Oleh:
Muchammad Iqbal Havis
K2E009033
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Proposal : Kajian Batimetri Dan Pasang Surut dalam Menentukan Titik
Peletakkan Instalasi Turbin Pembangkit Listrik di Selat Larantuka
Nama Mahasiswa
Jurusan/Program Studi
Telah diseminarkan
: 23 Mei 2013
Mengesahkan :
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota I
Pembimbing Anggota II
Mengetahui,
Koordinator Mata Kuliah Kolokium
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa
ini
diperlukan
terobosan-terobosan
baru
untuk
1. 3. Tujuan
Penelitian skripsi ini bertujuan :
a. Membuat peta batimetri di perairan Selat Larantuka
1. 4. Manfaat Penelitian
Melalui tulisan ini, penulis dapat mengetahui lantai laut dan karakter
pasang surut perairan selat Larantuka. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan jenis turbin yang sesuai dan tempat yang ideal untuk instalasi
turbin pembangkit listrik, kaitannya dengan kontur dasar perairan, pasang
tertinggi (HHWL), surut terrendah (LLWL) dan sedikit pengaruh jenis
sedimen dasar terhadap instalasi turbin di Selat Larantuka.
Hasil penelitian yang berupa data, peta bathymetry dan karakteristik
pasang surut, dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut di jurusan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro khususnya, dan seluruh Perguruan Tinggi
lainnya, baik dalam hal mematangkan metode ataupun sebagai pembanding
dengan metode lainnya.
2.1 Batimetri
Menurut Pipkin, dkk (1987), istilah batimetri (bathymetry) berasal dari
bahasa
sebagai
pengukuran
dan pemetaan
dasar
perairan
sejak
kelautan
Indonesia
diperlukan
untuk memanfaatkan
dan
menginventarisasi sumber daya laut yang ada dengan optimal, serta untuk
mendukung studi-studi kelautan dan eksplorasi sumber daya alamnya, sebagai
modal utama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah.
Pengumpulan data batimetri dilakukan untuk berbagai macam keperluan,
yaitu untuk keperluan navigasi, kajian penelitan dan lain-lain (Alif, 2010).
Kondisi batimetri di perairan merupakan hal yang sangat penting dalam
hubungannya dengan pemanfaatan ruang di daerah pantai (Rampengan,2009).
adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting
dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air (Manik, 2009).
Survey batimetri adalah bagian dari kegiatan survei hidrografi yang
bertujuan untuk menentukan kedalaman laut dan bahaya pelayaran bagi
kepentingan navigasi. Survei batimetri merupakan kegiatan penentuan
kedalaman dan konfigurasi dasar laut berdasarkan analisis profil kedalaman.
Profil kedalaman adalah hasil pemeruman dari sounding. Berdasarkan profil
kedalaman dapat dibuat garis kontur kedalaman sehingga variasi morfologi
dasar laut dapat ditampilkan terdiri atas titik-titik kedalaman peta yang
menampilkan variasi morfologi kedalaman dasar laut disebut peta batimetri
(Poerbandono dan Djunarsah, 2005).
Teknik echosounder single beam akustik untuk klasifikasi dasar perairan
telah banyak dilakukan, baik menggunakan pengukuran yang berhubungan
dengan tipe substrat khususnya (Siwabessy, 2005). Teknik akustik digunakan
sebagai pelengkap dari sistem berbasis satelit udara, karena ketika didalam
perairan terdapat faktor pembatas seperti kedalaman air dan kekeruhan yang
membatasi ruang lingkup penginderaan optik. Banyak penelitian yang
menggunakan sonar untuk memetakan dasar laut dan menentukan sifat fisik
dari sedimen itu sendiri, selain itu sonar dengan frekuensi tinggi mampu
mengukur dan mengetahui relief dasar laut. Side Scan Sonar (SSS) juga
digunakan untuk menggambarkan dasar laut, selain itu dapat pula digunakan
mengukur batimetri dengan menggunakan teknik interferometrik (Jackson
and Richardson, 2001).
elastis .karena sifat elastisnya gerakan partikel pada suatu bahan, seperti
gerakan yang diakibatkan oleh sumber suara, diteruskan ke partikel
terdekatnya. Oleh karena itu gelombang suara yang merambat dari sebuah
sumber memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan suara. Di dalam
fluida gerakan partikel adalah maju dan mundur sejajar dengan arah
rambatannya. Karena fluida bersifat kompresibel, gerakan ini mengakibatkan
adanyaperubahan tekanan yang dapat dideteksi oleh sebuah hydrophone yang
sensitif terhadap tekanan (Saputra,dkk, 2010).
2.3.1
Impedansi Akustik
Pada
gelombang
ultrasonik
terdapat
impedansi
akustik
yang
gelombang
akustik
juga menentukan
peristiwa-peristiwa
Z = Impedansi akustik
= adalah densitas dalam kg/m3
c = kecepatan suara dalam m/s
Perbedaan impedansi akustik bidang batas yang besar, seperti air dan
batu karang , energi suara datang hampir semuanya dipantulkan, tapi jika
perbedaan lebih kecil seperti air dan lumpur, pantulan hanya sebagian kecil
dari energi suara yang datang kemudian sisa energinya dilanjutkan ke
bagian lain. Impedansi akutik mempunyai peran:
a. Penetapan transmisi dan refleksi gelombang batas antara dua materi
yang memiliki impedansi akustik berbeda
b. Mendesain tranduser
c. Memperkirakan absorbsi gelombang suara dalam medium
2.3.2 Pemantulan (Refleksi)
Ketika gelombang suara melalui bidang batas antara dua medium
dengan bahan berbeda yang masing-masing memiliki cepat rambat suara
yang berbeda, maka sebagian energi gelombang suara itu akan dipantulkan
dan sebagian lainnya akan dibiaskan dengan aturan yang mirip dengan
peristiwa pemantulan dan pembiasan gelombang cahaya. Dalam peristiwa
ini hukum snellius dimanfaatkan untuk mengtahui besarnya arah pembiasan
berkas suara (Saputra, dkk, 2010).
Amplitudo pulsa dilemahkan oleh adanya absorbsi materi dan energi
yang direfleksikan. Hal ini menyebabkan gelombang echo yang dikirimkan
kembali ke tranduser sangat kecil dibandingkan dengan pulsa awal yang
dihasilkan tranduser. Energi yang dipantulkan oleh gelombang ultrasonik
pada perbatasan antara dua medium terjadi karena perbedaan dari impedansi
akustik dari dua medium. Koefisien pantul menjelaskan fraksi dari intensitas
gelombang datang pada suatu permukaan yang direfleksikan kembali .
2.3.3
Pembiasan (Refraksi)
Refraksi menjelaskan perubahan arah transmisi energi gelombang
(II.22)
Dimana : (i) dan (t) adalah sudut datang dan transmisi
2.3.4
Hamburan (Scattering)
Hamburan merupakan suatu pemantulan spekular di suatu perbatasan
medium yang halus antara dua medium, dimana dimensi dari perbatasan
lebih besar daripada panjang gelombang dari energi ultrasonik yang datang.
Hamburan akustik berasal dari objek medium yang ukuran panjang
gelombangnya lebih kecil sehingga menyebabkan gelombang menyebar
pada banyak arah. Karena pemantul nonspekular memantulkan suara pada
semua arah, amplitudo dari echo yang dikembalikan lebih lemah daripada
echo di permukaan jaringan. Pada umumnya, amplitudo sinyal echo dari
suatu medium tergantung kepada jumlah hamburan per unit volume,
impedansi akustik material, ukuran penghambur dan frekuensi gelombang
hamburan yang lebih banyak, impedansi akustik yang lebih besar dan
hamburan yang lebih besar (Saputra, dkk, 2010).
2.3.5
Atenuasi
Atenuasi gelombang ultrasonik merupakan pelemahan energi akustik
memerlukan
setelah Newton pada tahun 1807 menemukan hukum gravitasi, gejala pasang
surut dapat dianalisa secara kuantitatif.
Pertama pertimbangkan keadaan sederhana ini. Pusat dari gravitasi
bulan terletak pada bidang yang sama dengan ekuator bumi dan bulan berada
pada suatu jarak yang konstan dari bumi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar 5.
laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan
menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross,
1990).
Newton menunjukkan bahwa kekuatan atraksi antara kedua bendabenda angkasa, dalam hal ini proporsional dengan produk massanya
dan
..........(2.1)
Dimana :
59,819 1023 kg
m adalah massa bulan berkisar 7.0375 x 1022 kg dan massa matahari
Dimana:
adalah kecepatan sudut bumi bulan mengelilingi sumbu bersama (rad/detik)
rm= jarak pusat Bulan sumbu bersama (km)
re = jarak pusat Bumi sumbu bersama (km)
Gaya pembangkit pasut membentuk sudut dengan permukaan bumi.
Komponen tegak lurus terhadap permukaan bumi menambah atau mengurangi
gaya gravitasi bumi. Akan tetapi pengaruhnya kecil (orde magnitude 10 -7g),
(2.4)
Topografi dasar laut tidak rata mendatar tetapi sangat bervariasi dari palung
yang dalam, gunung bawah laut sampai paparan yang luas dan dangkal.
Demikian pula ada selat yang sempit dan panjang atau teluk berbentuk corong
dengan dasar melandai. Hal tersebut menimbulkan penyimpangan dari kondisi
yang ideal dan menyebabkan ciri-ciri pasang surut yang berbeda-beda dari satu
lokasi ke lokasi lainnya.
Selain itu posisi kedudukan bulan dan matahari dalam orbit selalu
berubah relatif terhadap bumi. Apabila bulan dan matahari berada kurang lebih
pada satu garis lurus dengan bumi, seperti pada saat bulan muda atau bulan
purnama maka gaya tarik keduanya akan saling memperkuat. Dalam keadaan
demikian terjadi pasang surut purnama (spring tide) dengan tinggi air yang
maksimum melebihi pasang biasa. Sebaliknya surutnya sangat rendah hingga
lokasi dengan pantai yang landai bisa menjadi kering sampai ke laut. Tetapi
jika bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi maka gaya
tarik keduanya akan saling meniadakan. Akibatnya perbedaan tinggi air antara
pasang dan surut kecil, keadaan ini dikenal dengan pasang perbani (neap tide).
Gambar 7
Bumi-Bulan-Matahari saat
2. LLWL (Low Lowest Water Level), merupakan air rendah terendah dimana
air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
LLWL = A (So) [A(M2) + A(S2) + A(N2) + A(K1) + A(O1) + A(P1)
+ A(K2) + A(M4) + A(MS4) ] ..........(2 - 6)
3. HHWL (High Highest Water Level), merupakan air tinggi terendah dimana
air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
HHWL = A(So)+[A(M2)+A(S2)+A(K1)+A(O1)+A(P1)+A(K2 ].......(2 - 7)
4. Muka surutan, dimana dengan diketahuinya amplitude tiap komponen
pasut, maka dapat dihitung pula muka surutan (chart datum) Zo.
Zo = So 1,2 (M2+S2+K2)...........(2 - 8)
5. MLWL adalah muka air rendah rerata (mean low water level), adalah
rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun
MLWL = Z0 (M2+S2).........................................................................(2.9)
6. MHWL adalah muka air tinggi rerata (mean high water level), adalah
rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam
perencanaan pelabuhan, misalnya MHWL atau HHWL digunakan untuk
menentukan elevasi puncak dermaga, pemecah gelombang, panjang rantai
pelampung penambat dan sebagainya. Sedang, LLWL diperlukan untuk
menentukan kedalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan.
dengan amplituodo unsure unsure pasang surut ganda utama. Nisbah ini
dikenal sebagai bilangan Formzahl yang mempunyai formula sebagai berikut.
(2 - 10)
Dimana:
F
: Bilangan Formzahl
: Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan.
: Amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari.
: Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan.
: Amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari.
0,26 - 1,50 : Pasut bertipe campuran dengan tipe ganda yang menonjol
1,50 - 3,00 : Pasut bertipe campuran dengan tipe tunggal yang menonjol
> 3,00
Wibisono (2005)
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1
Materi Penelitian
3.1
Bahan
Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah:
Data Primer:
- Data kedalaman (Bathimetri)
- Data Pasang surut
Data Sekunder:
- Data Pasang surut
- Data jenis sedimen
3.1.2. Alat
Tabel 4. Alat yang digunakan untuk penelitian dan pengolahan data
No
1.
2.
3.
Alat
Echosounder Singlebeam
Garmin C sounder 176
Sediment Core
Tide gauge
4.
Sieve shaker
5.
6.
Plastik sample
Seperangkat komputer
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Software NAOtide
Software Surfer
Software Arc View
Microsoft Excel
GPS
13.
14.
Kapal/Perahu
Kegunaan
Untuk mengukur kedalaman,
Alat pengambil sampel sedimen
Alat ini berguna sebagai acuan dalam
pengamatan pasang surut
Alat
untuk
analisa
laboratorium
(mengukur ukuran butir sedimen)
Menampung sampel
Mengolah dan menampilkan hasil
pengukuran
Pengelolahan dan peramalan pasang surut
perairan
Pengelolahan data sekunder pasang surut
Mengolah data kedalaman
Mengolah data dan menampilkan data
Perhitungan korelasi.
Mengetahui
koordinat
titik/stasiun
penelitian
Sarana Pemeruman
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
pada daerah penelitian. Artinya daerah penelitian dibagi menjadi beberapa daerah
yang lebih sempit, daerah tersebut sudah dianggap mewakili daerah penelitian.
Metode ini digunakan karena setiap daerah dianggap mempunyai karakteristik
yang sama sebagai daerah sampling .
3.5
pemipetan.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Alur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan benchmark
sebagai acuan dalam pengukuran pasang surut. Setelah didapatkan nilai
benchmark barulah pengukuran pasang surut dilakukan dengan meletakkan tide
gauge pada daerah penelitian sesuai metode sampling selama 15 hari. Setelah data
pasang surut didapat, data tersebut diolah menggunakan metode Admiralty
dengan software World Tide, NAOtide, dan Microsoft Excel ntuk mendapatkan
nilai HHWL, LLWL dan MSL.
Disela pengukuran pasang surut diambil kesempatan untuk mengambil
data kedalaman dengan echosounder Singlebeam Garmin C sounder 176. Pada
saat itu juga dalam jalur pemeruman diambil sampel sedimen ditandai dengan
GPS di dua titik untuk dianalisa di laboratorium.
Data hasil pemeruman diolah menggunakan Surfer dan disajikan dalam
bentuk dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Untuk penyajian dalam bentuk
peta menggunakan Arc View
Tahap Awal
Pengumpulan
Data
Data pasang
surut
HHWLAdmiralty
& LLWL
Jenis & Ukuran
Turbin
Data
Kedalaman
Sedimen
Interpolasi
Analisa Lab.
Batimetri
MSL
Verifikasi
Kesimpulan
Ukuran butir
Lokasi instalasi
Turbin
Gambar 11.Selasai
Diagram Alir Penelitian
Dengan begitu maka diperoleh batimetrinya, Lalu untuk sampel sedimen dari dua
titik kordinat tertentu, pada analisa di laboratorium untuk mengetahui ukuran
butirnya, dengan cara sampel sedimen di keringkan dalam oven selama 45-60
menit, setelah itu dilakukan pengayakan untuk mengetahui ukuran butir sedimen
dengan alat Sive Shaker selama 15-20 menit. Jika masih ada sedimen yang lolos
dari saringan terbawah maka dilanjutkan dengan pemipetan, maka diketahuilah
jenis sedimen yang merupakan substrat perairan tersebut.
Setelah diketahui hasil dari pengolahan data secara keseluruhan maka hasil
dari pengolahan batimetri adalah untuk memilih tempat yang tepat untuk
peletakkan instalasi tubin, yaitu tempat yang landai dan mempunyai kedalaman
tidak lebih dari 40 meter.
Untuk data HHWL dan LLWL digunakan untuk mempertimbangkan jenis
dan ukuran turbin yang sesuai dengan perairan tersebut, agar tidak
terlalu
tenggelam saat pasang dan tidak terlalu dangkal saat surut, sedangkan MSL
digunakan untuk mengoreksi data kedalaman.
Untuk data sedimen digunakan untuk verifikasi substrat daerah tersebut
apakah lumpur, pasir, ataupun berbatu untuk pertimbangan bangunan instalasi
supaya kokoh pada tempatnya dan tidak terbenam ke dalam substrat mengingat
selat Larantuka memiliki arus yang cukup kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Alif, T.F. 2010. Keberadaan Data Batimetri Nasional. Pusat Pemetaan Dasar
Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK)
BAKOSURTANAL.
Bogor. 9 hlm.
Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science, 5th ed.
Thomson Learning, Inc. Rockville. USA
Gross, M. G.1990 . Oceanography 5th edition prentice hall. englewood cliffs
new jersey 393 pp
Jackson, D. R., and M. D. Richardson. 2001. High Frequency Seafloor .
Springer. New York.
Kschaefer. 2004. Bathymetry survey technic. NOAA Coastal Services Center
Benthic Habitat Mapping Web Site
Manik, H. M. 2009. Rancang Bangun Sistem Informasi Data Hidroakustik
Berbasis Web.
Sedimen
Dasar
Laut
Pada
Perairan
Dangkal
Yogyakarta.
Siwabessy, P. J. W. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. The
Coastal Water Habitat Mapping (CWHM) Project of The
Cooperative Research Centre for Coastal Zone. Sydney. Australia.
Thorne, P. D., Pace, N. G. and Al-Hamdani, Z. K. S. 1988. Laboratory
Measurements of Backscattering from Marine Sediments. J. Acoust.
Soc. Am.,84 (1): 303-309
Timothy, A.K. and Joe, B. 2010. Bathymetry - The Art and Science of
Seafloor modeling for Modern Application.ESRI.1-36.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta. 397 hlm.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta.
Nugraha, A.R. 2013 Analisis Batimetri Dan Pasang Surut Untuk Menentukan
Elevasi Lantai Dan Panjang Dermaga Di Muara Sungai Mahakam,
Sanga Sanga, Kalimantan Timur. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan.
FPIK. Universitas Diponegoro. Semarang.(tidak dipublikasikan).