Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Mata kuliah genetika ikan yang dibahas ini lebih menitik beratkan pada
kajian genetika kuantitatif pada spesies ikan sebagai obyek uraian mata kuliah
tersebut. Cakupan dalam genetika kuantitatif ini menjelaskan peranan program
seleksi, program hibridisasi maupun peranan bioteknologi (program sex reversal)
untuk memperoleh stok induk unggul dalam upaya meningkatkan produksi usaha
budidaya ikan.
Tujuan genetika ikan yang diterapkan pada budidaya ikan adalah
peningkatan produksi ikan. Pertama, untuk meningkatkan ukuran ikan yang
dibudidayakan. Kedua, untuk meningkatkan produksi khususnya berat tubuh ikan
yang dihasilkan. Umumnya terdapat dua cara untuk upaya peningkatan produksi.
Pertama, dengan manipulasi lingkungan, seperti misalnya penggunaan pupuk,
pakan buatan, atau perbaikan pengelolaan kualitas air. Kedua, mengusahakan
perbaikan pertumbuhan ikan secara genetik.. Apabila kedua cara tersebut dapat
dilaksanakan, produksi ikan yang diharapkan akan dapat tercapai.
Beberapa program breeding dapat digunakan untuk memperbaiki suatu
populasi ikan secara genetik. Selective breeding dan crossbreeding (dikenal
sebagai hibridisasi) merupakan dua program genetik ikan tradisional yang telah
lama digunakan para breeder (petani pemijah ikan) untuk memperbaiki genetik
pertumbuhan ikan. Inbreeding sering dikombinasikan dengan hibridisasi untuk
memperbaiki hasil akhir program crossbreeding. Sedangkan pada perkembangan
terakhir program bioteknologi yang sering diikutkan dalam upaya mencetak stok
induk unggul adalah program sex reversal (pengalihan kelamin secara hormonal).
Selective breeding adalah program breeding yang mencoba untuk
memperbaiki nilai genetik populasi dengan seleksi dan hanya menggunakan
persilangan ikan-ikan yang terbaik (ukuran besar, bobot paling berat, warna paling
bagus) dengan harapan bahwa induk-induk ikan terseleksi akan mampu
mewariskan superioritasnya kepada keturunannya. Jika hal ini terjadi, generasi

berikutnya akan memiliki pertumbuhan cepat, dan pada akhirnya akan


meningkatkan produksi ikan. Ikan akan lebih efisien sebagai usaha budidaya,
memiliki biaya pakan relatif rendah atau ikan akan memiliki warna tubuh yang
diinginkan sehingga meningkatkan nilai penjualan.
Crossbreeding adalah program breeding yang mencoba untuk menemukan
kombinasi antara populasi yang berbeda untuk menghasilkan superioritas
pertumbuhan terhadap keturunan sehingga keturunan akan menampakkan hybrid
vigour. Program crossbreeding umunya melibatkan strain-strain yang berbeda
dalam satu spesies (intraspecific hybridization), namun spesies-spesies ikan yang
berbeda juga dapat dihibridisasikan (interspecific hybridization). Hibridisasi
diantara spesies ikan Tilapia yang berbeda bertujuan untuk menghasilkan hibridhibrid ikan yang semuanya jantan dan memiliki pertumbuhan relatif lebih tinggi
dari parentnya.
Pada perkembangan tahun terakhir ini, peranan bioteknologi sangat
menguntungkan upaya perbaikan genetik ikan. Salah satu yang telah diaplikasikan
pada program breeding adalah produksi stok induk hasil kegiatan sex reversal
untuk

memproduksi

populasi-populasi

monoseks

yang

memiliki

sifat

pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan parentnya. Ikan Tilapia jantan merupakan


jenis ikan yang diinginkan dalam budidaya dari pada ikan betinanya karena
pertumbuhannya dua kali lipat dibanding ikan betina. Produksi stok induk hasil
kegiatan sex reversal umumnya dilakukan dengan cara pemberian hormon seks
(estrogen atau androgen) melalui makanannya untuk mencegah terjadinya
differensiasi kelamin pada tahap burayak (fry). Efektivitas penggunaan hormon
seks tergantung pada sistem penentu kelamin pada spesies ikan tersebut dan
apakah yang diharapkan semuanya berjenis kelamin jantan atau betina.

BAB II
SELEKSI FENOTIF KUANTITATIF
Fenotip kuantitatif penting untuk produksi seperti misalnya panjang, berat,
konversi pakan dan jumlah telur per kg berat induk betina merupakan sifat genetik
ikan yang memiliki keuntungan ekonomis. Seleksi fenotip kuantitatif pada ikan
bertujuan untuk menyisihkan alel-alel yang tidak diharapkan dalam suatu populasi
ikan. Fenotif kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) sehingga tidak
dapat dianalisa secara sederhana seperti halnya fenotif yang hanya dikendalikan
oleh satu atau dua gen saja.
Aditive genetic variance merupakan komponen genetik yang terpenting
untuk varian fenotif dan dapat dieksploitasi dengan program selective breeding.
Sedangkan dominance genetic variance dapat dieksploitasi dengan program
crossbreeding (hibridisasi).
2.1. Genetik Fenotif Kuantitatif
Fenotif-fenotif kuantitatif secara genetik merupakan ekspresi gen yang
sangat kompleks. Tidak seperti fenotif kualitatif yang dikontrol oleh gen tunggal,
suatu fenotif kuantitatif dikontrol oleh 20 atau 50 atau bahkan 100 gen lebih.
Jumlah gen-gen yang mengontrol fenotif kuantitatif ini tidak diketahui, demikian
pula modus operasi ekspresi gen tersebut juga tidak diketahui.
Setiap gen dapat membantu menghasilkan fenotif kuantitatif yang
menunjukkan macam-macam sifat sehingga menampakkan adanya variasi
ekspresi yang terus menerus. Adanya variasi secara terus menerus ini disebabkan
oleh dua hal yaitu :
(1) setiap gen mengikuti hukum Mendel dan kedua alel pada tiap-tiap lokus
memisah selama proses meiosis sehingga gamet yang terbentuk hanya akan
menerima satu dari alel tersebut;
(2) semua fenotip umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga muncul
sifat yang bervariasi.

Oleh karena banyaknya fenotif kuantitatif yang menampakkan variasi


terus menerus maka cara untuk mempelajarinya adalah dengan menggunakan
analisis varian yang terdapat dalam populasi dan memilah-milahkan ke dalam
komponen genetik. Komponen genetik yang terlibat dalam fenotif kuantitatif
adalah varian fenotif (VP), varian genetik (VG) dan varian lingkungan (VE). Varian
fenotif merupakan jumlah dari varian genetik (V G), varian lingkungan (VE) dan
interaksi yang terdapat diantara varian genetik dan varian lingkungan (VG-E).
VP = VG + VE + VG-E
Varian genetik merupakan komponen yang sangat besar sekali
pengaruhnya terhadap fenotif kuantitatif karena obyek dari setiap program
breeding adalah untuk mengeksploitasi atau untuk merubah genetik suatu populasi
dalam upaya memperbaiki produktivitas. Pengukuran varian genetik harus
melibatkan varian genetik aditif (VA), varian genetik dominan (VD) dan varian
genetik epistatik (VI). Dengan demikian VG merupakan jumlah VA, VD dan VI.
VG= VA + VD + VI
Sub komponen VG tidak dapat disebut sebagai aksi aditif, dominan dan aksi gen
epistatik. Varian genetik aditif (VA), VD dan VI merupakan komponen komponen
varian fenotif, bukan merupakan modus aksi gen untuk gen tertentu.
Perbedaan diantara VA, VD dan VI merupakan ekspresi sifat yang harus
diwariskan kepada keturunannya dalam program pemuliaan ikan. Setiap
perbedaan sifat diwariskan dengan cara yang berbeda sehingga program breeding
yang berbeda diperlukan untuk mengeksploitasi setiap tipe varian genetik yang
dapat memperbaiki produktivitas.
Varian genetik dominan adalah varian yang ditimbulkan dari interaksi alelalel pada setiap lokus. Hal ini disebabkan adanya pemisahan pasangan alel selama
meiosis. Varian genetik dominan tidak dapat diwariskan dari induknya kepada
keturunan, namun harus ditimbulkan lagi pada setiap generasi yang baru. Interaksi
pasangan alel-alel dominan ini dapat berubah dan terpisah oleh peristiwa
segregasi dan pindah silang (crossing over) selama meiosis, sehingga varian

genetik dominan ini tidak dapat secara otomatis diwariskan dari induk kepada
anaknya.
Varian genetik epistatik merupakan varian yang ditimbulkan dari interaksi
alel-alel diantara 2 atau lebih lokus. Peristiwa pemisahan alel dan segregasi
selama meiosis mengakibatkan varian genetik epistatik tidak dapat diwariskan
dari induk kepada anaknya, sehingga harus diupayakan kembali agar muncul pada
stiap generasi yang baru.
Varian genetik aditif merupakan komponen genetik yang ditimbulkan oleh
pengaruh aditif (pengaruh yang kuat) dari gen-gen. Varian genetik aditif
merupakan kumpulan dari pengaruh semua alel-alel yang terdapat dalam lokus.
Varian ini tidak tergantung pada interaksi spesifik atau kombinasi alel-alel,
sehingga varian genetik aditif tidak terpisah selama proses meiosis. Dengan
demikian varian genetik aditif diwariskan secara permanen dari induk kepada
anaknya. Oleh karena pada pelaksanaanya varian genetik epistatik sulit untuk
dieksploitasi, komponen genetik penting pada fenotif kuantitatif adalah varian
genetik dominan (VD) dan varian genetik aditif (VA).
Ekspresi sifat kuantitatif dalam varian genetik dominan tergantung pada
interaksi alel sehingga harus dieksploitasi dengan program hibridisasi untuk
menimbulkan kembali kombinasi pasangan alel yang bersifat dominan.
Sebaliknya varian genetik aditif tidak tergantung dari interaksi alel, karena varian
tersebut merupakan fungsi alel yang akan terekspresi langsung dari induk kepada
anaknya. Varian genetik aditif dapat dieksploitasi dengan program seleksi.
2.2. Seleksi Dan Varian Genetik Aditif
Seleksi merupakan program breeding dalam individu atau famili yang
terpilih dalam upaya untuk merubah rata-rata populasi pada generasi berikutnya.
Seleksi didasarkan atas nilai ekspresi fenotif kuantitatif minimal. Ikan yang
menunjukkan nilai fenotif kuantitatif diatas nilai minimal dapat digunakan sebagai
calon induk terpilih, sedangkan yang menunjukkan ekspresi dibawah nilai
minimal harus disisihkan.

Seleksi dimaksudkan untuk merubah fenotif kuantitatif dari rata-rata


populasi dengan cara mengeksploitasi genetik aditif yang bertanggung jawab
terhadap pewarisan sifat yang menguntungkan dari induk kepada anaknya.
Segregasi dan pemisahan alel selama meiosis mengurangi genotif dari kondisi
diploid ke kondisi haploid sehingga dapat merubah varian genetik dominan,
namun tidak akan merubah varian genetik aditif karena merupakan fungsi dari
alel.
Ikan-ikan yang menunjukkan superioritasnya disebabkan varian genetik
aditif mampu mewariskan pengaruh-pengaruh superioritas tersebut sehingga
eksploitasi varian ini yang sangat nyata dalam pelaksanaan program seleksi.
Apabila diketahui varian genetik aditif suatu fenotif kuantitatif maka akan lebih
mudah memprediksikan rata-rata fenotif pada generasi berikutnya didasarkan atas
rata-rata calon induk ikan terseleksi. Dengan demikian varian genetik aditif ini
disebut sebagai varian nilai breeding.
2.3. Heritabilitas
Proporsi jumlah varian genetik aditif (VA) penting untuk diketahui oleh
karena dapat diprediksikan apakah program seleksi tersebut efektif. Jumlah varian
genetik yang terdapat dalam fenotif kuantitatif dari suatu populasi sangat
menentukan keberhasilan program seleksi. Apabila jumlah varian tersebut kecil
maka nilai yang dapat dieksploitasi juga kecil sehingga menyulitkan program
seleksi. Proporsi jumlah varian fenotif kuantitatif (VP) yang dikontrol oleh VA
disebut heritabilitas (h2).
h2 = VA / VP
Heritabilitas

menggambarkan

proporsi

VP

yang

diwariskan

dan

dapat

diprediksikan serta dapat dipertanggungjawabkan karena h2 merupakan komponen


genetik yang tidak terpisahkan selama meiosis. Jika nilai h2 diketahui maka akan
lebih mudah memprediksi respon seleksi dengan menggunakan rumus :
R = Sh2

Dimana

R adalah respon seleksi, S adalah diferensial seleksi dan h 2 adalah

proporsi jumlah VA. Heritabilitas menunjukkan prosentase pewarisan fenotif


kuantitatif dan tergantung dari VA yang merupakan komponen genetik penentu.
Nilai heritabilitas berkisar diantara 0 dan 1,0. Besar kecilnya nilai heritabilitas
akan memnentukan prediksi berat rata-rata populasi pada generasi berikutnya.
Bilamana nilai heritabilitas lebih kecil dari 0,15 (h2 = 15 %), pengubahan untuk
memperbaiki berat rata-rata populasi dengan program seleksi akan lebih
menyulitkan. Semakin besar nilai heritabilitas, pengubahan berat rata-rata
populasi dengan seleksi semakin mudah dan efektif.
Salah satu contoh penerapan respon seleksi (R) dapat dilaksanakan pada
usaha budidaya ikan. Apabila seorang petani ikan lele ingin mengadakan seleksi
dari stok populasi induk ikan lele dengan berat rata-rata populasi 454 g per ekor
dan petani mengharapkan dari program seleksi tersebut dapat terpilih 50 ekor
induk betina dengan rata-rata berat 604 g dan 40 ekor induk jantan dengan berat
rata-rata 692 g, maka dengan menggunakan rumus respon seleksi akan dapat
diketahui perkiraan berat rata-rata pada generasi berikutnya. Penghitungan R
dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap pertama : memperoleh nilai h2 pertumbuhan (dalam hal ini nilainya
telah diketahui untuk ikan lele sebesar 0,50)
Tahap kedua : menghitung diferensial atau perbedaan seleksi, sebagai berikut :
S = berat rata-rata terseleksi + berat rata-rata terseleksi rata-rata populasi
2
S = 604 g + 692 g 454 g
2
S = 194 g
Tahap ketiga : menghitung respon seleksi
R = Sh2
R = (194g) (0,50)
R = 97 g

Berat rata-rata populasi berikutnya (F1 = keturunan pertama hasil persilangan


dari induk-induk ikan lele terseleksi) menjadi :
F1 = berat rata-rata populasi + respon seleksi
F1 = 454 g + 97 g
F1 = 551 g
Peningkatan nilai heritabilitas dapat dilakukan dengan seleksi berat ratarata induk ikan untuk mengetahui standar deviasi dan koefisien variasi berat ratarata populasi. Populasi dengan standar deviasi dan koefisien variasi besar lebih
memudahkan pengeksploitasian varian genetik (termasuk VA), oleh karena jumlah
variasi perbedaan berat rata-rata individu yang terseleksi dengan berat rata-rata
populasi semakin besar perbedaannya sehingga memudahkan seleksi.
Seleksi untuk mengumpulkan populasi dengan koefisien variasi sifat
pertumbuhan yang besar merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki
produktivitas

budidaya

ikan.

Rata-rata

koefisien

variasi

untuk

fenotif

pertumbuhan calon induk ikan mas (Common carp) adalah 22 a5, sedangkan
untuk ikan Tilapia sebesar 27 %. Nilai heritabilitas (h2) untuk kecepatan
pertumbuhan spesies ikan mas sebesar 0,49 (h2 = 49 %) untuk induk berumur 1
tahun dan untuk induk berumur 2 tahun sebesar 0,50 0,008. Besarnya nilai
heritabilitas ini menunjukkan respon terhadap seleksi juga meningkat.
2.4. Standar Deviasi (SD) Dan Koefisien Variasi (CV) Seleksi
Meskipun heritabilitas merupakan salah satu faktor yang menentukan
apakah seleksi akan efektif atau tidak, standar deviasi dan koefisien variasi seleksi
juga berperanan menentukan apakah populasi mempunyai variasi fenotif yang
cukup untuk mencapai target melalui seleksi. Standar deviasi memberikan
gambaran jelas mengenai ukuran fonotif kuantitatif terendah.
Standar deviasi dan koefisien variasi seleksi memberikan peluang untuk
mencapai prosentase peningkatan kualitas keturunan. Fenotif kuantitatif populasi
dengan standar deviasi dan koefisien variasi besar akan mempermudah seleksi.
Variasi yang dapat dimanfaatkan dalam populasi yang memiliki standar deviasi

dan koefisien variasi kecil sangat sedikit dan nilainya tidak akan jauh berbeda
dengan ukuran rata-rata dalam populasi tersebut. Sebagai contoh, jika ada dua
populasi ikan memiliki berat rata-rata 400 g dimana satu populasi memiliki
standar deviasi 10 g (CV = 2,5 %), sedangkan populasi yang satunya lagi
memiliki standar deviasi 100 g (CV = 2,5 %), maka seleksi akan lebih efektif
dalam populasi yang memiliki standar deviasi 100 g. Kemudahan seleksi pada
populasi dengan standar deviasi yang besar dikarenakan dalam populasi tersebut
memiliki perbedaan variasi yang lebih besar.
Standar deviasi seleksi memberikan gambaran tentang intensitas seleksi
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pada populasi yang memiliki standar
deviasi dan koefisien variasi seleksi kecil, maka intensitas seleksi akan lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan populasi yang memiliki SD dan CV yang
besar. Sebagai contoh, intensitas seleksi akan mencapai 50 % ketika SD 0,7 kg
(CV = 70 %), dan sebaliknya intensitas seleksi dapat meningkat mencapai 95 %
ketika SD 0,3 kg (CV = 30 %). Hal ini menunjukkan bahwa seleksi akan lebih
sering dilakukan ketika nilai SD mengecil, dan sebaliknya seleksi akan lebih
jarang dilakukan ketika nilai SD meningkat.

BAB III
HIBRIDISASI
2.1 Program Hibridisasi
Apabila dalam program seleksi, nilai koefisien variasinya kecil atau varian
genetik aditif yang dapat dieksploitasi kecil, maka tidak memungkinkan untuk
memperbaiki suatu fenotif kuantitatif dengan seleksi. Salah satu teknik yang dapat
dipergunakan untuk memperbaiki produktivitas tersebut adalah program
hibridisasi (crossbreeding). Hibridisasi memperbaiki produktivitas dengan cara
mengeksploitasi varian genetik dominan (VD). Prinsip dasar hibridisasi adalah
menimbulkan kembali kombinasi-kombinasi baru pasangan alel-alel yang
berinteraksi. Bilamana dalam pasangan alel-alel yang berinteraksi terdapat alel
dominan yang besifat superior maka akan memperbaiki produktivitas. Kombinasi
persilangan induk ikan harus diperbanyak untuk memperoleh keturunan hibrid
superior.
Beberapa hasil kombinasi persilangan dalam program hibridisasi dapat
memproduksi keturunan hibrid superior yang memperbaiki produktivitas. Sebagai
contoh beberapa hibrid Channel catfish memberikan peningkatan pertumbuhan
sebesar 10-18% dibanding dengan populasi tanpa hibridisasi (Dunham dan
Smitherman, 1985; Chappel, 1979). Hibridisasi akan lebih memberikan pengaruh
perbaikan dan nilai tambah genetik, apabila dilakukan dalam famili, atau lebih
menguntungkan lagi dilakukan antar strain yang hidup pada lokasi yang berbeda.
Kenyataan tersebut terbukti dari keturunan hasil persilangan strain-strain hibrid
pada Cyprinus carpio yang hidup pada daerah yang berbeda menunjukkan
kecepatan pertumbuhan lebih baik (peningkatan berat tubuh sebesar 29%)
dibandingkan hasil persilangan secara normal (Komen et al., 1993).
Superioritas keturunan hibrid dapat diukur sebagai nilai heterosis (hybrid
vigour) yang dapat mengevaluasi prosentase peningkatan pertumbuhan relatif
keturunan hibrid tersebut. Efek heterosis (H) dapat ditampakkan pada persilangan
crossbreeding antara channel catfish (berat rata-rata 460 g) dan blue catfish (berat

rata-rata 440 g), memberikan nilai heterosis sebesar 18% pada berat rata-rata
hibrid (Chappel, 1979; Tave 1986).
2.2. Penggunaan Hibridisasi
Eksploitasi varian genetik dominan tidak tergantung pada varian genetik
aditif, sehingga hibridisasi dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas
apakah nilai heritabilitasnya kecil atau besar. Ketika nilai heritabilitas kecil,
hibridisasi sering digunakan sabagai salah satu cara praktis untuk memperbaiki
produktivitas karena seleksi tidak efisien. Hibridisasi dapat diikutkan dalam
program seleksi sebagai tahap persilangan akhir untuk menimbulkan peningkatan
ekspresi pertumbuhan ikan.
Apabila dalam program seleksi telah ditentukan galur populasi kontrol dan
galur populasi terseleksi, maka pada akhir seleksi dapat dimasukkan program
hibridisasi antara galur kontrol dan terseleksi untuk mendapatkan keturunan hibrid
yang terbaik. Hibridisasi juga digunakan untuk memperoleh strain baru yang
unggul ataupun untuk menghasilkan keturunan yang memiliki ukuran fenotif
kuantitatif seragam karena metodanya yang efisien. Penggunaan hibridisasi juga
dimaksudkan untuk menghasilkan populasi ikan yang monoseks dan digunakan
untuk mempertahankan populasi yang tidak mampu bereproduksi kembali.
Chappel (1979) melaporkan bahwa hibridisasi dapat memperbaiki performan
pertumbuhan Channel catfish, dimana beberapa hibrid ikan tersebut memberikan
peningkatan pertumbuhan sebesar 10 18 %. Lebih lanjut Dunham dan
Simtherman (1985) mengemukakan bahwa hibridisasi memperbaiki produksi telur
dan starin baru. Sebagai contoh Dunham dan Smitherman (1985) dalam
penelitiannya menghasilkan strain AU-MK-3 untuk spesies Channel catfish dari
hasil hibridisasi Channel catfish strain

Marion x Kansas. Populasi hibrid F1

strain Marion x Kansas yang disilangkan satu sama lain menghasilkan hibrid F 2
strain Marion x Kansas yang kemudian akan disilangkan antara sesamanya untuk
menghasilkan generasi hibrid ketiga (F3 strain Marion Kansas = AU-MK-3)
Generasi ketiga dari keturunan hibrid ini memiliki suatu kecepatan pertumbuhan

terbesar, rata-rata pemijahan tercepat (sekitar 3 tahun) dan produksi benih lebih
banyak dibandingkan generasi terdahulu.
Auburn University-Marion x Auburn University-Kansas
(AU-M)

(AU-K)

F1 :

(AU-MK-1)
(AU-MK-1 x AU-MK-1)

F2 :

AU-MK-2
SELEKSI
AU-MK-2 x AU-MK-2

F3 :

AU-MK-3

Hibridisasi akan lebih memberikan pengaruh perbaikan genetik apabila


dilakukan di dalam famili. Hibridisasi antara Channel catfish x blue catfish akan
lebih menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari pada
hibridisasi antara kedua spesies itu dengan white catfish yang dikarenakan adanya
perbedaan jumlah kromosom. Jumlah kromosom Channel catfish dan blue catfish
58 kromosom, sedangkan jumlah kromosom white catfish 48 kromosom. Tidak
selamanya hibridisasi antar spesies (interspecific) lebih baik dari pada hibridisasi
antar strain (intraspecific).
2.3 Heterosis
Salah satu cara memperbaiki produksi hibrid-hibrid F 1 intraspesifik adalah
melihat nilai heterosis positifnya (hybrid vigour) pada budidaya ikan dengan

membandingkan hibridisasi antara strain-strain hatchery (panti benih ikan) dan


strain-strain alami. Sebagai contoh penelitian-penelitian hibridisasi dengan
Channel catfish menunjukkan bahwa :
Strain hatchery x strain hibrid F1 hatchery

80 % heterosis +

Strain hatchery x strain hibrid F1 alami

30 % heterosis +

Superioritas atau inferioritas keturunan hibrid diukur sebagai heterosis (H)


atau hybrid vigour. Heterosis (H) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
H = (Rata-rata hibrid F1 Rata-rata induk ) x 100 %
Rata-rata induk
Sebagai contoh, dilakukan persilangan antara Channel catfish, blue catfish dan
resiprok hibridnya untuk mengevaluasi pertumbuhan relatif catfish. Pada saat
panen (umur pemeliharaan 18 bulan) dicatat berat rata-rata masing-masing
kelompok sebagai berikut :
Kelompok
Channel catfish
Blue catfish
Channel catfish x blue

Berat rata-rata (g)


460
440
600

catfish
Blue catfish x Channel 462
catfish
Penghitungan nilai heterosis dilakukan dalam tiga tahap :

Tahap pertama : hitung berat rata-rata kelompok induk ?


Berat rata-rata kelompok induk = 460 g + 440 g / 2
Berat rata-rata induk

= 450 g

Tahap kedua : hitung berat rata-rata hibrid ?


Berat rata-rata hibrid = 462 g + 600 g / 2
Berat rata-rata hibrid = 531 g

Tahap ketiga : hitung heterosis ?


H = (531 g 450 g) x 100 %

450 g
H = 18 %
2.4. Inbreeding
Inbreeding merupakan program pemuliaan yang berpengaruh terdahap
produktivitas. Persilangan antara ikan-ikan yang memiliki hubungan kekeluargaan
dikenal sebagai inbreeding. Secara genetik, inbreeding dilakukan untuk
menciptakan keturunan homosigot. Individu-individu yang kekerabatannya dekat
akan mewarisi sifat yang sama dari induknya karena alel-alel terbagi dengan
jumlah yang sama seperti pasangan alel-alel semula (dari induknya).
Seleksi, migrasi, mutasi dan penyimpangan genetik mengubah frekuensi
gen, akan tetapi inbreeding tidak mengubah frekuensi gen. Persilangan yang dekat
kekerabatannya akan menambah kehomosigotan, karena mengubah frekuensi
genotif dengan penambahan alel yang homosigot dan pengurangan alel yang
heterosigot. Hal ini menyebabkan variasi genotif bertambah sehingga variasi
fenotif juga bertambah.
Individu yang heterosigot umumnya menyimpan alel resesif perusak. Jika
alel ini terekspresi akan menghasilkan bentuk abnormal atau fenotif letal. Oleh
karena inbreeding menciptakan homosigot dengan memasangkan alel yang sama
karena pewarisan induk, kemungkinan besar jarang sekali alel resesif perusak
berpasangan dan terekspresi pada individu inbreed dibandingkan dengan
persilangan induk yang jauh hubungan kekerabatannya. Namun demikian tidak
ada kepastian bahwa keturunan inbreed akan selalu abnormal.
2.4.1. Aplikasi Inbreeding
Kajian penelitian aplikasi inbreeding yang menggunakan spesies ikan
menunjukkan bahwa inbreeding mereduksi produktivitas, namun demikian
inbreeding dengan metoda tertentu masih dapat digunakan untuk memperbaiki
genetik populasi. Metoda tersebut dikenal sebagai program line breeding.
Program line breeding dilakukan ketika individu yang unggul (biasanya jantan)

disilangkan dengan keturunannya. Hal ini dilakukan agar supaya sifat unggul pada
individu jntan tersebut menambah kontribusi gen pada gene pool keturunannya.
Aplikasi kedua dari inbreeding adalah untuk membuat galur inbreed yang
akan dihibridisasikan sehingga menghasilkan hibrid-hibrid generasi pertama (F1)
yang memiliki sifat tumbuh relatif lebih baik. Dua atau lebih dari galur inbreed
tersebut disilangkan satu sama lain untuk menggabungkan alel-alel tertentu.
Ketika galur inbreed disilangkan, hibrid-hibrid keturunannya akan identik dan
seragam sifatnya. Hal inilah yang menjadi tujuan dari program crossbreeding.
Inbreeding dengan dua atau lebih galur yang diikuti program hibridisasi
merupakan metoda klasik untuk memproduksi keturunan yang pertumbuhannya
seragam.
Dua tipe line breeding yang umum digunakan dalam perbaikan keturunan
hibrid adalah mild linebreeding dan intense linebreeding. Pada program mild
linebreeding, hasil persilangan generasi pertama (hibrid turunan pertama)
disilangkan dengan individu lain untuk menghasilkan hibrid turunan kedua yang
selanjutnya disilangkan dengan individu lain untuk menghasilkan turunan hibrid
ketiga. Turunan hibrid ketiga tersebut kemudian disilangkan dengan individu lain
untuk menghasilkan turunan hibrid keempat. Persilangan terakhir dilakukan
dengan menyilangkan turunan hibrid keempat dengan individu jantan unggul yang
dipakai sebagai parent (induk pertama) yang diharapkan mewarisi keunggulannya
dengan prosentase yang besar.
Program kedua adalah intense line breeding yang selalu menggunakan
persilangan individu unggul sebagai pejantan dengan individu lain pada setiap
generasi yang diharapkan akan memperbesar pengaruh penurunan sifat unggul
pada hasil keturunan. Hasil keturunan hibrid generasi pertama disilangkan dengan
individu unggul sebagai pejantan untuk menghasilkan keturunan hibrid kedua
yang mewarisi sifat unggul dan selanjutnya disilangkan kembali dengan individu
jantan unggul untuk menambah keunggulannya pada keturunan hibrid ketiga.
Persilangan terakhir dilakukan antara hibrid keturunan ketiga dengan individu

jantan unggul sehingga akan diperoleh keturunan keempat yang akan mewarisi
hampir 100 % keunggulan pejantan (sebagai induk unggulan).
Mild linebreeding :
Parent :
Keturunan I :

AxB

(A=jantan unggul)

CxD

(C merupakan hibrid keturunan I mewarisi 50 % keunggulan A)

Keturunan II :

ExG

(E merupakan hibrid keturunan kedua mewarisi 25 %


keunggulan A)

Keturunan III :

H x I (H merupakan hibrid keturunan III mewarisi 12,5 %


keunggulan A)

Keturunan IV : A x J

(J merupakan hibrid keturunan IV mewarisi 6,25 %


keunggulan A)

K (Keturunan K memperoleh sumbangan keunggulan A sebesar 6,25 % + 100 % / 2 = 53,12 %)


Intense linebreeding :
Parent :
Keturunan I :

Ax B
Ax C

(A=jantan unggul)
(C merupakan hibrid keturunan I mewarisi
50 % keunggulan A)

Keturunan II

Ax D

(D merupakan hibrid keturunan II mewarisi


75 % keunggulan A)

Keturunan III

Ax E

(E merupakan hibrid keturunan III yang


mewarisi 87,5 % keunggulan A)

G (keturunan G memperoleh sumbangan keunggulan


A sebesar 87,5 % + 100 % / 2 = 93,75 %)

2.4.2. Cara Penghitungan Inbreeding


Nilai inbreeding dapat dihitung dengan menggunakan tehnik yang disebut
path analysis, yaitu dengan menyajikan garis keturunan dalam bentuk diagram
path dan menentukan inbreeding individu dengan memasukkan kemungkinan
perbedaan path dengan satu atau lebih common ancestor (tetua/induk pertama).
A

D
B

G
A

E
C
Garis keturunan

C
Diagram path

Setiap anak panah pada diagram path menunjukkan sebuah gamet yang
menerima 50 % genom induk (orang tuanya). Inbreeding individu ditentukan
dengan menggunakan rumus :
FX = (0,5)N (1 + FA)
dimana : Fx = inbreeding individu
= simbol dari penjumlahan
N = jumlah individu yang termasuk dalam diagram path
FA = inbreeding common ancestor
Jika FA = 0, maka rumus di atas menjadi :
FX = (0,5)N
Individu

G menunjukkan keturunan yang inbreed karena satu dari

tetuanya terlihat pada kedua sisi maternal (garis betina) dan paternal (garis
jantan). Individu A adalah tetua (common ancestor) dari individu G. Nilai

inbreeding G diperoleh dengan cara menelusuri jalur dari G ke A. Penelusuran ini


untuk mencari panjangnya garis pewarisan dari setiap generasi, mulai dari A
sampai G. Hal ini dapat dilakukan dari salah satu orang tua G, kemudian
ditelusuri jalan menuju A, selanjutnya dari A ke orang tua G yang lain. Untuk
menghitung FG harus ditelusuri jalan dari D ke E melalui A.
D (1)
G

A (2)
E (3)

Pada jalur penelusuran tersebut terdapat 3 individu yang berhubungan dengan G


(N = 3). Individu A bukan inbreed karena merupakan common ancestor. Nilai FG
dapat dicari dengan menggunakan rumus :
FG = (0,5)N
FG = (0,5)3 = 0,125
Jadi keturunan G yang merupakan inbreed mewarisi kehomosigotan individu A
sebagai tetua sebesar 12,5 %.
2.4.3. Pengaruh Ukuran Populasi Pada Inbreeding
Inbreeding yang tidak disengaja dan penyimpangan genetik selalu terjadi
dalam populasi hatchery karena populasi tersebut kecil dan lingkungannya
tertutup. Kedua hal ini akan merusak variasi populasi genetik dan menurunkan
produktivitas. Pengaruh yang tidak menguntungkan ini dapat diatasi dengan
jumlah persilangan yang efektif (efective breeding = NE). Jumlah NE tergantung
dari jumlah induk yang disilangkan, rasio seks, cara persilangan dan variasi
ukuran famili.
Apabila tidak dilakukan seleksi induk ikan, maka persilangan yang dapat
dilakukan ada dua cara yaitu persilangan secara acak (random) dan persilangan

antar keturunan. Jumlah breeding efektif yang harus digunakan pada populasi
dengan persilangan secara acak dapat dihitung dengan rumus :
4 ( ) ( )
Ne =

( ) ( )

dimana : Ne = jumlah breeding efektif


= jumlah induk betina
= jumlah induk jantan
Jumlah breeding efektif merupakan suatu konsep yang sangat penting
dalam manajemen populasi, karena memberikan petunjuk tentang stabilitas
genetik populasi. Apabila Ne menurun, inbreeding dan variasi perubahan
frekuensi gen akan meningkat. Jumlah breeding efektif ini berbanding terbalik
dengan inbreeding.
Bilamana Ne dalam suatu populasi menurun dan berakibat pada penurunan
produktivitas, maka upaya yang harus ditempuh adalah menambah Ne sebesar
mungkin dan memijahkan induk dengan rasio seks lebih tinggi. Pengaruh rasio
seks terhadap inbreeding ditunjukkan dengan rumus :
1

F=

+
8 ( )

8 ( )

Cara ketiga untuk memaksimalkan Ne adalah mengubah persilangan


random (acak) menjadi persilangan kekerabatan (antar keturunan). Persilangan
antar keturunan berbeda dengan persilangan acak. Pada persilangan keturunan
setiap betina meninggalkan satu anak betina dan setiap jantan meninggalkan satu
anak jantan yang akan dipergunakan sebagai broodstock (calon induk). Sistem
breeding ini dapat menggandakan Ne tanpa menambah ukuran populasi. Cara
perhitungan Ne dengan persilangan keturunan menggunakan rumus :
16 ( ) ( )
Ne =
3 ( ) + ( ) atau ( ) + 3 ( )

Jika rasio seks dalam persilangan tersebut lebih banyak induk betina maka
digunakan faktor pembaginya adalah 3 ( ) + ( ), sebaliknya apabila dalam
persilangan terdapat lebih banyak induk jantan, digunakan faktor pembagi ( )
+

3 ( ). Ne bertambah bila menggunakan persilangan keturunan karena

menambah variasi genetik dengan jaminan bahwa telur-telur yang dihasilkan


selalu tersedia pada generasi mendatang.
Jika populasi breeding tidak menambah ukuran populasi, satu-satunya cara
untuk menambah produktivitas adalah mengubah rasio seks atau mengubah
persilangan keturunan. Cara tersebut dikenal sebagai efektif breeding efisien (Nb).
Ne
Nb =
N
Nb adalah efektif breeding efisien dan N adalah ukuran populasi. Efektif
breeding efisien dapat memberikan petunjuk bagaimana caranya mengelola dan
mengatur hatchery dengan baik terutama dalam hal penyediaan stok calon induk
bermutu yang diusahakan agar tingkat inbreeding dapat diminimalisasi.
Persilangan keturunan dapat diperbaiki dengan menggunakan Nb apabila rasio
seks induk jantan dan betina adalah 50 : 50.

BAB IV
MEKANISME SEX REVERSAL PADA GENETIKA IKAN
Umumnya

pada ikan,, diferensiasi

seksual terjadi selama

awal

perkembangan telur sampai burayak (fry) dan dikontrol oleh konfigurasi


kromosom pada nukleus telur yang dibuahi. Konfigurasi kromosom yang tersusun
atas kromosom eks XX akan terekspresi menjadi individu betina dan untuk
komposisi kromosom seks XY terekspresi menjadi individu jantan. Pada ikan
memiliki mekanisme yang sama untuk kontrol seks dengan ekspresi individu
betina yang umumnya homogametic sex. Namun pada Oreochromis aureus (ikan
nila) ekspresi individu jantan merupakan homogametic sex.
4.1. Penentu Kromosom Seks
Baik pada mamalia maupun ikan, penentuan seks kelamin sangat
dipengaruhi oleh kromosom dan bukan oleh lingkungan. Pada umumnya,
kromosom betina adalah XX dan jantan adalah XY. Kromosom Y merupakan
kromosom yang mewariskan faktor penentu seks kelamin pada mamalia. Jika
misalkan individu memiliki 2 kromosom X dan 1 kromosom Y maka jenis
kelaminnya adalah jantan. Namun umumnya individu hanya memiliki 1
kromosom X dan kromosom Y yang tidak berkembang dianggap sebagai individu
betina.
Perkembangan gonad dan penentuan jenis kelamin pada mamalia
(termasuk ikan) diatur oleh kromosom Y. Jika tidak terdapat kromosom Y, gonad
berkembang menjadi ovari. Hormon-hormon estrogenik yang diproduksi oleh
ovari mampu menginduksi Mullerian duct menjadi vagina, serviks, uterus dan
oviduk. Jika terdapat kromosom Y, maka kromosom Y akan mengatur
pembentukan faktor penentu testis. Faktor penentu testis yang terbentuk akan
menginduksi perkembangan gonad menjadi testis (yang materialnya diambil dari
bahan calon pembentuk ovari). Oleh karena testis yang terbentuk, maka akan

disekresikan dua hormon utama. Pertama adalah Anti Mullerian Duct Hormone
(dikenal sebagai AMH = Anti Mullerian Hormone) yang merupakan hormon
perusak jaringan yang menginduksi perkembangan uterus, oviduk, serviks dan
vagina. Hormon kedua adalah testosteron yang memaskulinisasi calon sel
pembentuk gonad, menstimulasi pembentukan penis, skrotum dan bagian anatomi
jantan lainnya. Secara rinci pada Gambar 1 di bawah diuraikan proses penentuan
jenis kelamin oleh kromosom Y.
mesoderm pada gonad

Kromosom Y

yang belum berkembang

Faktor
Penentu Testis

Testis
Sel Leydig

Ovari
Sel Sertoli

Sel Teka

Wolfian duct

Sel Granulosa
Breast tissue

Testosteron

AMH

Estrogen
Mamary glands

Epididimis,

Dihydrotestosterone

Vas deferens,
Seminal vesicle

Mullerian

Urogenital

Penis

duct

Uterus, oviduk,
serviks, vagina

Gambar 1. Urutan kejadian yang menjurus pada pembentukan fenotif seks pada
mamalia. Keberadaan kromosom Y pada gonad yang belum terdeferensiasi (indifferensiasi) menyebabkan pengubahan menjadi testis.
Sel-sel testis mensekresikan hormon-hormon yang menyebabkan
diferensiasi menjadi fenotif jantan. Ketiadaan kromosom Y, gen-gen
ovarium beraksi untuk membentuk ovari dan menginduksi adanya
perkembangan fenotif seks betina (Gilbert, 1991)
4.2. Gen-gen Pada Kromosom Y

Beberapa gen yang terdapat dalam kromosom seks telah ditemukan dan
memiliki fungsi untuk diferensiasi seksual normal. Diferensiasi gonad yang belum
terdiferensiasi tergantung pada ekspresi gen-gen kromosom Y yang terdapat
dalam sel-sel epitelium seks. Diferensiasi testis merupakan ekspresi penentu eks
pada kromosom Y di dalam sel-sel sertoli. Oleh karena sel sertoli merupakan tipe
sel pertama testis yang berdiferensiasi, hal ini yang meungkinkan gen penentu
seks kromosom Y dan semua kejadian lainnya pada pembentukan testis.
Pada manusia, gen untuk faktor penentu testis (TDF = Testis Determining
Factor) yang terletak pada lengan pendek kromosom Y merupakan gen
pembentuk ekspresi individu jantan.
Gen penentu testis pada kromosom Y diperlukan, namun tidak cukup
untuk menginduksi perkembangan testis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
gen pada kromosom Y berkoordinasi dengan gen-gen autosomal tertentu. Gen
penentu testis terletak pada daerah 35.000 bp pada kromosom Y yang terletak
sebelum pseudoautosomal. Pada daerah ini ditemukan suatu urutan DNA spesifik
jantan yang menyandi suatu peptida dari 223 asam-asam amino. Gen ini disebut
sebagai sex determining region Y (SRY) yang menyandi faktor penentu testis yang
bekerja sebelun atau sesudah atau selama diferensiasi testis.
Satu dari gen-gen yang diatur oleh faktor penentu testis adalah gen untuk
AMH (Anti Mullerian Hormone). Hormon ini diproduksi oleh sel-sel sertoli testis
dan merupakan salah satu produk utama dari jaringan testis. Gen penentu testis
pada kromosom Y mencit (Tdy) dapat bekerjasama dengan gen penentu testis
autosomal (Testis determining autosomal = Tda-1).
Gen penentu perkembangan

ovarium adalah

gen Od (Ovarian

determining) yang terletak pada kromosom X atau pada suatu autosom. Gen Od
ini berfungsi untuk mengaktivasi gen berikutnya (gen Od-1) pada jalur
perkembangan ovarium . Gen Od-1 ini dapat mengaktivasi gen dalam germ cell
line untuk menginduksi aktivasi perkembangan ovarium di dalam sel-sel gonad.
Gen pertama pada jalur perkembangan testis adalah faktor penentu pada
testis (Tdy). Gen ini bekerja terlebih dahulu dari pada gen Od dan bertindak dalam

dua fungsi. Pertama, mengaktivasi gen berikutnya (Td-1) dalam jalur testis dan
gen Td-1 ini kemudian menekan aktivitas gen Od. Akibat mekanisme operasi gen
ini, testis akan terbentuk. Jika terdapat gen Tdy, akan terbentuk testis, dan
sebaliknya ovari akan terbentuk jika tidak ada gen Tdy. Model ini memungkinkan
pewarisan pembalikan seks (sex reversal) yang disebabkan oleh hilangnya
koordinasi antara gen Tdy dan alel-alelnya. Hilangnya koordinasi ini mungkin
pertanda timing ekspresi gen. Pada Gambar 2 di bawah ini disajikan model
penentuan jenis kelamin (Gilbert, 1991).
(a) Gen Tdy menginisiasi perkembangan testis
Sel-sel germ

Od

XY

Prospermatogonia

inisiasi perkembangan testis oleh ekspresi


Gen Tdy

Sel-sel gonad

Tdy

Testis
Td-1

Sel sertoli

(b) Jika tidak ada gen Tdy, gen Od menginduksi perkembangan ovari
Sel-sel germ

Od

Oosit meiotik

induksi perXX kembangan

Sel-sel gonad

ovari oleh gen Od

Od-1

Ovari

Sel-sel granulosa

(c) Ekspresi gen Od dan represi gen Tdy menjurus pada sex reversal
Sel-sel germ

Od

XY

Represi gen Tdy

Sel-sel gonad

Tdy

Od-1

Ovari
Sel granulosa

Gambar 2. Jika terdapat gen Tdy, gen Od akan direpresi sehingga terjadi insiasi perkembangan
testis oleh ekspresi gen Tdy (a). Jika tidak terdapat gen Tdy, gen Od menginduksi

perkembangan ovari karena ekspresi dari gen Od tersebut (b). Bilamana gen Tdy
yang akan terekspresi ditekan (oleh perlakuan hormon), gen Od akan terekspresi
dan menginduksi gen Od-1 untuk membentuk ovari (mekanisme sex reversal)

DIKTAT KULIAH GENETIKA IKAN

GENETIKA FENOTIF KUANTITATIF

Oleh
Ibnu Dwi Buwono, Ir.,MSi.

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN

BANDUNG 2001
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Alloh Yang Maha Esa atas tersusunnya buku
pegangan kuliah genetika ikan ini. Buku tersebut lebih dimaksudkan untuk
mempermudah pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah genetika ikan yang
banyak menguraikan teori-teori dasar genetika yang harus disederhanakan
penyampaiannya. Topik yang dibahas dalam buku ini dititik beratkan pada
genetika fenotif kuantitatif khususnya program seleksi, hibridisasi, inbreeding dan
mekanisme sex reversal pada genetika ikan.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima ksih, kepada :
1. Bapak Prof.H.A. Himendra W.,dr,SpAn.KIC selaku Rektor Universitas
Padjadjaran
2. Bapak Prof.Dr.Sadeli Natasasmita,Ir. Selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
3. Bapak Dr. Otong Suhara,Ir.,MS. Selaku Ketua Jurusan Perikanan
Universitas Padjadjaran
3. Staf perpustakaan Fakultas Pertanian dan Jurusan Perikanan yang
telah membantu mencarikan bahan rujukan.
Menyadari akan kekurangan dalam penyajian buku ajar tersebut, penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun.

Bandung, Februari 2001


Penulis,

Anda mungkin juga menyukai