Anda di halaman 1dari 17

Sistem Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah

A.

Sejarah Munculnya Bani Umayyah

Pada tahun 25 H Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ke tiga menggantikan
khalifah Umar bin Khattab yang wafat. Dan pada tahun 35 H utsman bin affan
meninggal karena dibunuh oleh Abdullah Bin Saba (seorang pendeta yahudi dari
yaman yang masuk islam). Maka tahta pemerintahan khulafaurrasidin jatuh
ketangan Ali bin Abhi Thalib sebagai khalifah yang ke empat(terakhir) dalam
kekhalifahan khulafaurrasidin.[1]
Pada masa pemerintahan khalifah Ali terjadi hal-hal yang tidak di inginkan oleh
umat islam bukan sebab khalifah Ali melainkan situasi dan kehendak sejarah yang
berjalan seperti itu. Ada empat golongan pada masa ini antara lain:
Golongan Syi`ah yang menyokong penuh pengangkatan Ali bin Abhi thalib sebagai
khalifah menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Golongan Mu`awiyah bin Abu Sofyan, wali (Gubernur) yang di angkat khalifah
utsman di damaskus Syria, yang tidak megakui khalifah Ali dan menganggap
Khalifah Ali bersalah dan ikut canpur dalam pembunuhan khalifah Utsman.
Golongan Mu`awiyah di Syria mengangkat Mu`awiyah menjadi khalifah pengganti
khalifah Utsman bin Affan. Maka terjadilah dua orang khalifah yang satu di madinah
(khalifah yang sah),dan tandingannya di Syria ialah Mu`awiyah bin Abu Sofyan.
Golongan yang ketiga ialah Siti Aisyah Ummul Muminin (ibu seluruh orang muslim)
dan diikuti oleh Thalhah bin Zubair. Golongan ini tidak mengakui pengangkatan
khalifah Ali karena pengangkatan dengan paksaan tetapi tidak menyalahkan
khalifah Ali dalam soal pembunuhan terhadap khalifah Utsman. Maka timbulah
peperangan yang disebut Perang Jamal.
Golongan keempat ialah Abdullah bin Umar anak Umar bin khattab,dan diikuti oleh
sahabat yang lain yaitu Muhammad bin Salamah. Utsman bin Zaid,S`ad bin Abi
Waqash, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikaf Netral,
mereka lebih menjauhkan diri dari dunia politik.[2]
Yang akan kami bahas disini ialah perselisihan antara Khalifah Ali bin Abhi Thalib
dengan Mu`awiyah bin Abu Sofyan yang akan menimbulkan sejarah yang penting
bagi umat islam yaitu runtuhnya kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya
daulah Bani Umayyah.
Pada tahun 37 H terjadilah suatu perang yang sangat terkenal dalam dunia islam
yaitu Perang Siffin atau perang saudara, antara pasukan khalifah Ali melawan
pasukan Mu`awiyah di suatu daerah di irak yang dinamakan siffin.

Peperangan ini sangat besar, dipihak khalifah Ali sebanyak 25.000 tentara gugur
dan dari pihak Mu`awiyah sebanyak 45.000 orang wafat. Jalannya peperangan
sangat menguntungkan pasukan Ali hampir seluruh pasukan Mu`awiyah lari kucarkacir. Akan tetapi mereka menjalankan siasat, yaitu menyerukan cease fire
(penghentian tembak menembak).[3]
Mereka mengikatkan beberapa kitab suci Al-Qur`an diujung tombak mereka dan
mengacungkan sambil meneriakan penghentian tembak menembak dan berhukum
kepada Al-Qur`an. Khalifah Ali pada mulanya tidak mau menerima ajakan ini karena
beliau tahu bahwa hal ini merupakan siasat dari orang yang hampir kalah, minta
menghentikan peperangan untuk sementara menyusun kekuatan kembali. Tetapi
khalifah ali di desak oleh sebagian tentaranya sehingga khalifah ali menerima
tawaran penghentian tembak menembak dan berhentilah peperangan.
Pasukan ali pulang ke Baghdad dan pasukan Muawiyah ke Damaskus. Maka di susun
delegasi kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan, pihak khalifah Ali di
wakili oleh Abu Musa al-Asyari dan pihak Muawiyah di wakili oleh Amru bin Ash.
Amru bin Ash adalah seorang ahli siasat yang ulung sekali sementara Abu Musa alAsyari seorang sahabat nabi yang jujur dan sholeh, maka dari itu delegasi
Muawiyah yang di wakili oleh Amru bin Ash menang dalam tahkim dan akhirnya
khalifah Ali di berhentikan dari jabatannya sebagai khalifah.[4] Maka dari itu
runtuhlah kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani Umayyah.
B.

Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah

1.

Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah

Pada umumnya lembaga pendidikan Islam dimasa ini diklasifikasikan atas dasar
muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan
Islam di masa klasik menurut Charles Michael Stanton[5] digolongkan kedalam dua
bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal, di mana yang pertama
mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan yang kedua mengajarkan pengetahuan
umum, termasuk filsafat. Sementara George Makdisi dalam hal yang sama
menyebutnya sebagai lembaga pendidikan ekslusif (tertutup) dan lembaga
pendidikan inklusif (terbuka). Tertutup artinya hanya mengajarkan pengetahuan
agama, dan terbuka artinya menawarkan pengetahuan umum.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada
masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a.

Shuffah

Pada masa Rasulullah Saw, shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk
aktivitas pendidikan[6]. Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi
pendatang baru dan mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca

dan menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan
langsung dari nabi. Pada masa ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang
tersebar dikota Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga
menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi,
dan ilmu fonetik.
b.

Kuttab/Maktab

Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya
menulis. Sedangkan kataba/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat
dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis[7]. Kebanyakan para ahli pendidikan
Islam sepakat bahwa keduanya merpakan istilah yang sama dalam arti lembaga
pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian
meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan agama tingkat dasar[8].
Namun Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah
istilah untuk zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern[9].
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di kuttab ini berorientasi
kepada Alquran sebagai suatu textbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca
dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadist khususnya yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu
agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan
budaya helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam kurikulum
pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya kuttab dibedakan
menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (secular
learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religious learning)[10].
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada
awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah
adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan
yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus menyebutkan dimulai hari Sabtu
pagi hingga Kamis siang dengan waktu sebagai berikut:
-

Alquran

: Pagi s.d. Dhuha

Menulis

: Dhuha s.d. Dhuhur

Gramatikal Arab,

: Bada Dhuhur s.d. Siang

Matematika, Sejarah.
c.

Halaqah

Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di


mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai
menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya
pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumahrumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan
ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu
halaqah ini dikelompokan kedalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu
pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikatagorikan kedalam lembaga
pendidikan tingkat lanjutan setingkat dengan college.[11]
d.

Majlis

Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada
perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman
keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung.
Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pembelajaran, sebagai
contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis AlSyafiI artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafii.
Seiring denagan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan
sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya.
Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut:
Majlis al-Hadits, majlis ini diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam
bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya
kepada murid-muridnya. Majlis ini berlangsung antara 20-30 tahun. Dan jumlah
peserta yang ikut majlis ini mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang
disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai
120.000 orang.
Majlis al-Tadris, majlis ini biasanya menunjuk majlis selain daripada hadist,
seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
Majlis al-Munazharah, majlis ini dipergunakan untuk sarana perdebatan
mengenai suatu masalah oleh para ulama. Menurut Syalabi, khalifah Muawiyah
sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di istananya, demikian juga
khalifah Al-Mamun pada dinasti Abbasiyah. Diluar istana majlis ini ada yang
dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes
terbuka dikalangan ulama, untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari
popularitas ulama saja.
Majlis al-Muzakarah, majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang
belajar hadist. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan
saling mengingat serta mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil
menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini

dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadits,


materi hadits, perawi hadits, hadits-hadist dhoif korelasi hadits dengan bidang ilmu
tertentu dan kitab-kitab musnad.
Majlis al-Syuara, majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair, dan sering
dipakai untuk kontes para ahli syair.
Majlis al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang
meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk
mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum kemudian difatwakan. Disebut
juga majlis al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah perdebatan antara ulama
fiqih atau hukum Islam.
e.

Masjid

Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid telah menjadi pusat
kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik yang menyangkut
pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang lebih penting adalah sebagai
lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal
perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin
ajaran Islam.[12]
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di
masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat Islam mengalami kemajuan,
urgensi masyarakat kepada mesjid menjadi sangat kompleks. Hal ini menyebabkan
karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat
Jumat atau jami dan masjid biasa.[13] Jumlah jami lebih sedikit dibanding dengan
jumlah masjid. Di Baghdad hanya ada 6 jami, sedangkan masjid jumlahnya
mencapai ratusan, demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami dari pada
masjid. Namun di Cairo jumlah jami cukup banyak. Jami maupun masjid keduanya
digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami memiliki halaqahhalaqah, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah (menurut Abdul Fajar, zawiyah sama
dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar, namun muatan kurikulum lebih tinggi
karena memasukan pendidikan moral dan spiritual atau tasawuf).
Ada perbedaan penting antara jami dengan masjid. Jami dikelola dibawah otoritas
penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan seluruh
aktivitas jami, seperti kurikulum tenaga pengajar, pembiayaan dan lain-lain.
Sementara masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan. Namun demikian, baik
jami maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college.
Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk
memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti qadhi, khotib, dan imam masjid.

Melihat kaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
masjid merupakan lembaga pendidikan formal.[14]
f.

Khan

Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah


besar atau sebagai sarana komersial yang banyak memiliki toko, seperti khan alNarsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi
sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam
pada suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Dilij ibn Ahmad ibn Dilij di
Suwaiqat Ghalib dekat makam Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan
sebagai sarana untuk belajar privat.
g.

Ribath

Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan
perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang
terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
h.

Rumah-rumah Ulama

Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar.
Namun para ulama dizaman klasik (bani Umayyah dan bani Abbasiyah) banyak
yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang
bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan
para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya[15].
i.

Toko-toko Buku dan perpustakaan

Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada
awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk
berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dilaksanakan disitu.
Disamping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan
transmisi keilmuan islam.
j.

Rumah Sakit

Rumah sakit pada masa bani Umayyah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga
yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian
dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan
sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat.
k.

Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badawi)

Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai


bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun,
bahasa Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena
mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa
Arab, sehingga bahasa Arab menjadhi bahasa pasaran. Namun tidak demikian
halnya dibadiah-badiah, mereka tetep mempertahankan keaslian dan kemurnian
bahasa Arab. Dengan demikian badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa Arab
yang asli dan murni.
Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk sumber belajar pelajaran
bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak anak-anak khalifah, ulamaulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka
mempelajari ilmu bahasa kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah
berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
2.

Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah

Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M merupakan awal dari zaman
pertengahan yang gelap, yaitu ketika Eropa mengalami kemunduran peradaban.
Sementara di timur (negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia
dalam segala aspek.
Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi budaya antar
bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman sebelum bani Umayyah
mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme dalam segala aspek
dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai sendi Negara.
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian ilmu yang
ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir,
Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan
Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam
menggunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu
kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan
pada murid dalam tingkat tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan
cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi
siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata
pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. Berikut ini adalah macammacam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umayyah:
a.

Kurikulum Pendidikan Rendah

Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang


membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam.

Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah
maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum.
Kedua, kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar
karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada
setiap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi
tidak hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah.
[16] Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Dilembaga
kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Alquran. Kadang
diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[17]
Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang.
Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran
diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan
sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Quran dan
menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa
dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri
dari: Al-Quran dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasri).
b.

Kurikulum Pendidikan Tinggi

Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu,
demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum
tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan
berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota
lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena
diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan
mereka mengenai Alquran dan agama.[18] Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi
kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu
pengetahuan (al-ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam
perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase
dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan
mempertahankannya. Namun perhatian pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu
agama an sich, tetrapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah,
hadits dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir
Alquran, hadits, fiqih dan ushul fiqih, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya.
[19]
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase
kedua perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai
bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus,

kurikulum untuk pendidikan jenis ini mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu
pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuhtumbuhan dan kedokteran. Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum
kepada:
Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung,
sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
kimia, sulap, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian dan
perternakan, serta biografi dan kisah.[20]
Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri,
astronomi, music, aritmatika, dan hokum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan
antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan,
dan elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya,
botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia
sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa,
perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi, teologi-doktrin esoteris Islam,
susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam ghaib.
Masuknya ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum
pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan
dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaanperpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan
bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi
dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.
3.

Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah

Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat
sekaligus mulia. Keberhasilan seorang guru dalam mengemban tugasnya, baik
sebai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam masyarakat sangat
dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka miliki.
a.

Kompetensi Mengajar Guru Pada Masa Bani Umayyah

Menurut Masud Khasan Abdul Qohar (1990: 129) Kompetensi adalah kekuasaan,
wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan tertentu. Sedangkan
kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk
melaksanakan tugas mengajar berdasarkan persyaratan-persyaratan tertentu,
diantaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa syarat untuk bisa
menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan bani Umayyah secara umum dapat
digolongkan ke dalam 2 syarat:
Syarat Fisik: bentuk badannya bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar
dahinya dan bermuka bersih.

Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab, tajam pemahamannya, adil


terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak mudah marah, bila berbicara
menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas dan mudah dipahami, dapat
memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi perbuatan yang tidak
terpuji.
b.

Pranata Sosial Guru

Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan
kedalam 3 golongan adalah:

Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (muallim al-kuttab), para


muallim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah.
Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang
berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di
bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab
yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha
bin Rabah dan lain-lain.

Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan
muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak
sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini
disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di
antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.

Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah,


guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan
penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat.[21] Hal ini disebabkan penguasa
mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit mendalam (rasikh) dan berbobot. Di
antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya.
Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat,
diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik AlQadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh para siswa yang datang dari
berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan mendengarkan langsung kajian
yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi Islam pada masa klasik (UmayyahAbbasiyah) bahwa guru tidak pernah kapan murid harus selesai belajar kepadanya,
kecuali ia telah meny
elesaikan kitab yang dikajinya
(khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja,
bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara khusus yang harus
diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.
Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan yang penting dalam proses
pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan sampai melaksanakannya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa ini disebut dengan teacher

oriented. Selain itu, guru pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas
dan memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid secara adil
tanpa ada diskriminasi.
4.

Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah

Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan
terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term student (siswa);
yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan talib (seeker of
knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang menuntut ilmu-ilmu
(agama), pelajar atau mahasiswa.
a.

Pengertian dan Batasan Murid

Murid adalah anak yang sedang berguru, yang memperoleh pendidikn dasar dari
satu lembaga pendidikan.
Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada perbedaan. Ketika
Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah
Saw.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Muslim memerlukan tempat khusus untuk
kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka menjadikan kuttab sebagai tempat
pendidikan dasar.[22]
Di kuttab para murid mendapatkan pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti
membaca dan menulis Alquran dan dasar-dasar agama.[23] Menurut Hudgson,
pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar membaca dan
menulis. Sementara menurut Stanton, pada abad pertama hijriyah, pelajaran di
sekolah tingkat rendah difokuskan pada menulis dan membaca. Kemudian pada
abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkan ilmu keagamaan,
aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.
Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang
yang mau belajar di kuttab. Para murid yang masuk kedalam pendidikan dasar ini
bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang
berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. Bervariasinya umur
murid yang memasuki kuttab, tampaknya terkait dengan kesiapan mereka.
Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.

b.

Biaya dan Lama Belajar

Biaya selama di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada keluarga murid. Orang
tua murid membayar dengan sejumlah uang yang dibayar pada setiap minggu dan
setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan
makanan sebagai pengganti uang.[24] Bagi murid yang berasal dari keluarga
miskin, diberi kesempatan belajar secara cuma-cuma.[25] Selain itu ada juga orang
tua murid yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk biaya selama
anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut sejumlah harta/biaya.
Lama belajar di kuttab tergantung pada kemampuan anak didik. Murid yang cerdas
dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam waktu relative singkat. Sebaliknya,
anak yang kurang cerdas dan malas memakan waktu agak lama untuk
menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian umumnya masa belajar di kuttab
kurang lebih lima tahun.[26] Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah
murid menghafal Alquran.
c.

Keadaan Murid

Menurut Mahmud Yunus, para murid di kuttab belajar enam hari dalam seminggu.
Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir pada hari kamis, waktu belajar dimulai
pagi hari dan berakhir setelah selesai shalat Ashar. Biasanya setelah selesai shalat
zuhur para murid pulang ke rumah untuk makan.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada siang hari lebih
banyak bergaul dengan guru dan para murid lainnya di kuttab. Adapun murid yng
berada dalam pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih
lama dan murid-murid lain harus pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena
itu dapat diasumsikan bahwa guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang
terdekat selain orang tua.
5.

Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah

Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait dengan bermacam faktor.


Dana adalah salah satunya dan dianggap persoalan penting bagi keberlangsungan
suatu lembaga pendidikan agar berbagai aktivitas dapat dialkukan dengan
semangat yang tinggi dan lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan
output yang berbobot.
a.

Sumber Biaya Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah

Subsidi Pemerintah/Negara
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu
pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi
berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembagalembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di
Madinah tersebar keluar madinah tersebar luas keluar madinah sejalan dengan
persebaran masjid.

Di daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah dimana bahasa Arab bukan
bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan lembaga pendidikan
Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur,
sehingga biaya pembangunan ditanggung pemerintah. Banyak sekali dana yang
dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara
memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya.
Wakaf
Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang berkaitan dengan
barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan pendidikan, wakaf menjadi
semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan menjadi mode pada masa
keemasan peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah).
Pemberian wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan otoritas yang kuat
dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan dokumen wakaf yang di buat
secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi kekayaan yang menjadi wakaf
dan mencantumkan cara penggunaan uang yang dihasilkan dari investasi
penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya pemberi wakaf dapat
menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang
digunakan bahkan madhab yang dianut. Disamping itu pemberi wakap menentukan
satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengelola wakaf
tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak
boleh diubah setelah ditanda tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil
sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut.
Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang berjalan, seperti tanah
pertanian, rumah, toko, kebun, kantor dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana
yang dihasilkan akan bervariasi sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Oleh
karenanya, tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang di biayai oleh hasil
wakaf berubah-rubah dari waktu ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat
membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan
kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pelajar dan orang tua tidak terbebani
dengan berbagai macam biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.
Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem wakaf ini sangat
banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn Hasanawaih Al-Kurdi, seorang
bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi
didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid khan), pembiayaannya
berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur berupa pondok dan toko untuk
lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka belajar membaca dan menghafal
Alquran.
Orang Tua

Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel
tergantung pada kondisi orang tua murid. Biaya ini juga mereflesikan kemajuan
siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika
siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah
sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai
dengan keadaan keluarga siswa tersebut.
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran
ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal
ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi dilakukan dengan ikhlas. Biaya
pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham
pertahun. Kadang-kadang pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan
sebagai pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.
Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau hartawan, tentu akan
mengeluarkan harta yang lebih banyak, ditambah dengan berbagai fasilitas lain,
seperti tambahan buku-buku dan perlengkapan lainnya.
Siswa
Seorang ilmuan yang mengajar dimasjid atau lembaga pendidikan lain
diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya jumlahnya disepakati
antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa awal belajar. Ibrahim AlZadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya sebanyak 1,5 dirham tiap
hari. Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan membayar honornya sejumlah dua
pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap
hari sampai maut memisahkan mereka.
Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas
inisiatif sendiri sering bekerja ditengah-tengah masyarakat untuk membiayai
pendidikannya. Pekerjaan yang mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan
dan kebutuhan mereka. Ada juga pelajar tidak tetap yang terdiri dari pekerja.
Orang-orang ini sendiri menaggung biaya pendidikan yang diperlukan.
Sumber Lain/Perorangan
Pandangan ilmu agama, terutama Alquran harus diajarkan kepada orang lain
sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima
bantuan financial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan
pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan
mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama besar dan ahli hadis di
Khurasan tidak mau menerima upah ketika mengajarkan hadits. Beliau memenuhi
kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri.[27]
Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang menggambarkan
bahwa para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk memberikan

pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun.


Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya
senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata
karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima
bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan
mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut.
Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan kesadaran diatas,
banyak para hartawan dan dermawan yang mengeluarkan sejumlah dana untuk
membiayai berbagai lembaga pendidikan dan kegiatannya.

b.

Pola Pengelolaan Dana Pendidikan

Sentralisasi
Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana pendidikan direncanakan dan
dikelola oleh birokrat atau pemegang otoritas kekuasaan, bukan lembaga
pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukan bahwa lembaga-lembaga
pendidikan formal yang didanai oleh Negara, tidak memiliki otoritas untuk untuk
mengatur sumber keuangan yang memang tidak dimilikinya. Semua keperluan
pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui khas Negara atau Bait Al-Mal.
Sehingga, nafas kehidupan lembaga endidikan tersebut akan mengembang atau
mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sector pendidikan.
Desentralisasi
Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola manajemen keuangan
pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada kebutuhan rill lembaga tersebut
dalam segala perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas
mutlak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
-

Tradisional

Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang
jelas dan jauh terarah. Berbagai keperluan operasional pendidikan akan dapat
terpenuhi ketika ada pemasukan dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua
siswa, murid, dermawan, atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya
tersebut kering, maka tertahanlah berbagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan
desentralisasi dengan corak ini. Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi
misalnya, banyak yang diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan

pemerintah dengan roti sebagai pemasukan ditambah sedikit uang pada masa
khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar
pun tidak pernah mengelola input sukarela ditangannya dengan perencanaan dan
manajemen yang terarah. Ia hanya akan memenuhi kepentingan operasional
pendidikannya saat itu dengan dana yang tersedia, atau ditambah dengan dana
dari kantongnya sendiri maupun tambahan yang dicari.
-

Non-Tradisional

Corak ini merupakan antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola
melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan
oleh penyelenggara lembaga pendidikan tersebut.
Sistem wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi
wakaf tidak mengharuskan dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu diluar
penyelenggara lembaga pendidikan tersebutsebagai pengelola wakaf, juga
ketentuan-ketentuan ketat pengguna hasil dana wakaf yang tidak fleksibel hingga
tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut.

[1] Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001. Hal
63.
[2] Abbas, Sirajuddin, KH. Itiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah Baru, 2008. Hal 216.
[3] Yatim, Badri, Drs. H. MA. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hal 79.
[4] M. Ayoub, Mahmoud, The Crisis of Muslim History, Bandung: Mizan, 2004. Hal 93.
[5] Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: the Classical Period, AD 7001300, Maryland, 1990, hlm 122.
[6] Abuddin Nata (terj.), Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan,
Canada: Montreal, 2000, hlm. 12.
[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.
[8] A. Shalabi, History of Muslim Education, Beirut, 1954, hlm. 16.
[9] Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996,
hlm. 16.

[10] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.
[11] Abudin Nata. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 35.
[12] A. Shalabi, History of Muslim Education, Beirut, 1954, hlm. 47.
[13] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 57.
[14] Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 59.
[15] A. Shalabi, op. Cit., hlm. 29.
[16] Untuk mempermudah pengklasifikasian, penulis menghindar dari polemic
apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah adalah pendidikan tinggi. Disini
kuttab diidentikan dengan pendidikan rendah atau untuk anak-anak dan halaqah
sebagai pendidikan tinggi.
[17] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1992, hlm. 113.
[18] Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 264.
[19] Zuharini, op. cit., hlm. 104.
[20] Mehdi Nakoosten, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriftif
Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 73.
[21] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. 1990. Hlm. 128.
[22] Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 111.
[23] Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994,
hlm. 111.
[24] Ahmad Sjalaby, Sejarah Pendidikan Islam, ter. Muchtar Yahya dan Sanusi Latief,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 231.
[25] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979, hlm. 32.
[26] Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 47.
[27] Ahmad Syalabi, op. cit., hlm. 223.
Diposkan oleh Uus Ahmad Huseni di 21.15

Anda mungkin juga menyukai