Anda di halaman 1dari 4

Membangun Keikhlasan Dalam Beramal Dr.

Attabiq Luthfi, MA

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah..


Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa
hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan
pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala
kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudahmudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita kesadaran
akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa
diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal
merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia
akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan
imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia,

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal
saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan
keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan
tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, Setiap
manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa
kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa
kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap
harus waspada dan berhati-hati dalam beramal. Dalam hal ini, hanya orangorang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan
yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, Tetapi hambahamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh
rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang
dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan. (Ash-Shaaffat: 4043)
Maasyiral Muslimin RahimakumuLlah
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini
ini seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan

pekerjaan kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam
konteks hablum minaLlah atau Hablum minannas..karena hanya orang yang
mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat,
yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak
bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu
diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal
bisa ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan
dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah
akan senantiasa memelihara hambaNya yang mukhlis dari perbuatan keji dan
maksiat, Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu
andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis. (yusuf: 24).
Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan
terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui
ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal
dengan ikhlas, Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik (perbuatan masiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara
mereka. (Al-Hijr: 39-40). Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam
surah Shaad, Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.
(Shad: 82-83). Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling
kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan
sekutunya.
Maasyiral muslimin RahimakumuLlah
Dalam tinjauan ilmu qiraat, para ulama qiraat berbeda dalam membaca
kata Al-Mukhlashin yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian
qari membaca Al-Mukhlashin dengan ism maful dan sebagian lainnya membaca
dengan isim fiil Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ibnu Amir,
membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Quran dengan bacaan Al-Mukhlishin
yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan ibadah mereka dari
segala noda yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama qiraat
yang lain membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan
mendapat taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qiraat ini,
ikhlas dan iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya
yang dikehendaki. Namun setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk
senantiasa memperhatikan dan meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya
dalam beramal. Bahkan Allah menyuruh kita meneladani orang-orang yang
mendapat petunjuk karena tidak pernah mengharapkan balasan dari amalnya
kecuali dari Allah swt, Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Yaasin: 21)
Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh
sebuah amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal
sholih. Baik amal tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun secara kolektif
(bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang
lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang berat dan memerlukan lebih
kesabaran. Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik
antara seluruh individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta
persepsi negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas

wilayah kerja seseorang, maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di


tengah
semakin
beragam
hambatan
atau
ujian
keikhlasan
yang
menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan oleh
Syekh Hasan Al-Banna dalam Risalahnya, yaitu: harta, kedudukan, popularitas,
gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan dan pujian dan
sebagainya.
Maasyiral Muslimin rahimakumuLlah
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr.
Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang dai merupakan keniscayaan
yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan
berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika
tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi
seorang dai yang harus senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh karena itu,
para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan
mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput
dari sifat ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam
beramal mencontohkan kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita
lakukan dengan ukuran ikhlas.
Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai dai senantiasa
menjadikan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai
contoh Nabi Muhammad saw sebagai teladan utama dalam hal ini
mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah, Katakanlah: Aku tidak
meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu,
melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
kepada Tuhan nya. (Al-Furqan: 57)
Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara
berdampingan, seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah
mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syuaib as. Dan
aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (Asy-Syuara': 109, 127, 145, 164, 180).
Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam
dakwah para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan
diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para dai setelah
mereka.
Maasyiral Muslimin rhimakumuLlah
Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih,
bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non
materi. Lawan dari ikhlas adalah nifak dan riya. Rasulullah saw bersabda
tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya, Barangsiapa yang tujuan
utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya
dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan
dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya,
barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan
menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua
potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali
menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya. (Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal
sekaligus kemudi amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih.
Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan
keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang,
maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan
juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih,

bahkan ia yang paling utama, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin AlMubarak ketika menafsirkan ayat: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (Al-Mulk: 2).
Tanpanya amal seseorang akan sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas,
akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah
riwayat Ad-Dailami, Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang
sedikit yang kamu lakukan.

Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada
setiap amal yang kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme,
kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya,
serampangan, asal jadi, pokoknya dan amal yang tidak konsisten bisa jadi
karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan
terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi
spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, Apakah ruh dan motifasi yang
menggerakkan
roda
amal
kita
selama
ini
???

Anda mungkin juga menyukai