Anda di halaman 1dari 16

IKTERUS NEONATORUM

I. Definisi
Ikterus neonatorum (Ikterus: kuning, Neonatorum: bayi baru lahir) adalah
kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir
karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah (disebut juga hiperbilirubinemia). Warna
kekuningan pada bayi baru lahir umumnya merupakan kejadian alamiah (fisologis),
namun adakalanya menggambarkan suatu penyakit (patologis). Bayi berwarna
kekuningan yang alamiah (fisiologis) atau bukan karena penyakit tertentu dapat
terjadi pada 25% hingga 50% bayi baru lahir cukup bulan (masa kehamilan yang
cukup), dan persentasenya lebih tinggi pada bayi premature. [1]
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara
klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Ikterus neronatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga
usia 2 bulan setelah lahir. [1]
II. Klasifikasi dan Etiologi
Ikterus Neonatorum Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula
kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (714 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu,
bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu
1

formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan.
Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15
mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. [2]
Ikterus Neonatorum Nonfisiologi
Dulu disebut dengan ikterus patologis, tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis. Keadaan dibawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut:
a)
b)
c)
d)

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam


Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam.
Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea atau

suhu yang tidak stabil).


e) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan. [2]
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat
dibagi [1] :
1.

2.

0-24 jam setelah lahir


a.

Inkompabilitas darah Rh, ABO, dll

b.

Infeksi intrauterine (karena virus TORCH, kadang bakteri)

c.

Kadang defisiensi G6PD

24-72 jam setelah lahir


a.

Fisiologis

b.

Inkompabilitas darah Rh, ABO

c.

Defisiensi G6PD

d.

Polisitemia

e.

Hemolisis perdarahan tertutup

f.

Hipoksia, Asidosis

3.

4.

Dari 72 Jam Akhir minggu pertama


a.

Infeksi

b.

Dehidrasi asidosis

c.

Defisiensi enzim G6PD

d.

Pengaruh obat

e.

Sindrom Criggler-Najjar, Sindrom Gilbert

Akhir minggu pertama


a.

Obstruksi

b.

Hipotiroidisme

c.

Infeksi

d.

Neonatal Hepatitis

e.

Galaktosemia (setelah pemberian ASI)

III. Patofisiologi
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi :
a.
b.
c.
d.

Pembentukan bilirubin secara berlebihan.


Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.
Gangguan konjugasi bilirubin.
Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intra hepatic yang bersifat obtruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme


yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
terkonjugasi.[3]
Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
3

beberapa zat lain. Tiga molekul oksigen diperlukan pada reaksi oksidasi hemoglobin
oleh heme oksigenase. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX (Gbr. 2). Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut
dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah
melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. [4,5]
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel
hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain
yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi.
Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin direk. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil
transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama
terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat
sebagai donor glukoronil. Bahan baku dari UDP-asam glukoronat ini adalah salah
satunya glukosa. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi
melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di
absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi enterohepatik.
[4,5]

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada


hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya
fungsi hepar. [5]
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 3 dan mencapai
puncaknya pada hari ke 5 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 14.

Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 mol/L) pada bayi kurang bulan
dan < 12 mg/dL (205 mol/L) pada bayi cukup bulan. [5]

Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau


konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan
kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari,
bahkan terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap
fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus
dilakukan

untuk

mengetahui

penyebabnya,

sehingga

pengobatanpun

dapat

dilaksanakan dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis
tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, bayi
dinyatakan menderita bilirubinemia apabila kadar bilirubin total > 12 mg/dL (> 205
mol/L) pada bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadarnya >
10 mg/dL (>171 mol/L). [5]

IV. Gejala Klinis


Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl
atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan
derajat kuning pada secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian
menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masingmasing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya. Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
[1]

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer [6]


Zona
1
2
3
4
5

Bagian Tubuh yang Kuning

Rata-rata serum bilirubin

Kepala & leher


Pusat sampai leher
Pusat sampai paha
Lengan dan tungkai
Tangan & kaki

indirek (umol/l)
100
150
200
250
Lebih dari 250

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayibayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada
bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan
menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serumbilirubin.
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya

valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada
kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. [5]
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain : [5]
Golongan darah dan Coombs test
Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar. [5]
VI. Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal). [5]
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum
melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan
karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika. [5]
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
8

kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous
Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat
hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. [5]
Tabel 2. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin [5]
Terapi sinar
Usia Bayi sehat
Faktor Risiko*
mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Hari Setiap ikterus yang terlihat

Transfusi tukar
Bayi sehat
Faktor Risiko*
mg/dL mol/L mg/dL mol/L
15
260
13
220

1
Hari

15

260

13

220

25

425

15

260

2
Hari

18

310

16

270

30

510

20

340

3
Hari

20

340

17

290

30

510

20

340

4 dst
(Dikutip dari

American

Academy

of

Pediatrics.

Subcommittee

on

Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or


more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Hour Spesific Bilirubin Nomogram digunakan untuk membantu para dokter
untuk menilai risiko bayi terhadap ikterus dan toksisitas bilirubin. Untuk
menggunakan nomogram ini, cukup mem-plot total serum bilirubin (TSB) bayi
terhadap umur pada ukuran jam untuk membedakan kategori bayi risiko tinggi dan
kategori bayi risiko rendah. Hasil ini menjelaskan area dari level TSB

yang

diobservasi di populasi berdasarkan ras, kesehatan, bayi cukup umur dan kurang
bulan selama seminggu setelah kelahiran. Kurva persentil untuk nilai TSB, dalam
mg/dL, ditandai pada nomogram, yang menunjukkan bahwa level TSB dari 8 mg/dL
(137 mM/L) selama umur 24 jam, 14 mg/dL (239 mM/L) selama umur 48 jam dan
17 mg/dL (290 mM/L) selama umur 84 jam berada diatas persentil 95 pada umut
setelah kelahiran dalam jam. Tingkat levels dari hiperbilirubinemia telah disebutkan
signifikan dan secara umum telah diketahui untuk membutuhkan pengawasan ketat,

kemungkinan evaluasi kedepan, dan terkadang intervensi pencegahan kerusakan otak


diperlukan tanpa pilihan transfusi tukar. Nomogram terkini diketahui dapat
mengidentifikasi bayi mana yang risiko rendah, intermediet atau risiko tinggi untuk
mencapai level bilirubin diatas persentil 95 pada minggu pertama kehidupan. [7]

Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. [5]
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita
dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses
10

hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan. [5]
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang
berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran.
Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih
menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi
area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak
mungkin ke arah bayi. [5]
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubahubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua
mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin
dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar
bilirubin <10 mg/dL (<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi
100 jam. [5]
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan
antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang
penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki. [5]

11

Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti
eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan
hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan
komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan
hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar
selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
[5]

Tabel 3. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi [5]
Berat Bayi Tidak Komplikasi Rasio

Ada Komplikasi Rasio

(gram)
< 1250
1250 1499
1500 1999

(mg/dL)
10
13
15

(mg/dL)
13
15
17

Bili/Alb
5.2
6
6.8

Bili/Alb
4
5.2
6
12

2000 2499 18
2500
20

7.2
8

17
18

6.8
7.2

Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1


(Dikutip

dari

American

Academy

of

Pediatrics.

Subcommittee

on

Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or


more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
Yang dimaksud ada komplikasi apabila : [5]
11. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
22. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
33. pH < 7,15 selama 1 jam
44. Suhu rektal 35 O C
55. Serum Albumin < 2,5 g/dL
66. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
77. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
88. Anemia hemolitik
99. Berat bayi 1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan

diberikan

dan

teknik

serta

penatalaksanaan

pemberian.

Apabila

hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah


ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang
bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai
darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada,
maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah
darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB. [5]

13

Macam Transfusi Tukar: [5]


1. Double Volum artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
2. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
3. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.
Tabel 4. Volume Darah pada Transfusi Tukar [5]
Kebutuhan
Double Volume
Single Volume
Polisitemia

Rumus*
BB x volume darah x 2
BB x volume darah
BB x volume darah x (Hct sekarang Hct yang diinginkan)

Anemia

Hct sekarang
BB x volume darah x (Hb yang diinginkan Hb sekarang)
(Hb donor Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan PCV sekarang)
(PCV donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB


* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan
harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang
aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai
dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula
kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia,
aritmia, ataupun henti jantung. [5]
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan
tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita
14

dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable)
dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi. [5]
VII. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek
telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera
terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada
masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan
minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan
ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis
disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik,
ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.[1]

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Markum, H et al. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.


2. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
3. Price S., Wilson L. M., 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
4. Rods J, Benhamou J.P., Blei A, et al. 2005. Textbook of Hepatology.
California : Westnet Inc.
5. Risa, E., et al. 2006. Hiperbilirubinemia pada Neonatus . Divisi Neonatologi
bagian. Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair / RSU Dr.Soetomo Surabaya
6. Arif, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga jilid 2, Media.
Aesculavius, FKUI, Jakarta.
7. Buthani K, Johnson L, Sivieri M. 1999. Predictive Ability of a Predischarge
Hour-specific Serum Bilirubin for Subsequent Significant Hyperbilirubinemia
in Healthy Term and Near-term Newborns. American Academy of Pediatrics :
Philadelphia.

16

Anda mungkin juga menyukai