Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan
tersendiri yang dapat membedakannya dengan bangsa atau
suku bangsa lainnya. Setiap kebudayaan ini, memiliki tujuh
unsur

yang

bersifat

universal

yaitu

bahasa,

sistem

pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan


teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian.
Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat
peradaban

manusia.

menunjukkan
pendukungnya.

ciri

Selain

itu,

kepribadian

Penghayatan

kebudayaan

manusia
terhadap

atau

juga

dapat

masyarakat

kebudayaan

dapat

dilakukan melalui proses sosialisasi. Dalam proses ini manusia


sebagai makhluk individu mulai dari masa kecil hingga masa
tuanya belajar pola-pola tindakan dalam hubungan pergaulan
dengan

individu-individu

lain

di

sekelilingnya,

yang

mempunyai beraneka ragam peranan sosial yang ada dalam


kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1980:217).
Dalam masyarakat yang sudah maju, norma-norma dan
nilai-nilai kehidupan dipelajari melalui jalur pendidikan, baik
secara formal maupun non formal. Sedang dalam masyarakat
yang

masih

sosialisasi

tradisional

yang

terdapat

disebut

upacara

suatu

bentuk

tradisional.

sarana
Upacara

tradisional yaitu kegiatan sosial yang melibatkan para warga


masyarakat dalam

usaha mencapai tujuan keselamatan

bersama (Soepanto, 1992:5).


Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
di jaman modern seperti saat ini, akan memungkinkan

hubungan antara manusia atau bangsa menjadi semakin


lancar, mudah, dan cepat. Hubungan antar bangsa, membawa
akibat

terjadinya

kontak

kebudayaan

dan

saling

mempengaruhi. Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang


semula

menjadi

acuan

suatu

bangsa

atau

kelompok

masyarakat bisa menjadi goyah akibat adanya pengaruh


budaya dari luar. Akibatnya nilai-nilai lama yang ada dalam
pranata-pranata

sosial

milik

masyarakat

yang

bersifat

tradisional akan terdesak, bahkan bisa hilang. Begitu pula


dengan upacara tradisional sebagai salah satu kegiatan sosial
yang merupakan pelindung bagi norma-norma sosial dan nilainilai

lama

di

dalam

kehidupan

kultural

masyarakat

pendukungnya, lambat laun juga akan mengalami hal yang


sama.
Saat ini di Indonesia meski jaman sudah modern dan
IPTEK

sudah

terdapat

berkembang

upacara-upacara

dengan
atau

pesat,

masih

tradisi-tradisi

banyak

yang

terus

dilestarikan oleh masyarakat setempat untuk menghargai dan


melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulupendahulu mereka di masa lalu. Salah satu tradisi yang masih
bertahan hingga saat ini adalah Kupatan Jalasutra yang
dilakukan oleh masyarakat di desa Sri Mulyo, Kecamatan
Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan lebih
dalam mengenai tradisi Kupatan Jalasutra tersebut. Disini
penulis akan membahas tentang apa sebenarnya tradisi
Kupatan

Jalasutra

itu,

apa

tujuan

dilakukannya

tradisi

tersebut, bagaimana asal mula dilakukannya tradisi tersebut,


dan bagaimana pelaksanaan tradisi tersebut serta apa saja
bahan atau ritual-ritual yang harus dilakukan atau disiapkan
sebelum melakukan tradisi Kupatan Jalasutra tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1

Apa sebenarnya tradisi Kupatan Jalasutra itu?

1.2.2

Bagaimana

asal

mula

dilakukannya

tradisi

Kupatan Jalasutra?
1.2.3

Apa

tujuan

dilakukannya

tradisi

Kupatan

Jalasutra?
1.2.4

Apa saja hal-hal yang harus dilakukan atau

disiapkan sebelum melakukan tradisi Kupatan Jalasutra?


1.2.5

Bagaimana

pelaksanaan

tradisi

Kupatan

Jalasutra?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan
tradisi Kupatan Jalasutra tersebut.
2. Untuk mengetahui bagaimana asal mula dilakukannya
tradisi Kupatan Jalasutra.
3. Untuk mengetahui apa tujuan dilakukannya tradisi Kupatan
Jalasutra.
4. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan
atau

disiapkan

sebelum

melakukan

tradisi

Kupatan

Jalasutra.
5. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi Kupatan
Jalasutra.
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Bagi penulis, dengan dibuatnya makalah ini penulis bisa
mendapatkan semakin banyak ilmu pengetahuan tentang
kebudayaan daerah-daerah di Indonesia yang sangat
beragam khususnya tentang Kupatan Jalasutra yang ada
di desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul,
Provinsi D.I.Yogyakarta. Selain itu penulis juga mendapat

lebih banyak pengetahuan dan pengalaman dalam hal cara


pembuatan makalah.
2. Bagi Dosen, makalah ini dapat dijadikan indikator untuk
mengetahui

tentang

sejauh

mana

mahasiswa

dapat

mengerjakan tugas yang diberikan dan sejauh mana


mahasiswa dapat memahami tentang materi kuliah yang
telah diberikan oleh dosen sebelum dibuatnya makalah ini.
3. Bagi Pembaca, makalah ini dapat bermanfaat untuk
memberi

pengetahuan

yang

lebih

banyak

tentang

kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia yang sangat


beragam jenisnya khususnya tentang tradisi Kupatan
Jalasutra yang ada di desa Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul, Provinsi D.I.Yogyakarta.
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1
Kebudayaan
Kebudayaan
merupakan

ciri

pribadi

manusia,

didalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai atau


nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau
masyarakat pendukungnya. Kebudayaan juga dapat diartikan
sebagai konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut
masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya (Tumanggor, 2010:141-142).
Pada hakekatnya, sistem nilai merupakan posisi sentral
dari

struktur

budaya

suatu

masyarakat,

sistem

nilai

merupakan fenomena dan problem dasar kehidupan manusia,


karena siastem nilai merupakan perangkat struktur dalam
kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial
(Geriya, 1986:25)
Pengertian kebudayaan juga dapat dibagi menjadi dua
macam arti yaitu kebudayaan dalam arti sempit dan arti luas.
Dalam arti sempit, kebudayaan adalah pikiran, karya, dan hasil

karya manusia yang memenuhi hasrat akan keindahan.


Sedangkan dalam arti luas, kebudayaan adalah total dari
pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar
pada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh
manusia melalui proses belajar (Maran, 2007:31).
Menurut UUD 45 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah
kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
indonesia seluruhnya. Kebudayaan-kebudayaan lama dan asli
yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah
seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan
atau mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia
(Moertjipto, 1994:1).
Kata budaya menurut perbendaharaan bahasa Jawa
berasal

dari

kata

budi

dan

daya.

Dua

kata

yang

digabungkan menjadi satu kata baru membentuk pengertian


baru ini dinamakan jarwodosok, yaitu pemadatan dua kata
menjad satu kata yang bermaksud untuk menyatukan arti kata
tersebut

kedalam

satu

arti

baru

yang

mudah

diingat

(Mangunpranoto, 1961:48). Kata budi dan daya, mempunyai


pengertian

yaitu

kata

budi

mengandung

beberapa

pengertian: (a) akal dalam arti batin, untuk menimbang mana


yang baik, buruk, benar dan salah; (b) tabiat, watak, dan
peringai; (c) kebaikan, perbuatan baik; (d) daya upaya, ikhtiar;
(e) kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah. Sedangkan
kata daya mengandung arti: (a) kekuatan, tenaga; (b)
pengaruh; (c) akal, jalan/cara ikhtiar; (d) muslihat, tipu
(Herusatoto, 2001: 5-6).
Kedua kata tersebut

(budi

beberapa

Setelah

kesamaan

arti.

dan daya) memiliki


mengalami

proses

jarwodosok menjadi budaya yang mempunyai pengertian

baru yaitu kekuatan batin dalam berupaya menuju kebaikan


atau kesadaran batin menuju kabaikan. Ada pula yang
mengartikannya

sebagai

daya

upaya

manusia

untuk

menciptakan suatu keindahan (Koesni, 1979:33).


Ki sarino Mangunpranoto berpendapat bahwa budaya
manusia itu terwujud karena perkembangan lingkungan serta
norma-norma

hidupnya.

Keluhuran

sifat-sifat

hidup

itu

melahirkan rasa budaya manusia. Jika rasa budaya itu


dilaksanakan, maka terjadilah kebudayaan manusia. Begitu
erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, disebabkan
kebudayaan merupakan suatu lingkup dimana manusia hidup.
Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, simbolsimbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan
manusia. Sehingga tidaklah berlebihan jika ada ungkapan,
begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol,
sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol.
Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapanungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis ini
merupakan ciri khas manusia, yang membedakannya dari
hewan, sehingga manusia cenderung disebut sebagai hewan
yang bersimbol (animal symbolicum) (Cassirer, 1944:23-26).
Setiap kebudayaan yang dimiliki manusia, mempunyai
tujuh unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur tersebut yaitu
bahasa,

sistem

pengetahuan,

organisasi

sosial,

sistem

peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian


hidup,

sistem

religi,

dan

kesenian

(Koentjaraningrat,

1980:217).
1.4.2
Budaya Jawa
Pulau Jawa terdiri dalam lima daerah administratif
pemerintahan yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat,
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi


Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Secara antropologi budaya dapat dikatakan bahwa yang
disebut suku Jawa adalah orang-orang yang secara turun
temurun menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek
dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat tinggal di daerah
Jawa Tengah atau Jawa Timur serta mereka yang berasal dari
daerah teresebut. Wilayah di sebelah barat sungai Cilosari dan
Citanduy disebut daerah Jawa Barat atau Tanah Pasundan, dan
didiami oleh suku sunda (Harsojo, 1976:300). Sedangkan di
wilayah timur sungai tersebut disebut Tanah Jawa, yaitu
daerah yang didiami oleh suku Jawa. Daerah tersebut meliputi
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Suku Jawa asli atau
pribumi, hidup di pedalaman, yaitu daerah-daerah yang
biasanya disebut daerah Kejawen. Daerah itu meliputi wilayah
Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan
kediri. Di luar itu disebut daerah pesisir dan ujung timur
(Geertz, 1966: 42). Yogyakarta dan Surakarta, dua daerah
bekas kerajaan Mataram merupakan pusat kebudayaan Jawa.
Pada

daerah

ini

terletak

dua

kerajaan

terakhir

dari

pemerintahan raja-raja Jawa.


Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, terdapat
banyak kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa
itu sendiri. Kebudayaan- kebudayaan tersebut seperti dalam
hal bahasa, masyarakat Jawa menggunakan bahasa Jawa.
Dalam

pengucapan

bahasa

ini,

seseorang

harus

memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang


diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan
usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada
dua

macam

bahasa

Jawa

apabila

ditinjau

dari

kriteria

tingkatannya, yaitu bahasa Jawa Ngoko yang dipakai untuk


orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang

lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status


sosialnya, dan bahasa Jawa Krama yang digunakan untuk
berbicara dengan yang belum dikenal akrab tetapi yang
sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang
yang lebih tingggi umur serta status sosialnya. Selain itu juga
ada bahasa Jawa Madya yang terdiri dari tiga macam bahasa
yaitu Madya Ngoko, Madyaantara, dan Madya Krama; ada pula
bahasa Krama Inggil yang terdiri dari kira-kira 300 kata-kata;
ada juga bahasa Kedaton yang khusus digunakan dikalangan
istana; bahasa Jawa Krama Desa; dan bahasa Jawa Kasar (Tim
Penyusun, 1946:86-87).
Bentuk rumah dari masyarakat Jawa sangat beragam
jenisnya tergantung bangunan atapnya, ada yang dinamakan
rumah

limasan,

rumah

serotong,

rumah

joglo,

rumah

panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah


klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan
rumah sinom (Koenjtaraningrat, 1975:324).
Sistem kekerabatan orang Jawa itu berdasarkan prinsip
keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita
ayah dan ibu, beserta istri-istri maupun suami-suami masingmasing yang diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah siwa
atau uwa. Adapun adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan
ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin
menjadi paman bagi para adik laki-laki dan bibi bagi para adik
wanita.

Dalam

masyarakat

Jawa,

ada

macam-macam

perkawinan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.


Perkawinan yang tidak diperbolehkan, yakni ngarang wulu
(perkawinan seorang duda dengan seorang wanita yang
merupakan salah satu adik dari almarhum istrinya) dan wayuh
(perkawinan lebih dari seorang istri (poligami)).
Masyarakat Jawa juga sering mengadakan selamatan
yaitu suatu upacara makan bersama, dimana makanan yang
akan dimakan telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.

Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yakni salah seorang


pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengucapkan
ajan. Upacara-upacara selamatan yang sering diselenggarakan
dapat digolongkan ke dalam enam macam sesuai dengan
peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari,
yakni:
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti
hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut
pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali,
upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat
setelah kematian.
2. Selamatan
yang

bertalian

dengan

bersih

desa,

penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.


3. Selamatan berhubung dengan hari-hari serta bulan-bulan
besar Islam.
4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan
dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan
jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya
(ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit dan lain-lain
(Koentjaraningrat, 1975:340-341).
Upacara tradisional sebagai

salah

satu

bentuk

ungkapan budaya mempunyai fungsi antara lain sebagai faktor


penertib, dimana pelakunya atau pendukungnya mengikuti
aturan-aturan dan peraturan yang berlaku, sesuai dengan
ruang, waktu dan corak kegiatan yang ada dalam situasi dan
arena sosial yang ada (Budhisantoso, 1984:10).
Dalam budaya Jawa juga terdapat beberapa kesenian
yang secara turun-menurun masih terus dilestarikan hingga
saat ini, seperti seni wayang kulit yang mengandung enam
unsur seni yaitu seni rupa, seni sastra, seni suara, seni tari,
seni musik dan seni drama. Selain itu juga ada seni pahat,
topeng, kacuringan (keris), dan kawarangkan (tempat keris)
yang merupakan bagian dari seni rupa, dan juga dikenal pula

bentuk-bentuk simbolisme dengan maksud tertentu yang


bersifat magis seperti sepasang patung gopala yang berwujud
raksasa, candi-candi sebagai tempat pemujaan (kuil) dan
candra sangkala (patung sepasang naga).
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan metode yang dipilih
dengan

mempertimbangkan

kesesuaian

dengan

obyek

penelitian atau pengamatan. Metode merupakan suatu cara


untuk memahami suatu obyek yang akan menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977:16).
1.5.1 Bab 1
Penulis memilih salah satu kebudayaan di Indonesia yang
masih tetap dilestarikan hingga saat ini, yaitu Kupatan
Jalasutra sebagai salah satu kebudayaan yang ada di salah
satu desa di Provinsi D.I.Yogyakarta karena tradisi tersebut
merupakan tradisi yang masih sangat rutin dilakukan oleh
masyarakat Desa Sri Mulyo pada setiap tahunnya. Untuk lebih
mengenali dan lebih tahu banyak tentang tradisi ini, maka
terdapat banyak pertanyaan yang dapat diajukan seperti yang
tertera pada rumusan masalah, yang kemudian akan dibahas
dalam makalah ini.

1.5.2 Bab 2
Gambaran umum diambil dari data yang terdapat pada
beberapa buku yang juga membahas tentang tradisi Kupatan
Jalasutra yang dimiliki oleh penulis.
1.5.3 Bab 3
Pembahasan berisikan tentang jawaban atas rumusanrumusan masalah yang muncul dalam pembuatan makalah ini.
10

Jawaban-jawaban tersebut didapatkan penulis dari beberapa


data yang diperoleh melalui beberapa buku yang penulis
miliki.
1.5.4 Bab 4
Penutup merupakan inti pokok dari jawaban-jawaban atas
permasalahan-permasalahan yang sebelumnya sudah dibahas
secara

terperinci

sehingga

semua

pembahasan

terangkum menjadi bahasa yang lebih mudah.

BAB II
GAMBARAN UMUM

11

dapat

2.1. Kondisi Geografis


Desa Sri Mulyo merupakan salah satu desa yang terdapat di kecamatan
Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Desa Sri Mulyo terletak 1,5 km di sebelah barat Kecamatan
Piyungan, 22 km di sebelah timur laut ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II
Bantul, dan terletak 13 km di sebelah timur ibukota Provinsi D.I.Yogyakarta.
Di daerah ini terdapat suatu upacara tradisional Kupatan Jalasutra yang
bertempat di makam sunan Geseng. Jarak ke tempat upacara (makam) 4 km
ke arah selatan dari jalan raya Yogyakarta-Wonosari (Sunjata, 1996:7).
Desa Sri Mulyo berbatasan dengan desa/kecamatan lain yaitu sebelah
utara Desa Jogotirto Kecamatan Piyungan, sebelah timur Kecamatan Patuk
Kabupaten Gunung Kidul, sebelah selatan Kecamatan Dlingo Kabupaten
Bantul, dan sebelah barat Desa Sitimulyo Kecamatan Banguntapan. Desa Sri
Mulyo terdiri dari 22 dusun dengan luas wilayahnya 1.475,8310 hektar. Daerah
seluas tersebut menurut penggunaannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Luas Areal Desa/Kelurahan Menurut Penggunaanya
No
1.
2.
3.

Penggunaan
Sawah
Perumahan dan Pekarangan
Lainnya
(kuburan,
lapangan, jalan sungai)

Luas (Ha)
1.098,4435
348,4700

Prosen
75,35 %
23,90 %

10,9175

0,75 %

Bentuk permukaan tanah Desa Sri Mulyo sebagian besar (70%) berupa
perbukitan dan 30% daratan. Ketinggian rata-rata desa 115 m di atas
permukaan laut. Menurut peta geologi D.I.Yogyakarta skala 1:250.000,
merupakan endapan vulkanik gunung api muda. Jenis tanahnya kambisal,
dengan batuan/bahan induk endapan material vulkanis. Tingkat produktivitas
tanah sedang.
Desa Sri Mulyo dilalui sungai yang mengalir terus-menerus, terutama
di musim penghujan. Kedalaman air tanahnya kurang dari 7 m dengan tingkat
kelolosan sedang. Curah hujan di Desa ini mencapai 1.500-2.000 mm/tahun,
dengan suhu/temperatur udara antara 22O -32O C. Berdasarkan klasifikasi iklim
menurut Koppen termasuk tipe Awa. Tipe iklim ini mempunyai bulan kering

12

lebih dari 4. Arah angin pada musim penghujan bertiup dari barat daya, dan
musim kemarau angin bertiup dari timur. Secara astronomi, Desa ini terletak
110O 25 BT - 110O 31 BT, dan 07O 49 LS - 07O 52 LS (Sunjata, 1996:6-7).
2.2. Kondisi Demografis
Jumlah

penduduk

Desa

Sri

Mulyo

menurut

data

monografi tahun 1992/1992 sebanyak 13.475 jiwa. Jumlah


tersebut terdiri dari 6.586 jiwa laki-laki dan 6.889 jiwa wanita,
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.561 KK. Apabila
dihitung

rata-rata

tiap

KK

terdapat

orang.

Menurut

perhitungan angka kepadatan penduduk secara geografis,


maka didapatkan bahwa kepadatan penduduk Desa Sri Mulyo
adalah 924 jiwa/km2 (Sunjata, 1996:10).
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin, jumlah
penduduk wanita lebih banyak (51,12 %) dibandingkan jumlah
penduduk laki-laki (48,88 %), dengan seks rasio 96. Komposisi
penduduk juga dapat digolongkan menjadi tiga golongan
utama

yaitu

belum

produktif/golongan

muda,

penduduk

produktif, dan sudah tidak produktif/golongan tua (Prawiro,


1979:48).

Perbandingan

jumlah

penduduk

menurut

jenis

kelamin ini dapat diperhatikan dari tiap kelompok umur,


seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 2 Komposisi Penduduk Menurut Umur, Jenis
Kelamin dan

Jumlah

Penduduk (Jiwa)

Golong
an
Umur

Seks Rasio Di Desa Sri Mulyo

04

786

59

897

%
11,9
6
13,6

(Jiwa)
%

L+
W

Sex
Rasi
o

716

10,39 1.502

11,15

110

922

13,38 1.819

13,50

97

13

10 14

889

15 19

744

20 24
25 29
30 34
35 39
40 44
45 49
50 54
55 59
60 64
65 +
Jumlah

2
13,5
0
11,3

899

13,05 1.788

13,27

99

703

10,20 1.447

10,74

106

536
417
315
305
365
323
289
203
177
340
6.58

0
8,14
6,33
4,78
4,63
5,54
4,90
4,39
3,08
2,69
5,16
100,

607
434
355
438
357
320
305
182
190
461
6.88

8,81 1.143
6,30
851
5,15
670
6,36
743
5,18
722
4,65
643
4,43
594
2,64
385
2,67
367
6,69
806
100,0 13.47

8,48
6,32
4,97
5,51
5,36
4,77
4,41
2,86
2,72
5,94
100,0

88
96
89
69
102
101
95
112
93
74

00

96

(Monografi Desa Sri Mulyo, Maret 1992)


Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikannya
relatif masih rendah. Data selengkapnya dapat dilihat dari
tabel berikut ini:
Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat
Pendidikan
Di Desa Sri Mulyo
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SLTP/sederajat
Tamat SLTA/sederajat
Tamat Akademi/sederajat
Tamat
Perguruan

Jumlah

Prosenta

2.106
4.860
2.870
1.879
58
35

se
17,84
41,16
24,30
15,91
0,49
0,30

Tinggi/sederajat
Jumlah
11.808
(Monografi Desa Sri Mulyo, Maret 1992)

100,00

Komposisi penduduk menurut jenis mata pencahariannya


yang merupakan pekerjaan pokok yang dominan bekerja di
sekitar pertanian yaitu lebih dari 80% (87,69%). Jumlah

14

tersebut terdiri dari petani pemilik 42,18% buruh tani 30,56%


dan petani penggarap 14,95%. Sedangkan di sektor lain
masing-masing pegawai negeri/ABRI 4,85%, pengrajin industri
kecil 2,98%, jasa 2,05% dan pedagang 1,69% serta lainnya
kurang dari 1%.
Agama yang dianut penduduk adalah islam, katholik dan
kristen. Jumlah penduduk yang beragama islam di daerah ini
mayoritas yaitu sebanyak 13.241 orang (98,26%). Sedangkan
lainnya masing-masing yang beragama katholik sebanyak 187
orang (1,89%) dan kristen sebanyak 47 orang (0,35%)
(Sunjata, 1996:13).
2.3. Struktur Sosial Ekonomi
Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kemakmuran
suatu

daerah

dapat

dilihat

keadaan

sosial

ekonomi

masyarakat/penduduknya. Tingkat kemajuan masyarakat salah


satunya dapat diperhatikan dari tingkat pendidikan. Dalam
uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
penduduk Desa Sri Mulyo masih relatif rendah. Tingkat
pendidikan ini tentu saja akan semakin lebih tinggi pada tahun
yang

akan

datang,

sedangkan

tingkat

kemakmuran

masyarakat antara lain dapat diperhatikan dari terpenuhinya


kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan (rumah).
Dalam memenuhi kebutuhan pokok tersebut, tidak lepas
dari pendapatan masyarakat yang tentunya sangat tergantung
pada matapencaharian pokok masyarakat. Untuk menunjang
kegiatan

ekonomi,

di

Desa

Sri

Mulyo

terdapat

sarana

pemasaran sarana ekonomi berupa pasar dua buah dan


beberapa toko/warung.
Salah satu kebutuhan pokok yang menjadi ukuran
ekonomi adalah keadaan rumah (pemilikan rumah). Keadaan
rumah di Desa Sri Mulyo menurut bahan bangunannya sudah
baik karena sebagian besar (79,10%) sudah permanen.
15

Menurut

kriteria

memperhatikan

rumah
rumah

sehat,

di

sehat

daerah

yaitu

ini

dengan

sudah
adanya

ventilasi/jendela dengan lantai tidak lembab, dinding tidak


lembab dan sebagian memiliki WC dengan memenuhi syarat
kesehatan serta terdapat tempat sampah. Dalam kaitannya
dengan lingkungan rumah, sebagian besar memenuhi halaman
atau terdapat jarak antara rumah yang satu dengan yang
lainnya (Sunjata, 1996:14-15).
Selain itu , hal yang juga menjadi ukuran kondisi
ekonomi masyarakat adalah pemilikan barang. Menurut data
monografi Desa Sri Mulyo tahun 1992, pemilikan barang terdiri
dari sarana transportasi dan sarana komunikasi.
2.4. Masyarakat dan Budaya
Hubungan sosial antar warga masyarakat di Desa Sri
Mulyo ditunjukkan apabila diantara warga tersebut punya hajat
atau ada yang meninggal dunia. Kegiatan sosial ini ada yang
melalui

organisasi

sosial

atau

perkumpulan-perkumpulan.

Misalnya dana kematian melalui Pralenan, dan hajatan melalui


sinoman dengan memberikan bantuan berupa tenaga. Selain
itu, terdapat interaksi sosial yang berbentuk kerja sama yaitu
kegiatan
tenaga,

gotong-royong
bahan

yang

material,

uang

diwujudkan
atau

dalam

bentuk

bakti

seperti

kerja

membersihkan lingkungan dan memperbaiki jalan. Lembaga


desa yang ada di Desa Sri Mulyo cukup aktif dalam kegiatan
masyarakat, seperti PKK dengan dasa wisma, Posyandu,
Keluarga Berencana, Kelompok Tani, LKMD, KKLKMD dan
sebagainya.
Masyarakat Desa Sri Mulyo masih melakukan adat
istiadat

(tradisi)

tempat

yang

terutama

dan

sebagian

dianggap

mengenai

mempunyai

keramat.

kendhuri

16

Tradisi

kepercayaan

yang

(selamatan)

dilakukan

seperti

yang

berkaitan dengan upacara Kupatan Jalasutra, selamatan


kematian (surtanah), selamatan tingkeban, selamatan punya
hajat dan lain-lain. Sedangkan kepercayaan yang berhubungan
dengan tempat keramat atau masih dianggap keramat.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Kupatan Jalasutra
Di provinsi D.I.Yogyakarta banyak terdapat upacara-

upacara tradisional yang sudah dilakukan secara turun-menurun


dari generasi ke generasi selanjutnya, salah satu upacara adat
(tradisional) yang masih rutin dilakukan oleh masyarakat
setempat hingga saat ini adalah upacara Kupatan Jalasutra.
Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Dusun Jalasutra, Desa Sri
Mulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II
Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

17

Masyarakat Desa Sri Mulyo memiliki beberapa panenan


seperti

panen tembakau, palawija, dan lain-lain. Namun,

masyarakat disana menganggap padi sebagai tanaman pokok,


sehingga

waktu

penyelenggaraan

upacara

dilaksanakan

beberapa saat setelah panen raya. Upacara ini diselenggarakan


setiap tahun sekali di hari Senin legi, untuk tanggalnya
berdasarkan pada penanggalan atau kalender Jawa, yaitu dipilih
antara tanggal 10 sampai 15 saat menjelang bulan purnama.
Sedangkan

untuk

bulan

penyelenggaraannya

tidak

dapat

ditetapkan, karena jika musim hujan tidak sesuai dengan waktu


yang seharusnya maka akan mempengaruhi pula saat panen
raya. Namun sebagai pathokan, biasanya mengambil bulan
safar. Puncak upacara dilaksanakan pada siang hari, kurang
lebih pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 16.00.
Upacara Kupatan Jalasutra ini dilaksanakan di makam
pepundhen masyarakat Jalasutra yaitu Sunan Geseng, yang
dikenal pula dengan nama makam sentana. Makam tersebut
terletak di lereng gunung barisan yang jaraknya 3 km dari
Dusun Jalasutra, sehingga setiap kali upacara berlangsung
maka para pengunjung harus naik ke bukit tersebut.
Upacara

ini

memiliki

pantangan

yang

tidak

boleh

dilanggar yaitu hari pelaksanaan upacara tidak diperkenankan


mengambil hari selain hari senin legi. Hal ini disebabkan karena
Senin Legi dipercaya merupakan hari yang dianggap hari baik
untuk melaksanakan upacara Kupatan Jalasutra.
3.2

Asal Mula Dilaksanakannya Kupatan Jalasutra


Menurut legenda rakyat setempat diceritakan, tersebutlah

seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Kotesan, tinggal di


Desa

Sinandu,

Salaman

Bagelen

Purworejo,

mempunyai

seorang putra bernama Ki Cakrajaya. Cakrajaya adalah seorang

18

anak yang mempunyai kemauan keras, berpendirian tetap, suka


menyendiri dan berpuasa. Sudah menjadi takdir bahwa orang
yang ingin tercapai cita-citanya biasanya sering didahului
dengan penderitaan.
Ketika dewasa dan sudah mempunyai seorang istri,
kebiasaan cakrajaya tidak berubah. Dia masih tetap rajin,
pekerja keras dan suka berpuasa, begitu pula dengan sikapnya,
dia dan keluarganya dikenal sebagai keluarga yang memiliki
sikap baik oleh tetangga-tetangga dan masyarakat setempat.
Cakrajaya memiliki matapencaharian sebagai penyadap enau.
Suatu hari ketika dia sedang mengerjakan pekerjaannya,
tiba-tiba saja ada seseorang yang mengejutkannya yaitu Sunan
Kalijaga.

Kemudian

Cakrajaya

berbincang-bincang

dengan

Sunan Kalijaga dan dia merasa sangat kagum hingga ingin


menjadi

murid

dari

Sunan

Kalijaga.

Sunan

Kalijaga

pun

memberinya tugas untuk menjaga tongkat pemberian Sunan


Kalijaga sebagai ujian untuk menjadi muridnya, dan berjanji jika
saatnya sudah tiba maka mereka akan bertemu di gunung
tempat mereka bertemu pertama kali.
Beberapa tahun kemudian Sunan Kalijaga kembali ke
gunung tersebut dan ternyata semuanya sudah berubah,
gunung itu telah menjadi hutan. Sunan Kalijaga tidak bisa
menemukan Cakrajaya, hingga kemudian Beliau membakar
hutan dan ternyata Cakrajaya benar-benar berada didalamnya
dengan

tetap

memegang

tongkat

yang

sudah

terbakar.

Akhirnya Sunan Kalijaga mengakui keberhasilan Cakrajaya


dalam menjalankan ujian yang diberikan dan Sunan Kalijaga
memberi nama panggilan untuk Cakrajaya yaitu Sunan Geseng
yang berarti gosong.
Setelah kejadian itu, Sunan Geseng pun dianugerahi
kehebatan atau kekuatan yang luar biasa. Dia pun banyak
melakukan perjalanan keberbagai daerah untuk mengamalkan
ilmunya. Hingga suatu hari dia diminta untuk mengasuh dan

19

mengajari pangeran mataram tentang berbagai hal untuk


menjadi bakal calon raja yang sesuai dengan yang diharapkan
(baik dan bijaksana dalam segala hal).
Suatu hari ketika pangeran telah menjadi raja dan
memiliki seorang permaisuri yang sedang hamil, permaisuri
ingin memakan seekor ikan mas. Namun tidak ada yang bisa
mengkap ikan tersebut, kemudian Sunan Geseng menawarkan
diri untuk menangkap ikan tersebut dengan syarat disediakan
sehelai benang sutra yang akan digunakan sebagai jala untuk
menangkap ikan itu. Akhirnya ikan itu pun bisa ditangkap dan
sejak saat itu Sunan Geseng menjadi sesepuh di kerajaan yang
sangat dihormati oleh semua anggota kerajaan dan juga
masyarakat setempat.
Sejak saat itulah, hingga Sunan Geseng meninggal pun
Beliau masih sangat dihormati dan dipercaya oleh masyarakat
sebagai pelindung dan penjaga masyarakat Dusun Jalasutra.
Sehingga
mendoakan

untuk

menghormati

arwah

dan

juga

dan

mengenang

meminta

serta

perlindungan,

pertolongan dan semacamnya, setiap hari Senin Legi yang


merupakan hari pengangkatan Sunan Geseng menjadi murid
Sunan Kalijaga, pada setiap tahunnya tepatnya beberapa saat
setelah panen raya, masyarakat Desa Sri Mulyo yaitu Dusun
Jalasutra rutin melakukan upacara tradisional yang disebut
sebagai upacara Kupatan Jalasutra. Dimana upacara ini pada
dasarnya dilakukan untuk mengharapkan mendapat berkah dari
Tuhan maupun dari Sunan Geseng sebagai cikal bakal Dusun
Jalasutra.
3.3

Tujuan Penyelenggaraan Kupatan Jalasutra


Tujuan

penyelenggaraan

upacara

Kupatan

Jalasutra

adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang


Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur yang

20

telah melimpahkan karunianya sehingga hasil pertanian mereka


bisa berhasil dengan baik. Selain itu, upacara ini juga ditujukan
agar hasil pertaniannya yang akan datang bisa lebih baik dari
tahun

kemarin.

Hal

ini

dilakukan

karena

telah

menjadi

kenyataan bahwa tanah di wilayah Desa Sri Mulyo pada


umumnya dan Dusun Jalasutra pada khususnya, hampir tidak
mungkin dipakai sebagai lahan pertanian sawah (padi) dengan
saluran

irigasi

yang

memadai.

Dengan

demikian,

sedikit

banyaknya hujan yang turun, sangat mempengaruhi hasil


panen mereka. Keberhasilan panen merupakan peristiwa yang
sangat

penting,

sehingga

mereka

merasa

wajib

untuk

mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan dan para leluhurnya,


terutama ditujukan kepada Sunan Geseng sebagai cikal bakal
dan pephunden seluruh masyarakat Jalasutra.
3.4

Persiapan Penyelenggaraan Kupatan Jalasutra


Persiapan

dimulai

sejak

pelaksanaan
dua

minggu

upacara

Kupatan

sebelumnya,

Jalasutra

yaitu

dengan

melaksanakan kerja bakti di lingkungan masing-masing yang


dilakukan oleh warga masyarakat. Kemudian dilakukan pula
pembenahan jalan dan pengapuran pagar-pagar di pimggir jalan
menuju makam Sunan Geseng, dan juga pembersihan makam
Sunan Geseng serta makam-makam leluhur lainnya yang ada
disana. Tiga hari menjelang pelaksanaan upacara, diadakan
pasar malam yang bertempat di lapangan Dusun Jalasutra. Pada
malam tersebut banyak pengunjung yang datang dari daerah
lain yang bertujuan untuk berziarah ke makam Sunan Geseng,
disamping untuk menyaksikan pasar malam.
Satu hari menjelang pelaksanaan

upacara,

warga

masyarakat Jalasutra mulai mempersiapkan dengan membuat


ketupat serta membersihkan jodhang yang akan dipakai untuk
membawa

ambeng

ke

tempat

21

upacara.

Selain

itu

juga

dipersiapkan

pemasangan

umbul-umbul

dan

pembenahan-

pembenahan di sekitar tempat upacara serta pembuatan takir


dan sudhi.
Pada saat itu penduduk juga mulai membuat makananmakanan yang akan dipakai pada saat upacara, seperti ketupat,
kerupuk,

rempeyek,

nasi

gurih,

puthu

kering,

dan

lain

sebagainya. Di makam Sunan Geseng juga sudah dipersiapkan


juru kunci untuk menerima para peziarah yang ingin berziarah.
3.5

Penyelenggaraan Kupatan Jalasutra


Pada hari pelaksaan upacara, jodhang-jodhang yang berisi

sesaji dari berbagai rukun tetangga di wilayah Dusun Jalasutra


dibawa berkumpul di lapangan Dusun Jalasutra. Kemudian
jodhang-jodhang tersebut dibawa menuju ke tempat upacara di
makam sentana. Arak-arakan jodhang menuju ke tempat
upacara diikuti oleh para warga dan diiringi dengan kesenian
rakyat jathilan.
Upacara Kupatan Jalasutra, diawali dengan sambutan oleh
Kepala Desa Sri Mulyo yang kemudian dilanjutkan dengan
sambutan

dari

muspika

(camat

piyungan).

Selanjutnya

dilaksanakan inti upacara yaitu ngejubaken hajat masyarakat


Jalasutra dan dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh juru
kunci makam Sunan Geseng. Dalam doa tersebut, masyarakat
biasanya memohon berkah agar di tahun-tahun yang akan
datang mereka bisa memperoleh hasil panen yang melimpah,
memohon perlindungan, keselamatan, dan rasa syukur atas
nikmat yang telah diberikan-Nya selama ini serta juga tidak
lupa mendoakan arwah leluhurnya agar segala amal baiknya
diterima disisi Tuhan.
Kemudian dimulailah pembagian sesaji yang berupa nasi
gurih dan lauk pauknya serta hasil-hasil palawija dan jajan
pasar. Masyarakat yang berebut sesaji tersebut percaya bahwa

22

dengan mendapatkan ambeng atau salah satu dari sesaji itu


akan ngalap berkah, sehingga segala apa yang diinginkannya
akan terlaksana.
Masyarakat Jalasutra mempunyai kepercayaan apabila
pada saat dilaksanakan nyandar dhuwur banyak pengunjung
yang datang untuk mengikuti upacara, maka hal itu dapat
dijadikan pertanda bahwa hasil pertaniannya di masa yang akan
datang akan semakin baik. Namun bila pada pelaksanaan
puncak upacara pengunjungnya sedikit, maka itu merupakan
pertanda bahwa hasil panennya di masa datang akan sedikit
berkurang dibanding tahun sebelumnya.
Setelah upacara Kupatan Jalasutra

dilaksanakan,

biasanya pada malam hari diadakan pertunjukan kesenian yang


disebut jathilan sebagai kelanjutan rasa syukur masyarakat
Jalasutra. Pertunjukan itu biasanya dilakukan dengan harapan
masyarakat dapat mengambil hikmahnya untuk diterapkan
dalam kehidupannya.
Lima hari setelah puncak upacara, diadakan selamatan
yang berupa kendhuri, sebagai penutup rangkaian upacara
Kupatan Jalasutra. Kendhuri ini diadakan di tiap-tiap rukun
tetangga, kemudian dilanjutkan dengan diadakannya nyandar
ngisor. Nyandar ngisor ini merupakan penanda berakhirnya
seluruh rangkaian upacara Kupatan Jalasutra.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

23

Dari semua penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat


diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Kupatan Jalasutra merupakan

sebuah

upacara

yang

dilakukan oleh masyarakat Dusun Jalasutra, Desa Sri Mulyo,


Kecamatan Piyungan, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada setiap tahunnya
yaitu tepatnya pada hari senin legi, beberapa saat setelah
panen raya.
2. Kupatan Jalasutra diselenggrakan atas dasar penghormatan
terhadap

Sunan

Geseng

sebagai

Jalasutra.
3. Tujuan diselenggarakannya

cikal

upacara

bakal

Kupatan

Dusun

Jalasutra

adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang


Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur
yang

telah

melimpahkan

karunianya

sehingga

pertanian mereka bisa berhasil dengan baik.


4. Persiapan
yang
biasanya
dilakukan
penyelenggaraan

upacara

Kupatan

hasil

sebelum

jalasutra,

yaitu:

dilakukan kerja bakti oleh warga setempat di lingkungan


rumah masing-masing, melakukan pembenahan jalan dan
pengapuran pagar-pagar disepanjang jalan menuju makam
Sunan Geseng, melakukan pembersihan makam Sunan
Geseng dan para leluhur lainnya, membersihkan jodhang
yang akan dijadikan tempat ambeng pada saat puncak
upacara,

memasang

umbul-umbul

serta

melakukan

pembenahan di tempat diadakannya upacara, menyiapkan


semua

makanan

dan

bahan-bahan

serta

peralatan-

peralatan yang akan digunakan dalam upacara, dan


menyiapkan juru kunci yang akan menerima peziarah di
makam Sunan Geseng.
5. Upacara Kupatan Jalasutra dimulai dengan menyiapkan
sesaji yang kemudian diarak menuju makam (tempat
diselenggarakannya

puncak

24

upacara)

dengan

diiringi

kesenian jathilan, kemudian diberikan beberapa sambutan


dari beberapa orang penting di Desa, setelah itu masuk
pada acara inti yaitu pengikraran hajat masyarakat Dusun
Jalasutra yang dilanjutkan dengan doa secara bersamasama yang dilakukan oleh masyarakat Dusu Jalasutra.
Setelah itu, dimulailah pembagian ambeng (sesaji) yang
biasanya menimbulkan rebutan antar warga. Pada malam
harinya biasanya diselenggarakan sebuah pertunjukan
kesenian

dan

lima

hari

setelah

diselenggarakannya

upacara, biasanya diadakan selamatan kendhuri yang


merupakan

acara

penutup

Jalasutra tersebut.

25

pada

upacara

Kupatan

Anda mungkin juga menyukai