Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekstasi
2.1.1. Definisi ekstasi
Ekstasi dapat didefinisikan sebagai suatu zat bersifat stimulan yang
merupakan analogis dari amfetamin (Goldman, 1994). Ekstasi juga didefinisikan
sebagai sesuatu yang melebihi kontrol tubuh dan emosi seseorang. Jika ditinjau dari
definisi secara kimia, ekstasi merupakan suatu sintetik yang analogis dengan
amfetamin C 11 H 15 NO 2 yang digunakan untuk meningkatkan mood seseorang dan
agen hallusinasi ( Merriam-Webster Dictionary).

2.1.2. Tujuan penggunaan dan cara kerja ekstasi


Ekstasi

merupakan

derivat

amfetamin

yang

dikenal

sebagai

3,4-

methylenedioxymethamphetamine (MDA). Seperti amfetamin yang lain, ekstasi


merangsang pelepasan katekolamin dari presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap
neuron serotonin yang menyebabkan pelepasan serotonin yang banyak dan
menghambat reuptake serotonin pada presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin
transporter (SERT). Maka, lebih banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps
(Hahn, 2009).
Peningkatan level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti
empati, euforia, disinhibisi, dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial
(Hahn, 2009).
2.1.3. Efek penggunaan ekstasi
Ekstasi dapat menimbulkan berbagai keburukan terhadap sistem tubuh.
Antaranya ialah efek pada sistem kardiovaskuler. Dengan penggunaan yang sedang,
tetap dapat menyebabkan perubahan di mana penggunaan ekstasi menyebabkan
peningkatan sistol dan diastol tekanan darah yang dibuat penelitiannya antara
pengguna ekstasi dengan sampel yang diberi placebo (Gamma et al, 2000). Ekstasi

Universitas Sumatera Utara

juga memberikan efek neurotoksik yang dilihat dari dua garis besar yaitu dari
pertama, dilihat dari segi riset neurobiologi, kedua, efek pada psikologi terhadap
pengguna itu sendiri (Curran, 2000). Pada gangguan yang berkaitan dengan
psikologi, hal yang dapat terjadi adalah seperti depresi, ansietas dan psikosis (Huizink
et al, 2006).
Selain itu, terdapat juga beberapa efek samping yang didapati dari penggunaan
ekstasi yaitu penurunan selera makan, peningkatan keringat, sensitif terhadap suhu
yang dingin, mulut menjadi kering, sering dahaga, palpitasi dan sulit untuk
konsentrasi (Curran, 2000).
Terdapat juga beberapa efek samping yang bersifat akut seperti hipertermia.
Akibatnya, mereka akan coba kompensasi keadaan ini dengan meminum air yang
banyak. Namun, hal ini lebih membahayakan karena akan menyebabkan intoksikasi
air seterusnya memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat
fatal. Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental,
hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi
secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai dengan
depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga terjadinya
aggresifitas pada mereka yang berpuasa dari mengambil ekstasi (Katzung, 2007).
2.2.

Sistem saraf pusat (Otak) dan neurotransmitter serotonin

2.2.1. Definisi
Sistem saraf pusat terbagi kepada dua yaitu otak dan medulla spinalis. Otak
merupakan organ penting yang dilindung oleh tulang kranium (tulang tengkorak)
yang keras dan dilindungi oleh tiga lapisan pembungkus otak yang dinamakan
meninges yaitu lapisan terluar adalah dura mater, diikuti oleh araknoid mater dan
lapisan paling dalam adalah pia mater.
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang terdapat di otak.
Serotonin juga dikenali sebagai 5-hydoxytryptamine (5-HT) (Goldman, 1994).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Sintesa dan degradasi serotonin


Serotonin disintesa dari beberapa proses enzimatik dengan proses pertama
dimulai dengan enzim tryptophan hydroxylase. Bahan bakunya adalah asam amino
triptofan. Maka, konsentrasi triptofan dalam tubuh merupakan substrat yang penting
sebagai prekursor pembentukan serotonin. Serotonin dimetabolisme oleh monoamine
oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA). Hanya 1-2% konsentrasi
serotonin yang terdapat dalam otak dan selebihnya terdapat dalam platlet, sel mast,
dan sel enterokromaffin di mukosa intestinal. Oleh karena serotonin tidak dapat
menembusi sawar otak, maka otak harus mensintesa sendiri neurotransmitter ini
(Goldman, 1994).
2.2.3. Jalur serotonergik
Neuron serotonin paling banyak terdapat di bagian median dan dorsal nukleus
raphe, caudal locus cereleus, area postrema dan area interpedunkular. Dari bagian
medial dan dorsal ini, jalur ini proyeksi ke talamus, hipotalamus, dan ganglia basalis.
Neuron medial juga proyeksi ke amigdala, korteks piriform, dan korteks serebral
(Goldman, 1994).
Jalur desending serotonin ini menginnervasi ke medulla spinalis, dan
memodulasi sensitivitas terhadap rasa sakit. Pada badan pineal, ia mengandung 50x
ganda kandungan serotonin berbanding kadar serotonin di otak dan mengandung
semua enzim yang dibutuhkan untuk sintesis serotonin (Goldman, 1994).
Melatonin merupakan hormon yang disintesa dari serotonin. Oleh karena
aktivitas serotonin meningkat saat terjaga, arousal, dan berkurang saat REM sleep,
maka dikatakan serotonin dalam badan pineal berfungsi dalam kontrol circadian
system (Goldman, 1994).
2.2.4. Reseptor serotonin
Terdapat beberapa subtipe untuk reseptor serotonin. Pertama adalah reseptor 5HT 1A yang banyak letaknya di post sinaps di hipokampus. Pada hewan coba,
dibuktikan bahwa stimulasi pada reseptor ini akan menyebabkan respon adaptif dan

Universitas Sumatera Utara

protektif terhadap stimulus yang tidak disukai. Selain itu, dikatakan juga reseptor ini
turut berperan dalam sikap seksual seseorang (sexual behavior) (Goldman, 1994).
Subtipe yang lain adalah 5-HT 1B yang lokasinya paling banyak di presinaps
substansia nigra dan globus pallidus. Apabila distimulasi, ia akan menghambat
pelepasan serotonin dan berfungsi dalam negative feedback (Goldman, 1994).
Terdapat juga subtipe 5-HT 1C yang merupakan satu-satunya reseptor serotonin
yang terdapat di pleksus koroidius. Stimulasi pada reseptor ini berfungsi untuk
regulasi sintesa dan komposisi cairan serebrospinal. Reseptor ini juga terdapat di
beberapa regio lain di otak dan ia dikatakan berperan dalam penyebab ansietas dan
kenaikan nafsu makan (Goldman, 1994).
5-HT 1D pula merupakan autoreseptor yang menghambat pelepasan serotonin
dan merupakan reseptor postsinaps di striatum (Goldman, 1994).
Reseptor 5-HT 2 pula terdapat di postsinaps di hipokampus, korteks frontal, dan
medulla spinalis. Antagonis yang selektif untuk reseptor ini menyebabkan slow-wave
sleep pada manusia manakala agonis untuk reseptor ini memberikan efek stereotyped
behavior pada hewan coba (Goldman, 1994).
Untuk reseptor 5-HT 3 , reseptor ini mempunyai daya affinitas yang lemah
terhadap serotonin dan agonisnya tetapi kuat pada zat antagonis serotonin. Reseptor
ini dijumpai pada korteks entorhinal , area postrema dan sistem saraf perifer. Studi invitro dan in-vivo membuktikan aktivasi pada reseptor ini menyebabkan inhibisi
terhadap pelepasan asetilkolin di dalam korteks tetapi meningkatkan pelepasan
dopamin di striatal dan sistem mesolimbik (Goldman, 1994).

2.2.5. Beberapa bagian dalam otak dan fungsinya


Yang termasuk dalam bagian otak depan adalah talamus dan hipotalamus.
Fungsi utama talamus adalah untuk proyeksikan input sensorik ke korteks serebri
untuk dikenal pasti lokasi dan intensitas nyeri, sebagai organ pertama yang
mendeteksi impuls sensorik, berfungsi juga dalam kesadaran, dan dalam kontrol
motorik (Sherwood, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Untuk bagian hipotalamus, ia berfungsi untuk regulasi berbagai fungsi


homeostatis seperti temperatur, dahaga, produksi urin, dan selera makan. Ia juga
memainkan peranan yang besar dalam emosi dan sikap asas seseorang (basic
behaviour patterns) (Sherwood, 2007).
Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik. Sistem ini berfungsi sebagai
perasaan subjektif yang merangkumi emosi, mood seperti kemarahan, ketakutan dan
kegembiraan. Contohnya, fungsi amigdala adalah untuk memproses input dan
memberikan efek emosi berupa ketakutan (Sherwood, 2007).
Korteks serebri mempunyai banyak area tertentu menjalankan fungsi yang
berbeda tetapi saling bersangkutan antara satu sama lain. Secara umumnya, fungsi
korteks serebri adalah persepi sensorik, mengawal pergerakan yang volunter, bahasa,
dan fungsi kompleks lain seperti berfikir, memori, membuat keputusan, kreativitas
dan kesadaran (Sherwood, 2007).
Badan pineal merupakan organ yang mensintesa hormon melatonin yang
berfungsi dalam mengatur circadian rhythms. Bagian otak yang mengawal proses ini
dinamakan nukleus suprakiasmatik yang terletak di atas optik kiasma tempat
persilangan nervus III dari kedua mata menuju ke bagian otak yang berlawanan
(Sherwood, 2007).
Bagaimana

melatonin

berfungsi

dalam

proses

ini

dimulai

dengan

penangkapan sinyal cahaya oleh fotoreseptor spesifik di retina dan ditransmisikan ke


daerah nukleus suprakiasmatik. Fotoreseptor yang dimaksudkan berbeda dengan
fotoreseptor yang berfungsi untuk penglihatan yaitu reseptor batang dan rod. Terdapat
protein spesifik pada reseptor ini yang dinamakan melanopsin, berfungsi untuk
menghantar sinyal kepada badan pineal mengenai ada tidaknya cahaya di lingkungan
melalui traktus retino-hipotalamik ke nukleus spinotalamik. Dari sini, nukleus ini
akan meneruskan sinyal ke badan pineal (Sherwood, 2007).
Melatonin merupakan hormon yang berfungsi dalam keadaan gelap di mana
sintesanya meningkat 10x ganda. Hormon ini merangsang tidur secara semula jadi
tanpa efek samping (Sherwood, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Bagian otak yang lain adalah lokus sereleus. Bagian ini merupakan bagian
utama yang mensuplai noradrenalin ke sistem saraf pusat. Peransangan oleh hormon
ini melalui reseptor alfa dan beta akan merangsang terjadinya arousal (Berridge,
2008).
2.3.

Ekstasi dan otak

2.3.1. Ekstasi dan neurotoksisitas


Ekstasi merupakan monoaminergik agonis yang dapat menghambat reuptake
dan merangsang pelepasan serotonin, dan juga menyebabkan penurunan dopamin.
Namun, akibat penyalahgunaan, ekstasi menyebabkan penurunan kadar serotonin di
mana penelitian yang dilakukan terhadap hewan mendapati bahwa ekstasi
menyebabkan penurunan serotonin otak, penurunan 5-hidroxyindolacetic acid (5HIAA) dan inhibisi enzim tryptophan hydroxylase, serta penurunan 5-HT reuptake
sites. Pada manusia, hasil yang didapati adalah terjadinya kerusakan pada akson
terminal. Namun, bagaimana proses ini terjadi masih tidak diketahui (Curran, 2000).
Penelitian dijalankan di John Hopkins University untuk mengkaji neuron
spesifik yang rusak akibat penggunaan ekstasi. Hasil yang didapati membuktikan
bahwa kerusakan serotonin sangat signifikan pada pengguna ekstasi dibanding
dengan kelompok kontrol ( Kevin, 2008).
Sebuah penelitian telah dilakukan untuk menilai efek toksisitas ini. Penelitian
dilakukan pada mereka yang pernah menggunakan ekstasi dan hasil yang didapati
adalah berkurangnya uptake site 5-HT pada terminal neuron. Positron emission
tomographic (PET) yang merupakan salah satu alat untuk menilai fungsi otak
menunjukkan bahwa konsekuensi toksisitas ekstasi pada manusia hakikatnya lebih
parah dari hasil yang didapati dari eksperimental terhadap hewan coba ( Kelly, 2000).
Penyalahgunaan ekstasi menyebabkan kerusakan pada akson terminal pada
neuron serotonin tetapi badan sel pada neuron ini masih utuh (Yuan et al, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Ekstasi dan penurunan fungsi kognitif


Definisi fungsi kognitif adalah proses mental yang mengandung persepsi,
memori, mengingat sesuatu dan berfikir ( The Free Dictionary).
Efek ekstasi terhadap penurunan fungsi kognitif dapat terjadi secara direk dan
indirek. Terjadinya secara direk adalah akibat dari sifat neurotoksin ekstasi yang
mengakibatkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin. Terjadinya secara
indirek adalah ekstasi menyebabkan penurunan sirkulasi serebral. Ini karena innervasi
dari otak depan adalah dari neuron serotonin yang berasal dari mesensefalon (Kelly,
2000).
Efek vasokonstriktor dari ekstasi menyebabkan peningkatan effluks serotonin.
Namun, fenomena ini dapat menyebabkan multi-infak dementia yang menyebabkan
penurunan fungsi kognitif (Ferrington et al, 2005).
Ekstasi juga menyebabkan penurunan memori di mana ia menyebabkan defek
pada hipokampus, bagian otak yang berfungsi untuk konsolidasi memori jangka
pendek kepada memori jangka panjang. Kerusakan pada bagian ini juga
menyebabkan berkurangnya kemampuan daya ingat jangka pendek (mengulang
sesuatu peristiwa setelah beberapa menit) dan daya ingat segera ( segera mengulang
hal yang dikatakan oleh pemeriksa) (Kevin , 2008).
2.3.3. Ekstasi dan gangguan psikologi
Salah satu fungsi dari serotonin adalah untuk memberikan mood yang
menyenangkan. Maka, penggunaan ekstasi dapat meningkatkan konsentrasi serotonin
di sinaps. Namun, akibat penggunaan yang lama atau penggunaan akut dengan dosis
yang tinggi, menyebabkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin
menyebabkan penurunan level serotonin di sinaps. Hal inilah yang memicu terjadinya
masalah psikologi seperti ansietas, depresi ringan dan paranoia. Masalah depresi pada
pengguna ekstasi dibuktikan dengan pemberian obat antidepresan yang bekerja
meningkatkan level serotonin ternyata memberikan efek yang baik (Curran, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Ekstasi dan gangguan tidur


Salah satu fungsi dari serotonin adalah mengontrol jam biologi badan
(circadian rhytms) seperti rangsangan untuk tidur. Oleh karena itu, berkurangnya
serotonin menyebabkan defek pada pola tidur seseorang (Curran, 2000).
Hormon yang merangsang tidur adalah melatonin dalam proses circadian
rhythm. Bahan baku untuk sintesa melatonin ini adalah serotonin. Maka, apabila
serotonin berkurang, penghasilan melatonin turut berkurang lalu menyebabkan
gangguan tidur (Sherwood, 2007).

2.3.5. Ekstasi dan hipertermia


Hiperaktivitas autonomik merupakan gejala utama toksisitas ekstasi dan hal ini
berkait langsung dengan dosis yang digunakan. Mekanisme terjadinya hipertermia ini
dimulai apabila amfetamin merangsang pelepasan katekolamin dan serotonin (Hahn,
2009).
Pelepasan

katekolamin

akan

mengaktifkan

jaras

simpatik.

Hal

ini

menyebabkan vasokonstriksi pada kutan (cutaneous) menyebabkan kurangnya panas


yang dibebaskan dari tubuh lalu terjadilah hipertermia. Hal ini dibuktikan apabila
dengan pemberian obat yang mengembalikan pembuluh darah kutan ke diameter asal
menurunkan risiko kematian pada kejadian hipertermia akibat ekstasi (Pedersen &
Blessing, 2001).
Potensiasi kematian sel neuron di korteks meningkat dalam keadaan
hipertermik. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hipertermik turut memicu kepada
terjadinya efek neurotoksisitas pada pengguna ekstasi (Capela et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai