Anda di halaman 1dari 13

REAKSI ANAFILAKSIS

I. Definisi
Reaksi anafilaksis adalah reaksi alergi serius yang terjadi dengan cepat dan
dapat menyebabkan kematian.1 Reaksi anafilaksis bersifat sistemik dan
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dengan awitan mendadak serta
berlangsung progresif yang berpotensi mengancam jiwa individu dengan
manifestasi hipersensitivitas pada mukokutaneus, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan dan gastrointestinal.2 Reaksi ini diperankan oleh IgE termediasi yang
menyebabkan aktivasi sel mast dan pelepasan mediator kimia berupa histamin,
leukotrin, TNF dan sitokin lainnya.3
II. Epidemiologi
Berdasarkan studi epidemiologi internasional The American College of
Allergy, Atshma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis, insidensi reaksi
anafilaksis berada antara 30 sampai 950 kasus per 100.000 orang per tahun.
Prevalensi reaksi anafilaksis di Inggris pada tahun 2005 adalah 75,5 per 100.000
orang atau dengan pendekatan 1 dari 1.333 populasinya memiliki riwayat
anafilaksis. 4
Data akurat mengenai anafilaksis pada anak sulit ditemukan karena berbagai
faktor seperti kurangnya studi pada populasi pediatrik, kurangnya standarisasi
definisi anafilaksis dari International Classification of Diseases dan kegagalan
untuk melaporkan kejadian fatal. Pada tahun 2004, Bohlke et al mengestimasikan
insidensi anafilaksis pada anak dan dewasa dengan kejadian 10,5 per 100.000
orang. Laporan pada tahun 2001 mengestimasikan bahwa anafilaksis dapat
mengenai 1.2% sampai 16,8% populasi total Amerika Serikat dan 0,002%
populasi bisa meninggal akibat anafilaksis. Di Amerika Serikat, mortalitas dari
anafilaksis sekitar 1.500 per tahun, dengan mayoritas (1.300) akibat induksi obat
(termasuk kontras media radiografi) kemudian diikuti oleh makanan dan akibat
sengatan sekitar 100 kematian per tahun. Amerika Serikat memiliki tingkat
insidensi anafilaksis tertinggi dibanding negara lainnya karena peningkatan
penggunaan olahan kacang dalam makanan dan ekspansi penggunaan sarung
tangan latex. Anak dan remaja dengan atopi, seperti asma, eczema, dan rhinitis

alergi memiliki risiko tinggi terjadinya anafilaksis. Individu dengan riwayat


anafilaksis sebelumnnya juga berisiko tinggi tetapi derajat keparahannya tidak
bisa diprediksi. Beberapa studi membuktikan dominansi risiko jenis kelamin lakilaki pada anak. Genetik atau ras tidak menunjukkan bukti risiko reaksi
anafilaksis.1
III. Etiologi
Penyebab spesifik reaksi anafilaksis pada usia yang berbeda bersifat universal.
Makanan adalah pemicu yang sering ditemui pada anak, remaja, dan dewasa awal.
Sedangkan pada usia dewasa menengah dan lanjut usia sering ditemukan akibat
sengatan serangga, obat-obatan, dan idiopatik. 5
Penyebab terbanyak reaksi anafilaksis pada anak adalah makanan, obat,
sengatan serangga, produk darah, imunoterapi, latex, vaksin, dan kontras media
radiografi. Olahraga yang diinduksi dan kasus idiopatik anafilaksis jarang
ditemukan pada anak.1 Tabel di bawah ini menunjukkan penyebab reaksi
anafilaksis pada anak. (Tabel 1)
Tabel 1. Etiologi Reaksi Anafilaktik1,4,6
Makanan
Produk tambahan pada
makanan

Kacang, telur, susu sapi, buah, ikan, udang, siput


Pewarna makanan

Antibiotik

Penisilin, sefalosporin, ampoterisin, siprofloksasin,


vankomisin, sulfonamida
NSAID, ACE, gelatin, protamin, vitamin K,
acetazolamide, pethidine, aspirin, obat anestesi
lokal, diamorfin, streptokinase
Semut merah, hymenoptera (lebah, tawon)
Ekstrak alergen
Iodin, technetium, fluorescein

Obat-obatan lainnya

Sengatan seranggga
Imunoterapi
Kontras media
radiografi
Vaksin
Tetanus, measles, mumps, influenza
Produk darah, latex, udara dingin, pollen, debu, obat kemoterapi, exercise

IV. Patofisiologi
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase dan memerlukan riwayat
sensitisasi atau pajanan dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi
imunoglobulin (Ig) E oleh sel plasma dalam limfonodus dan enhancement oleh sel
T helper. Kemudian antibodi IgE berikatan dengan reseptor membran sel mast
pada jaringan ikat dan sel-sel basofil.7 Karakteristik penting alergen penyebab
2

reaksi anafilaksis adalah alergen yang memberikan pajanan berulang kali dan
tidak seperti mikroba, reaksi ini tidak menstimulasi innate immunity yang akan
mengaktivasi makrofag dan sekresi sitokin IL-12, IL-18 dari induksi TH1.8
Pada pajanan ulang, antigen tersebut terikat dengan antibodi IgE yang berada
dekatnya atau berikatan silang dengan reseptor IgE sehingga mengaktifkan
serangkaian reaksi seluler yang memicu degranulasi sel mast. Melalui proses
degranulasi, dilepaskan mediator kimia, seperti histamin eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis (ECF-A), dan platelet-activating factor dari sel-sel mast.8

Gambar 1. Sekuensi reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi cepat)8


Pada saat yang sama, dua mediator kimia lain, yaitu bradikinin dan leukotrin,
menyebabkan kolaps vaskuler dengan menstimulasi kontraksi kelompok otot
polos tertentu dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Substansi ini, bersama
mediator kimia yang lain, menimbulkan vasodilatasi, kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas kapiler dan produksi mukus. Pelepasan yang terusmenerus bersama penyebaran mediator ini ke seluruh tubuh melalui sel-sel basofil
di dalam peredaran darah akan memicu respon sistemik. Demikian pula,
peningkatan permeabilitas vaskuler menyebabkan penurunan resistensi perifer dan
perembesan plasma dari peredaran darah ke dalam jaringan ekstravaskuler.
Penurunan volume darah sebagai konsekuensinya akan menimbulkan hipotensi,
syok hipovolemik, dan disfungsi jantung.8
Beberapa tahap terjadi pada reaksi anafilaksis, yaitu sebagai berikut:7
1. Respons terhadap antigen
Imunoglobulin (Ig) M dan IgG mengenali antigen sebagai substansi asing
dan melekat pada antigen tersebut. Penghancuran antigen oleh rangkaian
3

komplemen mulai terjadi, tetapi belum selesai, bisa karena jumlah katalisator
protein tidak mencukupi atau karena antigen itu sendiri menghambat enzim
komplemen tertentu. Pasien pada stadium ini tidak menunjukkan tanda dan
gejala.
2. Pelepasan mediator kimia
Keberadaan antigen yang terus berlanjut mengaktifkan IgE pada sel-sel
basofil. IgE yang sudah diaktifkan meningkatkan pelepasan mediator, yang
meliputi histamin, serotonin, dan leukotrin. Pelepasan bistamin yang
mendadak menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pasien mulai menunjukkan tanda dan gejala yang meliputi kongesti nasal yang
mendadak, rasa gatal, serta mata berair, kemerahan pada wajah, perspirasi
(berkeringat), kelemahan, dan rasa cemas.
3. Intensifikasi respons
IgE yang sudah diaktifkan juga menstimulasi sel-sel mast di dalam
jaringan ikat di sepanjang dinding venula untuk melepaskan lebih banyak lagi
histamin dan faktor ECF-A. substansi ini menimbulkan lesi disrupif yang
melemahkan venula. Kini timbul gejala kulit yang berwarna merah dan gatal,
bilur-bilur serta pembengkakan, dan tanda serta gejala bertambah berat.
4. Distress
Pada paru-paru, histamin menyebabkan sel-sel endotel pecah dan jaringan
endotel terlepas dari jaringan di sekitarnya. Cairan merembes ke dalam alveoli
paru dan leukotrin mencegah ekspansi alveoli sehingga mengurangi
kelenturan paru. Takipnea, stridor, penggunaan otot-otot asesorius pernapasan,
dan sianosis menandai distress pernapasan. Tanda dan gejala neurologi yang
diakibatkan meliputi perubahan pada tingkat kesadaran, ansietas berat, dan
kemungkinan kejang.
5. Deteriosasi
Sementara itu, basofil dan sel-sel mast mulai melepaskan prostaglandin
dan bradikinin bersama histamin dan serotonin. Substansi ini meningkatkan
permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran cairan dari pembuluh darah.
Syok, konfusi, kulit yang dingin dan pucat, edema yang menyeluruh,
takikardi, dan hipotensi menandai kolaps vaskuler yang berlangsung cepat.
6. Kegagalan mekanisme kompensasi
4

Kerusakan pada sel-sel endotel menyebabkan basofil dan sel-sel mast


melepaskan heparin. Substansi tambahan juga dilepaskan untuk menetralkan
mediator lain. Eosinofil melepaskan arilsulfatase B untuk menetralkan
leukotrin, fosfolipase D untuk menetralkan heparin, dan siklik adenosin
monofosfat serta prostaglandin E1 dan E2 untuk meningkatkan laju metabolik.
Namun, kejadian ini tidak dapat mengembalikan kondisi ke keadaan sebelum
anafilaksis. Akhirnya terjadi perdarahan, koagulasi intravaskuler diseminata,
dan cardiopulmonary arrest.

Gambar 2. Reaksi cepat terhadap vaskuler dan otot polos setelah terpajan
alergen (individu yang sudah tersensitisasi) 8
Perubahan awal vaskuler pada hipersensitivitas reaksi cepat adalah
timbulnya bengkak dan kemerahan disebut sebagai wheal and flare reaction di
intradermal akibat injeksi alergen sekitar 5 sampai 10 menit setelah
pengenalan antigen dan biasanya kurang dari satu jam. Hal ini terjadi karena
dilatasi pembuluh darah dan bocoran plasma dari venula. Timbulnya wheal
and flare reaction bergantung pada IgE dan sel Mast.

Gambar 3. Respons stimulasi antigen dan pelepasan mediator sel mast


menyebabkan pembuluh darah lokal dilatasi dan terjadi kebocoran makromolekul
serta cairan menimbulkan penampakan wheal dan dilatasi pembuluh darah di
tepinya menimbulkan penampakan flare. 8
Reaksi anafilaksis pada anak bisa terjadi reaksi lambat yang berkembang
dalam 72 jam setelah reaksi awal. Pada tahun 2005, dilakukan penelitian oleh
Lieberman selama 35 tahun terakhir untuk meneliti reaksi bifasik. Diperoleh
kejadian reaksi bifasik mulai dari 1% sampai 20% dari semua reaksi anafilaksis.
Kegagalan untuk mengelola dosis epinefrin dapat meningkatkan risiko reaksi
bifasik.1
V. Tanda dan Gejala Klinis
Reaksi anafilaksis sering memberikan manifestasi pada kulit, pernapasan,
kardiovaskuler, dan sistem gastrointestinal. Sebagian besar pada pasien dewasa
memberikan kombinasi gejala urtikaria, pruritus, eritema atau angioedema.
Sedangkan pada pasien anak, banyak memberikan manifestasi klinis pada sistem
pernapasan dan mukokutaneus.9 Gejala klinik dapat segera timbul setelah tubuh
berkontak dengan antigen sampai 1-2 jam kemudian. Makin cepat timbulnya
gejala klinik makin hebat reaksinya. Reaksi anafilaktik mengenai multiorgan
seperti pada tabel di bawah ini. (Tabel 2)
Tabel 2. Tanda dan gejala klinis reaksi anafilaksis1,9
Sistem
Kulit

Tanda dan Gejala


Pruritus, eritema,

urtikaria,

atau

angioedema, morbiliform rash, ereksi


Saluran pernapasan bagian atas

pilor
Bersin,

rinore,

suara

serak,

stridor,

edema

orofaring/laring,

edema

uvula,

hidung

tersumbat,

bibir/lidah bengkak
Saluran pernapasan bagian bawah

Sesak, batuk, rasa sakit di dada,


bronchospasme, takipneu, respiratory

Kardiovaskuler

arrest
Takikardi, bradikardi (jarang), aritmia
jantung,

nyeri

dada,

hipotensi,

inkontinensia urin atau alvi, cardiac


Saluran pencernaan
Mata
SSP

arrest
Mual, muntah, sakit perut, diare
Gatal, merah, berair
Lemah, letargi, gelisah, penurunan
kesadaran, somnolen, aura doom,

Lainnya

rewel (gelisah pada infant dan anak)


Rasa atau bau metalik di mulut, kram
dan perdarahan akibat kontraksi uterus
pada wanita, low back pain

VI. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dalam manajemen reaksi
anafilaksis akut atau kasus emergensi. Jika kesulitan dalam mendiagnosis
anafilaksis, pemeriksaan darah untuk menguji kadar tryptase atau histamin akan
sangat membantu dalam mendiagnosis anafilaksis.5 Sampel darah dapat diambil
dengan optimal untuk mengukur kadar tryptase pada 15 menit sampai 3 jam
setelah onset gejala dan kadar histamin pada 15 sampai 60 menit setelah onset
gejala.1 Namun, pemeriksaan ini tidak akan bermanfaat apabila penyebabnya
adalah makanan atau bila tekanan darah tetap normal, dan pemeriksaan tersebut
tidak dapat menyingkirkan diagnosis anafilaksis.5
VII. Diagnosis

Reaksi anafilaksis didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Bila muncul salah


satu dari tiga gejala di bawah ini dalam waktu beberapa menit/jam setelah
seseorang terpapar suatu alergen, kemungkinan besar orang tersebut mengalami
reaksi anafilaksis.10
1. Onset akut (beberapa menit sampai jam) dengan manifestasi pada kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (pruritus, kemerahan, atau bengkak pada
bibir, lidah dan uvula), dan ditambah sekurang-kurangnya satu dari:
a. Kompensasi respirasi (dipsneu, bronchospasme, mengik, stridor,
hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau disfungsi organ (hipotoni, syncope,
inkontinensia
2. Dua atau lebih dari gejala setelah terpajan alergen (beberapa menit sampai
jam):
a. Keterlibatan manifestasi pada kulit dan jaringan mukosa keduanya
(pruritus, kemerahan, atau bengkak pada bibir, lidah dan uvula)
b. Kompensasi respirasi (dipsneu, bronchospasme, mengik, stridor,
hipoksemia)
c. Penurunan tekanan darah atau disfungsi organ (hipotoni, syncope,
inkontinensia
d. Manifestasi gastrointestinal persisten (nyeri perut, muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah terpajan alergen (beberapa menit sampai
jam)
a. Bayi dan anak; tekanan darah sistolik rendah (low BP pada anak: <70
mmHg untuk usia 1 bulan - 1 tahun, <(70mmHg + [2 x usia] untuk
usia 1-10 tahun), dan <90 mmHg untuk usia 11-17 tahun
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang dapat mengindentifikasi anafilaksis.
Jika semua gejala di atas tanpa ada stimulus alergi yang diketahui, keadaan lain
(infark miokard akut, status asmatikus, atau gagal jantung) yang mungkin
menyebabkan syok harus disingkirkan dahulu. 7
VIII. Penatalaksanaan
Manajemen awal pasien anak yang dicurigai anafilaksis harus dievaluasi cepat
dan menyeluruh terhadap jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Semua pasien
dengan tanda dan gejala anafilaksis harus diberikan segera epinefrin IM bantuan
oksigen dan monitor kardiorespirasi. Permeabilitas pembuluh darah meningkat
pada anafilaksis, sehingga 35% dari volume darah yang bersirkulasi mungkin

akan hilang dalam 10 menit. Idealnya, pasien harus ditempatkan terlentang atau
dalam posisi Trendelenburg, yang mengoptimalkan aliran balik vena ke jantung
dan mencegah pengumpulan darah di ekstremitas bawah. Evaluasi terus tandatanda vital dan kondisi pasien akan membantu untuk menentukan kebutuhan lebih
lanjut untuk intubasi, lebih banyak cairan atau kebutuhan inotropik. Berikut obatobat yang dapat digunakan pada reaksi anafilaksis:10
1. Epinefrin
Epinefrin adalah obat simpatomimetik direct-acting yang dapat mengatasi
efek patofisiologi anafilaksis. Alpha-adrenergic dari epinefrin bekerja untuk
meningkatkan resistensi perifer vaskuler dan mengatasi vasodilatasi perifer
sekaligus mengurangi angioedema dan urtikaria. Beta-1 adrenergic memiliki
efek kronotropik and inotropik positif pada jantung, sedangkan efek beta-2
adrenergic menyebabkan bronchodilatasi dan mengurangi pelepasan mediator
kimia dari sel mast dan basofil. Epinefrin 1:1000 diberikan melalui IM dengan
dosis 0,01 mg/kg (dosis maksimum 0,5 mg) dan dapat diulangi setiap 5 menit
sampai 15 menit tergantung respon terapi dengan mengawasi tanda vital serta
klinis pasien.
2. Antihistamin H1 dan H2
Pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk mengontrol keluhan
reaksi alergi lokal yang ditimbulkan. Antagonis H1 seperti cetirizin dan
dipenhidramin membantu mengurangi gejala pada kulit, seperti urtikaria,
pruritus, dan angioedema. Cetirizin memiliki onset cepat dibanding
dipenhidramin dan memiliki efek sedasi lebih kecil. Antagonis H2 seperti
ranitidin diberikan dengan antagonis H1 karena kombinasi keduanya dapat
mengatasi masalah kutaneus lebih superior. Cetirizin diberikan satu kali per
hari secara oral dengan dosis 2,5 mg untuk anak usia <2 tahun, 2,5-5 mg untuk
anak usia 2 sampai 5 tahun, dan 5-10 mg untuk anak usia > 5 tahun.
Dipenhidramin IM/IV diberikan setiap 4-6 jam tergantung berat menifestasi
kutaneus dengan dosis 1 mg/kg/dosis (dosis maksimum 50 mg), dan ranitidin
PO/IV diberikan setiap 8 jam tergantung berat menifestasi kutaneus dengan
dosis 1 mg/kg/dosis (dosis maksimum 50 mg).
3. Kortikosteroid

Pemberian obat golongan kortikosteroid dapat diberikan walaupun bukan


terapi lini pertama. Obat ini kurang berefek untuk fase akut karena onsetnya
lambat yaitu sekitar 4-6 jam. Prednison oral dapat diberikan setiap 6 jam
sesuai derajat reaksi dengan dosis 1 mg/kg (dosis maksimum 75 mg) atau
dengan reaksi lebih berat dapat diberikan metilprednisolon dengan dosis 1
mg/kg (dosis maksimum 75 mg).
4. Obat-obat inhalasi
Anak dengan presentasi klinis bronchospasme dan wheezing atau dengan
riwayat asma dapat diberikan salbutamol. Salbutamol diberikan dengan dosis
5 - 10 puffs MDI atau 2,5-5 mL menggunakan nebulisasi dan bisa diulangi
setiap 20 menit sampai 1 jam. Jika reaksi anafilaksis disertai dengan stridor,
dapat diberikan epinefrin inhalasi 2,5-5 mL.
Tabel 3. Manajemen Reaksi Anafilaktik6
Klasifikasi Obat

Indikasi dan Dosis

Keterangan

Manajemen pasien emergensi (sesuai tingkat keparahan gejala)


Epinefrin
(adrenalin)

Reaksi anafilaktik,
Takikardi, hipertensi, sakit
bronchospasme, cardiac kepala, mual, gelisah, tremor
arrest

0.01 mg/kg sampai 0.3 EpiPen Jr (0.15 mg) IM


mg
825 kg
EpiPen (0.3 mg) IM >25
kg
Cetirizin (liquid)
(Zyrtec5 mg/5 mL)

Antihistamin
(antagonis H1)

Hipotensi, takikardi, somnolen

0.25 mg/kg sampai 10


mg po
Alt: Dipenhidramin

Antihistamin (antagonis Hipotensi, takikardi, somnolen


H1 )

(Benadryl12.5 mg/5 1.25 mg/kg sampai 50


mL)
mp po
Transportasi ke Fasilitas Emergensi
Suplementasi oksigen dan manajemen jalan napas
Epinefrin
(adrenalin)

Reaksi anafilaktik,
Takikardi, hipertensi, sakit
bronchospasme, cardiac kepala, mual, gelisah, tremor

10

Klasifikasi Obat

Indikasi dan Dosis

Keterangan

arrest
0.01 mg/kg sampai 0.3 EpiPen Jr (0.15 mg) IM Dapat diulang 1015 menit
mg
825 kg
EpiPen (0.3 mg) IM >25
kg
0.01 mL/kg/dosis 1 :
1,000 sampai 0.3 mL IM
0.01 mL/kg/dosis

Hipotensi berat

Volume expanders
Kristaloid (normal
saline atau Ringer
laktat)

30 mL/kg pada jam


pertama

Koloid (hydroxyethyl
starch)

10 mL/kg

Dipenhidramin
Antihistamin
(Benadryl12.5 mg/5 (antagonis H1
mL)

Hipotensi, takikardi, somnolen

1.25 mg/kg sampai 50


mg IM
Alt: Cetirizin [liquid] Antihistamin
(Zyrtec5 mg/5 mL) (antagonis H1

Hipotensi, takikardi, somnolen

Nebulized albuterol

Palpitasi, takikardi; digunakan


suplemen jika epinefrin tidak
berespon terhadap
bronchospasme ; dapat diulang

-Agonist

(0.83 mg/mL [3 mL])


dengan sungkup O2
Kortikosteroid
Metilprednisolon

Anti-inflamasi

Solu-Medrol (IV)

12 mg/kg sampai 125


mg IV

Depo-Medrol (IM)

1 mg/kg sampai 80 mg
IM

Prednisone

Anti-inflamasi

Hipertensi, edema, agitasi

Hipertensi, edema, agitasi

11

Klasifikasi Obat

Indikasi dan Dosis

Per oral

1 mg/kg sampai 75 mg
po

Ranitidine (Zantac
25 mg/mL)

Antihistamin
(antagonis H2)

Keterangan

Sakit kepala, mental confusion

1 mg/kg sampai 50 mg
IV
Alt: Cimetidine
Antihistamin
(Tagamet25 mg/mL) (antagonis H2)

Sakit kepala, mental confusion

4 mg/kg sampai 200 mg


IV
Manajemen Pasca-emergensi
Antagonis-H1

Cetirizin (510 mg) atau


loratidin (510 mg)
untuk 3 hari

Kortikosteroid

Prednison oral (1 mg/kg


sampai 75 mg) setiap
hari sampai 3 hari

IX. Diferensial Diagnosis11


1. Aritmia jantung
2. Infark miokard
3. Asma bronchial
4. Aspirasi cairan lambung
5. Kejang
6. Emboli paru
7. Pneumothoraks
8. Sindrom Flushing
9. Globus hystericus

DAFTAR PUSTAKA

12

1. Lane RD, Bolte RG. Pediatric Emergency Care: Pediatric Anaphylaxis.


Lippincot Williams & Wilkins. 2007;23(1):49.
2. Johnson RF, Stokes P. Anaphylactic Shock; Patophysiology, Recognition
and Treatment. Medscape Reference: Semin Respir Crit Care Medfusion.
2004;25(6):695-703. [cited 14 December 2014]
3. Lim A. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions and allergies. Sydney
Skin & Vein Clini. 2004.
4. Working Group of the Resuscitation Council. Guidelines for healthcare
providers: Emergency treatment of anaphylactic reactions. Resuscitation
Council (UK). 2008.
5. Estelle RS et al. World Allergy Organization Guidelines for the
6.
7.
8.
9.

Assessment and Management of Anaphylaxis. WAO Journal. 2011. 1-25.


Kliegman et al. Nelson Teexbooks of Pediatrics, 18th Ed. Elsevier. 2007
Kowalak JP. Buku Ajar Patosisiologi. Jakarta: EGC. 2002. Hal 488-491.
Abbas AK. Cellular and Molecular Immunology. Elsevier Comm. 2007
Mustafa SS. Anaphylaxis. Medscape Reference: Semin Respir Crit Care

Medfusion. 2004;25(6):695-703. [cited 14 December 2014]


10. Cheng A. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children.
Canadian Pediatric Society.2011;16(1):35-40.
11. Sreevastava DK, Tarneja. Anaphylactic Reaction : An Overview. MJAFI.
2003;59:53-56.

13

Anda mungkin juga menyukai