Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
dimana-mana ( Pusat dan Daerah) yang dengan mudah dapat diselewengkan untuk
kepentingan diri dan kelompok dalam bentuk tindak pidana korupsi dan lain-lain. RPJM yang
disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional
yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemajuan
negara-negara tetangga lainnya. Kita banyak mengalami kemunduran dalam pembangunan
bangsa. Atas dasar itulah, banyak kalangan mengusulkan, bahkan berbagai pembahasan
serius melalui seinar, focus group discussion, dan sarasehan, menyimpulkan bahwa GBHN
perlu dihidupkan kembali agar arah pembangunan Indonesia menjadi jelas. GBHN sebagai
panduan untuk kepala negara (Presiden ) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden
tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang
telah disusun. Berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam
menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat
berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman di masa
depan. GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar
kehidupan bangsa. Hilangnya pagar kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah
dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk
kepentingan asing sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Maka itu, berbagai pihak
meminta ruh dan jati diri pembangunan bangsa tetap berpijak pada aspirasi seluruh rakyat
Indonesia yang dituangkan dalam GBHN
Jadi, ada semacam rumusan bersama tentang haluan kita bernegara, ke arah mana
perjalanan bangsa ini ke depan. Rumusan ini dituangkan oleh DPR dan Presiden dalam
bentuk undang-undang, tapi rancangannya itu disiapkan terlebih dahulu oleh MPR dengan
melibatkan seluruh pihak stakeholder yang ada.
Kita sangat mengapresiasi berbagai pemikiran dan usulan yang menghendaki agar
pola GBHN kembali dihidupkan dan dijalankan dalam kehidupan kenegaraan pasca pemilu
legislatif dan pemilu presiden 2014. Tetapi masih banyak hal yang harus dikaji, baik secara
yuridis, sosiologis dan metodologis. Yang harus pula diperhitungkan adalah perubahan
paradigma berpikir yang ikut merubah arena, wajah dan struktur politik. Dalam era
Reformasi, demokrasi mulai terkondisi di berbagai lini kehidupan,sekalipun demokrasi yang
dilahirkan di Indonesia abortus sehingga menjadi industri politik. Semua identitas yang
muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Semua kelompok dari
berbagai kalangan mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta
dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok
yang ada. Muncul pertanyaan, Sistem GBHN bisa kah diterapkan dalam arena baru politik
ini? Apakah representasi, partisipasi dan penataan ruang publik yang telah diatur dengan
undang-undang harus dikoreksi lagi?. Bagaimana mencari solusi kalau terjadi konflik
kepentingan dalam menyusun GBHN ? Kita sekarang berada dalam medan wacana. Politik
adalah medan wacana dan GBHN bisa menjadi pertempuran wacana. Dengan majunya
media, kita sekarang menjadi masyarakat tontonan, apakah akan kita mempertontonkan
perebutan dan konflik kepentingan dari para penguasa di negeri ini ?
Indonesia negara yang sangat multikultural sebab negeri ini terdiri atas etnis, bahasa,
agama, budaya yang berbeda-beda. Kondisi ini bagaikan dua sisi mata pedang, jika dapat
dikelola dengan baik maka akan menjadi hal yang positif, tetapi jika tidak dapat dikelola
dengan baik maka akan muncul malapetaka. Orde Baru dengan sistem GBHN tidak sepi
dari berbagai malapetaka, sehingga harus diakhiri dengan Reformasi yang mengambil
korban.
Dalam sistim GBHN di era Orde Baru, tripolarisasi ekonomi ( BUMN, Koperasi dan
Swasta) tidak tegak sama-sama kukuh, sehingga terjadi kepincangan sosial dalam berbagai
aspeknya. Padahal tujuan pembangunan nasional dirumuskan dalam Trilogi Pembangunan :
Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. Kebijakan yang menempatkan pemerintah sebagai
pemegang peran penting dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi juga diselewengkan
dengan memberikan fasilitas,proteksi dan subsidi ekonomi pada kelompok-kelompok
tertentu, sehingga keadilan sosial yang diamanatkan UUD 45 tidak pernah terwujud. Tumbuh
konglomerat swasta yang berbau kekuasaan yang menindas pelaku-pelaku ekonomi lemah.
Penerapan kembali sistim GBHN memang sudah menjadi aspirasi, tapi perlu kajian
yang seksama. Arena ,wajah dan struktur politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan
penafsiran terhadap konsep-konsep negara tidak mudah diatasi, karena paradigma berpikir
terarah kepada kebebasan