Karena aktivitas Homo sapiens, saat ini laju kepunahan yang terjadi hampir 40 000
kali lebih tinggi dibanding kepunahan masa lampau. Peningkatan laju kepunahan ini
secara umum disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena perburuan berlebihan. Motif
pertama ini diperbesar oleh dengan makin canggihnya alat perburuan yang digunakan.
Sebab kedua adalah kerusakan habitat, yaitu tempat hidup tumbuhan dan nhewan liar.
Kerusakan habitat tersebut dapat disebabkan oleh perladangan berpindah, pembalakan,
konversi hutan menjadi daerah pertanian, peternakan, pemukiman, pariwisata, industri,
dan sebagainya (Soemarwoto, 1991). Kerusakan dan degradasi habitat tersebut
dikhawartirkan mengancam ekosistem. Kekhawatiran yang utama adalah hilangnya
ekosistem yang memainkan peran penting dalam proses evolusi. Daerah-daerah
tersebut meliputi terumbu-karang, danau-danau tua, ekosistem Mediterania, daerah
pasang-surut, dan hutan hujan tropis (Shicking dan Anderson dalam Shiva et al.,
1993). Hutan hujan tropis secara genetis merupakan tata lingkungan terkaya di planet
Bumi. Menurut Raven, hutan hujan tropis tidak hanya mengandung lima sampai
sepuluh juta kali lebih kaya spesiesnya dari pada tempat lain di Bumi, tetapi disini juga
terjadi 100 hingga 1000 kali lebih banyak interaksi ekologi.
Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem dengan laju penggundulan
yang cepat. Menurut Myers (dalam Shiva et al., 1993) pada tahun 1989 kira-kira
142 200 km2 hutan hujan tropis rusak sama sekali, 200 000 km2 lainnya mengalami
degradasi drastis. Sejak tahun 1979, laju kerusakan hutan hujan tropis meningkat
mencapai 90%. Jika peningkatan laju kerusakan ini tidak dihentikan, ada kemungkinan
hutan hujan tropis yang masih tersisa akan punah dalam waktu 20 tahun mendatang.
Kerusakan hutan secara bersamaan akan memusnahkan plasma nutfah. Sekitar
25 000 jenis mammalia, burung, reptilia, dan ikan terancam kepunahan. Angka
tersebut belum termasuk hilangnya jenis-jenis binatang kecil seperti molusca dan
serangga. Padahal sampai saat ini pengetahuan yang kita miliki belum mampu
mengidentifikasi manfaat genetis yang ada pada makhluk-makhluk hidup tersebut.
Menurut Mc Neely et al. (dalam Shiva et al., 1993) saat ini mungkin, baru kurang dari
lima persen keragaman hayati hutan hujan tropis yang diketahui oleh ilmu
pengetahuan. Secara umum yang banyak kita ketahui baru taksonominya, kita masih
belum mengetahui daur kehidupan dari spesies-spesies tersebut dan peran ekologis
mereka.
Selain hutan hujan tropis, habitat laut dan tepi pantai seperti hutan bakau dan
terumbu karang juga mengalami kerusakan. Eksploitasi ikan yang berlebihan telah
mendorong ketidak-stabilan ekosistem laut. Berkurangnya populasi ikan sebagai
pemangsa menyebabkan binatang laut berduri dan bintang laut merajalela, dan hal ini
secara langsung mengancam terumbu karang menjadi sekumpulan benda mati yang
dengan cepat akan ditumbuhi oleh algae. Eksploitasi hutan bakau saat ini juga sangat
intensif, terutama untuk dikonversi menjadi lahan komersial, tambak, dan pertanian
yang sebenarnya sangat rentan. Kerusakan hutan bakau tentunya akan sangat
mengganggu ekosistem laut, karena banyak jenis kehidupan laut sangat tergantung
pada eksistensi hutan bakau.
Kehancuran berbagai ekosistem penunjang keanekaragaman hayati juga
terjadi akibat meluasnya dampak pencemaran di lingkungan atmosfer, hidrosfer, dan
lithosfer. Fenomena hujan asam, karena pencemaran atmosfer oleh senyawa-senyawa
sulfur dan nitrogen, telah banyak menghancurkan ekosistem hutan dan danau-danau
sebagai habitat kehidupan liar. Pencemaran air oleh industri, pencemaran pantai oleh
berbagai bahan buangan termasuk minyak, telah merusak ekosistem pantai dan laut.
Berbagai kehancuran habitat alami juga mengancam keragaman komunitas
manusia. Masyarakat tradisional secara struktural sangat bergantung pada
lingkungannya. Secara evolusi sebenarnya mereka telah banyak beradaptasi dengan
kondisi setempat. Dengan kearifan tradisionalnya mereka telah mampu memanfaatkan
keanekaragaman hayati yang ada disekitarnya. Sampai saat ini banyak pengetahuan
tradisional yang mereka miliki belum dapat dicatat oleh dunia ilmu pengetahuan.
Makin banyaknya habitat alami yang mengalami kerusakan dan kepunahan, maka
makin penduduk asli di seluruh dunia juga terancam kepunahannya. Diperkirakan 92
suku asli di Brazilia telah punah dalam abad ini dengan membawa semua pengetahuan
mereka. Adanya program HPH dan HTI di Indonesia, oleh beberapa pengamat juga
diperkirakan akan menghancurkan kehidupan masyarakat tradisional, yang telah
mengembangkan kearifan mereka dalam melestarikan keanekaragaman hayati
berbagai macam tanaman pangan, tumbuhan obat, dan sumber daya lain seperti kayu
dan rotan.
Di Indonesia keanekaragaman ekosistem yang memiliki kekayaan spesies dan
endemisme yang sangat tinggi, juga sangat terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi
serta terpengaruh oleh populasi manusia yang sedang tumbuh dengan pesat, dan
bermobilitas internal yang besar, yang kebanyakan berada di pedesaan dan bergerak
disektor pertanian. Menurut data, konversi habitat alami untuk berbagai aspek
kebutuhan masyarakat, luasnya mencapai 44%. Jadi tidak mengherankan jika
Indonesia memiliki daftar terpanjang di dunia mengenai jumlah spesies yang terancam
punah, yakni 126 jenis burung, 63 mammalia, dan 21 jenis reptilia. Sedang Brazilia
yang kerusakan hutan hujan tropisnya juga besar, secara berturut-turut ancaman
kepunahannya 121, 38, dan 12. Masalah yang sangat serius selain hal diatas, adalah
besarnya proporsi biota hewan invertebrata yang belum diketahui taksonominya, juga
terancam kepunahan. Padahal hewan-hewan ini memiliki sebaran yang terbatas dalam
hutan hujan tropis.
Meskipun luas keseluruhan hutan di berbagai wilayah Indonesia berkisar
antara enam hingga sembilanpuluh-satu persen. Namun proporsi hutan pada daerah
dataran rendah sesungguhnya hanya berkisar antara hol hingga 75% saja. Pada saat ini
kebanyakan propinsi telah kehilangan 80% atau lebih kawasan hutan dataran
rendahnya, dan 11 propinsi telah mangalami penggundulan lahan curam yang besar.
Impilkasinya bagi Indonesia adalah ancaman kehilangan beberapa ratus spesies setiap
tahunnya. Ancaman kehilangan tersebut diperkirakan kebanyakan pada hewan
invertebrata yang belum dipertelakan. Angka kepunahan tersebut diduga sedang
bergerak cepat bersamaan dengan punahnya fragmen-fragmen habitat yang unik.
Masalah kehilangan habitat di Indonesia paling gawat dialami pulau-pulau
berpenduduk padat seperti Jawa dan Bali. Hutan alam yang tersisa kebanyakan berupa
peninggalan saja. Dataran rendah yang subur sudah terlalu lama dikelola secara
intensif. Di tempat lain yang kurang begitu padat penduduknya, bentuk ancaman
terhadap keanekaragaman hayatinya agak berbeda. Salah satu bentuk yang paling
menonjol adalah degradasi hutan secara besar-besaran.
Konvensi keanekaragaman hayati
Pada akhir tahun 1980, keanekaragaman hayati (biological diversity) tiba-tiba
menjadi sebuah kata kunci di kalangan kelompok konservasi (Shiva et al., 1993).
Keanekaragaman hayati secara konkret dinyatakan dalam Conserving the Worlds
Biological Diversity yang diterbitkan oleh World Resources Institute (WRI), World
Bank, International Union for the Conservation of Natural Resources (IUCN), dan
World Wildlife Foundation (WWF). Dalam dokumen tersebut tampaknya krisis erosi
keanekaragaman hayati semata-mata sebagai fenomena daerah tropik dan dunia ketiga.
Sementara itu pemikiran dan perencanaan konservasi keanekaragam hayati
digambarkan sebagai monopoli institusi-institusi yang berada serta dikendalikan oleh
negara-negara industri utara. Adanya polarisasi dan dualisme ini menandai kelemahankelemahan dasar dari monograf di atas.
Rumitnya permasalahan tersebut telah menjadikan keanekaragaman hayati
sebagai topik pembicaraan KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan juni 1992, yang
telah menghasilkan konvensi tentang keanekaragaman hayati. Konvensi ini baru akan
berlaku setelah diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 30 negara penandatangan. Sampai
akhir KTT Bumi, 153 negara telah menandatangani konvensi tersebut. Namun
ratifikasi oleh masing-masing negara tampaknya masih mengalami berbagai hambatan
yang disebabkan kepentingan internal.
Amerika Serikat misalnya, sangat sulit untuk mendukung ratifikasi konvensi
ini karena tekanan-tekanan dari masyarakat industrinya (perusahaan-perusahaan transnasional). Bagaimanapun Amerika berkepentingan melindungi industrinya. Banyak
perusahaan di Amerika, terutama yang bergerak di bidang bioteknologi, sangat
bergantung pada sumber daya genetis yang ada di dunia ketiga. Perusahaan yang
bergerak di bidang farmasi misalnya. Salah satu perusahaan tersebut, dengan
menggunakan bahan baku yang diambil dari suatu tanaman yang berasal dari
Madagaskar, berhasil membuat obat leukemia. Dengan obat tersebut perusahaan
memperoleh omzet penjualan sebesar US $ 160 juta/tahun. Sedang sumber daya
genetis varietas tomat liar yang diambil dari Peru oleh perusahaan Amerika, telah
berlangsung ribuan tahun dan sudah beradaptasi dengan kondisi setemapt. Namun
demikian perusahaan di negara-negara industri hanya memandang sesuatu berharga
jika benda tersebut mampu melayani pasar.
Dalam hal pemilikan pengetahuan juga terjadi hal yang sama. Sebenarnya
penduduk asli memiliki pengetahuan yang sangat kaya tentang lingkungan mereka,
yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Misalnya pengetahuan yang dimiliki
tabib dikenal sebagai gudang informasi tentang pemanfaatan tanaman hutan hujan
tropik sebagai bahan baku obat. Sekitar seper-empat dari semua resep obat berbasis
ekstraksi tumbuhan hutan hujan, dan tiga-perempat dari resep tersebut berbasis
pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan pengetahuan atau informasi dari
penduduk asli (Gray dalam Shiva et al., 1993). Sebagai contoh, obat-obatan yang
berasal dari hutan hujan kini menghasilkan sekitar US $ 43 juta/tahun. Namun, tidak se
senpun yang dikembalikan ke penduduk asli yang memiliki pengetahuan dasarnya.
Fenomena ini hanya merupakan akibat dari praktek-praktek yang hanya mengakui
pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan kolektif. Fenomena tersebut juga
melahirkan apa yang dinamakan hak milik intelektual Intelectual Property Rights
(IPR). Negara industri (sekali lagi karena dorongan perusahaan trans-nasional yang
banyak mendanai penelitian bioteknologi) dengan berbagai dalih menerapkan proteksi
yang ketat pada paten. Sedemikian ketatnya protensi yang diberikan kepada IPR,
menyebabkan IPR pada akhirnya tidak hanya sekedar hak, melainkan mulai menjurus
ke arah privilage (hak istimewa). Keadaan ini menyebabkan munculnya
kecenderungan tidak diakuinya alih teknologi dari selatan ke utara, dan munculnya
Biopiracy (pembajakan biologi) yang saat ini sudah menjadi pandemi global.
Dari gambaran di atas dapat dimengerti mengapa sampai saat ini proses
ratifikasi keanekaragaman hayati oleh negara-negara yang telah menanda-tangani
konvensi tersebut demikian sulitnya. Seharusnya negara-negara industri secara terbuka
mau membahas tentang pengaruh apa yang telah mereka lakukan terhadap biosfer.
Pada saat yang sama, negara-negara dunia ketiga yang telah menopang gaya
kehidupan negara industri yang boros, perlu diberi bantuan teknis dan keuangan untuk
dapat menerapkan pola ekonomi dan kehidupan yang berkelanjutan.
Keanekaragaman hayati di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar, terletak di khatulistiwa
dan memiliki sangat banyak jenis habitat. Walaupun luasnya hanya sekitar 1,3% dari
luas daratan dunia sejumlah spesies yang ada di kawasan pulau-pulau ini merupakan
spesies asli. Keanekaragaman yang menjadi perhatian khusus masyarakat dunia adalah
hutan hujan tropis dataran rendah Indonesia yang sangat khas sifatnya. Disamping itu ,
Indonesia setidaknya memiliki 47 jenis ekosistem alam yang khas, dari lapangan es
dan padang rumput salju di Irian Jaya hingga bermacam danau yang dalam dan rawa
yang dangkal, serta dari terumbu karang yang menakjubkan sampai taman rumput laut
dan rawa bakau (Sastrapradja et al.: MoF/FAO dalam Anonim, 1994). Indonesia
memiliki sekitar 15%-25% dari seluruh spesies yang ada di dunia. Indonesia
diperkirakan memiliki 11% spesies tumbuhan berbunga yang sudah diketahui, 12%
binatang menyusui, 15% amphibi dan reptilia, 17% jenis burung, dan paling tidak 37%
jenis ikan yang ada di dunia (Anonim, 1994). Dari 12 pusat utama keanekaragaman
tanaman (pusat Vavilov) salah satunya adalah Pusat Indo-Melayu, dengan Indonesia
merupakan unsur terbesar. Tanaman seperti pisang (Musa spp.), pala (Myristica
fragrans), cengkeh (Syzygium aromaticum), durian (Durio spp.), dan rambutan
(Nephelium spp.) berasal dari sini dan Indonesia merupakan pusat keanekaragamannya
(Sastrapradja dan Rifai : Rifai et al., dalam Anonim, 1994).
Pembangunan nasional Indonesia sangat tergantung pada pemanfaatan sumber
daya alamnya, baik yang dapat diperbaharui (yaitu sistem hidup) maupun yang tidak
dapat diperbaharui. Pada sisi lain, Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk besar (lebih dari 200 juta). Dari sekitar 6 000 pulau yang berpenduduk tetap,
tiga pulau (Jawa, Madura, dan Bali) menampung 65 persen total penduduk Indonesia
(Anonim, 1994). Oleh karena itu muncul berbagai kekhawatiran mengenai masa depan
sumber daya hayati Indonesia.
Berikut beberapa hal yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman
hayati Indonesia, adalah:
1. Pertumbuhan penduduk dan persebarannya yang tidak merata
2. Konversi hutan untuk pertanian, perkebunan, dan pertambangan
3. Ketidaktahuan akan hak adat atas tanah
4. Program transmigrasi
5. Polusi industri, pertanian, dan sedimentasi pada ekosistem lahan basah dan pantai
6. Kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi, pertambangan, pemboman ikan,
dan lain-lain
7. Kerusakan mangrove akibat berubahnya jalur air, drainase, polusi, dan konversi
menjadi pertambakan ikan
8. Pemungutan langsung populasi spesies secara berlebihan
9. Pengenalan spesies eksotis
10. Tidak adanya kebijakan yang pasti dan kerangka kerja yang terencana. Misal, tidak
ada perencanaan pengembangan zona pantai, kegagalan dalam melestarikan sistem
tradisional untuk pengelolaan kawasan hutan dan daerah perikanan masyarakat,
tidak adanya peraturan tentang pengelolaan margasatwa untuk dimanfaatkan di
luar kawasan lindung.
11. Berbagai dampak kebijakan yang ada sekarang. Misalnya, mempertahankan harga
kayu yang rendah, telah mendorong kegiatan pengelolaan hutan jangka pendek
dengan hanya satu produk dan subsidi bagi konversi hutan alami menjadi
perkebunan mono kultur pohon eksotik
10
Keating, M. 1994. Bumi Lestari Menuju Abad 21. (Terjemahan oleh Loeky S. Jasin
Rahman). Konphalindo, Jakarta.
Shiva, V., P. Anderson, H. Shucking, A. Grey, L. Lohmanu dan D. Cooper. 1993.
Perspektif Sosial dan Ekologi Keanekaragaman Hayati. (Penyunting Hira
Jamthani). Konphalindo, Jakarta.
Soemarwoto, O. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Sumber bahan dari harian KOMPAS
11
Adventis Crop
Science
Syngenta Seed
(Novartis)
Pioneer HiBred
Du Pont
De Kalb
Calgene
TANAMAN
Jagung
Kedelai
Kapas
Kanola
Tomat
Kentang
Padi
Jagung
Kedelai
Kanola
Bit gula
Padi
Jagung
Bit gula
Jagung
Kanola
Kedelai
Kapas
Jagung
Kapas
Kanola
Tomat
Burung
Kolombia
Peru
Brazil
Indonesia
Ekuador
Venezuela
Bolivia
India
Malaysia
China
1 721
1 701
1 622
1 534
1 447
1 275
1 250
1 200
1 200
1 195
Reptilia
Meksiko
Australia
Indonesia
India
Kolombia
Ekuador
Peru
Malaysia
Thailand
PNG
717
686
511
383
383
345
297
294
282
282
12
Indonesia
Minimum
Maksimum
225 300
4 280 12 000
1 000 1 800
1 500 1 500
1 250 1 500
100 100
25 000 30 000
1 500 3 500
1 000 000 5 000 000
30 000 50 000
2 000 6 000
30 000 50 000
7 000 8 500
1 000 1 500
600 2 000
1 300 1 600
515 800
1 082 270
3,5%
82 279
10,1%
5 131 100
16,7%
131 100
16,0%
Dunia:
Perkiraan
4 700
47 000
26 900
16 600
11 300
530
220 500
30 800
30 000 000
300 000
50 000
300 000
19 000
4 200
6 300
9 200
4 170
30 818 100
818 100
Sumber: Sastrapradja et al. : Mc neely et al. : BAPPENAS : UNEP : Bibby et al. (dalam
Anonim, 1994)
13