Anda di halaman 1dari 12

Ekonomi Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Ekonomi Indonesia

Peringkat
Mata uang
Tahun fiskal
Trade organizations

Jakarta, ibukota keuangan Indonesia.


15
Rupiah (IDR)
Tahun kalender
APEC, WTO, G-20, IOR-ARC
Statistik
$1,0 triliun dari PPP (2010)
6,17% (per Q3 2012)[1]
$4.700 (perkiraan 2011)
pertanian: 15,3%, industri: 47%, jasa: 37,6% (perkiraan 2010)
5,1% (2010)

PDB
Pertumbuhan PDB
PDB per kapita
PDB per sektor
Inflasi (IHK)
Populasi
di bawah garis kemiskinan
Koefisien gini
Labour force
Labour force
by occupation
Pengangguran
Industri utama
Peringkat kemudahan
melakukan bisnis
Ekspor
Ekspor barang-barang
Rekan ekspor utama
Impor
Impor barang-barang
Rekan impor utama
Utang kotor luar negeri

13,3% (2010)
34,3 (2008)[2]
116,5 juta (est. 2010)
pertanian: 38,3%, industri: 12,8%, layanan: 48,9% (2010 est.)
6,56% (2011 est.)
minyak dan gas alam, tekstil, pakaian, sepatu, pertambangan,
semen, pupuk kimia, kayu lapis, karet, makanan, pariwisata
129[3]
Eksternal
$208 miliar (perk. 2011)[4]
minyak dan gas, alat listrik, kayu lapis, tekstil, karet
Jepang 16,3%, Cina 9,9%, Amerika Serikat 9,1%, Singapura
8,7%, Korea Selatan 8%, India 6,3%, Malaysia 5,9% (2010)
$127,4 miliar (perk. 2010)
mesin dan peralatan, bahan kimia, bahan bakar, bahan
makanan
Cina 15.1%, Singapura 14,9%, Jepang 12,5%, AS 6,9%,
Malaysia 6,4%, Korea Selatan 5,7%, Thailand 5,5% (2010)[4]
$223 miliar (perk. 30 Juni 2011)

Pembiayaan publik
24,5% dari PDB (perk. 2011)
$119,5 miliar (perk. 2011)
$132,9 miliar (perk. 2011)
Standard & Poor's:[5]
BB+ (Domestic)
BB+ (Foreign)
BBB- (T&C Assessment)
Outlook: Positive[6]
Peringkat utang
Moody's:[6]
Baa3
Outlook: Stable
Fitch:[6]
BBBOutlook: Positive
Cadangan mata uang asing $110,30 miliar (Oktober 2012)[7]
Sumber data utama: CIA World Fact Book
Utang publik
Pendapatan
Beban

Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan


penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang
pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai
pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui
pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses
penstrukturan hutang.

Daftar isi

1 Latar belakang
o 1.1 Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
o 1.2 Demokrasi Terpimpin

1.2.1 Gunting Syafruddin

1.2.2 Sistem Ekonomi Gerakan Benteng

1.2.3 Nasionalisasi De Javasche Bank

1.2.4 Sistem Ekonomi Ali-Baba

1.2.5 Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)

1.2.6 Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

1.2.7 Musyawarah Nasional Pembangunan

o 1.3 Orde Baru

o 1.4 Pasca Suharto


o 1.5 Kajian Pengeluaran Publik

2 Referensi

3 Lihat pula

Latar belakang
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :

Inflasi yang sangat tinggi

Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat itu
diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 miliar. Dari jumlah
tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 miliar. Jumlah itu kemudian
bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan
menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 miliar untuk keperluan
operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat inflasi ini adalah petani.
Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling
banyak menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank,
mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan
sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada
bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya
jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai
pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana
Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah
melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik
mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama
yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai
pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi
dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November
1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli

1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai
tukar ORI dengan valuta asing.

Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negri RI.

Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk
perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah:
1. Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing
lainnya;
3. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang
bukan Indonesia.

Kas negara kosong.

Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Tanah pertanian rusak

1. Tenaga kerja dijadikan romusha


2. Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :

Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman


dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton,
mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan


yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.

Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan


tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi
yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai

tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat


menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan,
yang isinya
1. Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
2. Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
3. Penanaman kembali tanah kosong
4. Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam
jangka waktu 1-15 tahun.

Demokrasi Terpimpin
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh
Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini
dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19
Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah
uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan
mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir
yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:

Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.

Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.

Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan
Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan
program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin
besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.

Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.

Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.

Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.

Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat


dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit
anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun
sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono
memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan
ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang
dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia
melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat
peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda.
Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15
Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian
kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:

Untuk memajukan pengusaha pribumi.

Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.

Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka


merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi


dan non pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai


pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha
pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenagatenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan
agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:

Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk


mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi
lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan


bebas.

Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)


Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan
masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin
oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan Finek, yang berisi:

Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.

Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil


langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari
keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum
mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa
kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan
jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil
menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan
antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957
sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957
dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.

Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.

Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Musyawarah Nasional Pembangunan


Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut
untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan
(Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat
dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja
rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:

Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.

Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.

Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.

Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga
meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda
menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia
tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan
moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat
diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran
pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas


ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang
untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP
nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui
Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan
struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif
untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan
perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif,
penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat
berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap
masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya
inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada
Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan
tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan
penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program
Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto.
Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya
Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah
Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999
kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan
melebihin Rp 6300 Trilyun [8] meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980.
Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat
di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[9] oleh IMF
dalam juta rupiah.
Tahun
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010

PDB
60,143.191
112,969.792
233,013.290
502,249.558
1,389,769.700
2,678,664.096
6,422,918.230

% Pertumbuhan/tahun
(bunga majemuk)
13.5
15.5
16.6
22.6
14.0
19.1

Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat
dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan
sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.

Kajian Pengeluaran Publik


Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya
rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami
transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat
besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan
subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi
dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi
yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara
pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar"
desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran
belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama
pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan
subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi
yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga
minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah
mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar [1] tambahan untuk pengeluaran bagi program
pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar [2] telah tersedia
berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi
yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini
berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar [3] ekstra untuk dibelanjakan
pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar
sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan
tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar
dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak
terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan
kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam
menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini
dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan
beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun
2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar [4] dari belanja pemerintah tahun 2006 atau
sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari
belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya
pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [5] dari
total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi
daripada rata-rata OECD.

Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia,
pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya
yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah
tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang
lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia
untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan
kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu,
alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen [6] dari total
belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil
sekitar 3.9 persen [7] dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari
PDB pada tahun 2001[8] - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0
persen dari PDB [9]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya
pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB [10]. Satu
bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi
yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 [11], menunjukkan suatu
penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.

Referensi
1.

^ http://www.antaranews.com/en/news/85415/indonesias-economy-grows617-pct-in-3rd-quarter

2.

^ "Global Peace Index 2008 for Indonesia". Global Peace Index. Diakses
2009-03-25.[pranala nonaktif]

3.

^ "Doing Business in Indonesia 2012". World Bank. Diakses 2011-11-21.

4.
5.

^ a b "Federation of International Trade Associations : Indonesia profile".


Fita.org. Diakses 2011-08-29.
^ "Sovereigns rating list". Standard & Poor's. Diakses 26 May 2011.

6.

^ a b c Rogers, Simon; Sedghi, Ami (15 April 2011). "How Fitch, Moody's and
S&P rate each country's credit rating". The Guardian. Diakses 31 May 2011.

7.

^ http://www.antaranews.com/en/news/85476/ris-forex-reserves-up-013-blnin-october

8.

^ http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimalrp6300-triliun

9.

^ Edit/Review Countries

Lihat pula

(Inggris)(Indonesia)Program Bank Dunia di Indonesia Mengenai Isu Ekonomi

Indonesia

Ekonomi Asia

Posisi Utang Luar Negeri Indonesia

Anda mungkin juga menyukai