itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan al-Quran itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa saja
yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami (QS. 42:52)"

Imam itu berkata: "Demikianlah Allah memberi petunjuk kepadamu dan


menerangi hatimu dengan cahaya-Nya." Kemudian Imam mendoakan saya
agar mendapatkan petunjuk yang lebih banyak. Saya ceritakan pada Imam
bahwa orang tua dan kerabat saya beragama Kristen, sedang ibu saya buta.
Apakah pantas bagi saya untuk tetap hidup bersama mereka dan bercampur
gaul? Imam bertanya, "Apakah mereka makan daging babi?" Saya menjawab,
"Tidak." Lalu Imam bersabda, "Tidak ada salahnya engkau bercampur gaul
dengan mereka," seraya menambahkan, "Rawatlah ibumu dan berbuat
baiklah kepadanya. Apabila ia meninggal, engkau sendirilah yang mengurus
penguburannya."

Ketika saya kembali dari Makkah dan tiba di Kufah, saya banyak
menunjukkan kasih sayang kepada ibu saya sesuai dengan perintah Imam.
Saya sendiri yang memberinya makan, mengatur pakaiannya, menyisir
rambutnya dan melayaninya dalam berbagai hal. Ketika ibu saya melihat
perubahan dalam perilaku saya, beliau berkata: "Anakku, di waktu engkau
menganut agama kami, engkau tidak berbuat seperti ini. Apa alasan kasih
sayang yang sebesar ini sejak engkau memeluk agama Islam?" Saya
menjawab, "Seorang cucu Rasul telah memerintahkan saya untuk berbuat
seperti ini." Ibu saya bertanya, "Apakah ia Nabimu?" Saya katakan, "Tidak.
Tak ada nabi lain lagi setelah Nabi Muhammad. Ia adalah seorang keturunan
Nabi."

Ibu saya berkata, "Perintah ini adalah perintah seluruh nabi-nabi, tetapi
agamamu lebih baik dari agama saya. Tunjuki saya untuk masuk Islam." Saya

mengajarkannya jalan Islam lalu ibu pun masuk Islam. Ibu melakukan sholat
zhuhur, ashar, maghrib dan isya, kemudian ibu jatuh sakit di tengah malam.
Saya tinggal di sisi ranjang dan merawatnya. Ibu berkata, "Anakku! Ulangilah
untuk saya kalimat syahadat Islam." Saya melakukannya dan ibu
mengikutinya, kemudian meninggal di malam itu juga. Keesokan harinya
penguburan dilakukan oleh sekelompok Muslim sesuai dengan cara Islam,
dan saya menguburkannya dengan tangan saya sendiri.

Meninggalnya seorang ibu merupakan kehilangan yang tak dapat ditebus,


akan tetapi tatanan Penciptaan menurut Sunnah Ilahi menetapkan bahwa
setiap makhluk pasti akan meninggalkan dunia ini. Manusia harus puas dan
menyerah kepada kehendak Ilahi dan takdir-Nya. Namun ada kewajiban
tertentu yang harus dilaksanakan anak setelah ibunya meninggal, apabila
mereka menghasratkan kebahagiaan mereka sendiri. Dengan kata lain, hak
orang tua tidak terhenti dengan kematian mereka, dan hak ini mesti
dilaksanakan oleh anak-anak mereka setelah meninggalnya orang tua
mereka.

Imam Ahlubayt yang ke-5 berkata, "Seorang anak mungkin berkebajikan


kepada orang tuanya selama hidup orang tuanya. Tetapi mungkin ia tidak
membalas hutang budinya kepada mereka setelah mereka meninggal, tidak
pula berdoa untuk keselamatannya dan melupakannya sama sekali. Dalam
hal ini, anak-anak seperti itu akan digolongkan Allah kepada kategori orang
yang berperangai jelek terhadap orang tuanya."

Apa yang dapat disimpulkan dari ajaran Islam ini dan dari riwayat-riwayat
Islam lainnya ialah bahwa apabila seorang ayah atau ibu terikat hutang,
anak-anaknya mesti berusaha membayarkan hutangnya dan mendoakan
keselamatannya. Ia harus bersedekah atas nama mereka, memberi makan
fakir miskin untuk menyenangkan hati mereka, memperhatikan dan
membelai anak yatim, dan melakukan amal baik semacam itu. Pahala amal
semacam itu akan diberikan kepada orang tuanya maupun anak-anaknya,
dan Allah akan memberkati dan meridhai mereka untuk amal kebajikan dan
sedekah itu.

Anda mungkin juga menyukai