Anda di halaman 1dari 15

I.

Memahami dan Menjelaskan Asma pada Anak


1.1.
Definisi
Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti sengal-sengal.Dalam pengertian klinik, asma
dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak napas berulang dengan atau tanpa disertai mengi.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya, ditandai
dengan adanya aktivasi sel eosinophil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran
respiratorik. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam setelah
itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien
mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa
disertai episode yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari
atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang
jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian.
I.2.

Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara.Klasifikasi
berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin
berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Tabel klasifikasi derajat asma menurut periode timbulnya asma

Derajat asma

Gejala

Intermitten

Bulanan
2x/bulan
APE 80%
VEP1 80% nilai
Gejala <
prediksi APE 80%
1x/minggu
Tanpa gejala diluar
nilai terbaik
Variabilitas APE < 20%
serangan
Serangan singkat
Mingguan
> 2x/bulan
APE > 80%
VEP1 80% nilai
Gejala >
prediksi APE 80%
1x/minggu tetapi <
nilai terbaik
1x/hari

Variabilitas APE 20 Serangan dpt


30%
mengganggu
aktivitas dan tidur
Harian
> 1x/minggu
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
Gejala setiap hari
Serangan
prediksi APE 60-80%
mengganggu
nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
aktivitas dan tidur
membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinua
Sering
APE 60%
VEp1 60% nilai
Gejala terus
prediksi 60% nilai
menerus
Sering kambuh
terbaik
Aktivitas fisik
Variabilitas APE > 30%
terbatas
Klasifikasi menurut derajat serangan

Persisten ringan

Persisten sedang

Persisten berat

Gejala
Sesak

Gejala malam

Faal paru

ringan
Berjalan
Bayi: menangis
keras
Bias berbaring

Sedang
Berbicara
Bayi: tangis pendek
dan lemah
Lebih suka duduk

Bicara
Kesadaran
Sianosis
Wheezing

kalimat
Mungkin irritable
Tidak ada
Sedang, hanya
pada akhir respirasi

Penggal kalimat
irritable
Tidak ada
Nyaring, sepanjang
ekspirasai

Penggunaan
otot bantu
Retraksi

Biasanya tidak

Bisanya iya

Berat
Istirahat
Bayi: tidak mau
makan/minum
Duduk bertopang
lengan
Kata-kata
iritable
ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop
iya

Dangkal, retraksi
interkosta
takipneu

Sedang, +retraksi
suprasternal
Takipneu

Dalam, ditambah
napas cuping hidung
Takipneu

Posisi

Frek. Napas

Ancaman henti napas

kebingungan
Nyata
Sulit/ tidak terdengar

Gerakan
thorakoabdominalis
Dangkal/hilang
Takipneu
2

Frek nadi
Pulsus
paradoksus

I.3.

normal
Tidak ada,
<10mmHg

Takikardi
Ada
10-20mmHg

Takikardi
Ada
>20mmHg

Bradikardi
Tidak

Etiologi
Asma Ekstrinsik (Atopik)
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya tidak berat dan
lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai
riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial.
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut (Bunner & Suddart, 2002;Somantri, 2008):
Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit
tipe 1
Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan, 85% kasus timbul sebelum usia 30
tahun
Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan serangan asma yang
berbeda-beda
Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan
pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek.
Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE yang timbul terutama
pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di kemudian hari
Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
Ada riwayat keluarga yang menderita asma
Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat
Intrinsik/ idiopatik ( non alergik)
Sifat dari asma intrinsik (Bunner & Suddart; 2002, Somantri 2008):
Alergen pencetus sukar ditentukan
Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil negatif
Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui
mekanisme yang berbeda-beda
Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun dan disebut juga late onset
asma
Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila
pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum.Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
Sampai pada saat ini etiologi asma masih belum jelas diketahui secara pasti,namun ada beberapa hal yang
merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial (Tanjung, 2003; Muttaqin, 2008).
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya
yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika
terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
3

Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu (Dermatophagoides pteronissynus), bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
Stress
Stress / gangguan emosi bukan penyebab asma namun dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress / gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan
masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana
dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga
yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Obat-obatan
Beberapa klien asma bronkhial sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti pennisilin, salisilat, beta
blocker dan kodein.

I.4.

Epidemiologi
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 81% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun
terakhir ini meningkat sebesar 50% . Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada
dewasa >18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak
daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan
laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi (Dahlan, 1998;
Kartasasmita,2008). Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma
andAllergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulanterakhir/recent asthma) 6,2
% yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.

I.5.

Patofisiologi

Patogenesis asma yaitu merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dindingg saluran
respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas ini
merupakan predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorik sebagai respon terhadap berbagai macam
rangsangan.Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktifitas eosinofil, sel mast, makrofag, san
sel limfosit T pada mukosa lumen saluran respiratorik. Sejalan dengan inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses respirasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang
menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling.
Patogenesis
Mekanisme Imunologis Inflamasi saluran pernapasan
Pada banyak kasus pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui
mekanisme IGE-dependent.Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberi kontribusi pada 40% penderita asma
dan dewasa.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivitas limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh
sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC (Mayor histocompatibility complex) (MHC
kelas II pada sel T CD4 dan MHC kelas I pada sel T CD8) Sel dendritik merupakan APC yang utama dalam
saluran napas. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerahyang banyak mengandung
limfosit.Disana, dengan pengaruh sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC efektif.Sel dendritik
juga mendorong polarisai sel T naive-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk
pada klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster).
Inflamasi Akut dan Kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase cepat dan pada beberapa
kasus dapat diikuti dengan repon fase lambat.Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivitas sel-sel yang sensitif terhadap
alergen IgE-spesifik terutama sel mast dan makrofag.Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat
terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial
yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, dan enzim glikolitik dan heparin serta
mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrin, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama sama dengan
mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran
respiratorik dan menstimulasi saraf aferen, hipereksresi mukus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi
fase lambat, selama respon fase lambat dan selama berlangsung paparan alergen, aktivitas sel-sel pada saluran
respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya sel lekosit pro inflamasi
terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.
Remodeling Saluran Respiratorik
Remodeling saluran repiratorik merupakan serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan
penyambung dan mengubah struktur saluran respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan
maturasi struktur sel.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus
pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma
memperlihatkan perubahan struktur saluran repiratorik yang bersifat reversible.
Remodeling jg merupakan hal pentings pada patogenesis hiperreaktivitas saluran repiratorik yang non spesifik,
terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu yang lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh
sempurna setelah terapi inhalasi steroid.

Patofisiologi
Obstruksi Saluran respiratorik
Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari
gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik menyebabkan keterdefinisi aliran udara yang dapat kembali spontan
atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma: Batu, sesak,
wheezing dan diserati hiperreaktivitas saluran respiratorik terhadap rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan
oleh stimulasi saraf sensorik pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk
berulang bisa jadi merupakan satu-satunya dejala asma yang ditemukan.
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.Penyebab utama penyempitan
saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel
inflamasi.Kontraksi otot polos saluran akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi
kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik.Selain itu,
hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel
goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar dari mikrovaskular bronkus dan debris seluler.
Hiperrektivitas saluran respiratorik
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologi yang secara klinis paling relevan
pada penyakit asma.Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat
memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan stimulus aerososl histamin atau
metakolin yang dosisnya dinaikan secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru.
I.6.

Manifestasi Klinis
Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara klinis asma dibagi dalam 3
stadium, yaitu:
6

1. Stadium 1
Disaat terjadi edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering.Sputum yang
kering dan terkumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk.
2. Stadium 2
Sekresi bronkus bertambah banyak dan timbul batuk berdahak jernih berbusa. Pada stadium ini anak akan
mulai berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar mengi.Tampak otot napas
tambahan turut bekerja.Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin sela iga.Anak lebih senang
duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi.Anak tampak gelisah, pucat,
sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada
pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal dan
interkostal.
3. Stadium 3
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak
terdengar.Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan.Batuk seperti ditekan.
Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi
I.7.

Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal
antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat
episodik sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit atau gejala:
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
Riwayat keluarga (atopi).
Riwayat alergi/atopi.
Penyakit lain yang memberatkan.
Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik sangat
karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama
terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis
kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar
akan terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk biasa dan kemudian cepat
menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin merupakan bentuk asma.
Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan
fisik di luar serangan.

Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal, kadang-kadang
terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal,
epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga
melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung
dan hati mengecil.
Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah atau hampir tidak
terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara
lender bila sekresi bronkus banyak.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat tidak terdengar
(silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan tinggi badan kedua
orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan
pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat
badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan
pertumbuhannya.

Pemeriksaan penunjang
Uji faal paru
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran faal paru
digunakan untuk menilai:
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC, FEV1/FVC. Sebaiknya
tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan. peak flow meter adalah yang paling
sederhana, sedangkan dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa
(FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya.
Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya
berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan
meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru
tersebut umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila
diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji
Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila PEFR, FEV1 turun
> 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi.
8

I.8.

Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti
hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.
Foto rontgen toraks
Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat pada
serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit
dikontrol.
Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang diagnosis asma. Dalam
sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan
didapatkan leukositosis polimormonuklear.
Uji kulit alergi dan imunologi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran
IgE spesifik serum.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan
prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun
uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif
palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya
ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan.
Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan penatalaksaannya.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.

Diagnosis Banding
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk
sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan
dahulu. Gejala batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan
perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya
kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.
Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya
kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati
menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut
paroxysmal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak
menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan
gejala gagal jantung. Disamping ortopnea, pada pemeriksaan fisik ditemui kardiomegali dan edema paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menumbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Di
samping gejala sesak napas, pasien batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagal jantung kanan,
pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan
antara lain aksis jantung ke kanan.
9

Penyakit lain yang jarang


Seperti: stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliarteritis nodosa.

Diagnosis banding asma pada anak:


Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial
Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering berulang dan
kronik biasanya disebabkan oleh asma.
Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6 bulan
dan jarang berulang.
Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan
tanda-tanda kelainan jantung.
Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy cold, bronkitis
dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya.

I.9.

Penatalaksanaan
Tata laksana asma jangka panjang
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang
anaksecara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
a. Anak dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
b. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
c. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
d. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (dalam 24 jam) yang mencolok.
e. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
f. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi
tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu reevaluasi tata laksananya.

10

Tata laksana medikamentosa (dengan obat-obatan)


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).
Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul.
Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi.
Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi
respiratorik kronik (peradangan saluran napas menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam
jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma, dan responnya terhadap pengobatan/penanggulangan.
Controller diberikan pada asma episodik sering dan asma persisten.
11

Asma Episodik Jarang


Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator beta agonis hirupan (inhaler/spray)
kerja pendek (short acting 2-agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan.
Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di semua tempat. Selain itu
pemakaian inhaler (Metered Dose Inhaler/MDI atau DryPowder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan
yang benar (untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak ada,
maka beta agonis diberikan per oral (obat minum). Penggunaan xantin kerjacepat (teofilin) sebagai bronkodilator
makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas keamanannya ( margin of safety ) sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan
memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan sebelum
aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi
sebagai pengendali (controller) diperlukan, yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering digunakan
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara
dengan 100-200g/hari budesonid (50-100g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200400g/hari budesonid untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan dosis 100-200g/hari belum
dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik, controller berupa anti inflamasi
membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang
diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala asma atau
gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid
hirupan sampai dengan 400g/hari, yang termasuk dalam tata laksana asma persisten.
Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat penyakit asma sudah sesuai dengan panduan, namun
respon tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih berat (step-up).
Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan penghindaran pencetus, (2) cara
penggunaan obat, dan (3) penyakit penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan sinusitis).
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau
sebaliknya dimulai dari dosis rendah ketinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu,
disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil
yang masih optimal. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan
dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan teophylline slowrelease (TSR)
atau ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari budosenid
(100-200 g/hariflutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 g/hari budosenid (200-300
g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu
tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau
ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari budesonid (> 200 g/hari flutikason), untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 g/hari budesonid (> 300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun.
12

Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan
memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosissteroid hirupan sudah mencapai > 800g/hari namun tidak mencapai
respon, maka baru menggunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroidoral sebagai controller
(pengendali) adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan
sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagihari.
Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontra indikasikan pada kelainan hati. Pemberian obat anti histamin
generasi baru non sedatif (misalnya setirizindan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan asma yang disertai
rinitis.
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena perbedaan kemampuan menggunakan
alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Umur
Alat Inhalasi
< 2 tahun
Nebuliser (alat uap)
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer Aerochamber
Babyhaler
5-8 tahun
Nebuliser MDI dengan spacer
DPI ( Dry Powder Inhaler )
Diskhaler, Turbuhaler
> 8 tahun
Nebuliser
DPI
MDI tanpa spacer
MDI dengan spacer
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut (orofaring),
sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru
pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk
kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler
memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak
usia sekolah.
TERAPI INHALASI
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta mencegah serangan
berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
diberiobat bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan
inflamasi yang timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui
infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung
ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek
samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan
jenis lainnya.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam
gas.
Jenis Terapi Inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif
mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak,
orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai. Berikut beberapa alat
terapi inhalasi:
13

MDI (Metered Dose Inhaler ) tanpa Spacer

MDI dengan spacer

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga kecepatan
aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran
napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau
bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan
pada anak.
Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada
anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat
lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat

14

pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di
atas 5 tahun.
Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus,
dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang
terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup. Bronkodilator yang diberikan dengan
nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada
nebulizer yang menghasilkan partikel aerosolterus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga
aerosol hanya timbul padasaat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.
I.10.

Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan
perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. entuk dada brung
dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Asma sendiri mePada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus
segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi
terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal
pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.

I.11.

Prognosis
Para penulis menyajikan data pada alami pada anak penderita asma bronkial. Mereka membuat tindak lanjut
terhadap 441 pasien yang semula asma setelah usia 14 tahun. Tindak lanjut ini didasarkan pada kuesioner disertai
dengan wawancara pribadi, pemeriksaan fisik, dll Penyakit ini dimulai pada 167 (38%) pasien sebelum usia 2; pada
'akhir' masa kanak-kanak, pada usia 14, 34% masih asma. Dalam gejala usia dewasa mudah terulang dalam
beberapa kasus dan pada usia 26, 43% dari pasien menunjukkan keluhan asma. Frekuensi serangan asma secara
signifikan kurang pada orang dewasa dibandingkan dengan masa kanak-kanak.

I.12.

Pencegahan
Pencegahan pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau anak yang mempunyai risiko
untuk menjadi asma di kemudian hari. Dapat dilakukan pada saat prenatal dan pascanatal. Pada masa
prenatal, orangtua dihindari terhadap lingkungan yang bersifat sebagai faktor risiko. Pada masa
pascanatal, bayi dihindari dari pemberian ASI yang mengandung makanan yang dapat menyebabkan
alergi.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada seorang anak yang sudah
tersensitisasi, contohnya dengan pemberian antihistamin.
Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang sudah menderita
asma, seperti menghindari anak dari faktor pencetus/alergen.

15

Anda mungkin juga menyukai