Anda di halaman 1dari 3

http://www.ift.co.

id/posts/kinerja-sahamagribisnis-tertinggal
Kinerja Saham Agribisnis Tertinggal
Reporter: Firdaus Nur ImanEditor: Dudi RahmanSelasa 03 Februari 2015, 06:25:00

JAKARTA Kinerja saham-saham sektor agribisnis sepanjang Januari 2015 tertinggal dibandingkan
saham dari sektor lain sehingga kinerja indeks sektor ini paling buruk dalam periode tersebut.
Menurut analis, pada awal tahun ini investor cenderung lebih banyak melepas saham-saham
produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), dipicu oleh penurunan harga CPO di pasar
global.
Berdasarkan data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang Januari 2015, kinerja saham-saham
sektor agribisnis menjadi sektor yang paling tertinggal dengan return minus 4,47%. Kemudian, return
indeks industri dasar minus 4,24%, infrastruktur minus 3,96%, dan pertambangan minus 2,17%.
Sementara itu, indeks sektor property, real estate and building construction mencatat return paling
tinggi sebesar 7%. Disusul return indeks sektor konsumsi 5,48%, perdagangan dan jasa 4,88%,
aneka industri 4,24%, manufaktur 2,64%, dan keuangan 0,51%.
Penurunan indeks agribisnis ini dipicu oleh pelemahan harga saham-saham emiten produsen CPO.
Berdasarkan data Bloomberg yang diolah IFT, secara year to date harga saham PT Gozco
Plantations Tbk (GZCO) mencatatkan penurunan tertinggi sebesar 14,07%.
Penurunan terbesar selanjutnya adalah saham PT BW Plantation Tbk (BWPT) turun 11,25%, PT
Sampoerna Agro Tbk (SGRO) koreksi 10,71%, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turun 4,12%, PT
London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) turun 3,90%, dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk
(SIMP) turun 2,83%.
Leonardo Henry Gavaza, analis PT Bahana Securities, mengatakan pelemahan indeks agribisnis
disebabkan turunnya kinerja saham emiten CPO. Selain itu, produksi minyak kedelai (soy bean) di
Amerika Serikat (AS) yang tinggi dan dampak dari badai El Nino 2014 berdampak pada tertekannya
harga CPO di pasar global.
Harga CPO untuk pengiriman April 2015 di Malaysia Derivative Exchange ditutup naik 0,56%
menjadi 2.146 ringgit per ton atau setara US$ 589,82 per ton pada perdagangan kemarin. Padahal,
hari sebelumnya, harga minyak sawit tergerus ke level 2.134 ringgit per ton, yang merupakan harga
terendah sejak 16 Desember 2014, ujarnya.

Sepanjang Januari 2015, harga CPO sudah turun hingga 4,83%. Ini merupakan koreksi bulanan
terbesar sejak Agustus 2014 lalu. Koreksi harga CPO pada Januari ini berdampak pada ekspektasi
penurunan kinerja emiten CPO pada kuartal I 2015. "Harga CPO di pasar global saat ini masih jauh
dari harga tertinggi pada kuartal I 2014 lalu yang sebesar US$ 960 per ton," ujar Leonardo.
Bahana Securities mengestimasi harga CPO pada 2015 sebesar US$ 860 per ton atau sekitar 2.558
ringgit per ton. Dengan asumsi penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, Bahana Securities
memberikan rating netral pada saham-saham emiten CPO yang tercatat di BEI.
Bahana menetapkan sektor ini dengan rerata valuasi 11,3 kali. Valuasi ini lebih murah 15%-20%
dari rerata harga saham emiten CPO yang tercatat di Bursa Malaysia, katanya.
Dari emiten CPO yang disebutkan di atas, ia menambahkan, hanya BW Plantation yang diprediksi
mencatat pertumbuhan laba bersih per saham (earning per share-EPS) turun 20,2%. Sementara,
Astra Agro Lestari, EPS 2015 diprediksi tumbuh sebesar 16,8%, London Sumatra 21,8%, Salim
Ivomas 11,9%, dan Sampoerna Agro 21,7%.
Tren Menurun
Helmy Kristanto, Head of Equity Research PT Danareksa Sekuritas, mengatakan pergerakan indeks
agribisnis masih dalam tren penurunan hingga kuartal II 2015. Hal ini seiring masih fluktuatifnya
harga CPO sampai periode itu.
Secara fundamental, satu-satunya harapan kinerja dari indeks agribisnis adalah tumbuhnya sahamsaham produsen CPO. Semua itu bergantung pada keseimbangan antara permintaan dan pasokan
CPO. Pada kuartal II 2015, investor sebaiknya wait and see melihat perkembangan lebih lanjut,"
kata Helmy kepada IFT.
Helmy menambahkan, ada kecenderungan permintaan CPO meningkat dari tahun ke tahun. Namun
yang terjadi saat ini, lonjakan pertumbuhan pasokan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
permintaan. Apalagi, pemain-pemain baru sudah turut menyumbang suplai ke bursa global.
Akibatnya, pasokan CPO di pasar komoditas dunia berlimpah.
"Pasar masih skeptis kalau ekspor Indonesia dan Malaysia bisa membaik. Apalagi, permintaan dari
Tiongkok sedang lesu," ujar Helmy.
Dia menjelaskan, permintaan CPO Tiongkok menunjukkan tren turun sejak Oktober 2014.
Konsensus analis memprediksi tren ini akan terus berlanjut, mengingat persaingan dengan harga
minyak nabati lain. Harga minyak kedelai di pasar global sempat jatuh ke level US$ 29,32 per pound.
Ini harga terendah sejak Desember 2008.
Lesunya permintaan minyak sawit secara global tercermin dari ekspor Malaysia. Pada periode 1
Januari-25 Januari 2015, ekspor Malaysia turun 19% menjadi 877.730 ton dan pada periode yang
sama ekspor ke Tiongkok turun 14%.

Selain itu, kata Helmy, penurunan permintaan CPO bakal berlanjut selama harga minyak mentah
jatuh. Murahnya harga minyak mentah mendorong penggunaan komoditas ini sebagai substitusi
CPO sebagai campuran biodiesel. (*)

Anda mungkin juga menyukai