Anda di halaman 1dari 5

Monolog

SIDANG
JEMBATAN
Adhy Pratama
Teater Senyawa

PERHATIAN!
Bila Anda akan mementaskan naskah ini mohon untuk menghubungi penulis
naskah untuk sekedar pemberitahuan.
Penulis: Adhy Pratama
Email: adhypratama_ibra@yahoo.com
Facebook: https://www.facebook.com/adhyra.irianto

Bandarnaskah.blogspot.com

Setting : Musik bertaluan dari belakang layar, sementara layar masih tertutup. Dari tempat
penonton hingga depan panggung terbentang sebuah jembatan menyentuh lantai, namun ada
pegangan tangan dikiri dan kanan. Seorang lelaki, mencerminkan kemiskinan berjalan ditengahtengah penonton meniti jembatan. Ruangan benar-benar gelap, cahaya hanya dibelakang layar.
Lelaki ini membawa lampion terang kemerahan. Berjalan dengan pelan dan hati-hati, tempo
berjalan lambat namun tempo berbicara sedang.
Lelaki (L) : Aku rindu, aku benar-benar merindukan (pause, berhenti, memandang sekeliling)
saat suara rakyat adalah suara Tuhan, saat suara rakyat mengalun dengan lantang. (menghadap
kekanan, lampion seperti menerangi bawah jembatan) rakyat adalah otak, bukan kelingking,
yang seandainya ada amputasi, (pause) orang gila pun lebih memotong kelingking daripada
mengorbankan otaknya. (melanjutkan berjalan dengan hati-hati, sesekali memegangi tali
jembatan)
L : Melihat jembatan ini, menitinya dengan hati-hati, teringat pada Almarhum Pak Jumadi. Dia
kepala desa kami yang telah meninggal 3 tahun yang lalu,(pause) kepala desa terbaik sedunia,
kepala desa terbaik di akhirat. Saat itulah, pemimpin benar-benar menjadi wakil rakyat, mewakili
suara rakyat, dia juaranya. (pause) aku teringat ketika dia dilantik, 40 tahun yang lalu, ia berkata
(menirukan suara dan gesture Jumadi) aku punya dua buah toko didesa ini, aku juga punya lahan
kelapa sawit yang luas, untuk itu, seluruh gajiku serta tunjangannya sebagai kepala desa, aku
hibahkan ke kas desa, agar desa kita semakin maju dan jaya, melebihi desa-desa lain yang ada
disekitar (pause) aku bersorak (pause) tidak hanya aku, tapi seluruh warga desa bersorak.
Semenjak saat itu, Jumadi dipastikan menjadi kepala desa seumur hidupnya. Ketika dia
meninggal (pause, terlihat sedih) langit ikut mendung, seluruh warga muram bahkan anak kecil
yang belum mengerti apa-apa, ikut terisak. Kami kehilangan, kami kehilangan ksatria, kami
kehilangan (pause) raja kecil yang arif bijaksana (melanjutkan berjalan)
L : Setahun sebelum dia meninggal, jembatan ini putus. Dalam kondisi tubuh yang lemah dan
sakit-sakitan, ia pimpin rapat. Seperti sidang DPR yang terhormat, kami dianggapnya anggota

Bandarnaskah.blogspot.com

dewan, (pause) takkan satu perkara pun dia putuskan, bila tidak ada pendapat dari kami. Kami
warga yang bodoh, member pendapat berdasarkan hati dan perut kami. Sama sekali tidak
difikirkan, (tertawa kecil) tapi dia rela mendengarkan, (pause) aku dengar, warga pelan-pelan
berdoa untuk kesembuhannya, bahkan ada pula doa yang berbisik biarkan Jumadi hidup
selamanya ya Tuhan (pause, melanjutkan berjalan,hingga sampai kepanggung)
L : Sidang terakhir dihidupnya, takkan pernah terlupa olehku (layar perlahan terbuka, cahaya
panggung terang benderang, setting panggung; sebuah meja bertuliskan Kepala Desa, beberapa
kursi dan minuman untuk peserta rapat) Sidang ini, kenangan terakhir warga bersama kades
sepanjang masa
(L keluar dari panggung, kembali dengan menggunakan baju batik dan peci duduk di meja
depan)
L : Assalamualaikum, para warga peserta rapat yang budiman, yang rela menyempatkan diri
untuk hadir dalam rapat desa ini. Selamat pagi pula untuk yang berbeda keyakinan, seperti
semboyan Indonesia, meski kita berbeda, tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk bekerja
sama membangun desa ini. (pause, menarik nafas panjang) yang ingin saya ungkapkan pada
kalian ialah, perlunya perbaikan atas jembatan penghubung desa kita ke desa sebelah. Karena
didesa sebelah itu ada SMP, jadi warga kita kesulitan untuk pergi kesekolah selama tidak ada
perbaikan terhadap jembatan itu. Saya ingin mendengar, saran dan masukan dari bapak-bapak,
ibu-ibu sekalian, bagaimana seharusnya kita lakukan terhadap jembatan putus itu?
L : (pindah keposisi peserta rapat, melepas pecinya dan mengikat sarung diperut) Saya, Pak
Kades mau kasih saran saya begitu. Jadi begini pak kades begitu. Kan, dibelakang rumah saya
yah pak kades, begitu, ada banyak pohon bambu begitu. Kita sudah semestinya itu pak kades
begitu, perbaiki jembatan begitu. Kalau butuh banyak batang bamboo, bisa ambil dibelakang
rumah saya beitu. Tapi jangan banyak-banyak pak kades begitu, lima batang saja begitu, saya
rugi nanti begitu. Kalau mau lebih tidak apa-apa, begitu, tapi (agak malu-malu) bayar begitu.
L : (pindah tempat duduk) Huh! Payah tuh pak Kades, bah! Dia mau nolong (o ditekan) tapi
pelitnya minta ampun pak kades.

Bandarnaskah.blogspot.com

L : (pindah ketempat posisi kades semula, seraya mengembalikan sarung ke atas pundak dan
menggunakan peci) begini mas ucok, sama mas Azis, bagus juga idenya perbaiki jembatan itu
pakai bamboo, walaupun Cuma lima batang saja yang gratis tapi sisanya bayar, saya kira duit kas
desa (pause, memegang dada) cukup untuk membuatnya.
L : (pindah ketempat duduk, lepaskan peci dan sarung) maaf menyela, pak kades. Sebagai
pemuda, saya berharap rehabilitasi jembatan ini lebih berupa peningkatan. Tentu, agar mobilisasi
penduduk desa menjadi lebih efektif dan efisien, Pak Kades. Tentu, jembatan ini perlu kita buat
berbahan rabat beton, dengan memasukkan proposal kepada pihak kecamatan atau kabupaten
(terpotong)
L : (pindah tempat duduk, sarung dipakai diatas kepala, peci digunakan sebagai kipas) gen
padeak! Mobisasi-mobisasi, rebatisasi-rebatisasi, pektip-pesien, apa itu? Mentang-mentang kamu
S2, kita didesa dek-dek, oi. Proposal-proposal jano tuh? Aku tidak setuju sama proposal-proposal
tuh pak kades, lebih baik jelek tapi kita buat sendiri, dari pada tak tau jelek atau bagus minta
sama orang, pakai proposal-proposal tuh.
L : (kembali ketempat kades) tidak boleh mengecilkan pendapat orang lain, tapi tidak pulo
dibolehkan ego sendiri dikedepankan. Sebenarnya, maaf nih dek Pendi, saya juga tidak terlalu
tertarik sama proposal-proposal itu. Pengemis elit, kalau menurut saya.
L : (kembali keposisi pemuda) tapi pak kades, urusan membangun jembatan memang tugas
mereka, bagaimana mereka bisa berleha-leha sedangkan jembatan kita putus! Saya sudah banyak
mempelajari tentang ilmu administrasi Negara, kita punya hak pak Kades, kita meminta hak kita!
Kita menuntut hal yang memang seharusnya kita miliki!
L : (kembali ketempat ibu-ibu) oi dek-dek, ndak kamu belajar terasi Negara, gen, ndak tauco
Negara gen, memangnya tuh jembatan bisa mulai dibuat besok! Kita harus menunggu sampai
berapa lama!
L : (kembali ketempat kades) Saya kira ada yang bisa mengambil jalan tengahnya?
L : (kembali ketempat penonton, sarung dipakai seperti biasa, peci tetap digunakan)
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh (pause, menarik nafas panjang) seluruh warga
desa yang budiman, saya hanya ingin menengahi saja. Ini ide saya bukan menjatuhkan
Bandarnaskah.blogspot.com

keseluruhan pihak, saya benar-benar minta maaf, menurut saya pak kades dan seluruh warga
desa yang budiman (pause) kita tetap masukkan proposal pembangunan ke kecamatan atau
kabupaten, namun sambil menunggu pembangunan tersebut bisa berjalan sesuai yang
diharapkan, kita bangun dulu jembatan semi-permanen manggunakan bamboo dari belakang
rumah Azis, (pause) dan bekerja sama seluruh warga untuk membangun jembatan itu secepatnya.
L : (kembali ketempat kades) setuju, sekali, saya juga yakin semua warga setuju. Karena dengan
saran terakhir itu, seluruh saran kalian diterima dan digabungkan menjadi satu. Kita mulai
bekerja besok! Bagaimana, siap! (disambut sahutan siap dibelakang)
L : (kembali kedepan panggung, mengambil lampion, lampu dalam panggung kembali redup)
saya masih cukup ingat sidang itu (pause, berjalan kembali meniti jembatan), esoknya, jembatan
ini mulai dibangun dengan semangat kebrsamaan warga, walau sederhana, namun bisa membuat
anak-anak desa bisa bersekolah. Hebat, jembatan yang hebat (pause,berjalan balik dijembatan,
kembali kepanggung)
L (terhenti, ketika didepan panggung) sampai saat ini, setelah tiga tahun berlalu sidang itu,
jembatan kami tidak pernah berubah, tetap sederhana. Dari bambu, yang gratis hanya 5 batang.
Tentang proposal, (pause) saya ingat saya ikut mengantarkannya ke Kantor Kecamatan,
kemudian bersama-sama ke Dinas PU. Tapi, kelanjutannya, (tertawa) saya tidak tahu dan tidak
mau tahu (masuk kebalik layar)

Selesai

Bandarnaskah.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai