Nasional Indonesia
Penulis : Chamzawi
Tanggal Publikasi : 24/02/2004
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, Islam datang dan berkembang di Indonesia melalui jalur perdagangan
dan penyampaian ajarannya dilakukan melalui pendekatan kultural, bukan melalui cara
peperangan ataupun aneksasi. Pada babak pertama penyebaran Islam di Indonesia, khususnya
di tanah Jawa, peran Walisongo sangat dominan dan diwarnai dengan pendekatan-pendekatan
kultural yang sangat kental. Upacara sekaten dalam perayaan Grebeg Maulid Nabi Muhammad
s.a.w., adanya gamelan di Masjid, serta banyaknya pitutur Jawa yang Islami yang disampaikan
melalui kidung-kidung, menunjukkan bahwa Islam disampaikan dengan cara-cara yang lembut,
jauh dari kesan keras dan ekstrim. Para Sunan (Walisongo) menyebarkan agama Islam di tanah
Jawa mengikuti pola dakwah Nabi Muhammad s.a.w., yaitu secara bertahap dan berkelanjutan,
agar Islam dapat dipahami secara benar dan baik oleh para pengikutnya. Karena sebagaimana
diketahui, budaya Jawa banyak diwarnai oleh budaya Animisme, Hindu dan Budha, oleh
karenanya para Wali atau Sunan tidak mungkin mengajak mereka sekaligus mengikuti ajaran
Islam secara murni dan menghilangkan adat kebiasaan yang tidak Islami secara seketika. Hal
yang demikian, pasti akan menimbulkan gejolak dan dakwah yang disampaikan dipastikan tidak
akan berhasil dan justru sebaliknya akan menimbulkan antipati dari masyarakat Jawa.
Namun sebaik apapun dakwah yang disampaikan oleh para Wali, tetap saja ada rintangan, yang
datangnya bukan dari kalangan luar Islam. Rintangan justru datang dari kalangan Islam sendiri.
Hal ini dapat dikatakan awal terjadinya sempalan Islam di tanah Jawa, dan di kemudian hari
akan terus berlanjut. Syekh Siti Jenar, adalah figure yang oleh sementara pendapat dinyatakan
sebagai seorang Wali yang keluar dari pakem dakwah yang disampaikan oleh para Walisongo.
Beliau adalah tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena
pembangkangan tasawuf dan mitos kesaktian yang dimilikinya. Dalam tataran pemerintahan,
Kerajaan Demak Bintoro, menganggap aktivitas Syekh Siti Jenar berbau politis karena beliau
dianggap mempunyai keterkaitan dengan kelompok keturunan Majapahit yang kehilangan
kekuasaan yaitu Ki Ageng Pengging (Kebo Kanigoro). Maka persoalan Syekh Siti Jenar menjadi
persoalan politik dan strategi dakwah dalam system budaya Jawa. Sayangnya, Syekh Siti Jenar
harus mengakomodasikan para bangsawan tersingkir dari system kekuasaan baru Islam, seperti
diwakili Kebo Kanigoro. Akibatnya ia juga harus manggung risiko melakukan pembangkangan
terhadap kekuasaan dan keagamaan resmi (dakwah Walisongo).
Inilah benih-benih awal terjadinya pertentangan kekuasaan, yang diwakili oleh kaum terdesak
(kawula alit) dan penguasa, dan secara kebetulan pihak terdesak diwakili oleh kalangan yang
diragukan keIslamannya (Syekh Siti Jenar) dan di sisi lain penguasa yang menyatakan dirinya
mewakili Islam kaffah (Kerajaan Demak Bintorodan Walisongo).
Namun dalam perkembangannya, setelah Kerajaan Demak jatuh dan berkembang menjadi
Mataram (Solo dan Yogyakarta), keadaan berbalik. Sebagaimana dibaca dalam serat Wulangreh
dan Wedatama, ajaran Jawa yang bersumber dari kalangan keraton, akan ditemukan secara
tersirat, konfrontasi: kalangan pesisir dan pedalaman, santri dan abangan, saudagar dan priyayi.
Dalam dua serat tersebut ada kesan merendahkan kaum santri yang anggubel sarengat (bertaut
dengan syariat), sedangkan yang bertaut dengan mistik/sufisme adalah pendukung gaya hidup
priyayi, yang tak lain adalah lapisan elit yang memerintah Jawa (Mataram).
Sebagaimana dipaparkan oleh Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) dalam Islam, Doktrin dan
Peradaban, mistik (sufi) adalah pengalaman keruhanian pribadi seseorang untuk mengenal
Tuhan. Oleh karena itu, mustahil pengalaman mistis seseorang dikomunikasikan kepada orang
lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Berbagai cerita
tentang wali yang berkelakuan aneh, seperti banyak terdapat di berbagai negeri dan daerah
Islam adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini. Bagi mereka yang memegang ajaran standar,
akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan yang
absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau bahkan tarikan ajaran yang sesat.
Kesesatan yang paling gawat adalah yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar yang
mengarah kepada paham kesatuan eksistensial (wahdat al-wujud), manunggaling kawula-gusti
(bersatunya khaliq dan makhluq). Pelopor ajaran ini adalah Husain ibn al-Hallaj (wafat tahun
922), Ibn Al-Arabi, Syekh Siti Jenar dan Syekh Ahmad Al-Mutamakkin (1645-1740). Namun
pengembang ajaran ini yang paling liar adalah Ibn Al-Arabi yang telah menerbitkan syair
gurauan dengan Allah s.w.t. sebagaimana ditulis dalam bukunya Fushush al-Hikam. Ulama
Syariah menuding Ibn Al-Araby sebagai yang bertanggungjawab atas penyelewenganpenyelewengan dalam Islam. Ibn Taymiyyah termasuk yang mengutuk Ibn Al-Araby sebagai
sesat, walaupun para pengikutnya menyatakan bahwa Ibn Al-Araby adalah guru yang agung
(syaikh akbar).
Sebenarnya ulama sufi (mistik) menerjemahkan teks-teksi suci (al-Quran) secara tawil, mereka
tidak memahami teks-teks itu secara lahiriyah (tekstualnya). Inilah pengkal kontroversi mereka
dengan ulama Syariah. Dalam ajaran dan perkembangannya, ternyata mereka menafikan dan
menolak Syariah (hukum-hukum Islam), dan lebih mengedepankan hubungan pribadi dengan
Tuhan tanpa penuntun yang jelas.
Pengalaman mistik kaum sufi, dalam semangan empati, harus dipandang sebagai bentuk
pengalaman keagamaan yang sejati, seperti pengalaman Nabi Muhammad s.a.w. dalam Miraj.
Pengalaman mistik kaum sufi memang berada di luar kemampuan rasio untuk
menggambarkannya. Untuk mengetahui hakikat pengalaman, seseorang harus mengalaminya
sendiri, madu itu manis apabila telah dicicipi. Pengalaman mistik tertinggi menghasilkan situasi
kejiwaan yang disebut ekstase (mabuk kepayang oleh minuman kebenaran).
Inilah benih-benih munculnya aliran kebatinan di tanah Jawa, dan semakin marak setelah Syekh
Siti Jenar mamaklumkan dirinya sebagai pengembang aliran manunggaling kawula-gusti
(wihdatul wujud). Ajaran Syekh Siti Jenar melambangkan perkembangan dan percaturan filsafat
serta tasawuf pada masa peralihan kekuasaan di Jawa, dari Majapahit (Hindu dan Budha) ke
pemerintahan Islam Demak Bintoro.
Karena pengalaman mistik adalah pengalaman pribadi yang tak mungkin dikomunikasikan
kepada orang lain, maka pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar telah
mengingkari kenyataan ini. Demikian juga dengan Al-Hallaj, Ibn Araby dan Syekh Ahmad
Mutamakkin.
Sebagai contoh, adalah syair gurauan Ibn Araby dengan Allah s.w.t. yang penuh dengan mana
syirik di kalangan ulama Syariah, yaitu:
Pada zaman peralihan Majapahit ke Demak Bintoro, sebagian besar masyarakat Jawa masih
memegang teguh adat, bak yang berasal dari Budha, Hindu atau Animisme. Oleh karena itu,
perilaku pengembang aliran sufi atau mistik, dianggap cocok dengan nalar mereka. Sehingga
muncullah sempalan-sempalam aliran sufi atau mistik dalam firqah-firqah kecil, yang akhirnya
berkembang menjadi ALIRAN KEBATINAN, seperti Sumarah, Pangestu, Darmo Gandhul
Subud, dan masih banyak lagi. Mereka menyatakan Islam, namun tak mengamalkan ajaran Islam
secara utuh (kaffah), sebagaimana diajarkan Nabi s.a.w. Mereka menafikan atau tidak menerima
keberadaan Syariat (muamalah dan ubudiyah), antara lain shalat, puasa, zakat, haji dan ritual
Islam lainnya. Oleh karena itu, sejak zaman Demak Bintoro, Dewan Wali menjatuhkan hukuman
kepada Syekh Siti Jenar yang dianggap menyeleweng. Meminjam istilah yang disampaikan Cak
Nur, pengembang Sufi memang berpijak pada teks-reks al-Quran, namun mereka hanya
mentawilkan sesuai pengalaman mistis mereka.
Di kemudian hari, masyarakat Jawa yang mengaku beragama Islam namun tak mengamalkan
ajaran agama secara utuh mendapatkan label Abangan, sedangkan yang mengamalkan Islam
secara utuh mendapatkan label Santri. Dalam bahasa aliran kebatinan, menyembah atau
mengingat (dzikr) Allah s.w.t. tidak perlu menggunakan tataran Syariah, namun cukup dengan
eling.
Dua aliran ini berkembang terus, sampai kepada tataran politik dan kepemimpinan nasional, baik
pada zaman Orde Lama, Orde Baru maupun Era Reformasi, sehingga memunculkan traumatrauma dan pertikaian yang sangat sengit.
yang dianggap penuh takhayul, bidah dan khurafat telah dimulai sejak abak 19 yaitu ketika Kyai
Rifangi dari Pekalongan mengumandangkan hal tersebut. Hal ini jauh sebelum Muhammadiyah
lahir pada tahun 1912.
Pada awal tahun 50-an, antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz memisahkan masyarakat
Jawa dalam tiga varian, yaitu priyayi, santri dan abangan, yang mencerminkan stratifikasi (kelas)
masyarakat Jawa: kalangan atas, menengah dan bawahan.
Pada awal kemerdekaan, sebagaimana ditengarai oleh Geerts, varian tersebut mengkristal
menjadi dikotomi, bukan trikotomi lagi, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Dan pada
kenyataannya, Islam Santri mengkristal menjadi lembaga pendidikan Islam (semisal Pondok
Pesantren), organisasi sosial/massa NU, Muhammadiyah, al-Washliyah dan sebagainya,
sedangkan Islam Abangan mengkristal menjadi lembaga pendidikan sekuler, semisal Taman
Siswa, Budi Utomo dan sebagainya.
Tuntutan-tuntutan untuk menegakkan Islam secara utuh sebagai agama negara, diperjuangkan
melalui perumusan Pancasila dan Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar-Dasar 1945.
Namun tuntutan-tuntutan tersebut akhirnya kandas, dan Islam Santri akhirnya mengalah.
Kekalahan tersebut, atau lebih tepatnya mengalah, karena lobi Bung Hatta yang begitu piawai.
Bung Hatta mengatakan, bila tidak ingin terjadi dis-integrasi bangsa, khusus Indonesia bagian
Timur, ummat Islam harus mengalah untuk meniadakan 7 (tujuh) kalimat yaitu dengan
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya dalam Sila Pertama Pancasila dan dalam
Pembukaan UUD 45. Pada saat itulah mulai terakumulasi peta politik Golongan Islam dan
Golongan Nasionalis.
Di kemudian hari, Alamsyah Ratu Perwiranegara, mantan Menteri Agama RI zaman Pak Harto,
menyatakan bahwa penerimaan ummat Islam terhadap Pancasila adalah hadiah terbesar bagi
bangsa Indonesia.
Inilah kekalahan pertama Golongan Islam dalam kancah perpolitikan nasional. Kekalahan kedua
adalah ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dimotori Bung Karno sekaligus mewakili
golongan nasionalis, memenangkan Pemilu 1955. Pada masa Orde Lama ini, posisi tawar
golongan Islam semakin terpuruk, apalagi ketika Partai Masyumi diberangus oleh Bung Karno
pada tahun 1959.
Pada zaman Orde Baru, ketika Pak Harto berkuasa, golongan Islam tak pernah beranjak dari
kekalahan demi kekalahan. Kaum nasionalis begitu berkuasa, dengan menggunakan GOLKAR
sebagai kendaraan politiknya. Ali Murtopo (alm.), Sudomo (kini telah masuk Islam), Benny
Murdani dan Panggabean mempunyai andil besar untuk memarginalisasi peran politik golongan
Islam.
Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir pada tahun 1990, peta politik mulai
agak berubah. Golongan Islam mendapat tampat yang layak sebagai mayoritas. Habibie
sebagai motor penggerak ICMI selalu menyatakan bahwa Islam sebagai mayoritas harus
mendapatkan tempat yang layak dan proporsional dalam percaturan politik nasional. Beliau
memberi contoh, Amerika Serikat dan negara-negara Barat, yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen/Katolik, begitu mutlak menguasai eksekutif dan legaslatif. Keberadaan orang
Islam dalam dua lembaga kekuasaan tersebut sangat jarang ditemukan, bahkan dapat dikatakan
tidak ada sama sekali.
Hitam dan putih dunia perpolitikan di Indonesia, yang dikuasai golongan nasionalis, begitu
kelihatan dengan jelas, ketika DPR akan mengesahkan Undang-Undang Perkawinan, UndangUndang Peradilan Agama dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Mereka gigih untuk
mengagalkannya. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk tidak menerima ketiga Undang-Undang
itu. Mereka memandang keberadaan ketiga Undang-Undang tersebut dianggap sebagai starting
point golongan Islam untuk melembagakan sebagian atau seluruh Hukum Islam dalam
rekonstruksi hukum nasional Indonesia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa golongan Nasionalis (abangan) memang
sebagian besar berasal dari kalangan Islam, namun secara psikologis terpengaruh oleh ajaran
Syeh Siti Jenar yang menafikan bahkan menolak Syariah Islam diberlakukan di tanah Jawa,
sekarang RI. Sebaliknya, golongan Islam (santri) berusaha mengkaffahkan ajaran Islam,
termasuk di dalamnya memperjuangkan Islam sebagai agama negara dan atau paling tidak
merekonstruksi hukum nasional Indonesia sesuai hukum Islam.
Jajag pendapat terakhir yang diadakan oleh 2 (dua) stasiun swasta nasional, Amien Rais
mengungguli Megawati, yaitu 20% : 5%. Jajag pendapat tersebut belum tentu sesuai atau tidak
sama dengan hasil akhir Pemilu 2004 yang akan datang, namun indikasi yang diperoleh sangat
signifikan dengan perjalanan golongan Islam dalam mengemban misinya mewarnai kebijakankebijakan politik maupun pemerintahan di Indonesia.
Tarik menarik antara Nasionalis dan Islam, walaupun mempunyai akar yang sama, yaitu samasama beragama Islam, kelihatan jelas, sejak awal kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru maupun
zaman Reformasi. Dikotomi Nasionali dan Islam memang ada dan tetap tumbuh serta tidak bisa
ditutupi, walaupun sementara elite politik menepis adanya dikotomi.
Untuk mengeliminasi dikotomi tersebut, intelektual muda Islam mempunyai peran yang kuat,
karena bagaimanapun juga, Islam adalah mayoritas agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia
Nasionalisme kita temukan dengan gamblang dan jernih pada diri, ketokohan,
perjuangan, pandangan dan ajaran-ajaran Bung Karno. Pikiran-pikiran besar,
gagasan-gagasan monumental, dan ajaran-ajaran Bung Karno yang tercermin
dalam Indonesia Menggugat, atau dalam Lahirnya Panca Sila, atau dalam
banyak pidato-pidatonya yang terkumpul dalam buku Di bawah Bendera
Revolusi, dan Nawaksara adalah personifikasi atau pengejawantahan
nasionalismenya Bung Karno. Bisa ditamsilkan bahwa Bung Karno adalah simbul
atau perwakilan nasionalisme Indonesia.
Sebab, Bung Karno adalah nasionalis terbesar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam menentang imperialisme, kolonialisme, dan mengantar bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku ini menuju ke kemerdekaan. Di
antara banyak tokoh-tokoh besar atau pemimpin dalam sejarah bangsa Indonesia
jelaslah kiranya bagi banyak orang bahwa Bung Karno adalah merupakan tokoh
nasionalis revolusioner yang banyak sekali memberikan sumbangan dan
pengorbanan bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Sayangnya, justru tokoh nasionalis yang besar inilah yang telah dikhianati
oleh Suharto dan konco-konconya di Angkatan Darat (waktu itu), dan
bersekongkol dengan kekuatan-keuatan nekolim, terutama dengan imperialisme
AS.
Boleh dikatakan bahwa selama puluhan tahun Orde Baru, nasionalisme telah
dikubur, atau setidak-tidaknya disingkirkan oleh rejim militer Suharto,
karena rejim ini tidak menyukai kaum nasionalis yang personifikasinya adalah
sosok Bung Karno. Rejim militer Suharto yang memusuhi nasionalis besar Bung
Karno, dengan sendirinya bukanlah suatu rejim yang bisa dikategorikan
menghargai nasionalisme, apalagi menjunjungnya tinggi-tinggi.
Oleh karena menentang berbagai fikiran, pandangan, sikap, dan politik Bung
Karno, sebagai nasionalis revolusioner, maka di bawah pimpinan Suharto
Angkatan Darat negeri kita telah memushi nasionalisme juga. Disebabkan oleh
kebencian mereka kepada gagasan besar Bung Karno tentang NASAKOM, maka
Suharto dan konco-konconya di Angkatan Darat juga menaruh kebencian terhadap
siapa saja yang menampakkan diri sebagai nasionalis pendukung NASAKOM.
Oleh sebab itulah, kiranya kita tidak bisa dan tidak patut menggolongkan
orang-orang sejenis Suharto (dan kawan-kawan terdekatnya) sebagai
orang-orang nasionalis, karena sejak terjadinya G30S mereka telah bersikap
menentang atau memusuhi kaum nasionalis yang mendukung politik Bung Karno.
Dengan apa yang terjadi di akhir tahun 1965, Supersemar, dan Orde Baru,
kiranya bagi banyak orang sudah jelas bahwa orang-orang sejenis Suharto
tidak bisa dipandang sebagai nasionalis, bukan pula demokrat, bukan juga
patriot, dan juga bukan humanis.
Selama puluhan tahun Orde Baru, Suharto dkk banyak bicara tentang Pancasila.
Tetapi, dalam prakteknya Pancasila telah diinjak-injak, dipalsu, atau
dilecehkan. Perlakuan terhadap para korban peristiwa 65 yang jutaaan orang
dan selama puluhan tahun adalah bukti yang kongkrit bahwa mereka tidak
memahami sama sekali arti Pancasila. Dengan mengkhianati Bung Karno,
satu-satunya tokoh bangsa yang justru melahirkan Pancasila, orang-orang Orde
Baru tidak berhak mengatakan dirinya sebagai Pancasilais.
Sudah puluhan tahun selama rejim militer Suharto dkk tidak pernah terdengar
(kalau ada pun jarang sekali!) ajaran atau gagasan Bung Karno, seperti
Trisakti, dikutip oleh tokoh-tokoh utama Orde Baru, apalagi tokoh-tokoh
militer. Karena, justru oleh karena ajaran atau gagasan-gagasannyalah maka
Bung Karno dikhianati, digulingkan, kemudian ditapolkan (oleh Angkatan
Darat) sampai wafatnya dalam tahanan.
Hal lain yang juga menarik adalah ketika presiden SBY juga menekankan empat
konsensus dasar yang dibangun para pendiri bangsa, yang tidak boleh tercabut
sampai kapan pun. Empat konsensus dasar itu adalah Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Indonesia akan rontok kalau empat konsensus dasar ini tercabut. Saya kira
kaum nasionalis tidak boleh dan tidak akan membiarkan negaranya rontok.
Karena itu, konsensus dasar tersebut harus dipertahankan. Itu adalah amanah
para pendiri bangsa," ujarnya.
Membaca hal-hal tersebut di atas maka orang bisa saja bertanya-tanya apakah
itu semua pertanda bahwa sudah ada perubahan di kalangan militer,
khususnya Angkatan Darat? Belum tentu !!! Sebab, Angkatan Darat khususnya,
dan golongan militer pada umumnya, sudah terlalu lama (sekitar 40 tahunan)
dirusak oleh Suharto dkk, dengan menjadikannya sebagai bagian bangsa yang
merupakan tulang punggung rejim militer yang otoriter atau despotik,
Mereka, yang jumlahnya sekitar 500.000 orang itu telah menjadi golongan
yang berklas istimewa dalam kehidupan bangsa selama puluhan tahun, dan
telah mengangkangi bangsa Indonesia yang jumlahnya 200 juta orang.
Jadi, ketika presiden SBY mengucapkan hal-hal yang begitu positif terhadap
kaum nasionalis dan bahkan juga mengutip sebagian ajaran -ajaran Bung Karno,
apakah berarti bahwa ia meninggalkan garis atau doktrin militer Orde Baru?
Tidak jelas, atau tidak pasti. Mungkin-mungkin saja. Sebab, meskipun ia
mantan jenderal TNI-AD ia menjadi presiden RI bukan sebagai wakil militer.
Ia dipilih secara langsung oleh sebagian rakyat Indonesia (lebih dari 60%
suara). Dan lagi pula, tentunya, ia pun menyadari bahwa TNI-AD (juga
Suharto) sudah lama sangat buruk citranya di mata banyak orang.
Hingga kini, masih belum jelas benar apakah sosok SBY bisa betul-betul
meninggalkan keterikatannya - secara ideologi, politik maupun mental atau
moral - dengan rejim militer Orde Baru yang sudah dikutuk oleh banyak orang,
dan sejauh apa ia memisahkan diri dari segala yang buruk yang telah
dilakukan oleh Suharto dkk.
Apakah harapan ini akan hanya merupakan ilusi atau mimpi di siang hari
bolong saja, atau betul-betul bisa terlaksana dan menjadi kenyataan, kita
semua akan menyaksikannya di kemudian hari. Sebab, pepatah Jawa Becik
ketitik, olo ketoro (apa yang baik akan ketahuan, dan apa yang jelek akan
kelihatan) tetap masih ada kebenarannya dalam banyak hal.