Anda di halaman 1dari 2

Analisa

peraturan menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) RI


nomor 1 tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan serta permen
nomor 2 tahun 2015 mengenai larangan penggunaan alat penangkapan ikan dengan
pukat tarik, cantrang dan jongrang.

Beberapa nelayan (misalnya di kawasan pesisir aceh, medan, NTB) dengan keras menolak
peraturan yang baru saja diterbitkan oleh menteri kelautan dan perikanan Indonesia tahun
2015. Peraturan no. 2 yang melarang penggunaan beberapa jenis alat penangkap ikan ini
dianggap merugikan karena mayoritas nelayan Indonesia bersahabat dengan peralatan
sederhana tersebut. Sedangkan untuk peraturan no. 01 merugikan para pembudidaya udang
dan kepiting.
Di aceh barat daya, sosialisasi mengenai peraturan dari pihak-pihak terkait juga belum ada
hingga penerbitan peraturan ini. Para nelayan kini sedang risau karenauntuk beberapa masa
ini mungkin penggunaan alat-alat mereka masih bisa dijalankan sampai masa perizinan habis,
sedangkan jika sampai tiba waktu perpanjangan surat izin para nelayan belum mendapatkna
peralatan terbaru dan tanpa melanggar peraturan tentu mereka akan kehilangan sumber
penghidupan keluarga mereka. Para nelayan sejatinya tidak melarang adanya perautan jika
memang dirasa lata yang selama ini mereka kenal ternyata membawa dampak buruk bagi
lingkungan dan ekosistem laut. Tapi jika kemudian harus membeli alat baru yang canggih
(biasanya mahal) untuk menggantikan jala yang biasanya mereka gunakan tentu hal ini juga
dapat diartikan sebagai pembunuhan nelayan Indonesia secara perlahan. Hal inilah yang
memicu munculnya aksi dan protes keras kepada kebijakan yang baru saja diedaran ini.
Di Medan, para nelayan juga melakuka aksi yang ekstrim apabila peraturan menteri kelautan
dan perikanan tersebut dijalankan begitu saja tanpa ada upaya alternative pengganti peralatan
tangkap dan juga mengenai pemilihan jenis lobster dan kepiting. Karena di area ini 70-80
persen penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dengan alat-alat yang paling sering
digunakan yaitu perahu dengan pukat dan hela. Jika dilarang maka perahu mereka tidak dapat
beroperasi, itu berarti tidak ada pendapatan bagi keluarga dan kelangsungan hidup mereka
semua. Sedangkan di kota Bengkulu, perdebatan dan aksi protes mayoritas pada pasal 01
karena kota yang banyak membudidayakan dan mengekspor lobster ini mendapatkan

kerugian lumayan besar karena banyak dilakukan penyitaan terhadap lobster yang ditangkap.
Selain itu lobster yang telah dikemas dan hendak dikirimpun banyak yang diurungkan
pengirimannya kendala ukuan yang melanggar peraturan dan beberapa kondisi seperti lobster
yang sedang bertelur tidak boleh dikirim dan sebagainya. Pengusaha terkait langsung
diamankan untuk dibina atau dihukum dengan ketentuan jika pengusaha lalai atau tidak tahu
soal larangan dan undang-undang, hanya dipidana dengan hukuman hanya setahun kurungan
dan denda Rp 50 juta atau berdasarkan Undang-undang Pasal 31 Nomor 16 tahun 1992
tentang Karantina Ikan dan Tumbuhan diancam pidana 3 tahun penjara. Juga denda Rp 150
juta. Karena dalam peraturan no. 01 menyebutkan lobster, rajungan dan kepiting yang
sedang bertelor tidak boleh ditangkap atau dikirim. Begitu juga yang berukuran dibawah 200
gram. Khusus rajungan, dibawah 55 gram tidak boleh.
Lain halnya dengan pengepul di daerah Demak justru mendukung adanya peraturan
pemerintah no.01 karena selama ini ia merasa penangkapan lobster dan kepuiting semakin
tahun memang semakin menurun. Entah karena kemampuan nelayan dalam penangkapannya
yang menurun atau memang keberadaan hewan tersebut yang semakin rendah jumlahnya.
Jika memikirkan dalam pemikiran yang lebih luas tentu lobster maupun kepiting adalah
hewan laut budidaya yang memliki nilai sangat tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Hal ini tentu membuat kita seharusnya memikirkan keberlanjutan hidup hewan-hewan
tersebut. Atau dengan kata lain tidak dibenarkan adanya eksploitasi, namun pemanfaatan
lobster dan kepiting boleh dilakukan jika kondisi mereka sesuai. Toh jika nanti jumlah hewan
ini meningkat maka rakyat Indonesia juga yang semakin bisa menuai manfaat.
Kesimpulan :
Menurut saya peraturan menteri ini bagus untuk dijalankan, namun dari beberapa kekurangan
harap segera diperbaiki. Baik dari segi sosialisai kepada masyarakat pesisir dan nelayan,
pemberian peralatan tangkap ramah lingkungan secara cuma-cuma sebagai pengganti
peralatan sebelumnya, dan juga pematangan pemahaman (wawasan) tentang pentingnya
keberlanjutan hidup ekosistem laut untuk tetap dijaga demi masa depan bangsa dan Negara.
Hal ini memang tidak mudah karena penerapan sebuah peraturan baru terutama menyangkut
ekonomi dan mata pencaharian mayoritas penduduk Indonesia, oleh karena itu perlu
partisipasi dan dukungan dari semua kalangan.

Anda mungkin juga menyukai