Anda di halaman 1dari 19

Drug Related Problems Pada Pasien Rawat Inap Stroke Iskemik Di Ruang

Perawatan Neurologi RSSN Bukittinggi


Oleh : Jerry, M.Farm, Apt
(Dibawah bimbingan Prof.Dr.Almahdy.A,Apt dan Khairil Armal,S.Si,Sp.FRS,Apt)

ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya Drug Related Problems
pada pasien rawat inap stroke iskemik di ruang perawatan neurologi RSSN
Bukittinggi. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan rancangan
deskriptif yang bersifat prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan dari 33 orang pasien didapatkan bahwa pasien
stroke iskemik mendapatkan obat sesuai dengan penyakit yang dideritanya, kejadian
indikasi tanpa obat sebesar 18%, ketidaktepatan pemilihan obat sebesar 9%, terjadi
kelebihan dan kekurangan dosis obat sebesar 11%, interaksi obat yang merugikan
sebesar 42%, reaksi efek samping pemakaian obat sebesar 24%, dan kegagalan
memperoleh obat sebesar 52%.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi Drug Related
Problems pada pasien stroke iskemik di RSSN Bukittinggi secara keseluruhan relatif
rendah.
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Makin bertambahnya jenis obat yang beredar dan terbatasnya pengetahuan
tenaga kesehatan tentang profil suatu obat menyebabkan meningkatnya Drug
Related Problems (DRPs). (Trisna, 2004).
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang
ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. (Lionel, 2008).
Stroke iskemik bertanggung jawab atas 80 % dari sekitar 700 ribu kasus
stroke yang terjadi di Amerika serikat setiap tahunnya dan 150 ribu diantaranya
menyebabkan kematian. (Papalia, 2007).

Di Indonesia angka kejadian stroke meningkat dengan tajam, bahkan saat ini
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia dan
keempat didunia, setelah India, Cina, dan Amerika. (Feigin, 2006).
b. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi Drug Related Problems yang terjadi pada pasien stroke
iskemik di ruang perawatan neurologi RSSN Bukittinggi.

II. METODOLOGI PENELITIAN


a. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara
prospektif terhadap suatu populasi terbatas.
b. Jenis Data
Meliputi masalah-masalah penggunaan obat yang ditemukan dalam terapi
stroke iskemik, serta persentase pasien yang menjalani terapi stroke iskemik,
persentase jenis obat yang digunakan, persentase jumlah pasien berdasarkan rentang
umur pasien, jenis kelamin, diagnosa penyakit dan beratnya penyakit.
c. Sumber Data
Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi obat stroke
iskemik serta wawancara pasien atau keluarga pasien di ruang perawatan neurologi
RSSN Bukittinggi.
d. Prosedur Penelitian
1. Penetapan Obat yang Akan Dievaluasi
Obat yang akan dievaluasi adalah semua obat-obat yang digunakan
selama menjalani terapi stroke iskemik.

2. Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi


- Kriteria inklusi :
Data inklusi sampel yang dipilih adalah pasien yang menjalani terapi
stroke iskemik di ruang perawatan Neurologi di RSSN Bukittinggi selama
bulan Maret sampai Mei 2011.
- Kriteria eksklusi :
Pasien yang menjalani terapi stroke non iskemik (stroke haemoragik).
3. Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pencatatan rekam medik di ruang
perawatan Neurologi di RSSN Bukittinggi, meliputi data kualitatif dan
kuantitatif serta kelengkapan data pasien. Data yang diambil dipindahkan ke
lembaran pengumpul data. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan
melihat catatan perawat, catatan obat depo farmasi neurologi, melihat kondisi
pasien langsung dengan mengikuti visite dokter, wawancara pasien atau
keluarga pasien.
4. Penetapan Standar Penggunaan Obat
Standar penggunaan obat ditetapkan berdasarkan standar terapi di
RSSN Bukittinggi, formularium yang berlaku dan literatur-literatur ilmiah
lainnya.
5. Analisis Data
- Membuat persentase pasien yang mengalami DRPs.
- Menganalisa hubungan kondisi pasien dengan kejadian DRPs.
- Analisis data menggunakan metoda chi-kuadrat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Hasil
1. Persentase Pasien Stroke Iskemik.
Berdasarkan data yang diperoleh, dari 33 orang pasien diketahui pasien
pria sebanyak 51,5% sedangkan pasien wanita sebanyak 48,5%. Dimana usia
rata-rata pasien stroke iskemik adalah 61 tahun dengan lama perawatan ratarata 10,5 hari. Sedangkan jumlah resep rata-rata yang diterima pasien adalah 10
resep.
2. Persentase Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Faktor Resiko.
Berdasarkan data yang didapat, diketahui persentase pasien stroke
iskemik dengan faktor resiko hipertensi sebanyak 60%, dislipidemia 17%,
merokok 17%, obesitas 4%, dan diabetes melitus 2%.
3. Persentase Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Pemakaian Obat.
Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa obat neuroprotektif adalah
obat yang paling sering digunakan pada terapi stroke iskemik yaitu digunakan
pada 33 pasien (seluruh pasien yang dirawat di ruang perawatan neurologi
RSSN Bukittinggi), multivitamin digunakan pada 31 pasien, anti trombotik dan
antasida masing-masing digunakan pada 29 pasien, obat analgetik/antipiretik
(25 pasien), antihipertensi (23 pasien), anti hiperkolesterol (17 pasien), anti
depresi (9 pasien), anti bakteri (8 pasien), anti ansietas (5 pasien), antidiabetes
(2 pasien).
4. Persentase Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Diagnosa Penyakit.
Berdasarkan data yang diperoleh, diagnosa penyakit yang paling
banyak adalah stroke iskemik tanpa penyakit penyerta yaitu sebesar 39,4%,

stroke iskemik dengan hipertensi dan penyakit penyerta lain sebesar 36,4%,
Sedangkan diagnosa stroke iskemik dengan hipertensi sebesar 12,1% dan
stroke iskemik dengan penyakit penyerta lain (selain hipertensi) sebesar 12,1%.
5. Data Frekuensi Penggunaan Obat Stroke Iskemik.
Berdasarkan data yang diperoleh, penggunaan obat stroke iskemik yang
paling banyak adalah penggunaan obat neuroprotektif yaitu sebesar 100%, dan
penggunaan antitrombotik sebesar 88%, sedangkan obat trombolitik sebesar
0%.
6. Data DRP yang terjadi pada Pasien Stroke Iskemik.
Berdasarkan data yang diperoleh bahwa drug related problems yang
banyak terjadi adalah kegagalan memperoleh obat sebesar 52%, terjadinya
interaksi obat sebesar 42%, terjadinya efek samping obat sebesar 24%, indikasi
tanpa obat sebesar 18%, dosis yang berlebih sebesar 12%, ketidaktepatan
pemilihan obat sebesar 9%, dosis kurang sebesar 9%, dan obat tanpa indikasi
sebesar 0 %.
b. Pembahasan
1. Jenis Obat Yang Digunakan Pada Terapi Stroke Iskemik
Persentase jenis obat stroke iskemik yang paling banyak digunakan
adalah neuroprotektif yaitu sebesar 100%, sedangkan antitrombotik sebesar
88%. Ini berarti semua pasien stroke iskemik mendapatkan obat
neuroprotektor dan sebagian besar dikombinasi dengan obat antitrombotik.
Pemberian terapi kombinasi antara obat antitrombotik ataupun trombolitik
dengan obat yang bersifat neuroprotektif telah terbukti lebih efektif
dibandingkan dengan monoterapi. Dimana obat-obat golongan neuroprotektif

ini bersifat melindungi otak yang sedang mengalami iskemi, sedangkan obatobat antitrombotik dan trombolitik berguna untuk mengembalikan aliran darah
ke otak. (Junaidi, 2004).
Pada penelitian ini tidak ditemukan pasien yang menggunakan obat
trombolitik, ini mungkin dikarenakan tidak semua pasien stroke iskemik yang
dapat diobati dengan pemberian obat trombolitik.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam pemberian
obat trombolitik, diantaranya terapi trombolitik tidak boleh diberikan apabila
pasien tidak di unit perawatan intensif atau di pelayanan stroke yang mapan,
perhatian khusus sebelum pemberian obat trombolitik ditujukan pada pasien
dengan stroke berat (misalnya hemiplegi total dengan koma), selain itu harus
diperhatikan juga tekanan darah dari pasien. (Gofir, 2009).
2. Jumlah Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Jenis Kelamin
Pasien stroke iskemik yang paling banyak mendapatkan terapi adalah
laki-laki yaitu 51,5%, sedangkan perempuan 48,5%. Hal ini dapat terjadi
mungkin dikarenakan pengaruh hormon pada laki - laki dan perempuan. Pada
laki-laki terdapat hormon testosteron, dimana hormon ini dapat meningkatkan
kadar LDL (Low Density Lipoprotein), apabila kadar LDL tinggi maka dapat
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah yang merupakan faktor resiko
terjadinya penyakit degeneratif seperti stroke. (Bull, 2007).
3. Jumlah Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Rentang Umur
Berdasarkan rentang umur, persentase tertinggi pasien yang mendapat
terapi pada pasien stroke iskemik banyak dialami oleh umur 61-70 tahun yaitu
sebesar 36,4%, sedangkan umur 51-60 tahun sebesar 24,2%, umur 71 tahun

sebesar 18,2%, umur 41-50 tahun sebesar 12,1% dan umur 31-40 tahun
sebesar 9,1%.
Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang
ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007).
Santrock (2002) mengemukakan bahwa usia lanjut membawa penurunan fisik
yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya, semakin tua
usia seseorang, kemungkinan akan memiliki beberapa penyakit atau dalam
keadaan sakit meningkat. (Santrock, 2002).
4. Jumlah Pasien Stroke Iskemik Berdasarkan Diagnosa Penyakit
Pasien didiagnosa stroke iskemik tanpa penyakit penyerta sebesar
39,4%, pasien didiagnosa stroke iskemik dan hipertensi sebesar 12,1%, pasien
didiagnosa stroke iskemik dengan hipertensi dan penyakit penyerta lain
sebesar 36,4%, dan pasien didiagnosa stroke iskemik dengan penyakit
penyerta lain sebesar 12,1%.
Hal ini dapat timbul akibat perubahan gaya hidup terutama di kota
besar yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif. Faktor
lain adalah pengaruh stres yang berkepanjangan yang diderita masyarakat
(Bull, 2007).
5. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi Medis
Pasien stroke iskemik di RSSN Bukittinggi mendapatkan obat sesuai
dengan penyakit yang dideritanya. Pada penelitian ini tidak ditemukannya
penggunaan obat tanpa indikasi medis dikarenakan setiap penyakit maupun
keluhan dari pasien selalu diberikan obat.

6. Indikasi Tanpa Obat


Pasien stroke iskemik mendapat indikasi tanpa obat sebesar 18%. Pada
penelitian ini terdapat 6 orang pasien yang mengalami indikasi tanpa obat,
terdiri dari 3 orang pasien dengan indikasi terinfeksi, yang ditandai dengan
suhu tubuh diatas 370C dan jumlah leukosit diatas 10000/mcL, tetapi tidak
mendapatkan antibiotik.
Pada penelitian juga ditemukan 2 orang pasien yang mengalami
hiperurisemia (Asam urat >6 ) tetapi tidak mendapat terapi antihiperurisemia.
Selain itu terdapat juga 1 orang pasien yang mengalami batuk sebelum
masuk rumah sakit hingga saat perawatan yang cukup menganggu kondisi
pasien tetapi tidak mendapat terapi.
7. Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien stroke iskemik sebesar 9%,
Pada penelitian ditemukan ada 3 pasien yang mendapatkan terapi yang tidak
tepat, misalnya pada pasien yang menerima kombinasi 3 macam obat
antihipertensi dengan mekanisme kerja yang berbeda, yaitu Ramixal,
Amdixal, dan Valsartan. Menurut literatur, untuk penyakit stroke obat
pilihan pertama adalah golongan ACE-Inhibitor (Dipiro, 2006). Tetapi obat
ini kurang bermanfaat untuk pasien geriatri, dan sebaiknya untuk pasien
geriatri diberikan obat golongan penyekat kanal kalsium seperti amlodipin
(Katzung, 2004). Pada pasien yang lain juga hampir sama yaitu mendapatkan
obat kaptopril tablet, dimana untuk pasien geriatri kaptopril ini kurang
bermanfaat dan sebaiknya diganti dengan obat golongan penyekat kanal
kalsium seperti amlodipin. Penggunaan obat golongan ACE-Inhibitor pada

pasien geriatri dikhawatirkan akan terjadi hipotensi akut, karena hipotensi


akut dapat terjadi pada terapi ACE-Inhibitor terutama pada penderita
hipovolemik dan kekurangan natrium, orang lanjut usia, dan penggunaan
bersamaan dengan obat diuretik. (ISFI, 2008).
Pada penelitian ini juga ditemukan 1 orang pasien yang mendapatkan
OBH syrup yang diindikasikan untuk pasien batuk berdahak, sedangkan
pasien tidak mengalami batuk berdahak tetapi batuk kering yang
kemungkinan terjadi akibat efek samping pemakaian obat captopril.
8. Dosis Obat kurang dan Dosis Obat berlebih
Pasien stroke iskemik yang menerima obat dengan dosis berlebih
sebesar 12%, sedangkan pasien stroke iskemik menerima obat dengan dosis
kurang sebesar 9%. Adanya ketidaktepatan dosis ini dapat menimbulkan efek
samping yang tidak diharapkan pada pasien.
Pada penelitian ini terdapat 3 orang pasien yang mengalami
kekurangan dosis. Misalnya pada pasien no.2 yang mendapatkan terapi
captopril 2x25mg, sedangkan tekanan darah pasien 170/120 mmHg,
berdasarkan literatur untuk pasien hipertensi sedang sampai berat dosis
pemakaian captopril adalah 3x25mg. (BNF, 2008 dan DEPKES, 2008).
Selain itu terdapat juga pasien no.17 yang mendapatkan terapi
captopril 2x12,5mg sedangkan tekanan darah pasien 150/90 mmHg.
Berdasarkan literatur untuk pasien hipertensi ringan dosis pemakaian captopril
adalah 2x25mg. (BNF, 2008 dan Martindale, 2007). Dosis yang kurang akan
menyebabkan tidak tercapainya dosis terapi yang berakibat keadaan pasien
tidak membaik.

Dalam penelitian ini ditemukan 4 orang pasien usia lanjut yang


mendapat terapi alprazolam dengan dosis berlebih. Dari literatur untuk pasien
usia lanjut disarankan dosis alprazolam 0,25 mg 2-3 kali sehari (Martindale,
2007), sementara pasien mendapat alprazolam dengan dosis 0,5 mg 1 kali
sehari. Dengan

pemberian dosis 0,25 mg lebih aman jika dibandingkan

dengan pemberian 0,5 mg. Jika dengan dosis kecil sudah dapat mencapai
MEC (Minimum Efective Concentration) dari alprazolam, dan juga jauh dari
MTC (Minimum Toxic Concentration) adalah lebih baik jika diberikan dosis
terendah yaitu 0,25 mg. Hal ini terkait dengan dengan teori farmakokinetik
dasar, dimana dengan dosis yang lebih besar maka akan menyebabkan
konsentrasi plasma yang lebih besar pula dan lebih besar kemungkinan
tercapai dosis toksik. (Shargel, 1985).
Selain itu didapatkan 1 orang pasien yang mendapatkan terapi
ceftriaxon selama 20 hari. Berdasarkan literatur, lama pemakaian ceftriaxon
adalah 14 hari (BNF-56, 2008). Pemakaian antibiotik yang terlalu lama dapat
menyebabkan gangguan bahkan dapat menimbulkan penyakit lain pada
pasien, seperti terjadinya reaksi alergi, super infeksi, dan reaksi toksik.
(Setiabudi, 1995).
9. Tejadinya Reaksi Efek Samping Obat
Persentase terjadinya reaksi efek samping obat pada pasien stroke
iskemik sebesar 24%. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan
sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan
menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui.
Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat

menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya


pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi
kegagalan pengobatan.
Efek samping yang paling banyak ditemukan adalah gangguan
pencernaan, misalnya pada pasien no.1, 12, 14, dan 26 yang mengalami efek
samping dari obat antihipertensi (seperti captopril dan amlodipin) dan
penggunaan ceftriaxon berupa konstipasi akibat dari relaksasi otot polos
saluran cerna dan kandung kemih, (BNF-56, 2008). Terdapat juga pasien no.
2, 27, dan 29 yang menderita diare yang merupakan efek samping dari
pemakaian simvastatin, sitikolin dan ciprofloxacin.
Selain itu terdapat juga pasien yang mengalami batuk, seperti pada
pasien no.15, yang mengalami batuk akibat efek samping pemakaian
captopril. Batuk merupakan salah satu penyulit pada pemberian ACE Inhibitor
yang paling sering ditemukan sejak lama. (Opie, 2001; Walkers, 2003).
10. Terjadinya Interaksi Obat
Persentase terjadinya interaksi obat pada pasien stroke iskemik sebesar
42%. Pada penelitian ini interaksi yang sering ditemukan adalah kombinasi
antara captopril dengan obat golongan NSAID yang dapat menurunkan efek
antihipertensi dari captopril, dan menyebabkan gangguan fungsi ginjal. (BNF,
2008).
ACE Inhibitor (captopril) dengan Asetosal dosis kecil (aspilet)
merupakan interaksi yang diharapkan atau memberikan efek sinergis. Pasien
hipertensi mengalami vasokonstriksi dan terdapat trombus sistem arteri

dengan pemberian captopril dan aspilet akan menimbulkan efek vasodilatasi


dan menghambat pembentukan trombus. (Gunawan, 2007).
Asetosal dosis besar dengan captopril akan memberikan interaksi yang
tidak diharapkan karena menyebabkan efek vasodilator dari ACE Inhibitor
menurun (Tatro, 2001), Akibatnya efek vasodilatasi dari ACE Inhibitor tidak
terjadi dan tekanan darah tidak turun. Disamping itu, asetosal dapat melawan
efek hipotensif (Anonim, 2000).
Hal ini disebabkan karena golongan AINS menghambat sintesa
prostaglandin (untuk pengaturan aliran darah diginjal dan transpor natrium
dan air), jika dihambat maka terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi
penumpukan cairan didalam jaringan (udema) akibatnya terjadi peningkatan
tekanan darah dan vasokonstriksi. (Gunawan:2007).
Selain itu terdapat juga interaksi antara asetosal dengan NSAID
(seperti meloxicam, voltaren, dan asam mefenamat). Pemakaian bersamaan
antara asetosal dengan obat-obat NSAID dapat meningkatkan efek samping
dari asetosal berupa pendarahan gastrointestinal. (Stockley, 2008).
Pada penelitian ini juga didapatkan interaksi antara amdixal, ramixal
dan valsartan yang dapat meningkatkan efek hipotensi. (Harkness, 1989:
Stockley,2008). Terdapat juga 1 pasien (pasien no.15) yang mendapatkan
terapi captopril dan aspar-K, dimana obat ini dapat menyebabkan
hiperkalemia pada pasien bila dipakai bersamaan. (DEPKES, 2008).
11. Kegagalan Memperoleh Obat
Persentase tejadinya kegagalan memperoleh obat pada pasien stroke
iskemik sebesar 52%. Kegagalan memperoleh obat disini adalah apabila

seorang pasien selama dirawat pernah 1 kali saja tidak mendapatkan obat
maka diasumsikan bahwa pasien tersebut dimasukkan dalam ketegori gagal
memperoleh obat.
Pada umumnya pasien yang dirawat diruang perawatan neurologi
adalah pasien yang masuk ruang kelas III dan hampir sebagian pasien
merupakan pasien ASKES/JAMKESMAS, dimana untuk pasien peserta
ASKES/JAMKESMAS sudah ada formularium tersendiri, yaitu formularium
khusus untuk peserta ASKES/JAMKESMAS. Tetapi selama pasien dirawat
terkadang pasien mendapatkan obat yang diresepkan diluar formularium
tersebut, sehingga untuk memperoleh obat pasien memerlukan biaya untuk
membeli obat. Pada kenyataannya tidak semua pasien yang memiliki
kemampuan finansial untuk membeli obat tersebut, sehingga sering terjadi
pada saat jam minum obat tetapi pasien tidak minum obat.
Selain itu untuk pasien yang dirawat terkadang mendapatkan resep
obat diluar standar formularium rumah sakit, sehingga pada saat pasien ingin
membeli atau pun pada saat akan minum obat, ternyata obat tersebut tidak
tersedia di rumah sakit. Ini mungkin dikarenakan faktor perkembangan obat
yang beredar di Indonesia, sehingga standar formularium dirumah sakit perlu
di update secara kontiniu.
c. Analisa Statistik
Dalam analisa statistik pada penelitian ini adalah menggunakan
metoda chi-kuadrat, dimana dalam metoda ini yang di amati adalah hubungan
antara jenis kelamin dengan DRPs, hubungan antara usia dengan DRPs,
hubungan antara lama rawat dengan DRPs, hubungan antara faktor resiko

dengan DRPs, hubungan antara jumlah resep dengan DRPs, hubungan antara
DRPs dengan Outcome. Hubungan tersebut dikatakan bermakna jika angka
signifikan nya dibawah 0,05.
1. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan DRPs
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien pria lebih sering
mengalami DRPs dibandingkan dengan wanita, yaitu pasien pria mengalami
31 kejadian DRPs sedangkan wanita 24 kejadian DRPs.
Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara jenis kelamin dengan DRPs tidak bermakna (angka


signifikan 0,283), ini berarti jenis kelamin tidak mempengaruhi terjadinya
DRPs.
2. Hubungan antara usia dengan DRPs
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada usia 61-70 tahun
mengalami kejadian DRPs yang paling banyak yaitu 16 kali, kemudian usia
71 tahun mengalami 14 kejadian DRPs, usia 51-60 tahun (12 kali), usia 3140 tahun (7 kali), dan usia 41-50 tahun (6 kali mengalami DRPs). Hal ini
dapat terjadi karena pada pasien lanjut usia kemungkinan terjadinya
penurunan fungsi organ sehingga pada saat pemberian obat, dosis nya harus
disesuaikan. Selain itu faktor kepatuhan minum obat, dimana untuk pasien
lanjut usia terkadang lupa untuk minum obat.
Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara usia dengan DRPs tidak bermakna (angka signifikan 0,443),
ini berarti usia tidak mempengaruhi terjadinya DRPs.

3. Hubungan antara lama rawat dengan DRPs


Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang dirawat selama 814 hari lebih sering mengalami DRPs yaitu 24 kali, sedangkan lama rawat 07 hari dan 15-21 hari masing-masing mengalami DRPs sebanyak 13 kali, dan
lama rawat 22 hari mengalami DRPs sebanyak 5 kali.
Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara lama rawat dengan DRPs sangat bermakna (angka


signifikan 0,000), ini berarti lama rawat mempengaruhi terjadinya DRPs.
Semakin lama pasien dirawat kemungkinan terjadinya DRPs semakin besar.
4. Hubungan antara faktor resiko dengan DRPs
Pada penelitian ini didapatkan bahwa hipertensi merupakan faktor
resiko terbanyak mengalami DRPs, yaitu 49 kali, sedangkan dislipidemia (17
kali), merokok (13 kali), obesitas dan DM masing-masing 1 kali.
Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara faktor resiko dengan DRPs tidak bermakna (angka


signifikan 0,42), ini berarti faktor resiko tidak mempengaruhi terjadinya
DRPs.
5. Hubungan antara jumlah resep dengan DRPs
Pada penelitian ini didapatkan bahwa DRPs banyak terjadi pada
pasien yang menerima 6-10 resep selama dirawat yaitu mengalami 25 DRPs,
sedangkan untuk jumlah resep 11-15 mengalami 19 DRPs, 16-20 resep dan
21 resep masing-masing mengalami 5 DRPs, dan pasien yang menerima 0-5
resep mengalami 1 DRPs.

Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara jumlah resep dengan DRPs tidak bermakna (angka


signifikan 0,059), ini berarti jumlah resep tidak mempengaruhi terjadinya
DRPs.
6. Hubungan antara DRPs dengan outcome
Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang memiliki outcome
perbaikan mengalami lebih banyak kejadian DRPs dibandingkan dengan
pasien dengan outcome sembuh. Outcome perbaikan mengalami 42 kejadian
DRPs dan outcome sembuh mengalami 6 kejadian DRPs, sedangkan untuk
pasien dengan outcome meninggal tidak ditemukan pada penelitian kali ini.
Setelah

dianalisa

menggunakan

metoda

chi-kuadrat

ternyata

hubungan antara DRPs dengan outcome tidak bermakna (angka signifikan


0,927), ini berarti kejadian DRPs tidak mempengaruhi outcome dari pasien.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


a. Kesimpulan
1. Kesimpulan Umum
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Prevalensi Drug
related Problems pada pasien stroke iskemik di RSSN Bukittinggi secara
keseluruhan relatif rendah.
2. Kesimpulan Khusus
Hasil penelitian menunjukkan dari 33 orang pasien didapatkan bahwa
pasien stroke iskemik mendapatkan obat sesuai dengan penyakit yang
dideritanya, kejadian indikasi tanpa obat sebesar 18%, ketidaktepatan
pemilihan obat sebesar 9%, terjadi kelebihan dan kekurangan dosis obat

sebesar 11%, interaksi obat yang merugikan sebesar 42%, reaksi efek samping
pemakaian obat sebesar 24%, dan kegagalan memperoleh obat sebesar 52%.
b. Saran
1. Petugas medis agar mempertimbangkan pemilihan obat yang sesuai dengan
keadaan pasien.
2. Farmasis hendaknya menjalankan farmasi klinik secara optimal.
3. Petugas medis agar melakukan pencatatan yang jelas dan lengkap pada
rekam medik.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 2009. Stroke outcome in clinical trial patients deriving from different
countries, stroke, 40 : 35-40.
Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia., Departemen Kesehatan
RI., Jakarta.
Anonim. 2011. Pusat Rekam Medik RSSN Bukittinggi.
Aslam, M., Tan. CK., Prayitno. A., 2007. Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien., Penerbit PT Elex Media
Kompusindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
Biomedika, Volume 1, No 2. 2009. FK UMS Solo.
British National Formulary Ed 56th. 2008. London.
Bull, Eleanor. 2007. Simple Guide : Kolesterol. Penerbit Erlangga Jakarta.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Moorley P.C. 1998. Pharmaceutical Care Practice,
McGraw-Hill.
Clark, W. 1998. Citicoline Treatment for Experimental Intracerebral Hemorrhage in
Mice. American Stroke Association. 1524-4628.
Depatemen Kesehatan. 2008. Pelayanan Informasi Obat, Jakarta
Dipiro, Joseph. 2006. Pharmacotherapy Handbook sixth edition, Mc Graw Hill
Company.
Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., R.M., Barbara, G.W., Michael Posey. 2008.
Pharmacotherapy ; A pathophysiology approach, Seventh Edition, Mc Graw
Hill Companies.
Feigin, Valery. 2006. Stroke. PT. Bhuana Ilmu Popular, Jakarta.
George, J.H. 1997. Biophysical Mechanism of Stroke. Stroke A Journal of
Circulation/ Vol 28. No.9.
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi, edisi kedelapan. Penerbit :
Erlangga, Jakarta.
Gunawan., Sulistia, G. 2007. Farmakologi dan Terapi. edisi V. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik UI., Jakarta.
Gofir, Abdul. 2009. Manajemen Stroke. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.

Harkness, Richard. 1989. Interaksi Obat. Penerbit ITB Bandung.


Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2008. ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan
Jakarta.
Junaidi, I. 2004. Panduan praktis pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populers.
Katzung, G.B. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik 1. Penerbit Salemba Medika,
Jakarta.
Katzung, G.B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik 2. Penerbit Salemba Medika,
Jakarta.
Katzung, G.B. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik 3. Edisi 8. Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
Mafandadi, Sharza., Rook Karen., dan Jason T. 2007. Positive and negative social
exchange and disability in later life and investigation of trayek stories of
Change. Washington: The Journal of Gerontologi. www.proguest.umi.com.
Tanggal akses 13 Juni 2011.
Martindale. 2007. The Complete Drug Reference, 35th edition, The Pharmaceutical
Press. United States.
Misbach, J., Jannis, J., Kiemas, L.S. 1999. Stroke: aspek diagnostik, patofisiologi,
manajemen. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Misbach, J. 2007. Unit Stroke, Manajemen stroke secara komprehensif. Balai
Penerbit FK-UI : Jakarta.
Morris, D.L., and Schroeder, E.B. 2000. Stroke Epidemiologi. Foundation for
Education and Research in Neurological Emergencies 1-10.
Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerbit ITB Bandung.
National Center For Health Statistics, Center For Disease Control and Prevention.
2008. http://wonder.cdc.go/mortsql.html
Opie, L.H., Yusuf, S., Poole-wilson P.A. 2001. Angiotensin Converting Enzym
(ACE) Inhibitors, Angiotensin II Reseptor Blokers(ARBS) and Aldosteron
Antagonis., in lionel . H. opie, editors, Drugs for the heart. J Host Pharm,, 3.,
hal 107-153.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis, lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi, Jawa Barat.
Papalia., Diane E., Sters., Harvey, L., Ruth Duskin dan Camp., Cameron, J. 2007.
Adult development and aging (3rd ed). New York: Mc Graw Hill Companies,
Inc.
Putra, T.R. 2009. Hiperurisemia. In : Sudoyo, AW., dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3 edisi V, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Santrock, J.W. 2002. Life span development: International edition (8th ed). New
York: Mc Graw Hilll.
Semplicini. 2008. Intravenous thrombolysis in the emergency department for the
treatment of acute ischaemic stroke. Emerg Med J. 25: 403-406.
Setiabudi, R dan Vincent, H.S. 1995. Pengantar Antimikroba. Farmakologi Dan
Terapi edisi 4. FK.UI. Jakarta.
Shargel, L and Andrew, B.C. 1985. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics. Appleton Century-Coofts.
Siregar, Charles. 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan., Penebit Buku
Kedokteran EGC., Jakarta.
Sjahrir, H. 2003. Stroke iskemik, penerbit : Yandira Agung, Medan.

Stockley, I.H. 2008. Drug Interaction, 8th edition, The Pharmaceutical Press,
London, UK.
Sustrani, Lanny., Alam, Syamsir., & Hadibroto, Iwan. 2004. Stroke. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Strand, LM., P.C. Morley & R.J. Cipolle. 1990. Drug-related Problems: Their
structure and function. DICP Ann Pharmacother.
Sutrisno, Alfred. 2007. Stroke? you must know before you get it. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Tatro, D.S. 2001. Drug Interaction Facts, Facts and Comparisons., A Wolter Kluwer
Company., USA
Thomas, D. J. 1995. Stroke dan pencegahannya. Jakarta: Arcan.
Trisna, Yulia. 2004. Idealisme farmasis klinik di rumah sakit. Pengantar Farmasi
Klinik. Jakarta.
Walker, R. dan Edwards, C. 2003. Clinical Pharmacy and Therapeutics, 3rd Edition
Churchill Livingstone, Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai