Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei
kesehatan Rumah Tangga diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai
penyebab kematian bayi di Indonesia. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh
infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi saluran cerna antara lain
pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi
cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit
dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina
propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan
malabsorpsi. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya
dapat mengalami invasi sistemik (Putra, 2008).
Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masalah masyarakat di
Indonesia. Angka kesakitannya adalah sekitar 200-400 kejadian diare diantara
1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan
ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya, sebagian
besar (70-80%) dari penderita ini adalah anak dibawah umur 5 tahun (+40 juta
kejadian). Kelompok ini setiap tahunnya mengalami lebih dari satu kali kejadian
diare. Sebagian dari penderita (1-2%) akan jatuh ke dalam dehidrasi dan kalau
tidak segera ditolong 50-60% diantaranya dapat meninggal (Suraatmaja, 2007).
Secara
umum
penanganan
diare
akut
ditujukan
untuk
mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi, mengobati kausa diare yang
spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit
penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan
efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara
umum efektif dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena
diperlukan jika terdapat kegagalan oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah
yang tak terkontrol dan terganggunya masukan oral oleh karena infeksi.
Beberapa cara pencegahan dengan vaksinasi serta pemakaian probiotik telah

banyak diungkap dan penanganan menggunakan antibiotika yang spesifik dan


antiparasit (Putra, 2008).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
DIARE AKUT
A. DEFINISI
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa
darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara
mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat (Mansjoer, 2000). Perubahan konsistensi terjadi karena
peningkatan volume air di dalam tinja akibat ketidakseimbangan antara
absorbsi dan sekresi intestinal. Diare paling lama berlangsung kurang dari 14
hari (Soebagyo, 2008).
B. ETIOLOGI
Penyebab diare akut antara lain yaitu virus, bakteri, parasit, alergi susu
sapi, laktose defisiensi primer dan obat-obatan tertentu . Penyebab utama oleh
virus adalah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya yaitu virus Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus bulat kecil.
Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah Aeromonas
hydrophyla, Escherichia coli enteroaggregatife, E. coli enteroinvansife, E. coli
halemortagik,

Plesiomonas

shigelloides,

Vibrio

cholerae

non-01,

V.

Parahemolyticus, Yersina enterocolotica. Sedangkan penyebab diare oleh


parasit adalah Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Isospora belli,
Balantidium coli, Cryptosporodium, Capillaria philipinensis, Fasiolopsis
buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides strecoralis, dan Trichuris trichiura
(Irwanto, dkk, 2002).
C. FAKTOR RESIKO
Berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian diare antara lain : faktor
lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi,
perilaku masyarakat. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kebersihan
lingkungan dan perorangan seperti kebersihan puting susu, kebersihan botol
dan dot susu, maupun kebersihan air yang digunakan untuk mengolah susu

dan makanan. Faktor gizi misalnya adalah tidak diberikannya makanan


tambahan meskipun anak telah berusia 4-6 bulan. Faktor pendidikan yang
utama

adalah

pengetahuan

ibu

tentang

masalah

kesehatan.

Faktor

kependudukan menunjukkan bahwa insiden diare lebih tinggi pada penduduk


perkotaan yang padat dan miskin atau kumuh. Sedangkan faktor perilaku
orangtua dan masyarakat misalnya adalah kebiasaan ibu yang tidak mencuci
tangan sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar atau membuang
tinja anak. Kesemua faktor di atas terkait erat dengan faktor ekonomi masingmasing keluarga (Irwanto, dkk, 2002).
Diare yang disebabkan mikroba seperti bakteri, parasit atau virus
disebarkan melalui jalan fekal-oral. Mikroba yang berasal dari tinja (feses)
dapat melalui jalur jari-jari (fingers)- lalat (flies)- air (fluid)- tanah (field) yang
akan menyebabkan kontaminasi pada makanan atau minuman. Jalur ini
dikenal dengan jalur 4 F.
Fingers
Flies
Feses
Fluid

Food
(makanan/
minuman)

Mouth/
mulut

Field
Gambar: Rute fekal-oral (Soebagyo, 2008)
D. PATOGENESIS
Virus
Beberapa jenis virus seperti Rotavirus, berkembang biak dalam epitel
vili usus halus, menyebabkan kerusakan sel epitel dan pemendekan vili.
Hilangnya sel-sel vili yang secara normal mempunyai fungsi absorbsi dan
penggantian sementara oleh sel epitel berbentuk kripta yang belum matang,
menyebabkan usus mensekresi air dan elekrolit. Kerusakan vili dapat juga
dihubungkan dengan hilangnya enzim disakaridase terutama laktase.

Penyembuhan terjadi bila vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya


menjadi matang.
Bakteri
1. Penempelan di mukosa. Bakteri yang berkembang biak dalam usus halus
pertama-tama harus menempel mukosa untuk menghindarkan diri dari
penyapuan. Penempelan terjadi melalui antigen yang menyerupai rambut
getar, disebut pili atau fimbria yang melekat pada reseptor di permukaan
usus. Hal ini terjadi misalnya pada E. coli enterotoksigenik dan V. Cholera
01. Pada beberapa keadaan, penempelan di mukosa dihubungkan dengan
perubahan epitel

usus yang

menyebabkan pengurangan kapasitas

penyerapan atau menyebabkan sekresi cairan (misalnya infeksi E. coli


enteropatogenik atau enteroaggrerasi).
2. Toksin yang menyebabkan sekresi. E. coli enterotoksigenik, V. cholerae 01
dan beberapa bakteri lain mengeluarkan toksin yang menghambat fungsi sel
epitel. Toksin ini mengurangi absorbsi natrium melalui vili dan mungkin
meningkatkan sekresi chlorida dari kripta, yang menyebabkan sekresi air
dan elektrolit. Penyembuhan terjadi bila sel yang sakit diganti dengan sel
yang sehat setelah 2-4 hari.
3. Invasi mukosa. Shigella, C. Jejuni, E. coli enteroinvasife dan Salmonella
dapat menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel
mukosa. Ini terjadi sebagian besar di colon dan bagian distal ileum. Invasi
mungkin diikuti dengan pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial
yang menyebabkan adanya sel darah merah dan sel darah putih atau terlihat
adanya darah dalam tinja. Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini
menyebabkan kerusakan jaringan dan kemungkinan juga sekresi air dan
elektrolit dari mukosa (Ditjen PPM & PLP, 1999).
Parasit
1. Penempelan mukosa. G. Lamblia dan Cryptosporodium menempel pada
epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili yang kemungkinan
menyebabkan diare.

2. Invasi mukosa. E. histolytica menyebabkan diare dengan cara menginvasi


epitel mukosa di kolon atau ileum yang menyebabkan mikroabses dan
ulkus. Namun hal ini baru terjadi bila strainnya sangat ganas.
Obat-obatan
Beberapa macam obat terutama antibiotika dapat juga menjadi penyebab
diare. Antibiotika agaknya membunuh flora normal usus sehigga organisme
yang tidak biasa atau yang kebal terhadap antibiotik itu sendiri akan
berkembang bebas. Disamping itu sifat farmakokinetika dari antibiotika itu
sendiri juga memegang peran penting. Sebagai contoh ampisilin dan
klindamisin adalah antibiotik yang dikeluarkan di dalam empedu yang
merubah flora flora tinja secara intesif walaupun diberikan secara parental.
Antibiotik juga bisa menyebabkan malabsorbsi, misalnya tetrasiklin,
kanamisin, basitrasin, polmiksin, dan neomisin (Irwanto, dkk, 2002).
E. PATOFISIOLOGI
Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare yaitu sekretorik dan osmotik.
Diare sekretorik
Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan elektrolit ke dalam
usus halus. Hal ini terjadi bila absorbsi natrium oleh vili gagal sedangkan
sekresi chlorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhirnya
adalah sekresi cairan yang menebabkan kehilangan air dan elektrolit dari
tubuh sebagai tinja cair yang dapat menyebabkan dehidrasi. Pada diare infeksi
perubahan ini terjadi karena adanya rangsangan pada mukosa usus oleh toksin
bakteri seperti toksin E.coli dan V. cholerae 01 atau virus (Rotavirus).
Diare osmotik
Diare osmotik terjadi bila suatu bahan yang secara osmotik aktif dan
sulit diserap. Jika bahan semacam itu berupa larutan isotonik, air dan bahan
yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila
substansi yang diabsorbsi dengan jelek berupa larutan hipertonik, air dan
beberapa elektrolit akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus
sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah.

Hal in meningkatkan volume tinja dan menyebabkan dehidrasi karena


kehilangan cairan tubuh (Ditjen PPM & PLP, 1999). Pada diare akan terjadi
kekurangan air (dehidrasi), gangguan keseimbangan asam basa (asidosis
metabolik), yang secara klinis berupa pernafasan kusmaull, hipoglikemia,
gangguan gizi, dan gangguan sirkulasi (Aswitha, dkk, 2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Gejala muntah dapat
terjadi sebelum dan/ sesudah diare. Bila telah banyak kehilangan air dan
elektrolit terjadilah dehidrasi. Berat badan turun. Pada bayi, ubun-ubun besar
cekung. Tonus dan turgor kulit berkurang. Selaput lendir bibir dan mulut
kering (Aswitha, dkk, 2000).
Cara praktis penatalaksanaan diare yaitu berdasarkan tipe klinis diare itu
sendiri. Terdapat 4 macam tipe klinis diare, dimana tiap macam
menggambarkan kelainan yang mendasari dan perubahan fisiologi yang
berbeda-beda :
1. Diare cair akut (termasuk kolera) yang berlangsung beberapa jam sampai
dengan beberapa hari. Pada diare ini perlu diwaspadai bahaya terjadinya
dehidrasi, juga dapat terjadi penurunan berat badan apabila intake
makanan kurang.
2. Diare akut dengan pendarahan (disentri) , dimana pada diare ini bahaya
utamanya adalah kerusakan usus, sepsis, dan malnutrisi serta dehidrasi.
3. Diare persisten (berlangsung selama 14 hari atau lebih), dimana bahaya
utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non intestinal berat serta dehidrasi.
4. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) dengan
bahaya utamanya antara lain infeksi sistemik berat, dehidrasi, gagal
jantung, dan defisiensi mineral dan vitamin (WHO, 2004).

G. PENCEGAHAN
Diare dapat dicegah dengan langkah seperti berikut (Pusponegoro et al.,
2004) :
1. Upayakan ASI tetap diberikan
2. Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan sebelum makan
3. Meningkatkan kebersihan lingkungan seperti buang air besar di jamban
4. Memberikan imunisasi campak
5. Memberikan makanan penyapihan yang benar
6. Penyediaan ait minum yang bersih
7. Selalu memasak makanan.
H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Riwayat diare sekarang :
i. Sudah berapa lama diare berlangsung
ii. Total diare dalam 24 jam, diperkirakan dari frekuensi diare dan
jumlah tinja
iii. Keadaan klinis tinja (warna, konsistensi, ada lendir atau darah
tidak)
iv. Muntah (frekuensi dan jumlah)
v. Demam
vi. Buang air kecil terakhir
vii. Anak lemah, rewel, rasa haus, kesadaran menurun
viii. Jumlah cairan yang masuk selama diare
ix. Tindakan yang telah diambil (diberi cairan, ASI, makanan, obat,
oralit)
x. Apakah ada yang menderita diare di sekitarnya (IDAI, 2004)
xi. Riwayat bepergian ke daerah yang sedang terkena wabah diare
xii. Kontak dengan orang yang sakit
xiii. Penggunaan antibiotik (Prescilla,2006)

b. Riwayat diare sebelumnya : kapan, berapa lama


c. Riwayat penyakit penyerta saat ini
d. Riwayat imunisasi : lengkap atau tidak.
e. Riwayat makanan sebelum diare : ASI, susu formula, makan makanan
yang tidak biasa (Subagyo, 2004).
2.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama yaitu,
kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda
tambahan, yaitu ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau
tidak, ada atau tidaknya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut,
bibir dan lidah. Jangan lupa menimbang berat badan. Perhatikan pula ada
tidaknya pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal, akral dingin,
perfusi jaringan serta derajat dehidrasinya.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut :
a. Tanpa dehidrasi (kehilangan caiaran < 5% berat badan)
i. Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
ii. Keadaan umum baik dan sadar
iii. Tanda vital dalam batas normal (denyut jantung, kualitas nadi dan
pernapasan normal)
iv. Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
v. Turgor abdomen baik, bising usus normal
vi. Capillary refill time normal
vii. Kencing normal
viii. Akral hangat
ix. Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi
lain (tidak mau minum, muntah terus menerus, diare yang frekuen).

b. Dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)


i. Apabila di dapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
ii. Keadaan umum gelisah dan cengeng
iii. Denyut jantung meningkat, kualitas nadi melemah, pernapasan
cepat
iv. Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering
v. Turgor kurang
vi. Capillary refill time memanjang
vii. Kencing berkurang
viii. Akral hangat
ix. Pasien harus rawat inap.
c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
i. Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
ii. Keadaan umum lemah, letargi atau koma
iii. Takikardi, bradikardi pada kasus berat
iv. Kualitas nadi lemah, kecil, tidak teraba
v. Pernapasan dalam
vi. Ubun-ubun besar sangat cekung, mata sangat cekung, air mata
tidak ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering
vii. Turgor buruk (cubitan pada kulit abdomen kembali > 2 detik)
viii. Capillary refill time memanjang, minimal
ix. Kencing sangat kuranG
x. Akral dingin
xi. Pasien harus rawat inap (IDAI, 2004).

10

Penilaian dehidrasi menurut MTBS


Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini :
Letargis atau tidak sadar
Mata cekung

Dehidrasi berat

Tidak bisa minum atau malas


minum
Cubitan kulit perut kembalinya
sangat lambat
Terdapat 2 atau lebih tanda-tanda
berikut ini:
Gelisah, rewel
Mata cekung

Dehidrasi ringan/sedang

Haus, minum dengan lahap


Cubitan kulit perut kembalinya
Tidak

lambat
cukup

tanda-tanda

untuk

diklasifikasikan dehidrasi berat atau

Tanpa dehidrasi

ringan/sedang
(Ditjen PPM & PLP, 1999)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaaan tinja
-

Makroskopis : bau, warna, lendir, darah , konsistensi

Mikroskopis: eritrosit, lekosit, bakteri, parasit

Kimia : PH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)

Biakan dan uji sensitivitas

b. Pemeriksaan darah : Darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit


(terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang),
kadar ureum dan kreatinin darah.
c. Pemeriksaan urin

: urin rutin (Aswitha, dkk, 2001)

I. PENATALAKSANAAN

11

1. Atasi dehidrasi
a. Tanpa dehidrasi
Cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan
sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis:
i. < 1 tahun: 50-100 cc
ii. -5 tahun : 100-200 cc
iii. > 5 tahun : semaunya.
b. Dehidrasi ringan sedang
Rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBB dalam 3 jam pertama
dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung
sesuai umur seperti di atas setiap kali buang air besar.
c. Dehidrasi berat
Rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat
100 cc/kgBB. Cara pemberian :
i. < 1 tahun : 30cc/kgBB dalam 1 jam pertama dilanjutkan 70 cc/kgBB
dalam 5 jam berikutnya.
ii. > 1 tahun : 30 cc/kgBB dalam jam pertama dilanjutkan 70
cc/kgBB dalam 2 jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien sudah mau minum 5 cc/kgBB selama
proses rehidrasi.
2. Pemakaian antibiotik
Bila ada indikasi seperti pada Shigella dan Cholera. Antibiotik sesuai
dengan hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan adalah kotrimoksazol,
amoksisilin dan atau sesuai hasil uji sensitivitas.
3. Diet
Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi
sering, rendah serat, buah-buahan diberikan terutama pisang.
4. Jangan mengunakan spasmolitika
5. Koreksi elektrolit : koreksi bila terjadi hipernatremia, hiponatremia,
hiperkalemia atau hipokalemia.

12

Salah satu akibat dari kekurangan cairan tubuh adalah hipokalemia.


Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana tubuh mengalami kekuarangan
konsentrasi kalium dalam darah. Kadar normal kalium dalam darah sebesar
3,55 mEg/liter, yang berarti seseorang dinyatakan mengalami hipokalemia
adalah ketika kadar kalium dalam darah kurang dari 3,5 mEg/liter. Karena
kalium dimanfaatkan oleh sistem saraf otonom (SSO) yang digunakan
untuk mengendalikan detak jantung, fungsi otak dan proses fisiologi
lainnya. Sehingga hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, kejang
otot dan bahkan kelumpuhan, serta dapat mempengaruhi irama jantung.
Selain itu kadar kalium yang terlalu rendah dapat mengakibatkan
ketidakmampuan jantung untuk berdetak dan pada akhirnya menyebabkan
kegagalan jantung. Penentuan atau diagnosis seseorang mengalami
hipokalemi diketahui melalui pemeriksaan darah di laboratorium.
Hipokalemia juga dapat terjadi karena fungsi ginjal yang tidak
berfungsi dengan baik, karena ginjal yang normal dapat menahan kalium
dalam darah. Selain itu sindrom cushing, yang disebabkan oleh
diproduksinya hormon aldosteron yang berakibat pada ginjal mengeluarkan
kalium dalam kadar yang besar, sebagai penyebab lain terjadinya
hipokalemia. Selain itu pola konsumsi yang berlebihan atas kayu manis dan
tembakau serta penggunaan insulin dan obat-obatan asma seperti albuterol,
terbutalin dan teofilin dapat mempengaruhi fungsi ginjal dalam menahan
kalium dalam darah.
Untuk pengobatan hipokalemia akibat diare hal pertama yang perlu
dilakukan adalah dengan memperbanyak minum cairan elektrolit atau diare
untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang serta meminum obat
penghenti diare. Sedangkan untuk pengobatan hipokalemianya sendiri dapat
dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalium yang tinggi
seperti pisang atau dengan mengkonsumsi garam kalium. Karena kalium
dapat mengiritasi saluran pencernaan garam kalium diberikan dalam dosis
kecil. Sedangkan pada kasus hipokalemia berat, dilakukan pemberian kaliun
secara intravena. Namun hal tersebut harus dilakukan dalam pantauan

13

dokter dan biasanya dilakukan di rumah sakit untuk menghindari kenaikan


kadar kalium yang terlalu tinggi (Armon, 2001).
6. Vitamin A
-

6 bulan 1 tahun : 100.000 IU

>1 tahun : 200.000 IU

7. Pendidikan orangtua : penyuluhan tentang penanganan diare dan cara-cara


pencegahan diare (IDAI, 2004).
Indikasi rawat inap :
1. Diare akut dengan dehidrasi berat
2. Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan komplikasi
3. Usia < 6 bulan (usia yang mempunyai resiko tinggi mengalami dehidrasi),
buang air besar cair > dari 8 kali dalam 24 jam dan muntah > dari 4 kali sehari
(Armon, 2001).
J. PENCEGAHAN
1. Upaya mencegah penyebaran kuman patogen
Berbagai kuman penyebab diare disebarkan melalui jalan orofekal
seperti air, makanan dan tangan yang tercemar. Upaya pemutusan
penyebaran kuman penyebab harus difokuskan pad cara penyebaran ini.
Upaya yang terbukti efektif adalah:
a. Pemberian ASI saja pada bayi umur 4-6 bulan
b. Menghindarkan penggunaan susu botol
c. Memperbaiki

cara

penyiapan

dan

penyimpanan

makanan

pendamping ASI (untuk mengurangi perkembangbiakan bakteri).


d. Penggunaan air bersih untuk minum
e. Mencuci tangan (sesudah buang air besar dan membuang tinja
bayi, sebelum menyiapkan makanan atau makan)
f. Membuang tinja termasuk tinja bayi secara benar.

14

2. Cara memperkuat daya tahan tubuh pejamu.


a.Melaksanakan pemberian ASI paling tidak sampai 2 tahun pertama
kehidupan
b. Memperbaiki status gizi (dengan memperbaiki nilai gizi makanan
pendamping ASI dn memberikan anak lebih banyak makanan)
c.Imunisasi campak
K. PEMANTAUAN
1. Terapi
Setelah pemberian cairan rehidrasi harus dinilai ulang derajat
dehidrasi, berat badan, gejala dan tanda dehidrasi. Jika masuk dehidrasi
maka dilakukan rehidrasi ulang sesuai dengan derajat dehidrasinya. Jika
setelah 3 hari pemberian antibiotik klinis dan laboratorium tidak ada
perubahan maka dipikirkan penggantian antibiotik sesuai hasil uji
sensitivitas.
2. Tumbuh kembang
3. Timbang berat badan sebelum dan sesudah rehidrasi, 2 minggu setelah
sembuh dan seterusnya secara periodik sesuai umur. Jika anak mengalami
gizi buruk maka dikelola sesuai dengan SPM gizi buruk
Penderita dapat dipulangkan bila penderita tidak dehidrasi, keadaaan umum
dan tanda vital baik, sudah bisa makan dan minum (IDAI, 2004).

15

DAFTAR PUSTAKA

Armon, 2001. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhoea
management. http://mk.armon@ntlworld.com (diakses tanggal 25 Oktober
2011)
Aswitha, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran; Gastroenterologi Anak. Media
Aesculapius. Jakarta, hal : 470 471.
Ditjen PPM & PLP, 1999. Buku Ajar Diare. Jakarta, hal : 8-10.
IDAI, 2004. Standar Pelayanan Medis. Badan Penerbit IDAI. Jakarta, hal : 49-52.
Irwanto, dkk. 2002. Ilmu Penyalit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Salemba Medika. Jakarta, hal : 73 79.
Mansjoer, A., et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI, hal : 470.
Prescilla, RP. 2006. Gastroenteritis. www.emedicinehealth.com (diakses tanggal
25 Oktober 2011)
Pusponegoro, HD., et al. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I.
Jakarta, hal : 49.
Putra, DS. 2008. Diare Akut pada Anak, Upaya Mengurangi Kejadian Komplikasi
Diare Akut. Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arifin Achmad / FK UNRI :
http://www.dr-rocky.com/layout-artikel-kesehatan/42-diare-akut-padaanak (diakses tanggal 25 Oktober 2011)
Soebagyo B, 2008. Diare Akut pada Anak. Surakarta: UNS Press, hal : 2.
Subagyo, 2004. Standar Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Fungsional Anak
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta, hal : 58-63.
Suraatmaja, S. 2010. Diare. Dalam: Suraatmaja, S., et al. 2010. Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Denpasar: FK Universitas Udayana, hal : 1.
WHO, 2004. Diarrhoea : Water, Sanitation and Hygiene Links to Health
http://www.wikipedia.com (diakses tanggal 25 Oktober 2011)

16

Anda mungkin juga menyukai