Anda di halaman 1dari 34

Kajian Batimetri dan Pasang Surut dalam Menentukan Titik

Peletakkan Instalasi Turbin Pembangkit Listrik


di Selat Larantuka

Usulan Proposal Penelitian


Untuk Penyusunan Skripsi S1

Oleh:
Muchammad Iqbal Havis
K2E009033

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Proposal : Kajian Batimetri Dan Pasang Surut dalam Menentukan Titik
Peletakkan Instalasi Turbin Pembangkit Listrik di Selat Larantuka

Nama Mahasiswa

: Muchammad Iqbal Havis

Nomor Induk Mahasiswa

: K2E 009 033

Jurusan/Program Studi

: Ilmu Kelautan / Oseanografi

Telah diseminarkan

: 23 Mei 2013

Mengesahkan :
Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota I

Indra Budi P, S.Si, MT.


NIP. 19791003 2003121 002

Pembimbing Anggota II

Ir. Sugeng Widada, M.Si. La Ode Nurman Mbay, M.Si.


NIP.196301161991031 001 NIP. 19750806 200801 016

Mengetahui,
Koordinator Mata Kuliah Kolokium

Ir. Muslim, MSc PhD


NIP. 19600404 1987031 002

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa

ini

diperlukan

terobosan-terobosan

baru

untuk

memanfaatkan energi selain dari minyak bumi, mengingat krisis energi


yang akan melanda dunia. Sumber energi berupa minyak bumi atau energi
yang tidak dapat diperbaharui, dapat diganti dengan energi yang dapat
diperbaharui dan dapat dipakai secara terus-menerus. Terebosan atau ideide tersebut tentunya harus menyangkut dengan kebutuhan sehari-hari.
semakin tinggi juga.
Sebagian besar pembangkit listrik yang ada di Indonesia
menggunakan energi konvensional yaitu energi yang tidak dapat
diperbaharui. Penggunaan energi konvensional dapat berdampak pada
krisis lingkungan hidup, karena menggunakan bahan bakar fosil dan dapat
juga berdampak pada krisis kekurangan energi, yang semakin langkanya
minyak bumi dan batubara. Dengan demikian, harus dilakukan
pemanfaatan terhadap energi non konvensional.
Menurut Fraenkel (1999), Indonesia memiliki potensi untuk
penggunaan energi non konvensional karena Indonesia memiliki kawasan
pantai. Kawasan pantai memiliki potensi untuk pemanfaatan energi non
konvensional yang tersimpan dalam arus laut. Tidak hanya di Indonesia
saja sudah banyak pemikiran serta terobosan-terobosan baru untuk
mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi, terutama diluar negara
Indonesia. Jika dibandingkan dengan energi angin, energi arus memiliki
potensi yang jauh lebih tinggi. Pantai merupakan wilayah yang
dipengaruhi oleh arus laut, gelombang laut, serta pasang surut yaitu air
pasang tertinggi dan air surut terendah, sehingga adanya pertemuan antara

wilayah daratan dengan lautan yang terdapat di garis pantai. (Triatmodjo,


1999).
Salahsatu pembangkit listrik yang sedang gencar dilakukan
pengembangan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL)
yang nantinya dapat menguntungkan semua pihak salah satunya
terciptanya energi baru seperti energi arus dari laut menjadi listrik. Selain
itu, energi arus dari laut mempunyai kelebihan yaitu ramah lingkungan,
hemat biaya, serta mudah di dapat. Perairan Indonesia yang berupa
kepulauan. Untuk pembangunan instalasi pembangkitnya diperlukan
pertimbangan dari batimetri dan pasang surut perairan tersebut.
Untuk membangun bangunan di dalam laut perlu di tinjau keadaan
kontur lantai lautnya terlebih dahulu. Dalam hal ini adalah untuk
menentukan lokasi pembangunan yang sesuai. Lokasi sesuai untuk
pembangunan adalah tentunya tidak terlalu dalam (maksimal kedalaman
40 meter). Mengapa tidak boleh lebih dari 40 meter karena untuk
memperkecil jumlah material bangunan instalasi pembangkit listrik. Selain
itu juga agar lebih mudah dalam hal maintenance atau perawatan instalasi
secara berkala ataupun jika terjadi masalah sewaktu-waktu.
pasang surut merupakan gerakan naik turunya muka air laut
terhadap secara bersamaan yang disebabkan oleh pengaruh gaya tarik
menarik dari benda benda langit seperti matahari dan bulan . Pengukuran
pasang surut akan menghasilkan data highest high water level (HHWL),
lowest low water level (LLWL) dam mean sea level (MSL) untuk
mempertimnangkan ukuran instalasi dan ukuran turbin. Disamping itu
juga dapat disimpulkan karakteristik pasang surut perairan tersebut

Meski pengaruhnya kecil sedimen dasar dapat mempengaruhi kerja


turbin pembangkit pada saat turbin sedang beroperasi kaitannya dengan
efisiensi kerja turbin. Oleh kerena itu dalam kegiatan pembangunan
instalasi pembangkit listrik tenaga arus, diperlukan adanya data mengenai
karakter sedimen dasar perairan dan pola dasar perairan atau peta
bathymetry sebagai acuan dalam pembangunan konstruksi instalasi turbin.
1. 2. Pendekatan masalah
Pada penelitian ini dilakukan pada daerah Selat di Larantuka Flores
Timur Nusa Tenggara Timur, karena daerah selat mempunyai aliran arus
yang cukup kencang, sehingga memungkinkan dibangun pembangkit
listrik. Namun pada penelitian ini dibatasi hannya meneliti kajian batimetri
dan pasang surutnya saja untuk keperluan pembangunan. Pengambilan
data kedalaman untuk batimetri menggunakan singlebeam echosounder
untuk mendapatkan kontur kedalaman dalam 2 dimensi dan 3 dimensi.
Kemudian diperlukan data Pasang surut perairan selat Larantuka untuk
mendapatkan data highest high water level (HHWL), lowest low water
level (LLWL) dam mean sea level (MSL). Dan sebagai pendukung
diperlukan sampel sedimen untuk mengetahui karakteristik sedimen di
Selat Larantuka, karena daerah selat cenderung homogen maka hannya
diambil dua titik stasiun pengambilan sampel.

1. 3. Tujuan
Penelitian skripsi ini bertujuan :
a. Membuat peta batimetri di perairan Selat Larantuka

b. Memberikan informasi mengenai kondisi pasang surut di di


perairan Selat Larantuka
c. Mendapatkan lokasi yang sesuai untuk instalasi pembangkit
listrik berdasarkan batimetri dan pasang surut perairan
larantuka.
d. Mendapatkan jenis turbin yang sesuai untuk instalasi
pembangkit listrik berdasarkan batimetri dan pasang surut
perairan larantuka.

1. 4. Manfaat Penelitian
Melalui tulisan ini, penulis dapat mengetahui lantai laut dan karakter
pasang surut perairan selat Larantuka. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan jenis turbin yang sesuai dan tempat yang ideal untuk instalasi
turbin pembangkit listrik, kaitannya dengan kontur dasar perairan, pasang
tertinggi (HHWL), surut terrendah (LLWL) dan sedikit pengaruh jenis
sedimen dasar terhadap instalasi turbin di Selat Larantuka.
Hasil penelitian yang berupa data, peta bathymetry dan karakteristik
pasang surut, dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut di jurusan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro khususnya, dan seluruh Perguruan Tinggi
lainnya, baik dalam hal mematangkan metode ataupun sebagai pembanding
dengan metode lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batimetri
Menurut Pipkin, dkk (1987), istilah batimetri (bathymetry) berasal dari
bahasa

Yunani yang didefinisikan

sebagai

pengukuran

dan pemetaan

topografi dasar laut. Batimetri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran


kedalaman lautan, laut atau tubuh perairan

lainnya, sedangkan yang

dimaksud peta batimetri adalah peta yang menggambarkan perairan serta


kedalamannya (Setiyono, 1996).
Demikian juga yang disampaikan oleh Poerbandono dan Djunarsjah
(2005), batimetri

adalah proses penggambaran

dasar

perairan

sejak

pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Data-data batimetri dan peta


dasar

kelautan

Indonesia

diperlukan

untuk memanfaatkan

dan

menginventarisasi sumber daya laut yang ada dengan optimal, serta untuk
mendukung studi-studi kelautan dan eksplorasi sumber daya alamnya, sebagai
modal utama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah.
Pengumpulan data batimetri dilakukan untuk berbagai macam keperluan,
yaitu untuk keperluan navigasi, kajian penelitan dan lain-lain (Alif, 2010).
Kondisi batimetri di perairan merupakan hal yang sangat penting dalam
hubungannya dengan pemanfaatan ruang di daerah pantai (Rampengan,2009).

2.2 Metode Akustik


Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan
perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini medium yang digunakan

adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting
dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air (Manik, 2009).
Survey batimetri adalah bagian dari kegiatan survei hidrografi yang
bertujuan untuk menentukan kedalaman laut dan bahaya pelayaran bagi
kepentingan navigasi. Survei batimetri merupakan kegiatan penentuan
kedalaman dan konfigurasi dasar laut berdasarkan analisis profil kedalaman.
Profil kedalaman adalah hasil pemeruman dari sounding. Berdasarkan profil
kedalaman dapat dibuat garis kontur kedalaman sehingga variasi morfologi
dasar laut dapat ditampilkan terdiri atas titik-titik kedalaman peta yang
menampilkan variasi morfologi kedalaman dasar laut disebut peta batimetri
(Poerbandono dan Djunarsah, 2005).
Teknik echosounder single beam akustik untuk klasifikasi dasar perairan
telah banyak dilakukan, baik menggunakan pengukuran yang berhubungan
dengan tipe substrat khususnya (Siwabessy, 2005). Teknik akustik digunakan
sebagai pelengkap dari sistem berbasis satelit udara, karena ketika didalam
perairan terdapat faktor pembatas seperti kedalaman air dan kekeruhan yang
membatasi ruang lingkup penginderaan optik. Banyak penelitian yang
menggunakan sonar untuk memetakan dasar laut dan menentukan sifat fisik
dari sedimen itu sendiri, selain itu sonar dengan frekuensi tinggi mampu
mengukur dan mengetahui relief dasar laut. Side Scan Sonar (SSS) juga
digunakan untuk menggambarkan dasar laut, selain itu dapat pula digunakan
mengukur batimetri dengan menggunakan teknik interferometrik (Jackson
and Richardson, 2001).

2.3 Gelombang Akustik


Suara terdiri dari gerakan teratur

molekul-molekul suatu benda yang

elastis .karena sifat elastisnya gerakan partikel pada suatu bahan, seperti
gerakan yang diakibatkan oleh sumber suara, diteruskan ke partikel
terdekatnya. Oleh karena itu gelombang suara yang merambat dari sebuah
sumber memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan suara. Di dalam
fluida gerakan partikel adalah maju dan mundur sejajar dengan arah
rambatannya. Karena fluida bersifat kompresibel, gerakan ini mengakibatkan
adanyaperubahan tekanan yang dapat dideteksi oleh sebuah hydrophone yang
sensitif terhadap tekanan (Saputra,dkk, 2010).
2.3.1

Impedansi Akustik
Pada

gelombang

ultrasonik

terdapat

impedansi

akustik

yang

mempengaruhi pantulan dari gelombang tersebut. Menurut Saputra,L.R,


dkk, 2010. Impedansi akustik dapat digunakan untuk menentukan jenis atau
karakteristik medium yang dilalui oleh suatu gelombang. Selain itu
impedansi

gelombang

akustik

juga menentukan

peristiwa-peristiwa

gelombang yang terjadi apabila suatu gelombang melewati bidang batas


antara dua medium yang berbeda. Impedansi akustik (Z) didefinisikan
sebagai perkalian densitas () dari medium yang tegak lurus gelombang
suara dan kecepatan perambatan suara (c) dalam medium. Satuan dari
akustik impedansi adalah kg/(m2sec) dan sering dinyatakan dalam rayl,
dimana 1rayl = 1 kg/(m2sec).
Z = c ..........................................................(2)
Keterangan:

Z = Impedansi akustik
= adalah densitas dalam kg/m3
c = kecepatan suara dalam m/s
Perbedaan impedansi akustik bidang batas yang besar, seperti air dan
batu karang , energi suara datang hampir semuanya dipantulkan, tapi jika
perbedaan lebih kecil seperti air dan lumpur, pantulan hanya sebagian kecil
dari energi suara yang datang kemudian sisa energinya dilanjutkan ke
bagian lain. Impedansi akutik mempunyai peran:
a. Penetapan transmisi dan refleksi gelombang batas antara dua materi
yang memiliki impedansi akustik berbeda
b. Mendesain tranduser
c. Memperkirakan absorbsi gelombang suara dalam medium
2.3.2 Pemantulan (Refleksi)
Ketika gelombang suara melalui bidang batas antara dua medium
dengan bahan berbeda yang masing-masing memiliki cepat rambat suara
yang berbeda, maka sebagian energi gelombang suara itu akan dipantulkan
dan sebagian lainnya akan dibiaskan dengan aturan yang mirip dengan
peristiwa pemantulan dan pembiasan gelombang cahaya. Dalam peristiwa
ini hukum snellius dimanfaatkan untuk mengtahui besarnya arah pembiasan
berkas suara (Saputra, dkk, 2010).
Amplitudo pulsa dilemahkan oleh adanya absorbsi materi dan energi
yang direfleksikan. Hal ini menyebabkan gelombang echo yang dikirimkan
kembali ke tranduser sangat kecil dibandingkan dengan pulsa awal yang
dihasilkan tranduser. Energi yang dipantulkan oleh gelombang ultrasonik
pada perbatasan antara dua medium terjadi karena perbedaan dari impedansi

akustik dari dua medium. Koefisien pantul menjelaskan fraksi dari intensitas
gelombang datang pada suatu permukaan yang direfleksikan kembali .

Gambar 1. Proses pemantulan suara


Keterangan
A0 = Amplitudo gelombang ultrasonik mula-mula
R = Amplitudo gelombang ultrasonik yang dipantulkan
T = Amplitudo gelombang yang ditransmisikan
Dalam suatu perumusan Rp didefinisikan sebagai perbandingan tekanan
pantul, Pr dan tekanan yang diberikan Pi yang dirumuskan:

Koefisien intensitas pantul RI didefinisikan sebagai perbandingan dari


intensitas pantulan dan intensitas yang datang:

Subskrip 1 dan 2 menunjukan medium 1 dan 2 . koefisien intensitas


transmisi, T1 didefinisikan sebagai fraksi dari identitas datang yang
ditarnsmisikan menyeberangi suatu pemisah. Berdasarkan hukum kekekalan
energi, koefisien intensitas transmisi adalah T1 = 1 R1.

2.3.3

Pembiasan (Refraksi)
Refraksi menjelaskan perubahan arah transmisi energi gelombang

ultrasonik pada permukaan medium, ketika gelombang tidak tegak lurus


terhadap permukaan edium. Frekuensi gelombang ultrasonik melewati
medium dengan sudut tertentu sehingga pulsa mengalami refraksi.
Karakteristik ultrasonik yang penting adalah lebar dari berkas ultrasonik.
Sudut gelombang datang, dipantulkan dan ditransmisikan diukur relatif
terhadap gelombang datang normal di perbatasan medium. Sudut refraksi
(t) ditetapkan dengan perubahan kecepatan suara yang terjadi diperbatasan
dan dihubungkan ke sudut datang (i) dengan hukum snellius.

(II.22)
Dimana : (i) dan (t) adalah sudut datang dan transmisi

Gambar 2, Proses Pembiasan dan Pemantulan


C1 dan C2 adalah kecepatan suara di medium 1 & 2 dan medium 2
membawa energi gelombang ultrasonik yang ditransmisikan. Kecepatan
gelombang ultrasonik bervariasi pada medium yang berbeda. Untuk sudut
datang dan yang ditransmisikan, hukum snellius dapat dilakukan pendekatan

2.3.4

Hamburan (Scattering)
Hamburan merupakan suatu pemantulan spekular di suatu perbatasan

medium yang halus antara dua medium, dimana dimensi dari perbatasan
lebih besar daripada panjang gelombang dari energi ultrasonik yang datang.
Hamburan akustik berasal dari objek medium yang ukuran panjang
gelombangnya lebih kecil sehingga menyebabkan gelombang menyebar
pada banyak arah. Karena pemantul nonspekular memantulkan suara pada
semua arah, amplitudo dari echo yang dikembalikan lebih lemah daripada
echo di permukaan jaringan. Pada umumnya, amplitudo sinyal echo dari
suatu medium tergantung kepada jumlah hamburan per unit volume,
impedansi akustik material, ukuran penghambur dan frekuensi gelombang

ultrasonik. Hiperecho (amplitudo hamburan yang lebih tinggi) dan


hipoecho (amplitudo hamburan yang lebih kecil) menjelaskan karakteristik
relatif rata-rata sinyal dasar. Area

hiperecho selalu mempunyai jumlah

hamburan yang lebih banyak, impedansi akustik yang lebih besar dan
hamburan yang lebih besar (Saputra, dkk, 2010).
2.3.5

Atenuasi
Atenuasi gelombang ultrasonik merupakan pelemahan energi akustik

yang hilang selama perambatan gelombang yang sebagian besar disebabkan


oleh pantulan, hamburan dan penyerapan gelombang datang oleh suatu
medium. Konstanta atenuasi dapat dimodelkan
Atenuasi = [dB/(MHz cm)] . l[cm] . f[MHz] ...(6)
Keterangan:
= nilai parameter atenuasi suatu medium
l = panjang jarak tempuh gelombang
f = adalah frekuensi pusat tranduser.
Akibatnya, frekuensi tranduser ultrasonik yang lebih tinggi akan
meningkatkan atenuasi. Hal ini diakibatkan oleh adanya atenuasi yaitu
engurangan intensitas suara seiring dengan penambahan jarak tempuh.
Dalam kondisi ideal, tekanan udara hanya berkurang akibat penyebaran
gelombang tetapi pada kenyataannya, penyerapan dan penghamburan energi
oleh medium yang dilewati gelombang turut serta memperbesar atenuasi.

2.4 Singlebeam Echosounder


Teknologi Singlebeam Echosounder diterima secara umum sebagai
pengambilan data dasar laut paling tradisional, dengan resiko rendah, dan
tampilan lebih umum yang sering digunakan oleh komando angkatan laut,
kantor hidrografi, akademisi, dan sektor pribadi. Ditemukan sebagai alat
mendengar pada awal tahun 1900an, Sonar (Sound Navigation and
Ranging) belum berkembang untuk pengukuran batimetri hingga tahun
1930an. Ini sebuah pembuktian dan teknologi serba guna yang dapat
digunakan di perairan dangkal hingga perairan dengan kedalaman ekstrim.
Singlebeam Echosounder terutama sangat cocok untuk menampilkan
profil dasar laut dan banyak digunakan untuk pengukuran kedalaman
dengan cepat pada bawah kapal untuk membantu navigasi secara real-time.
Singlebeam Echosounder tidak di desain untuk menampilkan profil dasar
laut secara penuh. Berbeda dengan lidar batimetri dan multibeam
echosounder, sistem pada singlebeam di desain untuk mengumpulkan
sampel kedalaman dari dasar laut pada salah satu pola teratur dan tidak
teratur. (Timothy et. al., 2010)
Ada beberapa keuntungan dalam pemakaian Singlebeam Echosounder
menurut Kschaefer (2004), yaitu:
1. Dataset berupa titik di sepanjang lintasan
2. Untuk kalangan umum, penggunaan dan prosesnya sederhana, serta
murah untuk akuisisi dan pengolahannya.
3. Batimetri yang akurat dan handal.
4. Besar frekuensi rata-rata antara 20-400 kHz

5. Memberikan jangkauan data relatif jarang sehingga

memerlukan

derajat yang lebih besar dari interpolasi.

Gambar 3. Pengambilan data menggunakan Singlebeam Echosounder


(Kschaefer,2004)

Gambar 4. Tampilan data mentah pada Singlebeam Echosounder (Kschaefer,


2004)

2.5 Pasang Surut


Pasang surut merupakan perubahan elevasi muka air laut akibat adanya
gaya tarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut di bumi. Perubahan elevasi muka air laut tersebut berlangsung secara
periodik (Triatmodjo, 1999).
Fenomena pergerakan naik turunya permukaan air laut secara berkala
yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik-menarik antara
benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Pengaruh benda
angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya
lebih kecil.
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi.
Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik
terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik
gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam
membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat dari pada
jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan
matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di
laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara
sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.
2.5.1 Pembangkit pasang surut
Meskipun sudah sejak lama diketahui bahwa gejala pasang surut laut
terutama dihasilkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari, namun baru

setelah Newton pada tahun 1807 menemukan hukum gravitasi, gejala pasang
surut dapat dianalisa secara kuantitatif.
Pertama pertimbangkan keadaan sederhana ini. Pusat dari gravitasi
bulan terletak pada bidang yang sama dengan ekuator bumi dan bulan berada
pada suatu jarak yang konstan dari bumi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar 5.

Gambar 5. Gaya Tarik Bulan (Perencanaan Pelabuhan, 1985).


Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton
(1642-1727), Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori
terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan
pengaruh kelembaman (Inertia) diabaikan. Teori ini menyatakan bahwa naikturunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut
(King, 1966 dalam Nugraha, 2013). Untuk memahami gaya pembangkit pasang
surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari
menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi-matahari.
Pada teori kesetimbangan, bumi diasumsikan tertutup air dengan
kedalaman dan densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan
gaya pembangkit pasang surut (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya
tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara

laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan
menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross,
1990).
Newton menunjukkan bahwa kekuatan atraksi antara kedua bendabenda angkasa, dalam hal ini proporsional dengan produk massanya

dan

sebaliknya proporsional dengan jarak pemisahnya r, Newton mendefensikan


proporsinalitas konstan sebagai G, konstan gravitasi universal, (6.672 x 1011

Nm2kg-2), sehingga kekuatan yang ada menjadi :

..........(2.1)

Dimana :

M adalah massa bumi berkisar 4,1 x 10 23 slug= 14,59 x 4,1 x 1023 =

59,819 1023 kg
m adalah massa bulan berkisar 7.0375 x 1022 kg dan massa matahari

berkisar 1.9206 x 1030 kg


Jarak rata-rata bumi-bulan (r) (238.862 mil= 1,609 x 238862=
384.328,958km)

Gambar 6. Sistem Bumi Bulan

Sistem Bumi Bulan di atas dapat dilukiskan sebagai berikut:


M adalah massa Bumi (kg)
m adalah massa Bulan (kg)
= kecepatan sudut dari sistem Bumi - Bulan pada sumbu bersama (rad/detik)
r = jarak pusat Bumi pusat Bulan (km)
rm= jarak pusat Bulan sumbu bersama (km)
re = jarak pusat Bumi sumbu bersama (km)
r = r m + re
Pada sistem Bumi-Bulan, dimana Bumi dianggap tidak berotasi pada
sumbunya, tetapi mengadakan putaran (revolusi) pada sumbu putaran bersama
Bumi-Bulan. Sistem Bumi-Bulan dalam keadaan setimbang, gaya-gaya yang
bekerja pada sistem itu adalah gaya tarik menarik dan gaya sentrifugal pada
sumbu bersama.

Keseimbangan gaya yang terjadi di Bumi :


(2.2)

Keseimbangan gaya yang terjadi di Bulan :


(2.3)

Dimana:
adalah kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)
rm= jarak pusat Bulan sumbu bersama (km)
re = jarak pusat Bumi sumbu bersama (km)
Gaya pembangkit pasut membentuk sudut dengan permukaan bumi.
Komponen tegak lurus terhadap permukaan bumi menambah atau mengurangi
gaya gravitasi bumi. Akan tetapi pengaruhnya kecil (orde magnitude 10 -7g),

untuk gerakan air sebenarnya hanya komponen tangensial terhadap permukaan


bumilah yang penting. Komponen ini selanjutnya disebut Tractive Force, Fs
(Doodson dan Warburg, 1941 dalam Thabet, 1980) adalah

(2.4)

adalah sudut yang terbentuk oleh bumi terhadap bulan

Gambar 7. Distribusi tractive Force (Triadmojo,1999).


Bulan mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam 84 menit. Jika faktor lain
diabaikan maka suatu lokasi di bumi akan mengalami dua kali pasang dan dua
kali surut dalam sehari. Teori tersebut akan benar jika digunakan anggapan
seluruh permukaan bumi tertutup merata oleh air laut (equilibrium theory), jika
hanya ada pengaruh bulan saja atau matahari saja tetapi tidak pengaruh
keduannya secara bersamaan dan jika bulan atau matahari mempunyai orbit
yang benar-benar berupa lingkaran dan orbitnya tepat diatas khatulistiwa.
Tetapi pada kenyataannya anggapan tersebut tidak benar. Karena laut
tidak meliputi bumi secara merata tetapi terputus oleh benua dan pulau.

Topografi dasar laut tidak rata mendatar tetapi sangat bervariasi dari palung
yang dalam, gunung bawah laut sampai paparan yang luas dan dangkal.
Demikian pula ada selat yang sempit dan panjang atau teluk berbentuk corong
dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan penyimpangan dari kondisi
yang ideal dan menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang berbeda-beda dari satu
lokasi ke lokasi lainnya.
Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu
berubah relatif terhadap bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih
pada satu garis lurus dengan bumi, seperti pada saat bulan muda atau bulan
purnama maka gaya tarik keduanya akan saling memperkuat. Dalam keadaan
demikian terjadi pasang surut purnama (spring tide) dengan tinggi air yang
maksimum melebihi pasang biasa. Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga
lokasi dengan pantai yang landai bisa menjadi kering sampai ke laut. Tetapi
jika bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya
tarik keduanya akan saling meniadakan. Akibatnya perbedaan tinggi air antara
pasang dan surut kecil, keadaan ini dikenal dengan pasang perbani (neap tide).
Gambar 7

di bawah ini menjelaskan kondisi

Bumi-Bulan-Matahari saat

pasang perbani (neap tide) dan pasang purnama (Spring Tide).

Gambar 8a Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Perbani (Neap


Tide).

Gambar 8b Kedudukan Bumi-Bulan-Matahari Saat Pasang Purnama (Spring


Tide).
2.5.2. Penentuan nilai elevasi muka air
Data pasang surut yang digunakan dalam koreksi kedalaman adalah
data pasang surut yang diolah menggunakan metode Admiralty. Metode ini
digunakan untuk mencari komponen komponen pasang surut M2, S2, K2,
N2, K1, P1 dan O1 yang akan digunakan untuk menentukan karakteristik
pasang surut di perairan tersebut (Djaja, 1989 dalam Nugraha 2013).
Menurut Ongkosono dan Suyaso (1989) dinyatakan bahwa nilai MSL,
LLWL dan HHWL dapat diperoleh dari konstanta hasil analisa data pasang
surut dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
1. MSL (Mean Sea Level),

ketinggian rata rata muka air laut yang

dianggap tanpa dipengaruhi oleh keadaan pasang surut. Umumnya


digunakan untuk referensi ketinggian titik titik air di atas permukaan
bumi.
MSL = A (So).(2 -5)

2. LLWL (Low Lowest Water Level), merupakan air rendah terendah dimana
air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
LLWL = A (So) [A(M2) + A(S2) + A(N2) + A(K1) + A(O1) + A(P1)
+ A(K2) + A(M4) + A(MS4) ] ..........(2 - 6)
3. HHWL (High Highest Water Level), merupakan air tinggi terendah dimana
air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
HHWL = A(So)+[A(M2)+A(S2)+A(K1)+A(O1)+A(P1)+A(K2 ].......(2 - 7)
4. Muka surutan, dimana dengan diketahuinya amplitude tiap komponen
pasut, maka dapat dihitung pula muka surutan (chart datum) Zo.
Zo = So 1,2 (M2+S2+K2)...........(2 - 8)
5. MLWL adalah muka air rendah rerata (mean low water level), adalah
rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun
MLWL = Z0 (M2+S2).........................................................................(2.9)
6. MHWL adalah muka air tinggi rerata (mean high water level), adalah
rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam
perencanaan pelabuhan, misalnya MHWL atau HHWL digunakan untuk
menentukan elevasi puncak dermaga, pemecah gelombang, panjang rantai
pelampung penambat dan sebagainya. Sedang, LLWL diperlukan untuk
menentukan kedalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan.

2.5.3 Bilangan Formzahl


Menurut Poerbandono et. al. (2005) (dalam Nugraha, 2013) secara
kuantitatif, tipe pasang surut perairan dapat ditentukan oleh nisbah
(perbandingan) antara amplitude unsur unsur pasang surut tunggal utama

dengan amplituodo unsure unsure pasang surut ganda utama. Nisbah ini
dikenal sebagai bilangan Formzahl yang mempunyai formula sebagai berikut.

(2 - 10)

Dimana:
F

: Bilangan Formzahl
: Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan.
: Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari.
: Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan.
: Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari.

Dengan demikian jika nilai F berada antara :


< 0,025

: Pasut bertipe ganda

0,26 - 1,50 : Pasut bertipe campuran dengan tipe ganda yang menonjol
1,50 - 3,00 : Pasut bertipe campuran dengan tipe tunggal yang menonjol
> 3,00

: Pasut bertipe tunggal

2.6 Sedimen Dasar Laut

Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui


proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal
maupun secara horizontal. Seluruh permukaan dasar lautan ditutupi oleh
partikel-partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan dalam jangka
waktu berjuta-juta tahun (Garrison, 2005). Ukuran-ukuran partikel sedimen
merupakan salah satu cara yang mudah untuk menetukan klasifikasi sedimen
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Besar Butir untuk Sedimen Menurut Skala Wentworth

Wibisono (2005)

Klasifikasi berdasarkan komposisi sedimen juga dapat dilakukan dengan


menggunakan diagram segitiga seperti pada Gambar 9 diagram tersebut
menggunakan persentasi dan perbandingan diantara pasir (sand), lumpur (silt)
dan liat (clay) sehingga memudahkan dalam proses klasifikasi. Parameter
seperti ukuran butiran sedimen, relief dasar perairan, serta sejumlah variasi

lainnya pada dasar perairan mempengaruhi proses hamburan sinyal akustik


(Thorne et al. 1988)

Gambar 9. Diagram Segitiga Shepard

BAB III
MATERI DAN METODE
3.1

Materi Penelitian

3.1

Bahan
Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah:
Data Primer:
- Data kedalaman (Bathimetri)
- Data Pasang surut
Data Sekunder:
- Data Pasang surut
- Data jenis sedimen

3.1.2. Alat
Tabel 4. Alat yang digunakan untuk penelitian dan pengolahan data
No
1.
2.
3.

Alat
Echosounder Singlebeam
Garmin C sounder 176
Sediment Core
Tide gauge

4.

Sieve shaker

5.
6.

Plastik sample
Seperangkat komputer

7.

Software World tide

8.
9.
10.
11.
12.

Software NAOtide
Software Surfer
Software Arc View
Microsoft Excel
GPS

13.
14.

Kapal/Perahu

Kegunaan
Untuk mengukur kedalaman,
Alat pengambil sampel sedimen
Alat ini berguna sebagai acuan dalam
pengamatan pasang surut
Alat
untuk
analisa
laboratorium
(mengukur ukuran butir sedimen)
Menampung sampel
Mengolah dan menampilkan hasil
pengukuran
Pengelolahan dan peramalan pasang surut
perairan
Pengelolahan data sekunder pasang surut
Mengolah data kedalaman
Mengolah data dan menampilkan data
Perhitungan korelasi.
Mengetahui
koordinat
titik/stasiun
penelitian
Sarana Pemeruman

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Lokasi penelitian ialah di Selat Larantuka, yaitu di Flores Timur
provinsi Nusa Tenggara Timur . Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan
November 2013

Gambar 10. Selat Larantuka dari citra satelit. (sumber:google.com)


3.3

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Tujuanpenelitian deskriptif adalah untuk menjabarkan dengan menggambarkan


situasi dan proses penelitian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta dan sifat-sifat daerah tertentu. Dalam penelitian ini, metode deskriptif
digunakan untuk menggambarkan dan menerangkan bagaimana kondisi batimetri
yang sesuai dalam meletakkan instalasi turbin pembangit listrik dengan kajian
pasang surut di perairan Larantuka. Metode ini dipilih karena hasil dari penelitian
ini sangat sesuai jika di sajikan dengan penggambaran sesuai dengan keadaan.
3.4

Metode Penentuan Lokasi Sampling


Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi sampling adalah metode

Area Probability Sampling. Dalam metode Area Probability Sampling, lokasi


sampling ditentukan berdasarkan pada pembagian area (daerah-daerah) yang ada

pada daerah penelitian. Artinya daerah penelitian dibagi menjadi beberapa daerah
yang lebih sempit, daerah tersebut sudah dianggap mewakili daerah penelitian.
Metode ini digunakan karena setiap daerah dianggap mempunyai karakteristik
yang sama sebagai daerah sampling .
3.5

Metode Pengambilan Data


3.5.1 Perolehan Data Kedalaman
Data Kedalaman didapatkan dari pemeruman menggunaman echosounder

yang mempunyai pemancar singglebeam atau satu transducer yang digunakan


saat melakukan pemeruman. Data kedalaman ini diolah menggunakan software
Surfer dan memerlukan data mean sea level (MSL) untuk mengoreksi angka
kedalaman sehingga akan mendapatkan batimetri yang sesuai.
3.5.2 Perolehan Data Pasang Surut
Data Pasang surut didapatkan dari pengukuran menggunaman tide gauge.
Pengolahan data pasang surut dilakukan untuk dapat mengetahui karakteristik
pasang surut daerah tersebut. Untuk mendapatkan karakteristik pasang surut
menggunakan metode admiralty dimana akan didapatkan nilai highest high water
level (HHWL), lower low water level (LLWL) dan mean sea Level (MSL). Untuk
menghasilkan grafik pasang surut dan peramalan pasang surut menggunakan
software world tide sebagai tools dalam pengolahan data pasang surut yang
diamati.

3.5.3 Pengambilan Data Sedimen


Pengambilan data sedimen menggunakan alat Sediment Core, yaitu suatu
alat berbentuk silinder dengan panjang dan diameter tertentu yang dapat di
tenggelamkan sampai dasar perairan yang dapat mengambil sampel sedimen per
layernya sesuai dengan panjang tabung sediment core tersebut, kemudian sampel

sedimen di keringkan setelah itu dilakukan pengayakan untuk mengetahui ukuran


butir sedimen dengan alat Sieve Shaker,jika sediment masih terdapat pada
penampungan terakhir pada sieve shaker

maka proses dilanjutkan pada

pemipetan.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Alur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan benchmark
sebagai acuan dalam pengukuran pasang surut. Setelah didapatkan nilai
benchmark barulah pengukuran pasang surut dilakukan dengan meletakkan tide
gauge pada daerah penelitian sesuai metode sampling selama 15 hari. Setelah data
pasang surut didapat, data tersebut diolah menggunakan metode Admiralty
dengan software World Tide, NAOtide, dan Microsoft Excel ntuk mendapatkan
nilai HHWL, LLWL dan MSL.
Disela pengukuran pasang surut diambil kesempatan untuk mengambil
data kedalaman dengan echosounder Singlebeam Garmin C sounder 176. Pada
saat itu juga dalam jalur pemeruman diambil sampel sedimen ditandai dengan
GPS di dua titik untuk dianalisa di laboratorium.
Data hasil pemeruman diolah menggunakan Surfer dan disajikan dalam
bentuk dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Untuk penyajian dalam bentuk
peta menggunakan Arc View
Tahap Awal
Pengumpulan
Data
Data pasang
surut

HHWLAdmiralty
& LLWL
Jenis & Ukuran
Turbin

Data
Kedalaman

Sedimen

Interpolasi

Analisa Lab.

Batimetri
MSL
Verifikasi
Kesimpulan

Ukuran butir
Lokasi instalasi
Turbin

Gambar 11.Selasai
Diagram Alir Penelitian
Dengan begitu maka diperoleh batimetrinya, Lalu untuk sampel sedimen dari dua
titik kordinat tertentu, pada analisa di laboratorium untuk mengetahui ukuran
butirnya, dengan cara sampel sedimen di keringkan dalam oven selama 45-60
menit, setelah itu dilakukan pengayakan untuk mengetahui ukuran butir sedimen
dengan alat Sive Shaker selama 15-20 menit. Jika masih ada sedimen yang lolos
dari saringan terbawah maka dilanjutkan dengan pemipetan, maka diketahuilah
jenis sedimen yang merupakan substrat perairan tersebut.
Setelah diketahui hasil dari pengolahan data secara keseluruhan maka hasil
dari pengolahan batimetri adalah untuk memilih tempat yang tepat untuk
peletakkan instalasi tubin, yaitu tempat yang landai dan mempunyai kedalaman
tidak lebih dari 40 meter.
Untuk data HHWL dan LLWL digunakan untuk mempertimbangkan jenis
dan ukuran turbin yang sesuai dengan perairan tersebut, agar tidak

terlalu

tenggelam saat pasang dan tidak terlalu dangkal saat surut, sedangkan MSL
digunakan untuk mengoreksi data kedalaman.
Untuk data sedimen digunakan untuk verifikasi substrat daerah tersebut
apakah lumpur, pasir, ataupun berbatu untuk pertimbangan bangunan instalasi
supaya kokoh pada tempatnya dan tidak terbenam ke dalam substrat mengingat
selat Larantuka memiliki arus yang cukup kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Alif, T.F. 2010. Keberadaan Data Batimetri Nasional. Pusat Pemetaan Dasar
Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK)

BAKOSURTANAL.

Bogor. 9 hlm.
Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science, 5th ed.
Thomson Learning, Inc. Rockville. USA
Gross, M. G.1990 . Oceanography 5th edition prentice hall. englewood cliffs
new jersey 393 pp
Jackson, D. R., and M. D. Richardson. 2001. High Frequency Seafloor .
Springer. New York.
Kschaefer. 2004. Bathymetry survey technic. NOAA Coastal Services Center
Benthic Habitat Mapping Web Site
Manik, H. M. 2009. Rancang Bangun Sistem Informasi Data Hidroakustik
Berbasis Web.

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi

Informasi 2009 (SNATI 2009). Yogyakarta.


Ongkosono, O. S. R dan Suyarso. 1989. Pasang Surut. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi (P3O) LIPI. Jakarta. 257 hlm.
Pipkin, B.W., D.S. Gorsline, R.E. Casey and D.E. Hammond, 1987. Laboratory
Exercises in Oceanography. Second Edition. W.H. Freeman and
Company. New York. p.257.
Poerbandono, dan Djunarsah, E. 2005. Survey Hidrografi. Refika Aditama.
Bandung.
Rampengan, R.M., 2009.

Bathimetry in Mokupas Coastal Waters.Jurnal

Perikanan dan Kelautan.Vol V (3): 68-72.

Saputra, L. R., Awaluddi M. dan Sabri L. M. 2010. Identifikasi Nilai


Amplitudo

Sedimen

Dasar

Laut

Pada

Perairan

Dangkal

Menggunakan Multibeam Echosounder. Jurnal Geodesi Universitas


Diponegoro (ISSN 2337-845X). Semarang.
Setiyono, H. 1996.

Kamus Oseanografi. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.
Siwabessy, P. J. W. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. The
Coastal Water Habitat Mapping (CWHM) Project of The
Cooperative Research Centre for Coastal Zone. Sydney. Australia.
Thorne, P. D., Pace, N. G. and Al-Hamdani, Z. K. S. 1988. Laboratory
Measurements of Backscattering from Marine Sediments. J. Acoust.
Soc. Am.,84 (1): 303-309
Timothy, A.K. and Joe, B. 2010. Bathymetry - The Art and Science of
Seafloor modeling for Modern Application.ESRI.1-36.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta. 397 hlm.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta.
Nugraha, A.R. 2013 Analisis Batimetri Dan Pasang Surut Untuk Menentukan
Elevasi Lantai Dan Panjang Dermaga Di Muara Sungai Mahakam,
Sanga Sanga, Kalimantan Timur. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan.
FPIK. Universitas Diponegoro. Semarang.(tidak dipublikasikan).

Anda mungkin juga menyukai