Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting dari segi ekonomi

dan budaya, karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir
menggantungkan hidupnya pada perikanan laut dangkal. Pada bagian lain, masyarakat
masih menggunakan cara-cara tradisional dan terbatas di daerah yang relatif dangkal yang
umumnya didominasi oleh terumbu karang.
Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi antara lain : sebagai gudang
keanekarangaman hayati (biota-biota), tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari
makanan, berpijar, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi hewan laut. Terumbu karang
juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup biologi, kimiawi, dan fisik
secara global yang mempunyai tingkat produkvitas yang sangat tingggi. Terumbu karang
merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obatobatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dan hempasan ombak dan sumber utama
bahan-bahan konstruksi (Suharsono, 2008).
Selain itu, salah satu fungsi terumbu karang adalah sebagai habitat berbagai jenis
ikan dan biota laut lain yang memungkinkan terwujudnya rantai makanan di lokasi tersebut.
Keberadaan berbagai jenis biota di ekosistem terumbu karang memungkinkan masyarakat
pesisir menggantungkan hidupnya pada areal tersebut untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang,
merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keaneragaman spesies sebanding dengan
keanekaragaman spesies karang batu. Tingginya keragaman ini disebabkan variasi habitat
yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat tersebut diisi oleh spesies ikan
karang (Emor, 1993). Sekitar 50-70% ikan yang

ada di terumbu karang merupakan

kelompok ikan karnivor, 15-20% kelompok herbivor dan sisanya omnivor. Ikan dari
kelompok kelompok tersebut sangat bergantung kepada kesehatan karang untuk
mengembangkan populasinya. Komunitas ikan karang mempunyai hubungan yang erat
dengan terumbu karang sebagai habitatnya.

Provinsi Maluku memiliki dari 1.000 pulau, terdiri dari pulau besar dan pulau kecil,
serta pulau-pulau sangat kecil. Konsekwensinya, perairan pesisir Provinsi Maluku
tergolong luas dan ekosistem yang sangat menonjol kehadirannya pada perairan pesisir
yang luas mengelilingi pulau-pulau kecil tersebut adalah terumbu karang. Menurut Hasil
Pengamatan yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon
menujukkan bahwa perairan Hila merupakan perairan yang sangat kaya dan masih asri.
Namun, penelitian mengenai kondisi terumbu karang dengan kelimpahan ikan yang
terdapat di perairan Hila belum pernah di lakukan.
1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini

adalah bagaimana hubungan persentase penutupan karang dan keanekaragaman ikan karang
diperairan Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah?
1.3.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persentase penutupan

karang dan keanekaragaman ikan karang diperairan Negeri Hila Kecamatan Leihitu
Kabupaten Maluku Tengah.
1.4.

Luaran Yang Diharapkan


Luaran yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah artikel dan paten.

1.5.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah
1. Sebagai bahan informasi kepada instansi terkait tentang kondisi terumbu karang
yang ada di perairan Negeri Hila Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.
2. Sebagai bahan informasi keanekaragaman ikan karang yang terdapat di perairan
Negeri Hila Kabupaten Maluku Tengah.
3. Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

2.1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Pengertian Terumbu Karang

Menurut Vaughan dan Well (1943), dalam Supriharyono (2000), terumbu karang
(coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal terutama di
daerah tropis. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang kelas Anthozoa dari
ordo Scleractinia, yang termasuk hematypic coral atau jenis-jenis yang mampu membuat
bangunan atau kerangka karang dari kalsiium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur
tersebut(CaCO3) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air
laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup di sini disamping
scleractina coral adalah algae yang banyak di antaranya juga mengandung kapur.
2.2. Anatomi dan Morfologi Terumbu Karang
2.2.1. Anatomi Terumbu Karang
Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada
di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikeliling oleh tentakel yang
berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang
pendek langsung menghubungkan dengan rongga perut terdapat semacam

usus yang

disebut dengan mesentri filament yang berfungsi sebagai alat pencernaan.


Karang dapat hidup secara berkoloni maupun soliter. Karang sebagai individu
terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang keras). Polip karang
mulutnya terletak di bagian atas dan juga berfungsi sebagai anus. Jaringan tubuh karang
terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm (Veron 1986).
Dinding dari polip karang berdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma, endoderma, dan
mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel yang
diantara lain sel mucus, dan sel nematocyst. Mesoglea merupakan jaringan yang terletak
ditengah berupa lapisan seperti jelly. Didalam lapisan jelly terdapat fibri-fibri sedangkan di
lapisan luar terdapat sel semacam sel otot. Sedangkan jaringan endoderm berada di lapisan
dalam yang sebagian besar selnya berisi algae yang merupakan simbion karang. Seluruh
permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan cilia dan flagea. Kedua sel ini
berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesenteri. Pada lapisan ectoderm
banyak dijumpai sel grandula yang berisi mucus dan sel knidoblast yang berisi sel
nematocyts. Nematocyst merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap
makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan sel mucus yang membantu menangkap
makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat. Karang mempunyai

system syaraf, jaringan otot, dan reproduksi yang sederhana akan tetapi telah berkembang
dan berfungsi secara baik. Jaringan saraf yang sederhana ini tersebar baik di ectoderm
maupun di endoderma serta mesoglea yang dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel
junction yang bertanggung jawab member respon baik mekanisme maupun khemis
terhadap adanya stimulasi cahaya. Jaringan otot yang sederhana biasanya terdapat di antara
jaringan mesoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau
mengkerut sebagai respon perintah jaringan saraf. Sinyal dari jaringan initidak hanya di
dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain. Jaringan mesenterial filament
berfungsi sebagai alat pencernaan yang sebagian besar selnya mucus yang berisi enzim
untuk mencerna makanan. Lapisan luar jaringan mesenteri filament dilengkapi sel cilia
yang halus (Suharsono, 2008).
2.2.2. Morfologi Terumu Karang
Morfologi terumbu karang tersusun atas kalsium karbonat (CaCO3) dan terdiri atas
lempeng dasar, merupakan lempeng yang berfungsi sebagai pondasi dari septa yang muncul
membentuk struktur tegak dan melekat pada dinding yang disebut epiteka. Keseluruhan
skeleton yang terbentuk dari satu polip disebut koralit, sedangkan keseluruhan skeleton
yang terbentuk dari banyak polip dari satu individu atau koloni disebut koralum.
Permukaan koralit yang terbuka disebut kalik. Septa dibedakan menjadi septa pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya, tergantung dari besar-kecil dan posisinya. Septa yang
tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit disebut kosta. Pada dasar sebelah dalam
dari septa tertentu umumnya dilanjutkan oleh suatu struktur yang disebut pali. Struktur
yang berada di dasar dan tengah koralit sering merupakan kelanjutan dari septa yang
disebut kolumela (IPB, 2008).

2.3.

Sebaran Terumbu Karang di Indonesia


Karang di Indonesia tersebar mulai dari sabang hingga antara Jayapura. Sebaran

karang tidak merata di seluruh perairan Indonesia, ada daerah tertentu dimana karang tidak
dapat tumbuh dengan baik dan pada daerah lainnya tumbuh sangat baik. Daerah sekitar
Sulawesi, Maluku, Sorong, NTB, dan NTT merupakan daerah yang sangat baik untuk
pertumbuhan karang. Laut di sekitar Sulawesi diyakini sebagai pusat keanekaragaman

karang di dunia dan merupakan salah satu lokasi asal usul karang yang ada di dunia saat ini.
Karang yang ada di dunia berasal dari laut sekitar Karibia dan laut sekitar Sulawesi
(Suharsono, 2008).
2.4.

Kondisi Terumbu Karang di Indonesia


Ekosistem terumbu karang di Indonesia mengalami degradasi terus-menerus. Hal ini

dapat dilihat dari peningkatan presentase kehilangan terumbu karang dari waktu ke waktu
(Ekawati and Parlan, 2009). Moosa (1996) dan Suharsono (1998) dalam Ekawati and
Parlan (2009) menguraikan kondisi terumbu karang di Indonesia sebagai berikut :
a) Di Indonesia Bagian Barat 3,5 % dari kondisi terunbu karang dalam kondisi sangat
baik, 17,5 % dalam kondisi baik, dan 50,9 % dalam kondisi rusak/hancur.
b) Di Indonesia Bagian Tengah 7,9 % terumbu karang dalam kondisi sangat baik
20,45% berada dalam kondisi baik, 47,7% dalam kondisi agak rusak dan 28,9%
tergolong kondisi rusak/hancur.
c) Di Wilayah Indonesia Bagian Timur hanya 5,1% terumbu karang berada dalam
kondisi sangat baik, 31,6% dalam kondisi baik, dan 25,3% dalam kondisi agak
rusak, dan 40,5% berada dalam kondisi rusak/hancur.
Burket, et.al. (2002) mengatakan bahwa sekitar 51% terumbu karang dikawasan
Asia Tenggara berada di indonesia, dan sekitar 50% terumbu karang yang terancam rusak
juga berada di indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa sebagian kecil pulau-pulau,
menghadapi ancaman tingkat rendah. Terumbu karang dengan tekanan yang rendah adalah
yang terletak di perairan selat makasar, laut flores dan laut banda. Pada dasarnya, ancaman
terhadap eksistensi terumbu karang di asia tenggara, ternasuk di indonesia berasal dari 6
sumber tekanan yaitu pembangunan diwilayah pesisir, pencemaran dari laut sidimentasi dan
pencemaran dari darat, penangkapan ikan secara berlebihan, penangkapan ikan dengan cara
yang merusak, kenaikan suhu perairan yang menyebabkan pemutihan karang.
2.5.

Komunitas ikan karang


Kondisi terumbu karang dan keanekaragaman jenis ikan karang adalah dua hal yang

tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Salah satu indikator kerusakan lingkungan terumbu
karang tersebut juga dicirikan oleh semakin menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan
(Badrudin et al., 2003 ), artinya baik dan buruknya kondisi terumbu karang dan

lingkungannya akan menentukan kelimpahan ikan karang yang menghuni ekosistem


tersebut. Sale (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk interaksi antara ikan dan
karang. Interaksi pertama yaitu adanya interaksi langsung antara struktur karang dan
sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil. Kedua, adanya hubungan rantai makanan
atau proses makan dan dimakan seperti ikan karang dengan biota-biota sessil termasuk
alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan pola memakan dari pemakan
plankton dan karnivor yang berasosiasi dengan karang. Ikan merupakan organisme yang
jumlahnya sangat banyak dan juga merupakan organisme besar yang sangat menarik
perhatian yang dapat ditemui di ekosistem terumbu karang. Keberadaannya menjadikan
ekosistem terumbu karang menjadi daerah yang paling banyak dihuni oleh biota air. Ikanikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary). Pada umumya ikan-ikan
terumbu karang digolongkan dalam ikan-ikan diurnal (ikan yang aktif pada siang hari) dan
nokturnal (ikan yang aktif pada malam hari) berdasarkan waktu mencari makannya.
Kebanyakan ikan-ikan terumbu bergerak dengan jelas, tetapi pergerakan mereka terbatas
pada daerah tertentu di terumbu dan sangat terlokalisasi seperti ikan dari spesies
Dischitodus prosopotaenia (ikan betok) yang cenderung mempertahankan wilayahnya
(Nybakken, 1992).
Di perairan karang Indonesia paling sedikit ada 11 famili utama sebagai
penyumbang produksi perikanan, yaitu Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, Scaridae,
Siganidae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae, Lutjanidae, dan Haemulidae (Djamali dan
Mubarak, 1998) dan Ancanthuridae (Hutomo,1986). Salah satu penyebab tingginya
keragaman spesies di terumbu karang adalah karena variasi habitat yang terdapat di
terumbu. Menurut Sale (1991), ikan karang yang berasosiasi paling erat dengan lingkungan
terumbu karang dikelompokkan menjadi menjadi tiga golongan utama, yaitu:
a) Labroid : Labridae (wrasses), Scaridae (parrot fish), dan Pomacentridae
(damselfish).
b) Acanthuroid : Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes), dan
Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus.
c) Chaetodontoid : Chaetodontidae (butterflyfishes) dan Pomacanthidae (angelfishes).
BAB III METODE PENELITIAN

3.1.

Sampel Pelaksanaan
Objek dalam penelitian ini adalah kondisi terumbu karang dan ikan karang yang di

temukan di perairan Negeri Hila Kecamatan Leihutu Kabupaten Maluku Tengah.


3.2

Model Penelitian
Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey.

3.3

Rancangan Penelitian
Data hasil pengamatan mengenai persentase penutupan karang akan dianalisis

menggunakan rumus yang di kemukan oleh English et al, (1994) sedangkan untuk
kenekaragaman ikan karang akan di analisis menggunakan rumus yang dikemukakan oleh
Romimohtarto dan Juwana, (2001) dalam Fachrul, (2007)
3.4

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah Peralatan Scuba, Alat tulis di bawah air, GPS, Kamera

bawah laut, Thermometer, Refaktometer, Secchi-disk, pH meter, DO meter, Kantong


plastik, Lop, Meter rool (50 m), water prof, Speed boat. Sedangkan Bahan bahan yang
digunakan adalah karang laut, ikan karang dan sampel air laut.
3.5.

Metode Pengumpulan Data


Dalam melakukan penelitian Kondisi Terumbu Karang pada pantai perairan Desa

Hila akan menggunakan metode Metode LIT (Line Intercept Transect Method).
Metode Transek Perpotongan Garis (Line Intercept Transcet Method) yang
dikemukakan oleh English et.al., (1994) digunakan untuk memperoleh data perpotongan
komponen abiotik dan biotik. Implementasi metode ini dalam pengumpulan data di
lapangan adalah sebagai berikut :
a) Pada setiap stasiun penelitian diletakan garis transek dengan ukuran panjang 50 m
sejajar garis pantai di daerah terumbu karang pada kedalaman antara 3 mdan 10 m.
Data per potongan garis dari tiap kategori komponen boitik dan abiotik yang dilalui
garis transek dicatat dengan ketelitian hingga sentimeter pada papan pencatat bawah
air.
b) Jenis-jenis karang batu yang dilalui oleh garis transek dicatat dan diukur panjang
perpotongannya (cm) untuk menghitung nilai presentase tutupannya.

c) Selain itu dilakukan juga koleksi jenis karang batu secara bebas di sekitar daerah
transek serta dilakukan pemotretan bawah air terhadap jenis-jenis karang batu dan
jenis karang yang tidak teridentifikasi in-situ diambil contohnya untuk kemudian
diidentifikasi di laboraturium.
d) Bersamaan dengan pengamatan terumu karang juga dilakukan sensus terhadap ikan
karan. Ikan karang diamati mengikuti garis transek dari titik 0-50 m.

Gambar 2. Ilustrasi dena Transek


3.6. Menghitung Persentase Tutupan Karang dan Keanekaragaman Ikan karang
3.6.1. Persentase Tutupan Karang
a) Identifikasi terhadap jenis-jenis karang yang diperoleh dipergunakan petunjuk
identifikasi yang dikemukakan oleh Veron (1996) dan Suharsono (2008).
b) Untuk menghitung presentase penutupan dari masing-masing kategori benthos
stasiun LIT, mengacu pada formula yang dikemukanoleh English, et al, (1994)
sebagai berikut :
Tutupan adalah persen penutupan dari satu komponen.
Jumlah komponen adalah kehadiran dalam transek.

c) Untuk menilai kondisi terumbu karang suatu lokasi penelitian digunakan 4 kategori
yakni : sangat rusak, rusak, baik dan sangat baik. Kondisis tersebut didasarkan pada
persen penutupan karang batu yang disusulkan oleh Wilkinson et al,(1992) dengan
nilai persen tutupan karang batu sebagai parameter penentu adalah sebagai berikut :
No.
1

Interval
75 100 %.

Klasifikasi
Sangat baik

2
3
4

50 74,9 %.
25 49,9 %.
0 24,9 %

Baik
Kurang baik
Jelek

Tabel 3. Parameter Penentu Tutupan Karang


3.7. 2 Keanekaragaman Ikan Karang
Nilai Indeks keanekaragaman ikan karang digunakan indeks keanekaragaman
Shannon-Wienner (Romimohtarto dan Juwana, 2001 dalam Fachrul, 2007) sebagai berikut:

Keterangan: H' : indeks keanekaragaman Shannon- Wienner


S : Jumlah spesies ikan
ln : Logaritma nature
ni : Jumlah individu spesies ke i
N : Total jumlah individu perstasiun
BAB IV BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
4.1.

Biaya Kegiatan

No.
Alat dan Bahan
1 Spead Boad
Total
2 Buku pedoman
Penggunaan Internet
Buku identifikasi terumbu karang
Buku identifikasi ikan karang
Total
3 Perjalanan survey lokasi Ambon Hila (pulang
pergi)
Perjalanan menuju lokasi penelitian
Total
4 Penyewaan Peralataan scuba
GPS
Alat tulis di bawah air
Penyewaan Kamera Bawah Laut
Thermometer
Refaktometer
Secchi-disk

Biaya (Rp)
1.500.000
1.500.000
300.000
100.000
225.000
225.000
850.000
300.000
500.000
800.000
5.000.0000
975.000
225.000
2.000.000
50.000
75.500
45.000

Keterangan
Biaya habis pakai
Penunjang PKM

Perjalanan

Lain lain

10

4.2.

pH meter
DO meter
Kantong plastik
Lop
Meter rool (50 m)
Total
Publikasi dan Seminar
Total
Total 1 + 2 + 3 + 4 + 5

65.500
100.000
10.000
35.000
150.000
8.731.000
500.000
500.000
12.381.000

Jadwal Kegiatan

DAFTAR PUSTAKA
Burke. L., Selig. E., dan M. Spalding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia
Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia). World Resources Institute, Amerika
Serikat, Washington D. C.
Ekawati, Y. And H. Parlan, 2009. Coral Reef In Indonesia. Published by Coral Reef
Rehabilitation and Managemen Program Phase II : p. 70-75.

11

Emor D. 1993. Hubungan Koresponden Antara Pola Sebaran Komunitas Karang dan
Komunitas Ikan Di Terumbu Karang Pulau Bunaken [Tesis]. Bogor. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.95 hlm.
English, S.,C. Wilkinson and V. Baker, 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project, Living Coastal
Resoursces. Twonsville, p: 34-49
Fahrul, M. F., 2007. Metode Sampling Bioekologi, Bumi Aksara, Jakarta. hal :132-135.
IPB, 2008. Bab II 2008rer. Bogor Agricultural University. Bogor.
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu pendekatan Ekologi. Alih Bahasa : Koesbiona,
D. G. Bengen, M. Hutomo, M. Eidman dan Sukarjo. Jakarta : PT Gramedia.
Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reef. Academic Press. San Diego
Suharsono, 2008. Jenis-Jenis Karang Indonesia. LIPA Press, Jakarta.
Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Jembatan, Jakarta
Veron, J. E. N. 1986. Corals Of Australia and The Indo-Pasific. Angus & Robertson
Publishers.
Wilkinson, C. R. C. M. Mohammad, S. Sukamo and S Saudara, 1992. A Regional
Approach to Monitoring Coral Reef. Stueis in Southeast Asia by AseanAustralia Living Resources Project. Proceding of 7 th international Coral Reef
Symposium, Vol.1.

Anda mungkin juga menyukai