Pemerintah Daerah
Uraian
Penanggung Jawab
Aspek Teknis
1
2
3
Volume 1, No 3, 2010
KESIMPULAN
Oleh: Manadiyanto
PESAN UTAMA
Pencanangan swasembada garam pada tahun 2015 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 26 Desember 2009 di
Pamekasan Madura telah memicu dan memacu pengarahan program program di beberapa kementerian dan lembaga untuk
mendukung swasembada garam. Kementerian yang memfokuskan program dukungan swasembada garam adalah Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal serta Pemerintah Daerah. Untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih dalam melaksanakan program kegiatan masing-masing kementerian/lembaga maka sangat
diperlukan adanya koordinasi agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Tujuan swasembada garam harus berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan petambak garam.
Swasembada garam nasional diarahkan pada
1. Peningkatan produksi dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan nasional
2. Subsitusi impor secara bertahap
3. Meningkatkan kesejahteraan petambak garam
4. Mendorong persebaran pegaraman
5. Mengembangkan industri hilir berbasis soda (Na) dan khlor (Cl).
Tulisan ini untuk mengulas dan mengkaji dukungan kebijakan dan peranan pemerintah dalam mensukseskan swasembada garam.
2007
1,150
Tahun
2008
1,199
Kebutuhan
Garam Konsumsi
Industri Pangan
Pengeboran Minyak
Aneka
2,619
1,320
680
444
125
50
2,667
1,350
687
455
125
50
Uraian
Dukungan Kebijakan dan peranan kementerian/lembaga serta Pemerintah Daerah sangat penting untuk swasembada garam.
Indonesia saat ini masih banyak membutuhkan garam sebesar 2.865.600 ton namun produksi nasional yang dihasilkan sangat
terbatas hanya 1.265.600 ton, sehingga kekurangannya sebesar 1.600.000 ton dipenuhi dari impor. Untuk mengatasi hal tersebut
dibutuhkan strategi yaitu melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan revitalisasi lahan. Kondisi lahan garam yang ada seluas
37.463 hektar dan lahan garam yang produktif 19.889 hektar atau 53 % dan tersebar di pulau Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Ada beberapa permasalahan dan isu-isu strategis yang perlu mendapat perhatian dan dicari solusinya dengan segera dalam
mensukseskan swasembada garam yaitu kelembagaan, infratruktur dan fasilitas produksi, permodalan dan manajemen usaha,
regulasi, tata niaga dan mutu.
2009
1,371
2010
1,400
2,888
1,560
693
460
125
50
2,985
1,638
707
465
125
50
Lokasi
Jawa Timur
PT. Garam
Sampang
Pamekasan
Sumenep
Gresik
Pasuruan
Sidoarjo
Sub Jumlah
2
Jawa Tengah
Pati
Rembang
Brebes
Jepara
Demak
Sub Jumlah
3
Jawa Barat
Cirebon
Indramayu
Karawang
Sub Jumlah
4
Nusa Tenggara Barat
Bima
Lombok Timur
Sumbawa
Sub Jumlah
5
Nusa Tenggara Timur
Kupang
Ngada
Ende
Manggarai
Sumba
Sub Jumlah
6
Sulawesi Selatan
Jeneponto
Pangkep
Takalar
Maros
Sub Jumlah
7
Sulawesi Tengah
Palu
Donggala
Sub Jumlah
Jumlah Keseluruhan
Lahan Nominatif
(Hektar)
Lahan Produkstif
(Hektar)
5.190
4.849
1.414
2.767
488
157
234
5.190
4.246
975
1.214
328
145
181
15.099
12.279
1.777
1.097
84
625
266
3.249
977
897
84
767
165
2.890
1.106
590
50
1.746
926
465
20
1.411
732
189
653
1.574
714
142
178
1.411
4.130
4.108
500
140
200
13.878
491
250
81
53
75
950
534
503
152
75
1.264
434
383
133
75
1.025
20
300
320
37.463
20
280
300
19.889
A. Kelembagaan
Posisi tawar (bargaining position) petambak garam lemah karena belum
adanya kelembagaan yang representatif, dan kuat dalam memperjuangkan
kepentingan petambak garam.
B. Infrastruktur dan fasilitas produksi
Luas pegaraman potensial Indonesia seluas 34.731 Ha baru sekitar
20.150 Ha atau 58 persen yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam.
Produksi yang dihasilkan rata-rata 60 ton/Ha/musim. Fasilitas produksi garam
masih bersifat tradisional serta penanganan pasca panen dan transportasi
membutuhkan biaya tinggi. Saluran untuk pasokan air laut ke tambak masih
terbatas. Jalur produksi ke tambak dan collecting point belum memadai
sehingga biaya angkut tinggi.
C. Permodalan dan manajemen usaha.
Sulitnya mengakses lembaga keuangan pembiayaan/perbankan
untuk memperoleh modal usaha. Lemahnya kapasitas sumberdaya petambak
garam dalam mengelola usaha serta mengakses informasi pasar dan
teknologi.
D. Regulasi
Adanya jaminan pasar dan harga dasar di tingkat petambak garam perlu
segera direalisasikan, sehingga harga garam tidak ditentukan sepihak oleh
tengkulak dan pedagang garam. Bila harga dasar ditetapkan maka harus
diimbangi dengan lembaga yang mengawasinya. Pengaturan garam impor
yang semula bertujuan melindungi petambak garam dalam rangka
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petambak garam, tidak efekif
dalam implementasinya akibat mekanisme pengawasan yang lemah dan tidak
adanya sanksi terhadap pelanggaran. Pengaturan pengadaan garam
beryodium, pengolahan, pengemasan dan pelabelan garam beryodium sulit
dilakukan pada tataran petambak garam.
E. Tata Niaga
Komsumsi garam nasional pada tahun 2009 sekitar 2.865.600 ton, garam
industri Chlor Alkali Plain (CAP) sebesar 1.699.500 ton dan garam Industri
Non Chlor Alkali Plain (Non CAP) sebesar 1.166.100 ton, kemampuan produksi
hanya sebesar 1.265.600 ton sehingga 1.600.000 ton garam harus diimpor.
Petambak garam tidak mengetahui secara pasti spesifikasi teknis/kelas/grade
mutu garam berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tidak
mengetahui begaimana harga patokan garam ditetapkan, pada umumnya
harga di tingkat petambak garam ditentukan oleh tengkulak. Distribusi hasil
produksi garam rakyat belum mampu menembus area pasar potensial secara
langsung. Deviasi harga di tingkat produsen dengan tingkat harga di tingkat
konsumen terlalu besar sehingga merugikan petambak garam sebagai
produsen. Terjadinya penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal
dan regional.
F. Mutu
Persyaratan mutu garam indutri baik untuk Chlor Alkali Plain (CAP)
maupun indutri makanan belum dapat dipenuhi.