Anda di halaman 1dari 8

BAB III

DATA ,PERMASALAHAN DAN ANALISIS


PURA BESAKIH, KARANGASEM
Rsi Markandeya dan sejarah perjalanan beliau ke Bali khususnya ke Karangasem
( Besakih )

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan
serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali).
Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau
itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang
dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi
Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri
Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada
mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung
Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI
HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa sampai selesai, agar tanah itu
dibagi-bagikan kepada para pengikutnya bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih)
harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan
permata mirah.

Filsafat Arsitektur Site

Pada abad ke-8 Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat
ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang.
Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para
pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan
ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya
(bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke
tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa
waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik
(Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan
daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon
wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para
pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung
Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan
ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi
Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan
mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara
itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut,
menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang
sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi
Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau
mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masingmasing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam
kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan
perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen)
selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam
diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada
waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi
ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari
lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti
disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini
bernama Besakih.

Filsafat Arsitektur Site

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum
dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat
Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada
pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaanperusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau
Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar
mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang
dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.
Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula
dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata
kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita
yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan
lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula
mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.

Pura Besakih, Tempat Umat Memohon Keselamatan


PURA Besakih

kini

memang

menjadi

pusat

perhatian

serangkaian

akan

diselenggarakannya upacara Panca Bali Krama. Terletak di Desa Besakih, Kecamatan


Rendang, Kabupaten Karangasem, pura ini berada di kaki Gunung Agung -- di lereng barat
daya pada ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut.
Gunung Agung yang tingginya sekitar 3.142 meter, gunung tertinggi di Bali,
merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari keberadaan Pura Besakih. Berdasarkan
catatan, Gunung Agung sudah pernah meletus beberapa kali -- pada tahun 1089, 1143, 1189
dan 1963.

Filsafat Arsitektur Site

Perihal berdirinya Pura Besakih, berdasarkan catatan-catatan yang terdapat dalam


prasasti logam maupun lontar-lontar, disebutkan pada mulanya merupakan bangunan
pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam tempo yang
cukup lama. Dari sumber-sumber catatan itu diketahui bahwa pada permulaan abad ke-11
yaitu tahun 1007, Pura Besakih sudah ada.
Ketika itu masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) dan Empu
Kuturan menjadi senapati di Bali, yang berkedudukan di Silayukti, Padangbai, Kabupaten
Karangasem. Empu Kuturan memperbesar dan memperluas Pura Besakih dengan
membangun sejumlah pelinggih. Beberapa meru dibangun meniru bangunan di Jawa seperti
yang ada sekarang.
Sumber lainnya menyebutkan, Maha Rsi Markandeya pindah bersama rombongan
sebanyak sekitar 8.000 orang dari Gunung Raung di Jawa Timur ke Bali untuk menetap dan
membuka tanah-tanah pertanian serta mendirikan Pura Besakih untuk tempat memohon
keselamatan dan kesejahteraan dengan menanam panca datu.
Kemudian, pada masa berikutnya, zaman pemerintahan Sri Wira Kesari Warmadewa
sampai masa pemerintahan Dalem Waturenggong, Pura Besakih tetap mendapatkan
pemeliharaan yang baik. Hampir semua pelinggih-nya diperbaiki, arealnya diperluas, bahkan
oleh Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh ditambah dengan pelinggih
beruang tiga yang sekarang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih pada sekitar abad ke16, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
Disebutkan, kata besakih berasal dari kata basuki yang berarti "selamat". Kata ini
berkembang menjadi basukir dan basukih, lalu menjadi besakih. Nama ini terdapat dalam dua
prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan
Selonding dan satu lagi di Pura Gaduh Sakti di Desa Selat.
Fungsi umum Pura Besakih adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon
keselamatan. Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap purnama sasih kedasa
(sekitar Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk
menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali
Krama setiap 10 tahun sekali dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100
tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan pada 1973.
Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang
penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna
Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar Raja Purana Besakih tentang upacara, nama
pelinggih, tanah pelaba, susunan pengurus, hingga tingkatan upacara, diatur dengan baik.

Filsafat Arsitektur Site

Struktur Pura Sampai saat ini, Pura Besakih tetap merupakan pura terbesar di Bali,
merupakan pusat tempat ibadah bagi umat Hindu di Indonesia. Kelompok Pura Besakih
terdiri atas 18 kompleks pura yang terletak di wilayah Desa Besakih dan satu terletak di Desa
Sebudhi, Kecamatan Selat, Karangasem. Selain dari pura yang disebutkan berikut, masih
banyak lagi Pura Pedharman yang menjadi penyiwaan warga-warga yang sesungguhnya tidak
bisa dipisahkan dengan Pura Agung Besakih itu sendiri. Berikut rincian pura-pura tersebut:
1. Pura Persimpangan
Terletak di Desa Kedungdung, di tengah-tengah ladang sekitar 1,5 km, di sebelah
selatan Pura Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 4 buah bangunan dan pelinggih.
Fungsinya sebagai tempat persimpangan sementara bhatara Besakih ketika diadakan upacara
melasti (mencari toya ning) ke Toya Sah, ke Tegal Suci atau ke Batu Klotok yang dilakukan
tiap-tiap tahun.
2. Pura Dalem Puri
Terletak di sebelah utara tikungan jalan terkahir, sebelum sampai di Desa Besakih
sekitar 1 km di sebelah barat daya Pura Penataran Agung Besakih. Di pura ini terdapat 10
bangunan, termasuk pelinggih berbentuk gedong beratap ijuk. Fungsinya sebagai linggih
bhatari Uma dan Dewi Durga. Di Pura ini juga terdapat pelinggih Sang Hyang Prajapati
sebagai penguasa roh manusia. Di sebelah utara terdapat tanah lapang yang disebut Tegal
Penangsar.
3. Pura Manik Mas
Terletak di pinggiran sebelah kiri jalan menuju ke Pura Penataran Agung, jaraknya
sekitar 750 meter di sebelah selatan Penataran Agung. Di Pura ini terdapat 6 bangunan dan
pelinggih, termasuk pelinggih pokoknya berbentuk gedung simpan, bertiang empat

Filsafat Arsitektur Site

menghadap

ke

barat.

Fungsinya

sebagai

linggih

Ida

Ratu

Mas

Melilit.

4. Pura Bangun Sakti


Terletak di sebelah kanan jalan menuju ke Penataran Agung dan di sebelah utara Pura Manik
Mas. Di Pura ini terdapat empat bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah Gedong
Simpan sebagai linggih Sang Hyang Ananthaboga.
5. Pura Ulun Kulkul
Terletak sekitar 350 meter sebelah kiri jalan menuju Pura Penataran Agung. Di Pura ini
terdapat tujuh bangunan dan pelinggih. Pelinggih yang terpentingnya adalah Gedong Sari
beratap ijuk sebagai linggih Dewa Mahadewa. Pura ini adalah salah satu linggih Dewa Catur
Loka Phala, yaitu manifestasi Sang Hyang Widhi yang menguasai arah barat. Warna
perhiasan atau busana di pura ini, pada waktu upacara, serba kuning.
6. Pura Merajan Selonding
Terletak di sebelah kiri Pura Penataran Agung, dengan lima bangunan dan pelinggih. Di pura
itu tersimpan prasasti dan sejumlah pratima, serta gamelan slonding. Menurut catatan sejarah,
pura ini merupakan bekas bagian dari istana raja Sri Wira Dalem Kesari. Kini, pura ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka.
7. Pura Gowa
Terletak di sebelah kanan jalan berhadapan dengan Pura Merajan Slonding. Di kompleks ini
terdapat goa yang besar, tetapi bagian-bagiannya sudah banyak yang runtuh. Menurut
kepercayaan rakyat, goa itu tembus ke Goa Lawah, di sebelah timur Kusamba, sebagai goa
untuk Sang Hyang Basuki. Di pura ini terdapat empat pelinggih.

8. Pura Banuwa
Terletak di sebelah kanan jalan di hadapan Pura Besakih, sekitar 50 meter dari Pura Penataran
Agung. Dalam pura ini terdapat empat bangunan dan pelinggih pemujaan pokoknya ditujukan
kepada Dewi Sri. Setiap sasih kepitu atau sekitar Januari, di sini diadakan upacara Ngusaba
Ngeed dan Ngusaba Buluh yang bertujuan mohon kemakmuran di sawah dan di ladang.
9. Pura Merajan Kanginan
Terletak di sebelah timur Pura Banuwa. Di pura ini terdapat tujuh bangunan dan pelinggih, di
antaranya ada pelinggih untuk Empu Baradah.
10. Pura Hyang Aluh

Filsafat Arsitektur Site

Terletak di sebelah barat Pura Penataran Agung, berjarak sekitar 200 meter. Di dalamnya
terdapat tujuh banguanan dan pelinggih. Pelinggih pokok pada pura ini berbentuk gedong
untuk linggih Ida Ratu Ayu.
11. Pura Basukiha
Letaknya di sebelah kanan tangga naik menuju Pura Penataran Agung. Di sini terdapat 10
bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru dengan atapnya bertingkat 9
sebagai linggih Sang Hyang Naga Basuki.
12. Pura Penataran Agung Besakih
Terletak di tengah-tengah kelompok pura yang termasuk lingkungan Pura Besakih. Kompleks
pura ini termasuk terbesar di Pura Besakih. Terdiri dari 7 tingkat halaman dengan jumlah
bangunan dan pelinggih seluruhnya sebanyak 53 buah. Di sini terdapat meru yang besar-besar
beratap tujuh tingkat 11, 9, 7, 5, dan 3. Pelinggih yang merupakan pemujaan pokoknya adalah
Padma Tiga sebagai linggih Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Tri
Purusa yaitu Ciwa, Sadha Ciwa dan Parama Ciwa yang sekaligus merupakan "poros" dari
pura-pura yang lainnya.

13. Pura Batu Madeg


Terletak sekitar 150 meter di sebelah kanan (utara) Pura Penataran Agung. Pura ini adalah
kompleks pura yang besar, dengan 29 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya
berbentuk meru besar beratap ijuk beratap 11. Bangunan ini merupakan linggih Dewa Wisnu
sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi, yang menguasai arah sebelah utara. Warna busana di
pura ini adalah serba hitam.
14. Pura Kiduling Kreteg
Terletak sekitar 300 meter di sebelah kiri (selatan) Pura Penataran Agung, di atas suatu bukit.
Di dalamnya ada 21 bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru besar beratap
tingkat 11 sebagai linggih Dewa Brahma yaitu manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai
penguasa arah selatan. Kompleks pura ini merupakan kompleks yang besar, hampir sama
besarnya dengan kompleks Pura Batu Madeg. Warna busana di pura ini merah.
15. Pura Gelap
Terletak sekitar 600 meter pada sebuah bukit sebelah timur Pura Penataran Agung. Di
dalamnya terdapat enam bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya adalah meru beratap 3

Filsafat Arsitektur Site

sebagai linggih Dewa Iswara -- manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penguasa arah sebelah
timur. Warna busana di pura ini adalah serba putih.
16. Pura Peninjauan
Terletak sekitar 1 km di sebelah kanan Pura Penataran Agung, di dalamnya terdapat 12
bangunan dan pelinggih. Pelinggih pokoknya berbentuk meru beratap tingkat 11, tempat
Empu Kuturan memohon restu kepada Sang Hyang Widhi dalam rangka suatu upacara di
Gunung Agung.
17. Pura Pengubengan
Letaknya 1,5 km di sebelah utara Pura Penataran Agung, di dalamnya ada enam bangunan
dan pelinggih. Fungsinya sebagai tempat ngayat atau ngubeng -- suatu upacara permakluman
kepada Sang Hyang Widhi bahwa di Pura Penataran Agung akan dilangsungkan upacara.
Pelinggih pokoknya berupa meru beratap tingkat 11.

18. Pura Tirta


Letaknya sekitar 300 meter di sebelah timur laut Pura Pengubengan. Di pura ini terdapat dua
bangunan dan pelinggih, serta air suci (tirta). Jika ada upacara di kompleks Pura besakih,
maka di pura inilah umat memohon tirta atau air suci.
19. Pura Pasar Agung
Letaknya di lereng Gunung Agung, melalui Desa Selat ke Desa Sebudi, lalu mendaki sekitar
empat jam mendaki ke arah utara. Pelinggih-nya semua hancur waktu Gunung Agung
meletus pada 1963, dan menjelang karya Eka Dasa Rudra di Besakih telah mulai diperbaiki
secara bertahap sampai sekarang.

Filsafat Arsitektur Site

Anda mungkin juga menyukai