TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring, merupakan tumor daerah kepala
dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Fossa rosenmuller pada nasofaring
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2
epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi
oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel
skuamosa dan epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional.
Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa.6
Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.
Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan kumpulan
sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa
kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar
limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe
spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel
skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa
kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai
epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring.6
b. Jaringan submukosa nasofaring
Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis
faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding
nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan
yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus
morgagni. Fasia faring dinding posterior dan lateral melekat pada tuberculinfaring yang
merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen magnum. Ke
arah
lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan bawah pyramid
petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat pada apeks dari pars
petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina pterigoid interna. Fasia ini
melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang hanya
dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan fibrokartilago. 9,10
2.2.4 Pendarahan dan persarafan
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri
faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan
dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah. Daerah nasofaring
dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus
5
terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan
serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari
cabang maksila saraf trigeminus (V1). 9,10
2.3 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi.6 Tumor
ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian besar bagian dunia, dimana
insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per 100.000 penduduk tiap tahunnya.
Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor ganas yang sangat biasa terjadi pada
penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara, dengan insiden antara 20 sampai 50 per
100.000 penduduk tiap tahunnya.5,11
7
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan
di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari
seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi
pada semua golongan umur, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada
usia 40-50 tahun.12
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah. 1 Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk
pertahun.13
Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung
rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan
Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya
dan daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. 1
Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin, penderita lakilaki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan risiko tinggi, perbedaan ini
sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di
Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di Indonesia adalah 2-3 : 1. 12 Berdasarkan umur, dilaporkan
penderita KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun, sedangkan di Indonesia umur
termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun.3,14
tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan
mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral
terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan
nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur
dewasa.
2. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi
hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk
kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan merokok
dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko menderita KNF. Sedangkan peminum
alkohol tidak dijumpai ada hubungan resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan
bahwa pada orang merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar
daripada yang bukan perokok. KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan
karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu
dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF.3
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe 1
karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya karsinoma tidak
berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang
lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen,
sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai
adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa difresiensi mempunyai sifat
radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis
karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.1
2.5.2 Stadium
Sistem klasifikasi stadium menurut UICC 20021 :
11
T1
T2
T2b
T3
T4
N1
N2
N3
> 6 cm
didalam fossa supraklavikula
M0
M1
Metastasis jauh
Stadium 0
Tis, N0, M0
Stadium I
T1, N0, M0
Stadium IIA
T2a, N0, M0
Stadium IIB
(T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)
Stadium III
( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),( T3, N1, M0)
,( T3, N2, M0)
Stadium IVA (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
12
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium dini keluhan
sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan tersebut biasanya
berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit
ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher, gejala
kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien.1,19
Gejala akibat tumor primer :
1. Gejala telinga
a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius
Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya
dapat menyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa
berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan
jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas.1
b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
2. Gejala hidung
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat
terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya
sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.1
b. Sumbatan hidung
13
kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi
serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.1
5. Gejala akibat metastase jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang
(femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.1
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta. Karsinoma
nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller, biasanya bersembunyi di
dekat muara tuba eustakhius.19
a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi
posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna
adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku.15
15
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah
c.Rinoskopi posterior menggunakan kateter
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri.
Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar
selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini
ditarik dengan kuat agar palatum mole terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas,
selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring
tampak dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya
dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil.19
2.7 Pemeriksaan penunjang
2.7.1 Nasofaringoskopi
1. Nasofaringoskopi kaku
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0, 30,
dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri. 6 Nasofaringoskopi dapat
dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung) dan transoral
(teleskop dimasukkan melalui rongga mulut).
2. Nasofaringoskopi lentur
Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa tumor
dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran.15
2.7.2 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma bertujuan
untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor
yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos
nasofaring dan dasar tengkorak dan CT scan nasofaring.
16
17
2.7.4 Histopatologi
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi atas
sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
subtipe histopatologi.
2.7.5 Pemeriksaan imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi
kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substansi.
Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang
sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda
molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda
seperti zat flouresens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk
produk berwarna yang dapat dilihat.20
2.7.6 Pemeriksaan serologi
Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis
karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring merupakan
penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara ASEAN seperti Singapura
dan Malaysia. Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan
dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini.
Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah
immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik
untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA
EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat spesifitasnya kurang
terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya
kurang tetapi lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma
nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma
nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2
(non keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada
tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan ataupun kalau ada dalam titer yang
rendah. 15,18
18
2.9.1. Radioterapi
Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil radioterapi
untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete respons sekitar 80-100%. Sedangkan
untuk KNF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 40%. Respon
yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari
mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat.2
2.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosialekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat
dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.2
2.12 Prognosis
Dalam dua dekade terakhir ini, walaupun pendidikan tentang kesehatan ataupun
kewaspadaan tentang penyakit kanker ataupun kemajuan yang pesat dalam eralatan maupun
teknik diagnostik lebih baik dibandingkan dengan dekade sebelumnya, namun stadium I
karsinoma nasofaring yang datang berobat ke institusi kesehatan kurang dari 10% dari
seluruh kasus nasofaring. Sedangkan pembesaran kelenjar getah bening leher masih tetap
merupakan gejala pertama yang paling sering (lebih dari 70%) yang mendorong pasien untuk
datang berobat dan berarti sudah merupakan gejala stadium lanjut. Jika sudah terdapat
metastase, survival rate kira-kira 25% untuk 5 tahun dan jika terjadi penekanan intrakranial,
survival ratekira-kira 10%. 23
Dari banyak hasil penelitian didapatkan angka survival
keseluruhan berkisar antara 30% sampai 48%. Selain stadium tumor, faktor lain yang juga
mempengaruhi prognosis karsinoma nasofaring adalah jenis histologis, usia, jenis kelamin
dan bentuk pengobatan yang diberikan. Disamping itu faktor keadaan umum, termasuk
keadaan gizi, jumlah hemoglobin dan faktor ras, sosial ekonomi serta lingkungan
berpengaruh terhadap prognosis karsinoma nasofaring.23
21