Anda di halaman 1dari 3

Belajar dari Pembelaan Australia

Oleh: Ahmad Barjie B


Mahasiswa Prodi Akhlak Tasawuf Pascasarjana IAIN Antasari
Berbagai cara digunakan oleh pemerintah Australia uutuk menyelamatkan dua
warganegaranya dari hukuman mati. Setelah Perdana Menteri Tony Abbot dan Menlu
Julie Bishop mendesak agar Pemerintah RI membatalkan eksekusi, desakan mana
juga dikuatkan dua perdana menteri terdahulu, belakangan muncul beberapa jurus
lagi, yang intinya meminta, memohon, mengecam, mengancam hingga menekan
Indonesia agar eskekusi tidak dilakukan.
Di antara jurus tersebut: Pertama, mengancam akan memboikot kunjungan
wisatawan Australia ke Indonesia, khususnya Bali. Selama ini mayoritas wisatawan
mancanegara memang berasal dari negeri Kangguru tersebut, dengan tujuan utama
Bali. Di Bali pula dua warganegaranya, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan
terlibat penyelundupan heroin jumlah besar beberapa tahun silam.
Kedua, meminta bantuan PBB mendesak Indonesia agar membatalkan
eksekusi. Terbukti permintaan ini dipenuhi, tak tanggung-tanggung Sekjen PBB Ban
Ki Moon sendiri, yang berbicara langsung kepada Indonesia. Ban menekankan, PBB
ke depan juga sedang mengupayakan menghapus hukuman mati.
Bersama tekanan PBB, sejumlah negara Eropa juga ramai mengecam
Indonesia. Mereka menggunakan berbagai dalil untuk meniadakan berlakunya
hukuman mati. Nyaris Indonesia tidak punya teman untuk mempertahankan
pendiriannya, kecuali Malaysia yang mendukung eksekusi mati.
Ketiga, Australia juga meminta Indonesia agar menoleh sejarah 10 tahun
silam saat Aceh dilanda tsunami dahsyat. Kala itu pemerintah, tentara dan rakyat
Australia amat besar simpati dan banyak membantu korban, dari evakuasi,
penyelamatan, pengobatan hingga pemulihan korban dan pembangunan infrastruktur
yang rusak. Australia mengingatkan Indonesia akan bantuan mereka tersebut.
Maksudnya kira-kira, Indonesia harus pandai membalas budi, dengan cara
menyelamatkan duo Bali Nine dari eksekusi.
Semakin Serius
Mengapa Australia begitu gigih membela dua warganya dari eksekusi mati?.
Hal ini tidak terlepas dari keinginan pemerintah dan rakyat Australia sendiri. Satu sisi
mereka ingin mengulang keberhasilan saat Corby yang digelari Ratu Ekstasi berhasil
diperjuangkan keselamatannya, hingga akhirnya diberi grasi oleh Presiden SBY tahun
lalu.
Sisi lain mereka pesimis keberhasilan itu akan terulang. Pasalnya, sebelum
eksekusi jilid dua ini, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi enam terpidana mati
kasus narkoba, meski protes juga berdatangan dari banyak negara, khususnya negara
asal terpidana mati tersebut.

Memang ada anggapan bahwa pembelaan Australia ini terkait dengan politik
dalam negeri. Menlu Bishop kini sedang mengincar jabatan Perdana Menteri, jadi
pembelaannya itu dapat dijadikan materi kampanye pemilu guna menarik simpati
rakyat.
Tetapi anggapan ini tidak terlalu berdasar. Tampaknya Australia memang
ingin berbuat maksimal melindungi warganya yang berada di ujung kematian. Meski
Sukumaran dan Chan merupakan warga keturunan India dan Cina, tetapi pemerintah
memandang keduanya punya hak sama untuk dibela sebagaimana warganegara
Australia asli pada umumnya.
Upaya Australia ini juga mendapat dukungan dari pegiat HAM dalam negeri.
Seorang anggota Komnas HAM mengatakan, apa yang diperjuangkan Pemerintah
Australia hal wajar dan seharusnya demikian. Sebab dalam kacamata HAM
internasional, hukuman mati tidak perlu ada lagi, kecuali untuk tiga kejahatan serius,
yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida dan terorisme.
Komnas HAM menekankan, kejahatan narkoba dalam pandangan hukum
internasional tidak tergolong extraordinary crime sebagaimana ketiga kejahatan
serius di atas. Ia hanya kriminalitas biasa. Jadi hukumannya pun mestinya biasa-biasa
saja, dalam arti tidak sampai hukuman mati.
Memang sekiranya kejahatan narkotika di Indonesia tidak terlalu parah,
barangkali upaya Australia atau pihak mana saja masih patut ditindaklanjuti dengan
mengurungkan eksekusi. Apalagi semua terpidana mati, yang telah maupun belum
dieksekusi, rata-rata sudah berubah dan bertaubat dari kejahatannya. Artinya ketika
eksekusi dilakukan, hakikatnya pemerintah mengeksekusi orang yang sudah
bertaubat. Ibu Sukumaran dari India juga memangis-nangis meminta anaknya
diselamatkan, biar dihukum seumur hidup ia rela, asal jangan mati.
Tetapi kejahatan narkotika di negeri ini sudah darurat, jadi hukumannya pun
serba darurat, seperti halnya darurat perang. Pemerintah memang benar-benar dalam
pilihan sulit. Dengan hukuman mati pun kejahatan yang satu ini belum tentu
berkurang. Setiap hari kita masih saja menemui berita kejahatan ini dalam berbagai
bentuk dan modusnya, seolah tiada ada matinya. Banyak yang terperosok dalam
kejahatan ini karena desakan ekonomi.
Tidak Maksimal
Berbagai usaha yang dilakukan Australia di atas hampir pasti gagal, karena
Presiden Jokowi telah menegaskan tidak akan memberi grasi kepada terpidana mati
narkoba yang sudah diputus pengadilan. Lagi pula kalau lobi-lobi Australia itu
dikabulkan, kita jadi tidak konsisten, sebab eksekusi terhadap warganegara asing
seperti Belanda, Brazil dan Vietnam sudah terlaksana bulan lalu.
Patut diambil pelajaran adalah gigihnya usaha Australia. Mereka tak hanya
menggunakan kekuatan dalam negeri, juga negeri-negeri lain, bahkan PBB juga
dilibatkan. Sangat berbeda ketika banyak waganegara Indonesia yang selama ini
dihukum mati di negara lain, katakanlah Malaysia dan Arab Saudi, nyaris kita hanya
berjuang sendiri.

Bahkan negara-negara yang mengecam Indonesia tersebut, selama ini juga


tidak bersuara ketika warga kita dieksekusi di negara lain. Pemerintah kita juga tidak
berani melakukan moratorium pengiriman TKI/W, karena posisi kita lemah. Kita
hanya menggunakan lobi kepada pemerintah dan keluarga setempat untuk minta
pengampunan. Bahkan rakyat terlibat mengumpul uang receh untuk bayaran diyat.
Mulai maraknya eksekusi mati sekarang sebenarnya menjadi dilema ke
depan. Bagaimana kalau warganegara kita yang terancam hukuman sama di luar
negeri. Apa pun keadaannya, kita tentu harus tetap membela mereka. berhasil atau
tidak itu soal lain.
Tidak kalah penting Indonesia harus menjadi bangsa mandiri. Negeri kita
memang sering terkena bencana, dan hampir pasti bantuan asing selalu berdatangan.
Mampukah kita seperti Cina, Jepang atau Iran yang mengandalkan kekuatan sendiri
bahkan menolak bantuan asing mengatasi bencana. Hal ini penting, agar kita tidak
terlalu berhutang budi dengan negara lain. Hutang budi bisa menjadikan Indonesia
kurang bernyali dan ewuh pakewuh ketika ingin menegakkan kedaulatan hukumnya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai