Dalam satu dekade terakhir, berbagai pemahaman baru mengenai proses inflamasi
yang diperoleh melalui pengamatan dan penelusuran pola dan peran berbagai
sitokin dalam berbagai penyakit sinus, baik akut maupun kronis. Review ini
bertujuan memberikan update terbaru dan mendiskusikan berbagai temuan yang
diperoleh dari beberapa penelitian in vitro dan in vivo mengenai peran sitokinsitokin dalam sinusitis dan poliposis nasal. Beberapa sitokin proinflamasi, seperti:
interleukin-1, interleukin-6, dan kemoatraktan neutrofil, seperti: interleukin-8
memainkan peranan penting dalam proses terjadinya sinusitis akut, sebagaimana
juga dalam rinitis viral dan alergika. Pada sinusitis kronis, interleukin-3
merupakan jenis sitokin yang paling dominan dan berpengaruh terhadap aktivitas
berbagai sel-sel inflamatorik. Interleukin-5 merupakan jenis protein utama yang
yang berperan dalam patogenesis terjadinya poliposis nasal. Aktivasi dan
persistensi/ketahanan (survival) eosinofil pada berbagai kasus polip nasal diduga
diregulasi oleh hadirnya interleukin-5. Investigasi lebih lanjut mengenai pola
ekspresi sitokin pada berbagai penyakit inflamasi sinus dapat memberikan dan
menuntun klinisi menuju pemahaman yang lebih baik terhadap patogenesis
penyakit-penyakit tersebut dan pengembangan modalitas terapeutik baru.
Kata kunci: Sinusitis; Polip nasal; IL-1; IL-3, IL-5; IL-6; IL-8; Sitokin
PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan sebuah penyakit yang sering dijumpai yang
umumnya ditandai dengan terjadinya inflamasi mukosa nasal dan sinus
paranasales yang rekuren atau persisten. Ditemukannya gambaran neutrofil yang
mendominasi pada mukosa nasal dan sinus merupakan temuan histologis yang
khas terjadi pada kasus rinosinusitis. Poliposis nasal merupakan sebuah penyakit
multifaktorial dan seringkali dikaitkan dengan atau disebabkan oleh respons
inflamasi yang terjadi pada kasus rinosinusitis. Beberapa literatur terkini
memberikan berbagai bukti yang mendukung peran penting beberapa sitokin
dalam memfasilitasi terjadinya respons inflamasi pada kasus rinosinusitis dan
bahwa
interleukin-1
yang
diproduksi
oleh
PMN
dapat
pemeriksaan
imunohistokimiawi
didapatkan
bahwa
keberadaan
perbaikan mukosa sinus yang mengalami inflamasi kronis melalui menunjang dan
mendukung kehidupan berbagai populasi sel-sel dan menginduksi sekresi
berbagai mediator. Meskipun demikian, secara tidak langsung interleukin-3 juga
berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya fibrosis dan penebalan lapisan
mukosa yang dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi kompleks ostiomeatal (2,
6).
Kami menelusuri keberadaan/ekspresi berbagai mRNA dari berbagai
sitokin inflamasi,diantaranya: interleukin-6, interleukin-8, faktor pertumbuhan
tumor (tumor growth factor-, TGF-), interleukin-4, interleukin-5, dan IFN-
pada mukosa sinus penderita sinusitis kronis menggunakan metode RT-PCR dan
Southern blot. Keberadaan mRNA dari interleukin-6, interleukin-8, TGF-,
interleukin-4, interleukin-5,dan IFN- lebih sering ditemukan pada mukosa sinus
penderita sinusitis maksilaris kronis dibandingkan pada mukosa sinus orang
normal (Tabel 1) (7). Kami berkesimpulan bahwa beberapa sitokin turut
bertanggungjawab dalam rekrutmen sel-sel inflamasi dan penebalan mukosa yang
terjadi pada kasus sinusitis kronis dan turut menyebabkan terjadinya kronisitas
penyakit tersebut. Rhyoo dkk (8) mengkonfirmasi hasil penelitian kami melalui
demonstrasi terjadinya up-regulasi ekspresi gen interleukin-8 pada kasus sinusitis
kronis. Peningkatan interleukin-3 secara signifikan dijumpai terjadi pada mukosa
sinus, meskipun, sebuah penelitian lain menduga interleukin-8 memainkan
peranan inti dalam rekrutmen neutrofil (9). Perbedaan definisi kriteria dan teknik
investigasi yang digunakan mungkin turut berpengaru dalam timbulnya
diskrepansi/ketimpangan hasil-hasil ini.
berhasil
membuktikan
bahwasanya
interleukin-4
dan
interleukin-5
dalam supernatan dari jaringan polip nasal yang telah dibiakkan (kultur) dan
mRNA GM-CSF dalam spesimen polip dalam penelitiannya. Sebagaimana yang
diduga, pada jaringan polip dijumpai mRNA GM-CSF dalam jumlah yang lebih
besar apabila dibandingkan dengan mukosa sinus dan konka orang normal, dan
juga terdapat hubungan antara jumlah activated EG2+ eosinophil dan mRNA
interleukin-3 dengan jumlah sel-sel yang positif GM-CSF (23).
Baru-baru ini, Hamilos dkk (24)
dari eosinofil dalam beberapa kondisi tertentu (28). RANTES dapat menginduksi
kemotaksis dan migrasi transendotelial eosinofil, sintesis spesies reaktif oksigen
(reactive oxygen species, ROS), dan pelepasan protein kationik eosinofil
(eosinophil cationoc protein, ECP) in vitro (29). Imunoreaktivitas RANTES juga
dilaporkan terdeteksi pada homogenat sampel polip nasal dan spesimen biopsi,
selain itu protein ini juga memiliki properti kemotaktik bagi eosinofil (30).
Penelitian in vivo kami baru-baru ini menunjukkan bahwa keberadaan interleukin5 dan RANTES mengalami peningkatan pada jaringan polip nasal, baik yang
memiliki riwayat alergi maupun non alergi dibandingkan dengan kontrol dan
berhubungan dengan infiltrasi eosinofil yang terjadi (31).Sel-sel epitel nasal
merupakan sumber utama produsen RANTES, dimana pada jaringan ini juga
terlokalisasi sejumlah besar eosinofil. Meskipun dmeikian, Bachert dkk (1)
melaporkan bahwa tidak ditemukan perbedaan kadar protein RANTES dalam
jaringan dengan polip nasal dengan jaringan yang berasal dari pasien kontrol,
dimana temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai pentingnya RANTES
sebagai agen yang berperan dalam perekrutan eosinofil dalam kasus polip nasal.
Selain RANTEs, eotaksin juga diketahui dapat berperan sebagai kemoatraktan
selektif in vitro yang dapat menginduksi terjadinya migrasi eosinofil in vivo (32).
Eotaksin juga diduga berperan dalam menarik eosinofil menuju tempat terjadinya
inflamasi dan juga turut berkontribusi dalam terjadinya kerusakan jaringan
melalui kapasitasnya dalam menginduksi pelepasan ROS.
Jahnsen dkk (33) menunjukkan bahwa induksi selektif dari interleukin-1
berperan dalam rekrutmen eosinofil dalam jaringan polip nasal yang dibiakkan
(kultur). Baru-baru ini diketahui bahwa 80% dari interleukin-4-positive cells
merupakan eosinofil (34). Interleukin-13, interleukin-1, dan TNF- menunjang
fungsi interleukin-4 dalam menginduksi ekspresi VCAM-1 in vivo dan in vitro.
Hamilos dkk (35) mengkonfirmasi beberapa temuan yang ditemukan pada
penelitian yang dilakukan oleh Jahnsen, dimana keduanya melaporkan terjadinya
up-regulasi VCAM-1 dalam jaringan polip yang berasal dari baik pasien yang
memiliki riwayat alergi maupun tidak. Selain itu kami juga berhasil menunjukkan
bahwa mRNA interleukin-4 selalu dijumpai pada seluruh spesimen jaringan polip
nasal (15, 25). Meskipun demikian, Bachert dkk (36) melaporkan bahwa protein
interleukin-4 tidak dapat ditemukan/dideteksi dalam jaringan polip nasal.
Eosinophil survival dan peran dari interleukin-5
Sitokin-sitokin seperti: interleukin-3, interleukin-5, GM-CSF, dan IFN-
diketahu dapat meningkatkan ketahanan (survival) eosinofil melalui inhibisi
kematian sel terprogram (apoptosis) baik secara in vitro maupun in vivo (37).
Bukti terkait inhibisi apoptosis ini diperoleh pada kultur jaringan sampel polip
nasal saat hari ke-8 hingga ke-12, dan pada hari ke-2 hingga ke-3 pada mukosa
kontrol, dan dalam waktu 24 jam pada eosinofil yang dimurnikan dari darah (38).
Dari berbagai temuan tersebut, kami mnyimpulkan bahwa pada kasus polip nasal
terjadi penundaan apoptosis eosinofil dibandingkan yang teramati pada sampel
mukosa nasal maupun sampel eosinofil yang dimurnikan dari darah.Neutralizing
monoclonal antibody (mAb) terhadap interleukin-5 dapat menginduksi apoptosis
eosinofil
dan
menurunkan
terjadinya
eosinofilia
jaringan.
Analisis
memainkan