BAB II Fix
BAB II Fix
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia
2.1.1 Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah, konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut
kriteria WHO anemia kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada wanita. Berdasarkan
kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar
hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan dibawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini
digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia
merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal
dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia (Schrier, 2011).
Pendapat lain mengatakan, anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya
kadar hematocrit atau hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008),
anemia merupakan kondisi kurang darah yang umumnya terjadi ketika jumlah
eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam
darah. Menurut (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005), anemia didefinisikan sebagai
berkurangnya kadar hemoglobin darah.
Menurut WHO, pada tahun 1993 sampai 2005 terdapat sekitar 2 miliar
penduduk dunia mengalami anemia dengan gejala yang meliputi kulit pucat, rasa
lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala
sebelah depan. Sedangkan di Indonesia, prevalensi anemia pada tahun 2003 sampai
2010 masih di atas 40%, dengan prevalensi tertinggi berupa anemia defisiensi besi
pada ibu hamil, anak prasekolah, wanita tidak hamil dan lansia (Depkes, 2003).
: Hb < 13 gr/dL
: Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil
: Hb < 11gr/dL
II.
III.
2.1.6
Gejala Anemia
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala
umum anemia ini timbul karena (Bakta, 2009):
a. Anoksia organ
b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
Sementara menurut (Kaushansky et al, 2010):
Affinitas oksigen yang berkurang
Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan
dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini
meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama.
Peningkatan perfusi jaringan
Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat
dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas
vasomotor dan angiogenesis.
Peningkatan cardiac output
Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama
setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena
viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif
mengurangi resistensi perifer, cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa
peningkatan tekanan darah.
Peningkatan fungsi paru
Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang
mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan
meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac
output yang normal.
Sindroma anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
2.Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychias)
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3.Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
2.1.7
Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal
ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap dalam diagnosis
anemia adalah (Bakta, 2009):
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
10
11
12
13
14
15
16
17
2.2.5
18
ditoleransi dengan baik. Kekurangan folat harus diperlakukan dengan asam folat, 1
mg per hari (Bross, 2010).
Pengobatan anemia penyakit kronis, anemia penyakit ginjal kronis, dan
anemia dijelaskan lebih sulit. Pengobatan awal dan lebih disukai adalah untuk
memperbaiki gangguan yang mendasarinya. Optimalnya pengelolaan penyakit kronis
akan meminimalkan peradangan dan mengurangi penekanan sumsum tulang. Dua
pilihan untuk mengobati anemia berat adalah transfusi darah dan agen erythropoiesis
stimulating, keduanya memiliki keterbatasan yang signifikan. Transfusi darah
memberikan bantuan langsung dari gejala umum, termasuk dyspnea, kelelahan, dan
pusing. Risiko transfusi meliputi volume overload, kelebihan zat besi, infeksi, dan
reaksi akut. Agen eritropoiesis-merangsang telah disetujui untuk pengobatan anemia
penyakit kronis dalam situasi terbatas, tetapi penggunaannya masih kontroversial
(Bross, 2010).
19
20
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses
infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita
mengalami penyakit tersebut selama 12 bulan (Fitzsimons, 2001).
Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit
kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai
penyebab anemia penyakit kronik (Linch DC, 1996).
Infeksi Kronik
Infeksi paru: abses, emfisema,
Inflamasi Kronik
Arthritis
Lain-lain
Penyakit hati
tuberculosis, bronkiektasis
Endokarditis bacterial
rheumatoid
Demam reumatik
alkoholik
Gagal jantung
Lupus eritematosus
kongestif
Tromboplebitis
sistemik (LSE)
Trauma berat
Penyakit jantung
iskemik
Abses steril
21
6
7
8
9
(HIV)
Meningitis
Osteomielitis
Infeksi system reproduksi wanita
Penyakit inflamasi pelvik (PID:
Vaskulitis
Luka Bakar
Osteoartritis (OA)
Penyakit vascular
kolagen (Collagen
vascular disease)
10
11
Polimialgia
Trauma panas
12
Ulkus decubitus
13
Penyakit Crohn
22
23
24
b.
e.
Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun
g.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan
konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin),
namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan
sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur selsel
sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi
protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia
penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya
anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih
sering dilakukan pada pasien pasien anemia defisiensi besi (Mansjoer, 2001).
25
Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit
kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya
apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka
anemianya juga akan membaik. Pemberian obatobat hematinik seperti besi, asam
folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain (Fitzsimons, 2001) :
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat
dimulai dari 50100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV)
atau subcutan (SC). Bila dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat
dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons.
Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat
ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka
pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain,
seperti anemia defisiensi besi (Ersley, 2001). Namun ada pula yang menganjurkan
dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.00020.000 Unit, 3x seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila
anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh
karena anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan
pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal,
reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga
dengan gejalagejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam
26
beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera
dihentikan.
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit
kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh
karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.
2.4 Lansia
2.4.1 Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Menurut pasal 1 ayat (2),
(3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65
tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi terhadap stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individual (Effendi, 2009 dalam Marliyani Lubis,
2011)
27
: 45-49 tahun
: 60-74 tahum
: 75-90 tahun
: diatas 90 tahun
Pada saat ini, ilmuan social yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan
merujuk kepada kelompok lansia : lansia-muda (young old), lansia-tua (old-old),
dan lansia tertua (oldest old). Secara kronologis, young old ditujukan kepada
kelompok usia 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old
berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas (Papalia,
Olds & Feldman, 2005)
28
akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah
yang berbeda.
4. Kondisi kesehatan
a. Kondisi umum: kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang lain
dalam kegiatan sehari-hari, seperti mandi, buang air kecil dan besar.
b. Frekuensi sakit: frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak
produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain, bahkan ada yang
karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus.
5. Keadaan ekonomi
a. Sumber pendapatan resmi
b. Sumber pendapatan keluarga
c. Kemampuan pendapatan
2.4.4 Status Kesehatan pada Lanjut Usia
Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari
factor-faktor fisik, psikologik dan sosio-eekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak selalu
sam besar perannya sehingga selalu harus diperbaiki bersamaan dengan perawatan
pasien secara menyeluruh. Di Negara-negara sedang berkembang factor sosioekonomi / finansial hamper selalu merupakan kendala yang penting. Untuk
mengetahui tentang status kesehatan para lansia ini, kita harus mengetahui beberapa
hal penting tentang penyakit lansia, antara lain (Darmojo, 2011) :
1. Perjalanan penyakit pada orang lanjut usia
Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi
dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat progresif dan
sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelim akhirnya penderita
meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia
remaja / dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru
menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh
yang makin menurun.
2. Sifat penyakit pada orang lanjut usia
29
Sifat penyakit pada lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah
ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang
mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Penyakit pada lansia umumnya
lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu
produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran.
Dampaknya adalah factor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah
menyerang tubuh. Seringkali juga terjadi penyakit pada lansia tersembunyi
(occult), sehingga perlu dicarai secara aktif. Keluhan keluhan pasien lansia
sering tidak khas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifat-sifat atipik,
asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual
munculnya gejala dan tanda penyakit meskipun penyakitnya sama.
3. Diagnosis penyakit pada orang lanjut usia
Pada orang-orang lanjut usia penyakitnya seringkali bersifat ganda (multiple)
dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya.
Untuk menegakkan diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi
penderita lebih lama, sambil mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejalagejala penyakitnya. Selain itu allo-anamnese dari pihak keluarga sangat
membantu kita.
30
Proses Menua
Penyakit Kronis
Hambatan eritropoiesis
dan disregulasi
homeostasis besi
Penurunan atau
kelainanSDM
pembentukan
Jumlah
dan kadar
sel
darah merah
(SDM)
hemoglobin
berkurang
Anemia normal
hingga dibawah