1. Pendahuluan
Pembelajaran kontekstual atau lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebenarnya
bukan hal baru, tetapi CTL dewasa ini sangat ditekankan karena perkembangan dunia kerja di jaman
global yang ditandai dengan persaingan bebas, sehingga sekolah harus menyusun ulang kurikulumnya
untuk menyesuaikan dengan tuntutan global tersebut. Pada awalnya, CTL lebih banyak digunakan pada
sekolah-sekolah kejuruan, kemudian digunakan di sekolah umum tetapi untuk anak-anak dengan
kemampuan dibawah rata-rata. Kemudian, ketika CTL digunakan untuk belajar konsep-konsep/akademis,
CTL digunakan dalam bentuk watered-down dari konsep-konsep abstrak yang harus dipelajari dengan
sedikit contoh-contoh penggunaan di dunia nyata. Sekarang CTL digunakan dalam kurikulum, termasuk
KBK yang menegaskan bahwa proses belajar mengajar harus berbasis CTL.
2. Konsep
Apakah yang dimaksud dengan CTL? CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara
konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong siswa mengaitkan antara pengetahuan
dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga,
warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang
sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian
memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan siswa untuk menjadi seorang
professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual
atau terapan dari pengetahuan tersebut.
Bagi siswa, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih
pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, siswa
diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan
guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat
pada guru.
Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak
siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada
di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau a need-toknow basis masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi
pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada siswa
hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan.
Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran
yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata (Bond, 2005). Dalam CTL, pembelajaran konsepkonsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah
konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut
dengan cognitive apprenticeship. Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih siswa dalam
menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran
dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai siswa, (2) menunjukkan
manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar siswa.
Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan
menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman
tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi
pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan,
tetapi metode-metode yang berpusat pada siswa (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode
kooperatif akan lebih membantu siswa mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu
dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana siswa mendapat
peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masingmasing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa
setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut
(dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya
tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi
. Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan siswa dapat
dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi
sedikit hingga akhirnya siswa dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation
( penyampaian), yaitu kesempatan untuk siswa terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai
pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri),
yaitu kegiatan dimana siswa dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di
bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong siswa
untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.
3. Strategi CTL
Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan
pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying,
cooperating, dan transferring.
a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman
atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian siswa pada pengalaman, kejadian, dan kondisi seharihari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang,
pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar
bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara
aktif/langsung mengalaminya.
c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar
dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat siswa mencita-citakan sesuatu,
atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan
contoh yang sangat kontekstual dimana siswa mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia
nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang.
d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan
siswa lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada
kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang
5 mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang
relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung
pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa
teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.
e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, siswa belajar
menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam
pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving).
Clifford dan Wilson (2000) menyebutkan bahwa CTL tercermin dari pembelajaran yang:
a. Berbasis masalah (memecahkan masalah, menemukan dan menjawab masalah)
b. Menggunakan konteks yang beragam (teknik pembelajaran kontekstual yang digunakan harus
bervariasi, tidak monoton)
c. Menghargai keberagaman siswa (dari segi kemampuan, bakat, latar belakang, dll.)
d. Mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning)
e. Menggunakan kelompok belajar dengan semangat saling ketergantungan (interdependen, belajar secara
kooperatif)
f. Menggunakan asesmen otentik
4. Pembelajaran Berbasis Masalah
Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang
mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam
pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan
menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah,
bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru
mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit
pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru
atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan
bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data
yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait
dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa
rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lainlain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator
dan anggota masyarakat). Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa
dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi
sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah:
peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan
selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal,
kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah
dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman
tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam
pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated
learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:
Fase 1. Mengorientasikan siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong
siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri.
Fase 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah Fase 3. Membimbing investigasi
mandiri dan berkelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi, melakukan
eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Mengembangkan dan mempresentasikan
artefak
Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang
sesuai, seperti laporan, video, dan model; Guru juga membantu siswa untuk saling
menginformasikan pekerjaan mereka
Fase 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah Guru membantu siswa untuk
merefleksikan investigasi dan proses-proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.
5. Konteks Pembelajaran yang Beragam (Diverse Life Context) Alam kehidupan diwarnai oleh hal-hal
yang sangat beragam. Untuk bisa memotret kehidupan nyata maka CTL menekankan pentingnya guru
mengenalkan siswa pada berbagai konteks kehidupan tersebut. Karena itu, aktivitas pembelajaran seperti
studi lapangan, bertemu dan mewawancarai tokoh, membuat diorama, menulis cerita dan reportase, dan
lain-lain aktivitas nyata. CTL sangat menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti di atas;
namun tidak berarti bahwa guru samasekali tidak perlu menanamkan konsep melalui ceramah. Ceramah
tetap diperlukan tetapi diupayakan seminimal mungkin. Guru harus selalu berfikir menemukan aktivitas
(selain ceramah) yang paling kontekstual untuk menanamkan konsep maupun keterampilan dan sikap.
6. Menghargai Keberagaman Siswa Howard Gardner, seorang ahli psikologi Pendidikan dari Harvard
telah mengubah pandangan orang tentang inteligensi. Beliau mengatakan bahwa inteligensi bukanlah satu
kesatuan properti manusia, melainkan kumpulan kecenderungan pada manusia dimana satu
kecenderungan lebih kuat atau menonjol daripada kecenderungan yang lain. Oleh karena itu, Gardner
mengatakan bahwa manusia memiliki multiple intelligences yang dapat menjelaskan kenapa seseorang
lebih mampu melakukan sesuatu hal daripada sesuatu hal yang lain.
Implikasi dari konsep ini terhadap pendidikan, utamanya terhadap proses belajar seseorang adalah, bahwa
setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk belajar. Ada orang yang cepat memahami konsep dan
mengungkapkannya melalui kata-kata (verbal), tetapi ada juga yang mengungkapkannya dengan gerak
tubuh, ada juga dengan menggunakan diagram. Orang jenis pertama disebut Gardner memiliki linguistic
intelligence yang dominan dibandingkan intelligences yang lain. Orang kedua memiliki kinesthetic
intelligence tinggi, dan yang terakhir memiliki mathematical intelligence yang lebih menonjol. Guru CTL
diharapkan dapat memberi peluang kepada setiap siswa untuk belajar dan mengungkapkan
kemampuannya dengan cara yang paling baik bagi siswa tersebut. Penyeragaman bentuk respons,
misalnya, guru hanya menilai siswa dari hasil ulangan tertulis saja tidak sesuai dengan semangat CTL.
Oleh karena itu, keleluasaan untuk memilih bentuk respons perlu disediakan kepada siswa dalam rangka
terjadi pertumbuhan siswa secara optimal sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki.
7. Mendukung Pembelajaran Mandiri (self-regulated learning) Self-regulated learning (SRL) sebenarnya
sudah dikenal sejak tahun 1980an, yaitu sejak disadari pentingnya menanamkan tanggungjawab pada
siswa atas preoses belajarnya sendiri. SRL meliputi tiga aspek utama, yaitu kognisi, metakognisi, dan
motivasi. Ketiga aspek ini secara bersama-sama membentuk persepsi bahwa: (1) diri (self) adalah agen
dalam menetapkan tujuan belajar dan strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut; dan (2)
persepsi tentang diri (jati diri). Kedua hal ini diyakini sangat menentukan dalam keberhasilan dalam
belajar. Paris dan Winograd (2005) menyebutkan beberapa ciri dari siswa yang memiliki SRL, yaitu: a.
Kesadaraan tentang pikiran, yaitu kesadaran siswa tentang: (i) kebiasaan berfikirnya, dan (ii) bagaimana
berfikir yang efektif; dengan kata lain, siswa harus bias berfikir tentang bagaimana pikiran bekerja. Ini
merupakan aspek metakognisi, yang dapat berwujud evaluasi diri dan pengelolaan diri. b. Penggunaan
strategi belajar, dimana Paris dan Winograd menekankan dua hal, yaitu: (i) strategi yang digunakan dan
(ii) menjadi orang yang strategis. Seperti diketahui, terdapat tiga aspek metakognisi, yaitu: pengetahuan
deklaratif (pengetahuan tentang strategi), pengetahuan procedural (pengetahuan tentang bagaimana
melakukan strategi tersebut), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang kapan dan bagaimana
suatu strategi harus dilakukan). Ketiga pengetahuan ini bila dimiliki oleh siswa, dapat membantu mereka
berfikir strategis dan memilih strategi yang paling tepat untuk memecahkan suatu masalah. c. Motivasi
yang terpelihara, yaitu dorongan secara terus-menerus untuk melakukan suatu hal dan mencapai hasil
yang tinggi dari usaha yang dilakukan. Guru perlu merangsang timbulnya motivasi pada siswa dan tetap
memeliharanya karena perannya yang sangat penting dalam proses belajar siswa.
8. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan modelmodel lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur
tugas dan
Pendidikan Inklusif
Penjelasan Istilah
Istilah Utara' dan Selatan digunakan di sini untuk menggantikan
istilah maju dan berkembang bila merujuk pada perbedaan
global yang luas dalam kekuatan ekonomi dan politik. Negaranegara
Utara mengacu pada negara-negara yang secara ekonomi
lebih kaya (negara anggota G8 dan banyak negara-negara OECD).
Istilah yang digunakan ini lebih netral karena perbedaan antara
berkembang dan terbelakang dapat diinterpretasikan sebagai
penghinaan, mengabaikan tingkat kekayaan budaya yang tinggi dan
perkembangan yang terjadi di negara-negara yang lebih miskin.
Istilah Selatan mengacu pada negara-negara di Asia, Afrika, Timur
Tengah, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang
secara substansial lebih rendah perekonomiannya. Namun juga
diakui bahwa kemiskinan terjadi di semua negara, sehingga
pengertian istilah tersebut tidak secara kaku mengacu pada letak
geografis. Istilah ini merupakan suatu generalisasi karena pada
kenyataannya di dunia ini terdapat keberagaman budaya dan
konteks yang sangat luas. Namun demikian perlu diakui bahwa di
dunia ini terdapat ketidakseimbangan dalam kepemilikan sumbersumber
kekuasaan dan ekonomi.
Rangkuman
Konteks dan Asal Muasal Pendidikan Inklusif (Bab 1 dan 2)
Pendidikan sebagai hak untuk SEMUA anak telah tercantum dalam
berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal
1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat,
sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh
pendidikan DI DALAM sistem pendidikan umum dan tidak
didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang
lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak
Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis
mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling
jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka
Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan
penyesuaian. Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepat
untuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar PBB. Baru-baru
ini, implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah
dievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwa
Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak akan
terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput dan
adanya alokasi seumber-sumber secara nyata. Penurunan angka
kemiskinan merupakan prioritas donor akhir-akhir ini, dan ada
pengakuan bahwa PUS dan Pendidikan Inklusif tidak akan berjalan
kecuali langkah-langkah yang berkesinambungan dilakukan untuk
mengurangi kemiskinan.
Dalam kaitannya dengan praktek pendidikan, Pendidikan Inklusif
dipandang telah berhasil meningkatkan mutu sekolah dan
pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolah
merupakan persiapan yang sangat baik untuk Pendidikan Inklusif,
tetapi sering kali tidak cukup baik untuk benar-benar
menginklusikan kelompok anak yang paling termarjinalisasi.
Pendidikan kebutuhan khusus telah menyumbangkan keahlian yang
sangat praktis dan beberapa yang telah mengubah haluan ke
Pendidikan Inklusif dapat menjadi pendukung yang sangat kuat
tetapi juga dapat menjadi halangan karena filosofi dasarnya tidak
memberikan landasan yang tepat untuk keberlangsungan Pendidikan
Inklusif. Kedua pergerakan ini mempunyai manifestasi yang berbeda di
negara-negara Utara dan Selatan tetapi banyak elemen-elemen
yang sama.
Pengaruh-pengaruh lainnya seperti kelompok-kelompok aktifis
stakeholder utama (para penyandang cacat, orangtua, wanita),
inisiatif masyarakat dan berbagai contoh keberhasilan dan
kegagalan juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan
Pendidikan Inklusif.
Memahami Pendidikan Inklusif (Bab 3)
Bab 1
Landasan Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif sebagai Hak Asasi Manusia
Bab ini akan meninjau sekilas tentang dokumen-dokumen
internasional mengenai hak asasi manusia yang terkait dengan
Pendidikan Inklusif. Kemudian akan dibahas kekuatan dan
kelemahan dokumen-dokumen internasional tersebut.
Instrumen-instrumen Internasional yang relevan dengan Pendidikan
Inklusif:
1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua,
Jomtien
4. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi
para Penyandang Cacat
5. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan
peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional
sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
LANDASAN HUKUM
UU No. 20 Tahun 2003 ps 50
UUNo. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Pusat dan Daerah
UU No 33 Tahun 2004 : Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom
UU No. 25 Tahun 2000 : Program Pembangunan Nasional
PP NoTahun 2005 : Standar Nasional Pendidikan (SNP) ps 61
Permendiknas No. 22,23,24 Tahun 2006 : Standar Isi, SKL dan Implementasinya
TUJUAN PROGRAM RSBI
Umum
a) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan
UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005
tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan.
b) Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan
internasional.
c) Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
Khusus
Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan
yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasiona.
RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan
untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:
1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK;
3) memenuhi Standar Isi; dan
4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.
Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan
sebagai berikut:
1) sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di mana setiap saat
siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing;
2) muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul
dari salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/
atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan
3) menerapkan standar kelulusan sekolah/ madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan.
Adalah tidak benar kalau guru Bahasa Indonesia harus menggunakan Bahasa Inggris dalam memberikan
pengantar pelajarannya, walaupun hal tersebut boleh saja dilakukan, tetapi penggunaan Bahasa Inggris
adalah untuk pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti
kejuruan saja, sebagaimana dalam Bagian Proses Pembelajaran RSBI/SBI dinyatakan sebagai berikut:
Mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses
pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian
indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Proses. Selain itu, keberhasilan tersebut juga
ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut:
a) proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi sekolah/madrasah lainnya dalam
pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural,
jiwa patriot, dan jiwa inovator;
b) diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD
dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;
c) menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;
d) pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa
Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus
menggunakan bahasa Indonesia; dan
e) pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains dan matematika untuk
SD/MI baru dapat dimulai pada Kelas IV.
PELAKSANAAN KURIKULUM DAN PROSES PEMBELAJARAN RSBI MENGGUNAKAN
ASAS-ASAS SEBAGAI BERIKUT:
1) Menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional dengan mengadabtasi kurikulum sekolah di
Negara lain.
2) Mengajarkan bahasa asing, terutama penggunaan bahasa Inggris, secara terintegrasi dengan mata
pelajaran lainnya. Metode pengajaran dwi bahasa ini dapat dilaksanakan dengan 2 kategori yakni
Subtractive Bilingualism (beri penjelasan oleh penulis) dan Additive Bilingualism, yang menekankan
pendekatan Dual Language.
3) Pengajaran dengan pendekatan Dual Language menekankan perbedaan adanya Bahasa Akademis dan
Bahasa Sosial yang pengaturan bahasa pengantarnya dapat dialokasikan berdasarkan Subjek maupun
Waktu (beri penjelasan oleh penulis).
4) Menekankan keseimbangan aspek perkembangan anak meliputi aspek kognitif (intelektual), aspek
sosial dan emosional, dan aspek fisik.
5) Mengintegrasikan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) termasuk Emotional Intelligence dan
Spiritual Intelligence ke dalam kurikulum.
6) Mengembangkan kurikulum terpadu yang berorientasi pada materi, kompetensi, nilai dan sikap serta
prilaku (kepribadian ).
7) Mengarahkan siswa untuk mampu berpikir kritis, kreatif dan analitis , memiliki kemampuan belajar
(learning how to learn) serta mampu mengambil keputusan dalam belajar. Penyusunan kurikulum ini
didasarkan prinsip Understanding by Design yang menekankan pemahaman jangka panjang (Enduring
Understanding). Pemahaman
Oleh
Dr. Jumadi
A. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan