Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring, merupakan tumor daerah kepala
dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Fossa rosenmuller pada nasofaring
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2

Gambar 2.1 Tumor nasofaring


2.2 Anatomi nasofaring
2.2.1 Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas
tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring. 6 Nasofaring
merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. 7 Disamping dilapisi
jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar dan jaringan ikat yang
dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran rata-rata dimensi nasofaring
pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm.6

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring


2.2.2 Batas-batas nasofaring
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi. Dinding
bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk dua pertiga
depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal. Atap dan dinding posterior membentuk
permukaan yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid, basal oksiput dan dua tulang servikal
yang paling atas sampai pada level palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior,
tepat di depan dari tulang atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil
faringeal atau adenoid) 6.
Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba
eustakhius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka
inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba
membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat faringeal
reses atau fossa Rosenmuller.8
2.2.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring
a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring
Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan lekukan.
Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari total permukaan
4

epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi
oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel
skuamosa dan epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional.
Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa.6
Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva.
Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan kumpulan
sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa
kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar
limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe
spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel
skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa
kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai
epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring.6
b. Jaringan submukosa nasofaring
Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis
faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding
nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan
yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus
morgagni. Fasia faring dinding posterior dan lateral melekat pada tuberculinfaring yang
merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen magnum. Ke
arah

lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan bawah pyramid

petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat pada apeks dari pars
petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina pterigoid interna. Fasia ini
melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang hanya
dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan fibrokartilago. 9,10
2.2.4 Pendarahan dan persarafan
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri
faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan
dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah. Daerah nasofaring
dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus
5

terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan
serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang
mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari
cabang maksila saraf trigeminus (V1). 9,10

Gambar 2.3. Perdarahan nasofaring

Gambar 2.4 Persarafan nasofaring

2.1.5 Sistem limfatik nasofaring


Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian aliran
limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara dinding
posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra.6 Pada nasofaring terdapat
banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral, bermuara di kelenjar retrofaring
Krause (kelenjar Rouviere).7 Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai
pada membran mukosa yang melapisi basis sfenoid.8
Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring mengandung
banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral
terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian nasofaring di palatum
mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer.6

Gambar 2.5 Kelenjar getah bening daerah kepala dan leher

2.3 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi.6 Tumor
ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian besar bagian dunia, dimana
insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per 100.000 penduduk tiap tahunnya.
Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor ganas yang sangat biasa terjadi pada
penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara, dengan insiden antara 20 sampai 50 per
100.000 penduduk tiap tahunnya.5,11
7

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan
di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari
seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi
pada semua golongan umur, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada
usia 40-50 tahun.12
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam persentase rendah. 1 Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk
pertahun.13
Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung
rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan
Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya
dan daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. 1
Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin, penderita lakilaki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan risiko tinggi, perbedaan ini
sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di
Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di Indonesia adalah 2-3 : 1. 12 Berdasarkan umur, dilaporkan
penderita KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun, sedangkan di Indonesia umur
termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun.3,14

2.4 Etiologi dan Faktor predisposisi


Etiologi KNF masih belum pasti Sekarang ini, sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik, lingkungan dan virus.5,6
a. Faktor genetik
Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur oleh
gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada rangsang
pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang
terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan melalui membran sel ke
dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar isyarat di dalam sitoplasma akan
disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan selanjutnya akan mengaktifkan faktor
pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA.2

Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal


ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak
mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi proto-onkogen
menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi
kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal
berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan.2
Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun
perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor
(tumor suppresor gen atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel
atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan
ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi), maka sel bersangkutan akan menjadi rentan
terhadap transformasi ganas.2
Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu
menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sejauh
aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi dominan. Mekanisme onkogen
merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah sebagai berikut:
a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth
factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin),
misalnya c-sis (cellular-sis)
b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak
sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada
rangsang dari luar, misalnya c-erb B
c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan,
sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi di
bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu.
d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang
tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada
rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras
e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang
pembelahan sel, misalnya c-myc
Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan, tetapi dapat
terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan sel
yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada pertumbuhan dan diferensiasi sel
9

normal, anti-onkogen bekerja menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel.


Beberapa anti-onkogen ialah gen p53, Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2. 2
b. Faktor lingkungan
Sangkaan bahwa faktor genetik berperan jelas sebagai penyebab dan juga peran
beberapa kofaktor lingkungan adalah sama pentingnya. Berbagai faktor lingkungan dan agen
yang termasuk dalam etiologi karsinoma nasofaring adalah; Virus Epstein-Barr (peningkatan
antibodi, viral genome di dalam sel tumor), bahan kimia (tembakau, obat-obatan, jamujamuan, produk tanaman, makanan atau diet seperti ikan asin, nitrosamin, makanan
fermentasi), kebiasaan memasak (asap bakaran dan uap), praktek keagamaan (dupa cina dan
harum-haruman), terpapar lingkungan kerja (uap dan kimia industri, partikel logam, debu
kayu, formaldehid), dan lain-lain (status ekonomi, penyakit-penyakit THT sebelumnya,
defisiensi gizi, logam seperti arsenik, kromium, dan nikel).6
1.Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB)
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam biakan
sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen
penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfomaBurkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guaninplus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi
limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada pasien yang
terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti.3
Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein
virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua
adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai
episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang
disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nucleus, sitoplasma dan membrane sel
terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear
antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi
laten. Protein lain adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen).
Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro
membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak
10

tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan
mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral
terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan
nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur
dewasa.
2. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi
hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk
kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan merokok
dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko menderita KNF. Sedangkan peminum
alkohol tidak dijumpai ada hubungan resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan
bahwa pada orang merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar
daripada yang bukan perokok. KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan
karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu
dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF.3
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe 1
karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya karsinoma tidak
berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang
lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen,
sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai
adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa difresiensi mempunyai sifat
radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis
karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.1
2.5.2 Stadium
Sistem klasifikasi stadium menurut UICC 20021 :
11

Stadium T (ukuran/luas tumor):


T0

Tak ada kanker di lokasi primer

T1

Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring

T2

Tumor meluas ke jaringan lunak oraofaring dan atau ke kavum nasi.


T2a

Tanpa perluasan ke ruang parafaring

T2b

Dengan perluasan ke parafaring

T3

Tumor menyeberang struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4

Tumor meluas ke intrakranial, dan/atau melibatkan saraf kranial, hipofaring, fossa


infratemporal, orbita , atau ruang mastikator.

Limfonodi regional (N) :


N0

Tidak ada metastasis ke limfonodi regional

N1

Metastasis unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula

N2

Metastasis bilateral dengan nodus < 6 cm, diatas fossa supraklavikula

N3

Metastasis nodus : N3a


N3b

> 6 cm
didalam fossa supraklavikula

Metastasis jauh (M) :


Mx

Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0

Tak ada metastasis jauh

M1

Metastasis jauh

Stadium 0

Tis, N0, M0

Stadium I

T1, N0, M0

Stadium IIA

T2a, N0, M0

Stadium IIB

(T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)

Stadium III

( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),( T3, N1, M0)
,( T3, N2, M0)

Stadium IVA (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)
12

Stadium IVB Setiap T, N3, M0


Stadium IVC Setiap T, setiap N, M1

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium dini keluhan
sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan tersebut biasanya
berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit
ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher, gejala
kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien.1,19
Gejala akibat tumor primer :
1. Gejala telinga
a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius
Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya
dapat menyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa
berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan
jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas.1
b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
2. Gejala hidung
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat
terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya
sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.1

b. Sumbatan hidung

13

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam


rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadangkadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.1
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis, sinusitis
dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang sedang menderita
radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas atau
menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera
melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap rongga nasofaring, sampai terbukti
bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.1
3. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi
Limfadenopati servikal
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe di
sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker
tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel
tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak
sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat
pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.1
4. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh
Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut
penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup
anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di
Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V
cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.Perluasan ke belakang secara
ekstra kranial sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang
terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus
simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot14

otot rahang sehingga terjadi trismus. Sindrom retroparotidian terjadi akibat


kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah :
a. n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.
b n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan
respirasi.
c. n.XI :Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta
hemiparesis palatum mole.
d

n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.


Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa

kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi
serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.1
5. Gejala akibat metastase jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang
(femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.1
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah buta. Karsinoma
nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller, biasanya bersembunyi di
dekat muara tuba eustakhius.19
a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi
posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna
adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku.15

b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

15

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah
c.Rinoskopi posterior menggunakan kateter
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri.
Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar
selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini
ditarik dengan kuat agar palatum mole terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas,
selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring
tampak dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya
dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil.19
2.7 Pemeriksaan penunjang
2.7.1 Nasofaringoskopi
1. Nasofaringoskopi kaku
Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0, 30,
dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri. 6 Nasofaringoskopi dapat
dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung) dan transoral
(teleskop dimasukkan melalui rongga mulut).
2. Nasofaringoskopi lentur
Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa tumor
dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran.15
2.7.2 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma bertujuan
untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor
yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos
nasofaring dan dasar tengkorak dan CT scan nasofaring.

16

Pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi


dengan CT scan. Disamping itu pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke
jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan suatu sarana pemeriksaan diagnostik
yang terbaru dan canggih yang tidak menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan
medan magnit dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar.15 Bone Scintigraphy, jika
dicurigai adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang
dicurigai pada bone scantigraph.16,17
USG hepar, jika dicurigai metastase ke hati. Positron Emission Tomography (PET),
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor residual atau
rekuren pada nasofaring.15
2.7.3 Pemeriksaan patologi anatomi
1.Sitologi
Sedian sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti :
melalui kerokan (scraping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat
khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Cara diagnosis ini sangat mudah, murah dan tak
menimbulkan rasa sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan walaupun diperiksa oleh
seorang ahli sitologi yang berpengalaman, sehingga pemeriksaan sitologi eksfoliatif belum
dapat diterima sebagai alat diagnosis untuk karsinoma nasofaring.
2. Biopsi aspirasi jarum halus
Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran kelenjar getah
bening di leher. Untuk membuktikan pembesaran kelenjar getah bening merupakan metastase
karsinoma nasofaring dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Dengan cara ini dapat diketahui
massa mengandung sel tumor ganas atau tidak dan jenis sel. Pemeriksaan ini sangat
sederhana dikerjakan dan hanya memerlukan sedikit peralatan dan pengalaman. 18
Biopsi aspirasi jarum halus juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring.
Teknik ini telah digunakan oleh Lubis dimana dia melaporkan kegunaan teknik biopsi
aspirasi jarum halus pada nasofaring.19

17

2.7.4 Histopatologi
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi atas
sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan histopatologi dapat menentukan
subtipe histopatologi.
2.7.5 Pemeriksaan imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi
kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substansi.
Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang
sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda
molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda
seperti zat flouresens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk
produk berwarna yang dapat dilihat.20
2.7.6 Pemeriksaan serologi
Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis
karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring merupakan
penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara ASEAN seperti Singapura
dan Malaysia. Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan
dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini.
Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah
immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik
untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA
EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat spesifitasnya kurang
terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya
kurang tetapi lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma
nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma
nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2
(non keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada
tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan ataupun kalau ada dalam titer yang
rendah. 15,18

18

2.7.7 Polimerase chain reaction (PCR)


Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat
menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa
genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri.21
2.8 Diagnosa banding
a. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu
jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan
foto polos didapatkan gambaran masa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan
pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.
b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mukosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di
nasofaring biasanya dapat terdeteksi jauh lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat
dari oklusi tuba eustakhius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.
c. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid,
mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal.
d. Rhabdomiosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak
ditemukan pada 1/3 pasien dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.
e .Adenoid kistik karsinoma.22
2.9 Tatalaksana
Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi
sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5
tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar pasien datang dengan
stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang
jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk
mengadakan metastasis regional maupun jauh.
Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk
mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan.
Prognosis KNF stadium lanjut biasanya buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun hanya
25-30% pada regimen tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah
diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut.19
19

2.9.1. Radioterapi
Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil radioterapi
untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete respons sekitar 80-100%. Sedangkan
untuk KNF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 40%. Respon

tumor terhadap radioterapi secara

keseluruhan sebesar 25-65%.


2.9.2. Kemoterapi
Alternatif lain untuk mengobati pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang
secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi
sebagai terapi radikal, terutama pada pasien dengan respon yang baik terhadap kemoterapi
induksi.
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi
sebagai standar terapi KNF stadium lanjut. Beberapa penelitian yang dilakukan dalam dua
dekade terakhir ini melaporkan keberhasilan penggunaan kemoterapi dikombinasikan dengan
radioterapi dalam penanganan kasus KNF stadium lanjut loko-regional.15,19
2.9.3 Pembedahan
Terapi bedah sedikit sekali mendapat tempat pada penatalaksanaan KNF. Pembedahan
yang pernah dilaporkan adalah diseksi paska radioterapi. Ini dikerjakan apabila tumor primer
sudah menghilang sedang kelenjar leher masih tersisa. Syarat lainnya adalah tidak ada
metastase jauh.
Pembedahan pada tumor di nasofaring melalui berbagai pendekatan seperti rinotomi
lateral, mid facial degloving, trans-antral dan sebagainya. entunya ini dilakukan untuk tumor
yang masih terbatas di nasofaring. Mungkin ini lebih cocok pada tumor residif.19
2.10 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia
struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin
dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka
20

yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari
mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat.2
2.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosialekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat
dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.2
2.12 Prognosis
Dalam dua dekade terakhir ini, walaupun pendidikan tentang kesehatan ataupun
kewaspadaan tentang penyakit kanker ataupun kemajuan yang pesat dalam eralatan maupun
teknik diagnostik lebih baik dibandingkan dengan dekade sebelumnya, namun stadium I
karsinoma nasofaring yang datang berobat ke institusi kesehatan kurang dari 10% dari
seluruh kasus nasofaring. Sedangkan pembesaran kelenjar getah bening leher masih tetap
merupakan gejala pertama yang paling sering (lebih dari 70%) yang mendorong pasien untuk
datang berobat dan berarti sudah merupakan gejala stadium lanjut. Jika sudah terdapat
metastase, survival rate kira-kira 25% untuk 5 tahun dan jika terjadi penekanan intrakranial,
survival ratekira-kira 10%. 23
Dari banyak hasil penelitian didapatkan angka survival

rate lima tahun secara

keseluruhan berkisar antara 30% sampai 48%. Selain stadium tumor, faktor lain yang juga
mempengaruhi prognosis karsinoma nasofaring adalah jenis histologis, usia, jenis kelamin
dan bentuk pengobatan yang diberikan. Disamping itu faktor keadaan umum, termasuk
keadaan gizi, jumlah hemoglobin dan faktor ras, sosial ekonomi serta lingkungan
berpengaruh terhadap prognosis karsinoma nasofaring.23

21

Anda mungkin juga menyukai