Anda di halaman 1dari 17

MENGGUNAKAN CTL DALAM PEMBELAJARAN DI SMP

1. Pendahuluan
Pembelajaran kontekstual atau lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebenarnya
bukan hal baru, tetapi CTL dewasa ini sangat ditekankan karena perkembangan dunia kerja di jaman
global yang ditandai dengan persaingan bebas, sehingga sekolah harus menyusun ulang kurikulumnya
untuk menyesuaikan dengan tuntutan global tersebut. Pada awalnya, CTL lebih banyak digunakan pada
sekolah-sekolah kejuruan, kemudian digunakan di sekolah umum tetapi untuk anak-anak dengan
kemampuan dibawah rata-rata. Kemudian, ketika CTL digunakan untuk belajar konsep-konsep/akademis,
CTL digunakan dalam bentuk watered-down dari konsep-konsep abstrak yang harus dipelajari dengan
sedikit contoh-contoh penggunaan di dunia nyata. Sekarang CTL digunakan dalam kurikulum, termasuk
KBK yang menegaskan bahwa proses belajar mengajar harus berbasis CTL.
2. Konsep
Apakah yang dimaksud dengan CTL? CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara
konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong siswa mengaitkan antara pengetahuan
dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga,
warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang
sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian
memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan siswa untuk menjadi seorang
professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual
atau terapan dari pengetahuan tersebut.
Bagi siswa, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih
pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, siswa
diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan
guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat
pada guru.
Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak
siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada
di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau a need-toknow basis masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi
pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada siswa
hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan.
Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran
yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata (Bond, 2005). Dalam CTL, pembelajaran konsepkonsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah
konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut
dengan cognitive apprenticeship. Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih siswa dalam
menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran
dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai siswa, (2) menunjukkan
manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar siswa.
Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan
menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman
tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi
pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan,
tetapi metode-metode yang berpusat pada siswa (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode
kooperatif akan lebih membantu siswa mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu
dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana siswa mendapat
peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masingmasing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa
setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut
(dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya
tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi

. Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan siswa dapat
dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi
sedikit hingga akhirnya siswa dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation
( penyampaian), yaitu kesempatan untuk siswa terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai
pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri),
yaitu kegiatan dimana siswa dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di
bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong siswa
untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.
3. Strategi CTL
Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan
pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying,
cooperating, dan transferring.
a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman
atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian siswa pada pengalaman, kejadian, dan kondisi seharihari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang,
pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar
bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara
aktif/langsung mengalaminya.
c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar
dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat siswa mencita-citakan sesuatu,
atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan
contoh yang sangat kontekstual dimana siswa mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia
nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang.
d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan
siswa lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada
kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang
5 mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang
relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung
pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa
teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.
e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, siswa belajar
menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam
pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving).
Clifford dan Wilson (2000) menyebutkan bahwa CTL tercermin dari pembelajaran yang:
a. Berbasis masalah (memecahkan masalah, menemukan dan menjawab masalah)
b. Menggunakan konteks yang beragam (teknik pembelajaran kontekstual yang digunakan harus
bervariasi, tidak monoton)
c. Menghargai keberagaman siswa (dari segi kemampuan, bakat, latar belakang, dll.)
d. Mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning)
e. Menggunakan kelompok belajar dengan semangat saling ketergantungan (interdependen, belajar secara
kooperatif)
f. Menggunakan asesmen otentik
4. Pembelajaran Berbasis Masalah
Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang
mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam
pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan
menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah,
bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru
mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit

pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru
atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan
bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data
yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait
dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa
rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lainlain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator
dan anggota masyarakat). Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa
dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi
sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah:
peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan
selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal,
kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah
dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman
tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam
pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated
learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:
Fase 1. Mengorientasikan siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong
siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri.
Fase 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah Fase 3. Membimbing investigasi
mandiri dan berkelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi, melakukan
eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Mengembangkan dan mempresentasikan
artefak
Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang
sesuai, seperti laporan, video, dan model; Guru juga membantu siswa untuk saling
menginformasikan pekerjaan mereka
Fase 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah Guru membantu siswa untuk
merefleksikan investigasi dan proses-proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.
5. Konteks Pembelajaran yang Beragam (Diverse Life Context) Alam kehidupan diwarnai oleh hal-hal
yang sangat beragam. Untuk bisa memotret kehidupan nyata maka CTL menekankan pentingnya guru
mengenalkan siswa pada berbagai konteks kehidupan tersebut. Karena itu, aktivitas pembelajaran seperti
studi lapangan, bertemu dan mewawancarai tokoh, membuat diorama, menulis cerita dan reportase, dan
lain-lain aktivitas nyata. CTL sangat menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti di atas;
namun tidak berarti bahwa guru samasekali tidak perlu menanamkan konsep melalui ceramah. Ceramah
tetap diperlukan tetapi diupayakan seminimal mungkin. Guru harus selalu berfikir menemukan aktivitas
(selain ceramah) yang paling kontekstual untuk menanamkan konsep maupun keterampilan dan sikap.
6. Menghargai Keberagaman Siswa Howard Gardner, seorang ahli psikologi Pendidikan dari Harvard
telah mengubah pandangan orang tentang inteligensi. Beliau mengatakan bahwa inteligensi bukanlah satu
kesatuan properti manusia, melainkan kumpulan kecenderungan pada manusia dimana satu
kecenderungan lebih kuat atau menonjol daripada kecenderungan yang lain. Oleh karena itu, Gardner
mengatakan bahwa manusia memiliki multiple intelligences yang dapat menjelaskan kenapa seseorang
lebih mampu melakukan sesuatu hal daripada sesuatu hal yang lain.
Implikasi dari konsep ini terhadap pendidikan, utamanya terhadap proses belajar seseorang adalah, bahwa
setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk belajar. Ada orang yang cepat memahami konsep dan
mengungkapkannya melalui kata-kata (verbal), tetapi ada juga yang mengungkapkannya dengan gerak
tubuh, ada juga dengan menggunakan diagram. Orang jenis pertama disebut Gardner memiliki linguistic
intelligence yang dominan dibandingkan intelligences yang lain. Orang kedua memiliki kinesthetic
intelligence tinggi, dan yang terakhir memiliki mathematical intelligence yang lebih menonjol. Guru CTL
diharapkan dapat memberi peluang kepada setiap siswa untuk belajar dan mengungkapkan
kemampuannya dengan cara yang paling baik bagi siswa tersebut. Penyeragaman bentuk respons,
misalnya, guru hanya menilai siswa dari hasil ulangan tertulis saja tidak sesuai dengan semangat CTL.

Oleh karena itu, keleluasaan untuk memilih bentuk respons perlu disediakan kepada siswa dalam rangka
terjadi pertumbuhan siswa secara optimal sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki.
7. Mendukung Pembelajaran Mandiri (self-regulated learning) Self-regulated learning (SRL) sebenarnya
sudah dikenal sejak tahun 1980an, yaitu sejak disadari pentingnya menanamkan tanggungjawab pada
siswa atas preoses belajarnya sendiri. SRL meliputi tiga aspek utama, yaitu kognisi, metakognisi, dan
motivasi. Ketiga aspek ini secara bersama-sama membentuk persepsi bahwa: (1) diri (self) adalah agen
dalam menetapkan tujuan belajar dan strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut; dan (2)
persepsi tentang diri (jati diri). Kedua hal ini diyakini sangat menentukan dalam keberhasilan dalam
belajar. Paris dan Winograd (2005) menyebutkan beberapa ciri dari siswa yang memiliki SRL, yaitu: a.
Kesadaraan tentang pikiran, yaitu kesadaran siswa tentang: (i) kebiasaan berfikirnya, dan (ii) bagaimana
berfikir yang efektif; dengan kata lain, siswa harus bias berfikir tentang bagaimana pikiran bekerja. Ini
merupakan aspek metakognisi, yang dapat berwujud evaluasi diri dan pengelolaan diri. b. Penggunaan
strategi belajar, dimana Paris dan Winograd menekankan dua hal, yaitu: (i) strategi yang digunakan dan
(ii) menjadi orang yang strategis. Seperti diketahui, terdapat tiga aspek metakognisi, yaitu: pengetahuan
deklaratif (pengetahuan tentang strategi), pengetahuan procedural (pengetahuan tentang bagaimana
melakukan strategi tersebut), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang kapan dan bagaimana
suatu strategi harus dilakukan). Ketiga pengetahuan ini bila dimiliki oleh siswa, dapat membantu mereka
berfikir strategis dan memilih strategi yang paling tepat untuk memecahkan suatu masalah. c. Motivasi
yang terpelihara, yaitu dorongan secara terus-menerus untuk melakukan suatu hal dan mencapai hasil
yang tinggi dari usaha yang dilakukan. Guru perlu merangsang timbulnya motivasi pada siswa dan tetap
memeliharanya karena perannya yang sangat penting dalam proses belajar siswa.
8. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan modelmodel lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur
tugas dan

Pendidikan Inklusif
Penjelasan Istilah
Istilah Utara' dan Selatan digunakan di sini untuk menggantikan
istilah maju dan berkembang bila merujuk pada perbedaan
global yang luas dalam kekuatan ekonomi dan politik. Negaranegara
Utara mengacu pada negara-negara yang secara ekonomi
lebih kaya (negara anggota G8 dan banyak negara-negara OECD).
Istilah yang digunakan ini lebih netral karena perbedaan antara
berkembang dan terbelakang dapat diinterpretasikan sebagai
penghinaan, mengabaikan tingkat kekayaan budaya yang tinggi dan
perkembangan yang terjadi di negara-negara yang lebih miskin.
Istilah Selatan mengacu pada negara-negara di Asia, Afrika, Timur
Tengah, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang
secara substansial lebih rendah perekonomiannya. Namun juga
diakui bahwa kemiskinan terjadi di semua negara, sehingga
pengertian istilah tersebut tidak secara kaku mengacu pada letak
geografis. Istilah ini merupakan suatu generalisasi karena pada
kenyataannya di dunia ini terdapat keberagaman budaya dan
konteks yang sangat luas. Namun demikian perlu diakui bahwa di
dunia ini terdapat ketidakseimbangan dalam kepemilikan sumbersumber
kekuasaan dan ekonomi.

Rangkuman
Konteks dan Asal Muasal Pendidikan Inklusif (Bab 1 dan 2)
Pendidikan sebagai hak untuk SEMUA anak telah tercantum dalam
berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal
1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat,
sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh
pendidikan DI DALAM sistem pendidikan umum dan tidak
didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang
lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak
Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis
mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling
jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka
Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan
penyesuaian. Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepat
untuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar PBB. Baru-baru
ini, implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah
dievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwa
Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak akan
terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput dan
adanya alokasi seumber-sumber secara nyata. Penurunan angka
kemiskinan merupakan prioritas donor akhir-akhir ini, dan ada
pengakuan bahwa PUS dan Pendidikan Inklusif tidak akan berjalan
kecuali langkah-langkah yang berkesinambungan dilakukan untuk
mengurangi kemiskinan.
Dalam kaitannya dengan praktek pendidikan, Pendidikan Inklusif
dipandang telah berhasil meningkatkan mutu sekolah dan
pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolah
merupakan persiapan yang sangat baik untuk Pendidikan Inklusif,
tetapi sering kali tidak cukup baik untuk benar-benar
menginklusikan kelompok anak yang paling termarjinalisasi.
Pendidikan kebutuhan khusus telah menyumbangkan keahlian yang
sangat praktis dan beberapa yang telah mengubah haluan ke
Pendidikan Inklusif dapat menjadi pendukung yang sangat kuat
tetapi juga dapat menjadi halangan karena filosofi dasarnya tidak
memberikan landasan yang tepat untuk keberlangsungan Pendidikan
Inklusif. Kedua pergerakan ini mempunyai manifestasi yang berbeda di
negara-negara Utara dan Selatan tetapi banyak elemen-elemen
yang sama.
Pengaruh-pengaruh lainnya seperti kelompok-kelompok aktifis
stakeholder utama (para penyandang cacat, orangtua, wanita),
inisiatif masyarakat dan berbagai contoh keberhasilan dan
kegagalan juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan
Pendidikan Inklusif.
Memahami Pendidikan Inklusif (Bab 3)

Kaum fragmatis mungkin bosan dengan segala perdebatan tentang


definisi, tetapi Pendidikan Inklusif memiliki bermacam-macam
pemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilan
atau kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalam
Pendidikan Inklusif adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkan
pada hak asasi dan model sosial; sistem yang harus disesuaikan
dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem.
Pelajaran yang dapat diambil dari negara-negara kurang mampu di
Selatan menekankan bahwa pendidikan inklusif bukan hanya
mengenai sekolah tetapi lebih luas dan mencakup inisiatif dan
keterlibatan masyarakat luas. Pendidikan inklusif dapat dipandang
sebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan
dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan,
keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumbersumber
yang tersedia. Banyak di antara hal tersebut merupakan
tantangan terhadap status quo, tetapi penting jika masyarakat dan
pembangunan secara keseluruhan ingin menjadi inklusif dan
memberikan manfaat kepada semua warganya.
Kebingungan orang tentang pendidikan inklusif diakibatkan oleh
penggunaan bermacam-macam istilah seperti inklusi, integrasi,
mainstreaming, pendidikan luar biasa dan pendekatan unit kecil
secara bertukar-tukar tanpa kejelasan atau definisi yang pasti.
Istilah-istilah tersebut dilandasi oleh nilai dan keyakinan yang
berbeda yang memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Khususnya di
negara-negara Utara, ada pergerakan historis dari pendidikan luar
biasa ke intergrasi, menuju inklusi. Tetapi urutan ini bukan suatu
keharusan, dan bila memungkinkan, akan menghemat waktu dan
sumber-sumber jika langsung melaksanakan inklusi. Praktek
mengadakan unit kecil di sekolah umum sering kali disebut inklusi, dan
justru hal ini dapat mengakibatkan eksklusi lagi. Ini sebuah
contoh model yang diekspos secara tidak tepat dari Utara ke
Selatan, yang sering membawa hasil yang sangat tidak diharapkan.
Menuangkan Ide pendidikan inklusif ke dalam Praktek (bab 4)
Banyak orang mengira bahwa untuk menuangkan ide pendidikan
inklusif ke dalam prakteknya hanyalah sekedar memperkenalkan
teknik dan metode yang spesifik agar setiap anak dapat belajar.
Metode ini punya tempatnya sendiri dan dapat memancing
perdebatan lebih mendalam tentang pendidikan inklusif; tetapi
dengan metode saja tidak akan menghasilkan program pendidikan
inklusif yang tepat dan berkesinambungan. Tiga bahan utama
diajukan untuk menghasilkan organisme yang dinamis dan kuat yang
dapat beradaptasi, tumbuh dan bertahan dalam berbagai konteks.
Ketiga bahan utama itu adalah: 1) kerangka kerja yang kuat
rangka (nilai, keyakinan, prinsip dan indikator keberhasilan); 2)
implementasi dalam konteks dan budaya lokal daging

(mempertimbangkan situasi praktis, penggunaan sumber-sumber


yang tersedia dan faktor-faktor budaya setempat); 3) partisipasi
secara berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis darah
kehidupan (siapa yang harus dilibatkan, bagaimana, apa dan kapan).
Secara bersama-sama, ketiga bahan utama tersebut dapat
menghasilkan sistem pendidikan yang fleksibel, kuat, sesuai tempat
dan berkesinambungan yang menginklusikan semua anak.
Membuat pendidikan inklusif Berjalan dalam Jangka Panjang:
Kesempatan dan Tantangan (bab 5)
Dalam dasawarsa terakhir ini kita dapat menyaksikan tumbuhnya
berbagai model praktis Pendidikan Inklusif di berbagai budaya
dalam bermacam-macam konteks. Sering kali contoh-contoh ini
merupakan cara terbaik untuk belajar mengimplementasikan
pendidikan inklusif, karena meskipun ini bukan cetak biru, tetapi
terdapat banyak tantangan dan kesempatan yang telah direspon
dengan berbagai cara yang kreatif. Contoh-contoh studi kasus dari
negara-negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Tengah dan
Eropa Timur menunjukkan adanya semua aspek bahan utama yang
disajikan dalam bab sebelumnya. Yang sangat inspiratif adalah
contoh dari masyarakat yang sangat miskin, dan contoh-contoh hasil
partisipasi aktif anak, guru dan stakeholder utama lainnya dan
inisiatif masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan yang akan
selalu ada, partisipasi berkesinambungan dari semua stakeholder
utama adalah suatu keharusan. Kita dapat menggunakan model yang
sederhana untuk menganalisis hambatan dan mengajukan solusi
sesuai dengan konteks masing-masing.

Bab 1
Landasan Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif sebagai Hak Asasi Manusia
Bab ini akan meninjau sekilas tentang dokumen-dokumen
internasional mengenai hak asasi manusia yang terkait dengan
Pendidikan Inklusif. Kemudian akan dibahas kekuatan dan
kelemahan dokumen-dokumen internasional tersebut.
Instrumen-instrumen Internasional yang relevan dengan Pendidikan
Inklusif:
1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua,
Jomtien
4. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi
para Penyandang Cacat
5. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang

Pendidikan Kebutuhan Khusus


6. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
7. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar
8. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada
Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
9. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan

1.1. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa:


Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.
Namun, anak dan orang dewasa penyandang cacat sering kali
direnggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini sering
didasarkan atas asumsi bahwa penyandang cacat tidak dipandang sebagai
umat manusia yang utuh, maka pengecualian pun
diberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan melakukan lobilobby,
kelompok penyandang cacat memastikan bahwa instrumeninstrumen
hak asasi manusia PBB berikutnya menyebutkan secara
spesifik orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa SEMUA
penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya,
memiliki hak atas pendidikan.
Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, suatu instrumen yang
secara sah mengikat, yang telah ditandatangani oleh semua negara
kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia), lebih jauh
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas
biaya bagi semua (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBB
memiliki empat Prinsip Umum yang menaungi semua pasal lainnya
termasuk pasal tentang pendidikan:
i) Non diskriminasi (Pasal 2) menyebutkan secara
spesifik tentang anak penyandang cacat.
ii) Kepentingan Terbaik Anak (Pasal 3).
iii) Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan
(Pasal 6).
iv) Menghargai Pendapat Anak (Pasal 12).
Prinsip penting lainnya yang dinyatakan oleh komite monitoring
adalah bahwa Kesemua hak itu tak dapat dipisahkan dan saling
berhubungan. Secara singkat, ini berarti bahwa meskipun
menyediakan pendidikan di sekolah luar biasa untuk anak
penyandang cacat itu memenuhi haknya atas pendidikan, tetapi ini
dapat melanggar haknya untuk diperlakukan secara nondiskriminatif,
dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di
dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Walaupun Pasal 23 secara khusus memfokuskan pada anak
penyandang cacat, tetapi memiliki kelemahan karena membuat hak
anak penyandang cacat tergantung pada sumber-sumber yang ada
dan memfokuskan pada kebutuhan khusus tanpa
mendefinisikannya. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam konteks

prinsip-prinsip dasar pendidikan, ditambah Pasal 28 dan 29 yang


berlaku untuk SEMUA anak. Lihat Lampiran 1 untuk rinciannya.

1.2. Idealisme Pendidikan untuk Semua


Selama beberapa dasawarsa setelah ditetapkannya Deklarasi
Universal, banyak upaya dilakukan untuk menciptakan pendidikan
yang universal. Namun, dengan cepat terlihat adanya jurang
pemisah antara idealisme dan realitas. Pada tahun 1980-an,
pertumbuhan pendidikan universal tidak hanya melambat, tetapi di
banyak negara bahkan berbalik arah. Diakui bahwa pendidikan
untuk semua tidak terjadi secara otomatis.
Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di
Thailand tahun 1990 mencoba untuk menjawab beberapa tantangan
ini. Deklarasi Jomtien tersebut melangkah lebih jauh daripada
Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang Universalisasi Akses dan
Mempromosikan Kesetaraan. Dinyatakan bahwa terdapat
kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu
rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak
perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja,
penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan
kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para
penyandang cacat. Lihat lampiran 2 untuk lebih rincinya.
Walaupun istilah inklusi tidak digunakan di Jomtien, terdapat
beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin
bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke
pendidikan dalam sistem pendidikan umum.
Ringkasan:
Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan
hak mendasar bagi SEMUA orang.
Jomtien mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu
terasingkan dan menyatakan bahwa sebuah komitmen aktif
harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan ....
kelompok-kelompok tidak boleh terancam diskriminasi dalam
mengakses kesempatan belajar.... (Pasal III, ayat 4)
Jomtien menyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan
perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang
sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian
yang integral dari sistem pendidikan. (Pasal II ayat 5)
Namun, dokumen Jomtien itu tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan bagian integral itu, dan tidak secara tegas
menyatakan lebih mendukung pendidikan inklusif daripada
pendidikan segregasi.
Jomtien juga menyatakan bahwa pembelajaran dimulai saat
lahir, dan mempromosikan pendidikan usia dini, serta
pentingnya menggunakan berbagai macam sistem pelaksanaan

pendidikan dan pentingnya keterlibatan keluarga dan


masyarakat.

1.3. Pendidikan Inklusif dan Para Penyandang Cacat


Pendidikan Inklusif tidak HANYA menyangkut inklusi penyandang
cacat. Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapat
banyak kelompok yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan
inklusi pada esensinya adalah menciptakan sistem yang dapat
mengakomodasi semua orang. Namun, demi alasan historis dan
alasan lainnya (dibahas kemudian), inklusi penyandang cacat telah
memberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakan
dan praktek sistem pendidikan umum. Dokumen-dokumen
selanjutnya yang spesifik mengenai penyandang cacat setelah
dokumen Jomtien lebih jauh mengklarifikasi apa yang dimaksud
dengan hak penyandang cacat atas pendidikan dalam prakteknya.
Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat (1993) (lihat lampiran 3) terdiri dari peraturanperaturan
yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat.
Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan
dokumen Jomtien, pendidikan bagi para penyandang cacat harus
merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa
Negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi
penyandang cacat. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandang
cacat diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga
membebaskan pemerintah dari tanggung jawabnya. Peraturan 6
mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasi
pada masa itu).
Poin-poin kuncinya adalah:
Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harus
bertanggung jawab atas pendidikan penyandang cacat dan
harus:
a) mempunyai kebijakan yang jelas,
b) mempunyai kurikulum yang fleksibel,
c) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan
pelatihan guru dan memberikan bantuan yang
berkelanjutan.
Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harus
didukung dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan
kualitas tinggi bukan pilihan yang murah.
Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai
dukungan yang penting terhadap Pendidikan Inklusif.
Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistem
pendidikan umum tidak memadai terutama untuk siswa
tunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9)

1.4. Pendidikan Inklusif dan Kebutuhan Khusus

Peraturan Standar berakar pada gerakan Hak penyandang cacat dan


mencerminkan pengalaman berbagai kelompok penyandang cacat.
Penyandang tunanetra dan tunarungu (meskipun jumlahnya sedikit)
memperoleh banyak keuntungan dari sistem pendidikan segregasi.
Tanpa SLB, mereka mungkin tidak memperoleh kesempatan
pendidikan atau tidak dapat mengakses kurikulum di sekolah
reguler. Konferensi Salamanca setahun kemudian didasarkan atas
perspektif para profesional yang bekerja di sekolah-sekolah, yang
berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersamasama.
Perbedaan utamanya adalah bahwa Peraturan Standar
membicarakan tentang suatu kelompok tertentu (penyandang cacat)
dan hak-haknya. Dalam Salamanca fokusnya terletak pada
keberagaman karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak.
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus (1994) hingga saat ini masih merupakan
dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek
Pendidikan Inklusif. Dokumen ini mengemukakan beberapa
19

prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam


dokumen-dokumen sebelumnya. (lihat lampiran 4 untuk lebih rinci)
Salamanca
Beberapa konsep inti Inklusi meliputi:
Anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam
karakteristik dan kebutuhannya.
Perbedaan itu normal adanya.
Sekolah perlu mengakomodasi SEMUA anak.
Anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan
sekitar tempat tinggalnya.
Partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi.
Pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari
inklusi.
Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak,
bukan kebalikannya.
Inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat.
Inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan
hak asasi manusia secara penuh.
Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk SEMUA anak
karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif.
Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya
pendidikan.
Satu paragraf dalam Pasal 2 memberikan argumen yang sangat baik
untuk sekolah inklusif:
Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang
paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan

masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif


dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah
inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak.
dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk
keseluruhan sistem pendidikan.

1.5. Realitas Pendidikan untuk Semua


Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal (2000),
diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan Dasawarsa
Pendidikan untuk Semua yang telah diawali di Jomtien. Telah
diketahui sebelumnya bahwa tujuan PUS dari Jomtien itu belum
tercapai. Lebih dari 117 juta anak masih belum bersekolah.
Konferensi Dakar sangat dikecam oleh komunitas non-pemerintah
Internasional karena terlalu berkiblat pada donor dan hanya sekedar
menggeser batas waktu untuk pencapaian tujuan PUS dari tahun
2000 menjadi 2015. Dengan kata lain, idealisme PUS belum
diterjemahkan menjadi realitas. (Lihat lampiran 5 dan 6 untuk
lebih rinci)
Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi,
terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan
kesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan ke
sekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang cacat tidak secara
spesifik disebutkan walaupun istilah inklusif dipergunakan:
Dalam kerangka Dakar, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya
berjanji untuk: Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman,
sehat, inklusif dan dilengkapi dengan sumber-sumber yang
memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkat
pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua (pasal 8).
Kerangka Dakar juga menyatakan:
... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak dari
kelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, sistem
pendidikan harus merespon secara fleksibel ... Sistem pendidikan
harus inklusif, secara aktif mencari anak yang belum bersekolah
dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan kebutuhan
semua siswa (penjelasan pada paragraf 33).
Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat
itu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan Pendidikan
Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa pertemuan berikutnya
antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang.

PENGERTIAN RSBI (RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL)

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan
peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional
sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
LANDASAN HUKUM
UU No. 20 Tahun 2003 ps 50
UUNo. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Pusat dan Daerah
UU No 33 Tahun 2004 : Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom
UU No. 25 Tahun 2000 : Program Pembangunan Nasional
PP NoTahun 2005 : Standar Nasional Pendidikan (SNP) ps 61
Permendiknas No. 22,23,24 Tahun 2006 : Standar Isi, SKL dan Implementasinya
TUJUAN PROGRAM RSBI
Umum
a) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan
UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005
tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan.
b) Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan
internasional.
c) Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
Khusus
Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan
yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasiona.
RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan
untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:
1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK;
3) memenuhi Standar Isi; dan
4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan
sebagai berikut:
1) sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di mana setiap saat
siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing;
2) muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul
dari salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/
atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan
3) menerapkan standar kelulusan sekolah/ madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan.
Adalah tidak benar kalau guru Bahasa Indonesia harus menggunakan Bahasa Inggris dalam memberikan
pengantar pelajarannya, walaupun hal tersebut boleh saja dilakukan, tetapi penggunaan Bahasa Inggris
adalah untuk pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti

kejuruan saja, sebagaimana dalam Bagian Proses Pembelajaran RSBI/SBI dinyatakan sebagai berikut:
Mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses
pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian
indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Proses. Selain itu, keberhasilan tersebut juga
ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut:
a) proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi sekolah/madrasah lainnya dalam
pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural,
jiwa patriot, dan jiwa inovator;
b) diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD
dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;
c) menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;
d) pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa
Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus
menggunakan bahasa Indonesia; dan
e) pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains dan matematika untuk
SD/MI baru dapat dimulai pada Kelas IV.
PELAKSANAAN KURIKULUM DAN PROSES PEMBELAJARAN RSBI MENGGUNAKAN
ASAS-ASAS SEBAGAI BERIKUT:
1) Menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional dengan mengadabtasi kurikulum sekolah di
Negara lain.
2) Mengajarkan bahasa asing, terutama penggunaan bahasa Inggris, secara terintegrasi dengan mata
pelajaran lainnya. Metode pengajaran dwi bahasa ini dapat dilaksanakan dengan 2 kategori yakni
Subtractive Bilingualism (beri penjelasan oleh penulis) dan Additive Bilingualism, yang menekankan
pendekatan Dual Language.
3) Pengajaran dengan pendekatan Dual Language menekankan perbedaan adanya Bahasa Akademis dan
Bahasa Sosial yang pengaturan bahasa pengantarnya dapat dialokasikan berdasarkan Subjek maupun
Waktu (beri penjelasan oleh penulis).
4) Menekankan keseimbangan aspek perkembangan anak meliputi aspek kognitif (intelektual), aspek
sosial dan emosional, dan aspek fisik.
5) Mengintegrasikan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) termasuk Emotional Intelligence dan
Spiritual Intelligence ke dalam kurikulum.
6) Mengembangkan kurikulum terpadu yang berorientasi pada materi, kompetensi, nilai dan sikap serta
prilaku (kepribadian ).
7) Mengarahkan siswa untuk mampu berpikir kritis, kreatif dan analitis , memiliki kemampuan belajar
(learning how to learn) serta mampu mengambil keputusan dalam belajar. Penyusunan kurikulum ini
didasarkan prinsip Understanding by Design yang menekankan pemahaman jangka panjang (Enduring
Understanding). Pemahaman

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLEMENTASINYA


Makalah disampaikann pada Workshop Sosialisasi dan Iplementasi Kurikulum
2004
Madrayah Aliyah DIY, Jateng, Kalsel di FMIPA UNY Th 2003

Oleh
Dr. Jumadi
A. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan

materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa


sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan
dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni : kontruktivisme
(constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki (inquiry), masyaraka
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian autentik (authentic assessment).
Makna dari kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangun
pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada
pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-akomodasi.
Implikasinya adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Inti dari inquiry atau
menyelidiki adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman. Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan
keterampilan berpikir kritis Bertanya atau questioning dalam pembelajaran
kontekstual dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru bertanya
dimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya meupakan bagian penting
dalam pembelajaran yang berbasis inquiry. Masyarakat belajar merupakan
sekelompok orang (siswa) yang terikat dalam kegiatan belajar, tukar
pengalaman, dan berbagi pengalaman. Sesuai dengan teori kontruktivisme,
melalui interaksi sosial dalam masyarakat belajar ini maka siswa akan
mendapat kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, oleh
karena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
Pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain
(siswa) meniru, berlatih, menerapkan pada situasi lain, dan
mengembangkannya. Menurut Albert Bandura, belajar dapat dilakukan
dengan cara pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukur
dan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yang
autentik (senyatanya). Agar dapat menilai senyatanya, penilaian autentik
dilakukan dengan berbagai cara misalnya penilaian penilaian produk,
penilaian kinerja (performance), potofolio, tugas yang relevan dan
kontekstual, penilaian diri, penilaian sejawat dan sebagainya. Refleksi pada
prinsipnya adalah berpikir tentang apa yang telah dipikir atau dipelajari,
dengan kata lain merupakan evaluasi dan instropeksi terhadap kegiatan
belajar yang telah ia lakukan.
Alasan perlu diterapkannya pembelajaran kontekstual adalah :
1. Sebagian besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi
kegiatan penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa
dipaksa memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidak
menyenangkan dan memberdayakan siswa.

2. Materi pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait


dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan
keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
3. Penilaian hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan,
tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa yang autentik pada
situasi yang autentik.
4. Sumber belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar
belum dimanfaatkan secara optimal. Landasan filosofi pemelajaran kontekstual adalah
konstruktivisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa
seperti halnya mengisi botol kosong, sebab otak siswa tidak kosong
melainkan sudah berisi pengetahuan hasil pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Siswa tidak hanya menerima pengetahuan, namun
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual
(asimilasi dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi sosial).
Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukam merupakan pendekatan
yang sama sekali baru. Dasar pembelajaran kontekstual sudah
dikembangkan oleh John Dewey sejak tahun 1916. Pendekatan ini kemudian
digali kembali, dikembangkan lagi, dan dipopulerkan oleh The Washington
State Concorcium for Contextual Teaching and Learning engan melibatkan
11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam
dunia pendidikan di Amerika Serikat.
B. Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jika
materi pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan
peneapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh
komponen utama tersebut sehinggga pembelajaran menjadi bermaknabagi
siswa. Model pembelajaran apa saja sepanjang memenuhi persyaratan
tersebut dapat dikatakan menggunakanpendekatan kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dapat diterapakan dalam kelas besar maupun
kelas kecil, namun akan lebih mudah organisasinya jika diterapkan dalam
kelas kecil. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasis
kompetensi sangat sesuai.
Dalam penerapannya pembelajaran kontekstual tidak memerlukan
biaya besar dan media khusus. Pembelajaran kontekstual memanfaatkan
berbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang
las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas,
koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio,
internet, dan sebagainya. Guru dan buku bukan merupakan sumber dan
media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba
tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi berbagai pertanyaan
iswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern.

Seperti yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstual


tes hanya merupakan sebagian dari teknik/ instrumen penelitian yang
bermaca-macam seperti wawancara, observasi, inventory, skala sikap,
penilaian kinerja, portofolio, jurnal siswa, dan sebagainya yang semuanya
disinergikan untuk menilai kemampuan siswa yang sebenarnya (autentik).
Penilainya bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak
lain (teknisi, bengkel, tukang dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasi
yang autetik misal pada saat diskusi, praktikum, wawancara di bengkel,
kegiatan belajar-mengajar di kelas dan sebagainya.siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagai
laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini.
Jadi RPP lebih cenderung berfungs mengingatkan guru sendiri dalam
menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah (skenario)
pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana.
Beberapa model pembelajaran yang meruapakan aplikasi
pembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran koperatif (cooperatif learning), pembelajaran
berbasis masalah ( problem based learning).
1. Model Pembelajaran Langsung
Inti dari model pembelajaran langsung adalah guru
mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan tertentu, selanjutnya
melatihkan keterampilan tersebut selangkah demi selangkah kepada siswa.
Rasional teoritik yang melandasi model ini adalah teori pemodelan
tingkah laku yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura,
belajar dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru) perilaku dan
pengalaman orang lain. Sebagai contoh untuk dapat mengukur panjang
dengan jangka sorong, siswa dapat belajar dengan menirukan cara
mengukur panjang dengan jangka sorong yang dicontohkan oleh guru.
Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini terutama
adalah penguasaan pengetahuan prosedural (pengetahuan bagaimana
melakukan sesuatu misalnya mengukur panjang dengan jangka sorong,
mengerjakan soal-soal yang terkait dengan hukum kekekalan energi, dan
menimbang benda dengan neraca Ohauss), dan atau pengetahuan deklaratif
(pengetahuan tentang sesuatu misal nama-nama bagian jangka sorong,
pembagian skala nonius pada micrometer sekrup, dan fungsi bagian-bagian
neraca Ohauss), serta keterampilan belajar siswa (misal menggarisbawahi
kata kunci, menyusun jembatan keledai, membuat peta konsep, dan
membuat rangkuman).

Anda mungkin juga menyukai