Anda di halaman 1dari 7

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

KERAGAAN USAHA PENGOLAHAN MINYAK NILAM DI TINGKAT PETANI


KABUPATEN BATANG, JAWA TENGAH
Indrie Ambarsari1, Abdul Choliq1, dan Dian Adi A. Elisabeth2
1Balai
2

Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK

Minyak nilam merupakan salah satu komoditas penghasil devisa negara. Dengan
keunggulannya sebagai bahan fiksatif yang belum dapat digantikan oleh minyak lain, permintaan
akan minyak nilam terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri baik farmasi,
kosmetik, flavouring agent, dan lain sebagainya. Sayangnya keunggulan dan nilai ekonomis
minyak nilam ini tidak selalu diikuti dengan kualitas yang baik. Salah satu faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut adalah minyak nilam masih diproduksi secara tradisional di tingkat
petani, dimana pengawasan mutu sangat kurang diperhatikan. Oleh karena itu, pada tulisan ini
akan diberikan gambaran mengenai kondisi usaha pengolahan minyak nilam yang diusahakan
oleh petani di Kabupaten Batang yang merupakan salah satu daerah penghasil minyak nilam di
Jawa Tengah. Kajian dilakukan pada tahun 2008 di Desa Padomasan, Kecamatan Reban. Data
yang diamati meliputi : perkembangan produksi tanaman nilam, status pengusahaan minyak
nilam, dan kelayakan usaha pengolahan minyak nilam. Data dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan presentasi tabuler, sedangkan kelayakan usaha dihitung berdasarkan analisis
secara finansial. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknik penyulingan yang dilakukan di lokasi
kajian masih bersifat konvensional, sehingga baik mutu maupun rendemen minyak yang
dihasilkan masih relatif rendah. Dri segi finansial, usaha pengolahan minyak nilam di tingkat
petani Kabupaten Batang layak untuk dikembangkan. Dilihat dari segi keuntungan yang
diperoleh, penggunaan nilam basah sebagai bahan baku memberikan keuntungan yang relatif
lebih tinggi dibandingkan nilam kering. Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan
baku daun nilam basah tercapai pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan
kapasitas produksi minyak 4,9 kg.
Kata kunci: nilam, usaha pengolahan, minyak
PENDAHULUAN
Minyak nilam merupakan komoditas andalan peringkat pertama kelompok minyak atsiri
dalam perolehan devisa negara. Sebagai komoditas ekspor, minyak nilam prospek cerah karena
dibutuhkan secara berkesinambungan oleh industri kecantikan, industri farmasi, flavouring agent
dan lain sebagainya (Ketaren, 1986). Pada tahun 2004, ekspor minyak nilam mencapai 2074 ton
atau senilai US$ 27,137 juta (Dirjenbun, 2006). Indonesia sampai dengan saat ini masih
merupakan negara pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam dunia dengan pangsa sebesar
90% (Dirjenbun, 2006).
Keunggulan minyak nilam Indonesia telah dikenal di berbagai negara pengimpor minyak
nilam seperti Amerika, Perancis, Belanda, Jerman, Jepang, Singapura, Hongkong, Mesir, dan
Saudi Arabia (Sumarsono, 2005). Minyak nilam dalam industri digunakan sebagai bahan fiksatif
yaitu bahan pengikat minyak lain, yang belum dapat digantikan oleh minyak lain sampai dengan
saat ini. Selain itu, minyak nilam merupakan minyak atsiri yang tidak dapat dibuat secara
sintetis.
Terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu Pogostemon heyneanus
(nilam Jawa), Pogostemon hortensis (nilam sabun), dan Pogostemon cablin (nilam Aceh). Jawa
Tengah termasuk kedalam peringkat 4 besar sebagai sentra produksi nilam di Indonesia

506

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

(Ditjenbun, 2006). Kabupaten Batang merupakan salah satu daerah penghasil nilam di Jawa
Tengah. Sayangnya dengan berbagai keunggulan dan nilai ekonomis nilam yang tinggi ini tidak
selalu diikuti dengan kualitas minyak nilam yang baik. Selain terdapat banyak kasus pemalsuan
minyak, minyak nilam di Indonesia umumnya diproduksi secara tradisional di tingkat petani,
sehingga pengawasan terhadap mutu sangat kurang diperhatikan. Tulisan ini merupakan suatu
telaah untuk memberikan gambaran mengenai keragaan usaha pengolahan minyak nilam yang
diusahakan oleh petani di Kabupaten Batang.
METODOLOGI
Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data sekunder
bersumber dari instansi terkait dan studi pustaka, sedangkan data primer diperoleh melalui
wawancara langsung terhadap petani dan tokoh masyarakat dengan berpedoman pada kuesioner.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari-Februari 2008 di Desa Padomasan, Kecamatan
Reban, Kabupaten Batang. Informasi yang dikumpulkan meliputi: perkembangan produksi
tanaman nilam di Kabupaten Batang, status pengusahaan minyak nilam di lokasi kajian, dan
data pengamatan kelayakan usaha minyak nilam. Data yang dikumpulkan dianalisis secara
deskriptif dengan menggunakan presentasi tabel silang.
Kajian kelayakan usaha ditetapkan berdasarkan perhitungan analisis finansial untuk
mendapatkan gambaran jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun dan menjalankan
usaha, perkiraan rugi laba dan perkiraan aliran uang masuk dan keluar (cash flow). Alat analisis
yang digunakan dalam menghitung kelayakan investasi meliputi: Revenue Cost Ratio (R/C), titik
impas produksi dan titik impas harga (Nitisemito dan Burhan, 1995). Pada perhitungan analisis
kelayakan usaha, penyusutan modal investasi dihitung dengan Metode Garis Lurus (MGL) dengan
nilai sisa (salvage value) dianggap nol. Asumsi yang digunakan adalah umur pakai alat mesin
dapat mencapai lima tahun, sedangkan hari hari kerja efektif diasumsikan mencapai 100 hari
kerja per tahun.
Secara matematis, perhitungan kelayakan usaha dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Revenue Cost Ratio (R/C)
R/C

TR
TC

Keterangan:
TR = total revenue (penerimaan total)
TC = total cost (biaya total)
Analisis titik impas/break event point (BEP)
BEP (Q)

Keterangan:
BEP (Q)
=
BEP (Rp) =
TFC
=
VC
=
P
=

TFC
P VC

BEP (Rp) =

TFC
1 (VC/TR)

titik impas produksi


titik impas harga
total biaya tetap
biaya variabel
harga jual per unit

507

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

HASIL DAN PEMBAHASAN


Potensi tanaman nilam di Kabupaten Batang
Selama periode 2003-2007, tingkat pertumbuhan produktivitas nilam di Kabupaten Batang
dapat dikatakan sangat fluktuatif. Tabel 1 memperlihatkan bahwa meskipun luasan panen nilam
pada tahun 2006 cukup tinggi, namun hal tersebut tidak diikuti dengan tingkat produksi yang
tinggi. Dalam periode lima tahun terakhir tersebut, tahun 2006 merupakan tahun dimana
tingkat produktivitas nilam di Kabupaten Batang berada di titik terendah. Namun pada tahun
2007, terjadi peningkatan produksi nilam meskipun luas areal panennya relatif turun dari tahun
sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan luasan areal tanam tidak selalu
efektif dalam peningkatan tingkat produktivitas tanaman nilam. Menurut Nuryani (2006), faktorfaktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas nilam adalah mutu genetik tanaman itu
sendiri, serta kurang tepatnya budi daya, pengendalian penyakit, dan pengelolaan panen dan
pascapanen.
Tabel 1. Data perkembangan luas panen dan produksi tanaman nilam di Kabupaten Batang
periode 2003-2007
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007

Luas Panen
(ha)

Produksi
(ton)

61.57
95.47
492.00
188.60
115.50

217.87
685.70
2215.51
48.47
362.37

Kenaikan/penurunan terhadap tahun sebelumnya


Luas Panen
Produksi
Absolut

Absolut

33.9
396.53
(303.4)
(73.1)

55.06
415.35
(61.67)
(38.76)

467.83
1529.81
(2167.04)
313.9

214.73
223.10
(97.81)
647.62

Sumber: BPS, 2008 (diolah)

Sentra pengolahan nilam terbesar di Kabupaten Batang terdapat di Kecamatan Bandar.


Namun demikian, tak sedikit daerah-daerah di sekitar kecamatan tersebut yang melakukan
pengembangan budidaya dan pengolahan nilam. Salah satunya adalah di Kecamatan Reban.
Gambar 1 menunjukkan peta lokasi sentra pengolahan minyak atsiri di Kabupaten Batang.
Sebagian besar minyak nilam yang dihasilkan oleh usaha pengolahan mikro tingkat pedesan ini
dibeli oleh pengusaha lokal untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

Gambar 1. Peta lokasi sentra pengolahan minyak atsiri di Kabupaten Batang (Anonim, 2004)

508

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

Status pengusahaan minyak nilam di Kabupaten Batang


Status pengusahaan minyak nilam di Kabupaten Batang ditampilkan pada Tabel 2. Dari
tabel terlihat bahwa teknik penyulingan yang diusahakan di lokasi kajian masih dilakukan secara
sederhana (konvensional). Sistem penyulingan dilakukan dengan cara pengukusan, dimana
bahan diletakkan diatas saringan berlobang.
Menurut Laksamanahardja et al. (2004),
berdasarkan kontak antara uap air dan bahan yang akan disuling, metode penyulingan minyak
atsiri dibedakan atas tiga cara, yaitu: (1) penyulingan dengan air, (2) penyulingan dengan uap dan
air, dan (3) penyulingan dengan uap. Penyulingan dengan air serta penyulingan dengan uap dan
air lebih sesuai bagi industri kecil karena lebih murah dan konstruksi alatnya sederhana.
Ditambahkan oleh Ketaren (1986) bahwa untuk instalasi skala kecil, sistem penyulingan dengan
cara direbus atau dikukus jauh lebih menguntungkan. Namun penyulingan dengan uap dan air
memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan uap air yang cukup besar. Hal ini karena sejumlah
besar uap akan mengembun dalam jaringan tanaman sehingga bahan bertambah basah dan
mengalami aglutinasi. Oleh karena itu Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian
merekomendasikan sistem penyulingan yang dikombinasikan dengan sistem kohobasi. Pada
sistem kohobasi, pemanasan air dalam ketel penyulingan dilakukan secara langsung terhadap
dasar ketel. Hasil penelitian Laksmanahardja et al. (2004) menunjukkan bahwa dengan sistem
ini, bahan bakar dapat dihemat sampai 25% karena air yang digunakan hanya 40% dari
kebutuhan normal.
Tabel 2. Gambaran kondisi usaha pengolahan nilam di Kabupaten Batang
Uraian
Kapasitas alat suling (kg bahan kering)

Kondisi usaha
100 - 300

Bahan pembuatan alat suling:


- Tanki (kettle)
- Pendingin (condensor)
- Penampung minyak (oils receiver)
Metode penyulingan
Tipe alat penyuling
Bahan bakar

Plat besi
Pipa ledeng dan kolam pendingin
drum
Konvensional (pengukusan)
Non kohobasi
Minyak tanah, limbah penyulingan

Metode penyiapan bahan baku

Penjemuran (kering angin)

Tingkat rendemen rata-rata (%)

2,0

Dalam proses persiapan bahan baku, pengeringan daun nilam perlu dilakukan karena bila
daun nilam segar langsung disuling akan mengakibatkan daun rapuh dan sulit untuk disuling.
Selain itu, menurut Guenther dalam Ketaren (1986), perlakuan pendahuluan terhadap bahan
yang akan disuling perlu dilakukan karena minyak atsiri didalam tanaman dikelilingi oleh
kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh, kantong minyak, atau rambut gladular yang apabila
bahan dibiarkan utuh, kecepatan pengeluaran minyak hanya tergantung dari proses difusi yang
berlangsung sangat lambat.
Di lokasi, pengeringan daun nilam telah dilakukan di tempat yang teduh (terlindung). Hal
ini menunjukkan pada pengrajin minyak nilam telah mengetahui metode yang benar dalam
mempersiapkan bahan baku. Menurut Ketaren (1986), pengeringan di bawah sinar matahari
langsung dapat mengakibatkan kehilangan minyak atsiri sampai dengan 24%, sedangkan
pengeringan di tempat yang terlindung hanya akan menyebabkan kehilangan minyak atsiri
sekitar 2-10% (Ketaren, 1986). Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan daun nilam di
tingkat petani berkisar antara 2-3 hari, tergantung kondisi cuaca. Pengeringan yang terlampau
lama akan mengakibatkan timbulnya aroma yang kurang sedap (Sumarsono, 2005).

509

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

Dari tabel 2 juga terlihat bahwa tingkat rendemen minyak yang dihasilkan masih relatif
rendah. Menurut Yuhono dan Suhirman (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen
minyak nilam adalah penggunaan bibit asalan, cara penanganan bahan baku (perajangan,
pelayuan dan pengeringan), cara penyulingan, lama penyulingan, dan jenis alat penyuling yang
digunakan. Ditambahkan oleh Patria et al. (2008), tingkat rendemen minyak nilam selain
dipengaruhi jenis bahan bakar yang digunakan juga dipengaruhi oleh perlakuan tekanan, lama
penyulingan dan interaksinya
Penanganan hasil setelah produksi seperti pemisahan minyak setelah penyulingan, wadah
yang digunakan, dan penyimpanan belum dilakukan secara maksimal. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya proses-proses yang tidak diinginkan yaitu oksidasi, hidrolisis ataupun polimerisasi.
Umumnya minyak yang dihasilkan akan terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman atau sedikit
kehijauan. Menurut Hernani dan Marwati (2006), hal ini diakibatkan oleh adanya kontaminasi
dari logam Fe dan Cu. Adanya bahan-bahan asing ini akan mempengaruhi sifat fisiko kimia
minyak (mutu/kualitas minyak), karena komponen standar mutu minyak atsiri ditentukan oleh
kualitas dari minyak itu sendiri dan tingkat kemurniannya. Adapun standar mutu untuk minyak
nilam nasional dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu minyak nilam (SNI 06-2385-1991)
Karakteristik
Warna
Bobot jenis, 25/25C
Indeks bias

Standar SNI*
Kuning muda sampai coklat tua

(nD25)

Kelarutan dalam etanol 90 (suhu 25 30 C)

0,943 0,983
1,504 1,514
Opalensi ringan

Bilangan asam, max (%)

5,0

Bilangan ester, max (%)

10,0

Minyak kruing

Tidak nyata

Alkohol tambahan

Negatif

Minyak pelikan

Negatif

Zat-zat asing

Negatif

Sumber: Wahono et al. (2005)

Analisis finansial usaha minyak nilam


Untuk setiap kali proses produksi minyak nilam di desa lokasi umumnya membutuhkan
bahan baku sebanyak 300 kg nilam kering per hari. Apabila bahan baku yang digunakan adalah
daun nilam basah, maka untuk menghasilkan minyak nilam dengan kapasitas produksi yang
sama dibutuhkan sebanyak 1.200 kg daun nilam basah. Penggunaan bahan baku daun nilam
kering akan menghemat waktu dan juga tenaga untuk penjemuran, oleh sebab itu harganya
relatif lebih tinggi yaitu rata-rata Rp. 8.500,- per kg sedangkan harga daun nilam basah rata-rata
sebesar Rp. 2.000,- per kg. Analisa pengolahan minyak nilam di tingkat petani disajikan pada
Tabel 3.
Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini umumnya berkisar antara 2-4 orang,
tergantung banyaknya jenis pekerjaan yang perlu dilakukan. Proses produksi dengan bahan
baku nilam basah memerlukan tenaga untuk proses pengeringan bahan. Proses pengeringan
umumnya dilakukan oleh 2 orang selama kurang lebih 3 hari, dengan upah sebesar Rp. 15.000,/orang/hari dan jumlah jam kerja berkisar antara 5-6 jam per hari. Tenaga pengolah umumnya
juga terdiri dari 2 orang dengan jumlah jam kerja harian 12 jam/hari. Upah tenaga pengolah
ditetapkan sebesar Rp. 40.000,-/orang/hari.

510

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

Tabel 4. Analisis usaha pengolahan minyak nilam


URAIAN
INVESTASI (alat dan mesin)

Nilam Basah

Nilam Kering

100.000.000

100.000.000

Bangunan

20.000.000

20.000.000

Alat mesin pengolahan

80.000.000

80.000.000

3.695.000

3.755.000

40.000

40.000

TOTAL BIAYA
-

Penyusutan bangunan

Penyusutan alat dan mesin

160.000

160.000

Tenaga Kerja

170.000

80.000

Tenaga pengering daun nilam

90.000

Tenaga pengolah

80.000

80.000

2.420.000

2.570.000

1.200

300

Biaya Produksi
Nilam
- Volume (kg)
- Harga (Rp/kg)

2.000

8.500

Bahan bakar

20.000

20.000

Listrik dan air

5.000

5.000

450.000

450.000

Biaya lain-lain (10%)

Produksi minyak (kg)


Harga minyak nilam (Rp/kg)
PENDAPATAN (produksi x harga)

750.000

750.000

4.500.000

4.500.000

Keuntungan (Return)

805.000

745.000

BEP harga (produksi tetap) Rp

615.833

625.833

BEP produksi (harga tetap) kg


Output/input (R/C)

4,9

5,0

1,22

1,20

Usaha pengolahan minyak nilam membutuhkan investasi awal sebesar 100 juta, yang
dibutuhkan untuk pendirian bangunan dan alat mesin pengolahan.
Harga minyak nilam di tingkat petani rata-rata mencapai Rp 750.000,-/kg. Hasil analisis
finansial menunjukkan bahwa usaha pengolahan minyak nilam di tingkat petani layak untuk
dikembangkan. Menurut Nitisemono dan Burhan (1995), salah satu indikator kelayakan
pengembangan usaha adalah nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu. Namun dilihat dari
tingkat keuntungan yang diperoleh, proses produksi minyak dengan menggunakan bahan baku
daun nilam basah relatif lebih menguntungkan dibandingkan proses produksi minyak dengan
menggunakan daun nilam kering.
Pada proses produksi minyak dengan bahan baku daun nilam basah tingkat keuntungan
yang diperoleh untuk setiap kali proses produksi dapat mencapai Rp. 805.000,- sedangkan pada
proses produksi dengan bahan baku daun nilam kering tingkat keuntungan mencapai Rp.
745.000,-. Selisih keuntungan yang diperoleh mencapai Rp. 60.000,- untuk setiap kali proses
produksi. Dilihat dari tingkat keuntungan yang diperoleh, tidak mengherankan bahwa produsen
minyak nilam lebih cenderung untuk membeli bahan baku nilam dalam bentuk basah, karena
biaya yang harus dikeluarkan untuk tenaga pengering jauh lebih menghemat biaya produksi
dibandingkan biaya pembelian nilam dalam bentuk kering.
Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan baku daun nilam basah tercapai
pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 4,9 kg.
Pada usaha pengolahan minyak berbahan baku daun nilam kering, titik impas usaha tercapai

511

Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5

pada tingkat harga jual minyak Rp. 625.833,-/kg dan kapasitas produksi minyak 5,0 kg.
Menurut Wahono et al. (2005), tinggi rendahnya harga minyak nilam sangat ditentukan oleh naik
turunnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap US
dollar maka semakin tinggi juga harga minyak nilam.
KESIMPULAN
1. Teknik penyulingan yang dilakukan di lokasi kajian masih bersifat konvensional, sehingga
baik mutu maupun rendemen minyak yang dihasilkan masih relatif rendah.
2. Dari segi finansial, usaha pengolahan minyak nilam di tingkat petani Kabupaten Batang layak
untuk dikembangkan. Dilihat dari segi keuntungan yang diperoleh, penggunaan nilam basah
sebagai bahan baku memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan nilam
kering. Titik impas usaha pengolahan minyak nilam berbahan baku daun nilam basah
tercapai pada tingkat harga jual minyak sebesar Rp. 615.833,-/kg dan kapasitas produksi
minyak 4,9 kg.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Pengembangan Minyak Atsiri Kabupaten Batang.
java.com/uploaded/minyak%20atsiri_batang.pdf

http://www.central-

Ditjenbun. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen


Pertanian, Jakarta.
Hernani dan T. Marwati. 2006. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses Pemurnian.
Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Solo, 18-20 September 2006.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.
Laksamanahardja, M.P., S. Rusli, D. Sumangat, dan T. Hidayat. 2004. Model Penyulingan
Minyak Atsiri Skala Kelompok Tani. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian.
Nuryani, Y. 2006. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Buletin Plasma Nutfah Vol. 12 (2) : 45-49.
Patria, A., Taufiq, H.P. Widayat, dan Zulfan. 2008. Peningkatan Rendemen dan Efisiensi Proses
Penyulingan Minyak Nilam Melalui Modifikasi Alat dan Penggunaan Jenis Bahan Bakar.
SMK Negeri 3 Kimia, Madiun. http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/peningkatanrendemen-dan-efisiensi-proses-penyulingan-minyak-nilam-melalui-modifikasi-alat-danpenggunaan-jenis-bahan-bakar/
Sumarsono. 2005. Perilaku Kadar Air Daun Nilam Hasil Pengeringan Secara Rotasi dengan
Traydryer. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 7 (1) : 59-67.
Wahono, T.C., I.N. Istina, G. Harahap, dan E. Ritonga. 2005. Kajian Teknologi Pengolahan Nilam.
Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian Mekanisasi Berkelanjutan untuk
Pembangunan Pertanian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Bogor.
Yuhono, J.T., dan S. Suhirman. 2008. Strategi Peningkatan Rendemen dan Mutu Minyak dalam
Agribisnis
Nilam.
Balai
Penelitian
Tanaman
Obat
dan
Aromatik.
http://balittro.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid
=44

512

Anda mungkin juga menyukai