Fenomena datangnya bulan Ramadhan yang akan jatuh beberapa hari
lagi, selalu memunculkan budaya yang unik di masyarkat kosmpolitan (kota). Sebuah budaya yang menampilkan tipikal khas masyarakat kota dan pola interaksi sosial tingkat elite. Di Indonesia, budaya seperti ini sesungguhnya telah menunjukan perkembangan dalam kurun waktu yang telah lama. Hanya kalau kita amati kita dapat melihat perkembangan yang semakin intensif. Baik dalam kuantitas, keragaman corak ekspresinya dan yang tak kalah pentingnya wilayah penyebarannya yang telah sampai pada masyarakat endemik pedesaan. Kemudian hal lain yang menonjol adalah, fenomena yang juga hampir mendera semua dimensi dan aspek kehidupan. Baik itu aspek sosial, bisnis, hiburan, ekonomi, hingga politik. Dalam kontek ini, Ramadhan disatu sisi, dan ritual puasa di sisi yang lain, kemudian seakan menjadi media yang efektif yang dimanfaatkan secara maksimal guna mencapai beberapa orientasi yang sifatnya oportunistik-pragmatis. Banyak kalangan menilai bahwa momen suci Ramadhan ini menyimpan potensi efektif, guna dimanfaatkan untuk pencapaian sebuah kepentingan tertentu. Lebih dari itu, kesadaran paradigmatik kaum muslimin yang begitu mengagung-agungkan momen puasa secara simbolik, dilihat secara jeli sebagai potensi yang tak boleh dilepaskan begitu saja. Fenomena kehadiran budaya kosmopolitan sebagai sebuah fenomena yang telah berkembang luas di masyarakat kita sebagai imbas dari pemahaman keagamaan yang terlalu menekankan pada permainan ruang simbol. Disini bisa dipaparkan beberapa potret yang hadir ditengah-tengah masyarakat kita. Pertama, dalam aspek sosial. Pada bulan Ramadhan, yang ditandai dengan dilaksanakannya ritual puasa oleh kaum Muslimin, kita dapat menyimak bagaimana realitas sosial seakan-akan mengalami perubahan secara dramatis-radikal dibandingkan dengan hari biasanya. Pada bulan Ramadhan, seakan ada sebuah kekuatan simbolik, yang menyihir realitas sosial untuk mengekspresikan berbagai kegiatan dan tindakan sosial dalam bingkai religiusitas. Berbagai seremoni dan kegiatan sosial tiba-tiba hadir dalam nuansa religi yang sifatnya semu dan simbolik belaka.
Lebih dari itu, kesadaran kognitif masyarakat pun seakan mengalami
perubahan drastis. Kalangan masyarakat yang secara ekonomi tergolong menengah ke atas, yang sebelumnya cenderung rendah kepekaan sosialnya, tiba-tiba menjadi sangat peduli pada realitas sosial sekitarnya, menjadi sangat santun, dan seolah sangat dekat dengan Tuhannya. Namun, semua itu tetap saja sifatnya hanya sebatas pada tataran simbolik belaka. Artinya, Ramadhan ditempatkan sebagai momen efektif untuk menebus segala ketakacuhan sikap mereka sebelumnya atas penderitaan sosial yang dihadapi saudara sebangsanya, tanpa ditindaklanjuti dengan perubahan sikap dan kesadaran yang sifatnya permanen. Kemudian mereka juga menjadi sangat peka atas realitas sosial, hanya pada momen Ramadhan. Lepas dari momen Ramadhan, sikap individualistis, dominatif, dan kapitalistik diimplementasikan sebagaimana sebelumnya. Inilah bentuk kesadaran keberagamaan yang semu dan simbolistis. Sebuah bentuk budaya kosmopolitan dalam beragama. Kedua, dalam arah politik, dengan mudah kita dapat melihat bagaimana momen Ramadhan dimanipulasi sedemikian rupa menjadi wahana guna mencari dukungan dan simpati politik masyarakat. Salah satu yang paling potensial adalah dengan menyelenggarakan seremoni keagamaan yang sifatnya massal dan kolektif. Misalnya safari Ramadhan sambil menyelenggarakan buka puasa bersama untuk rakyat miskin, pembagian zakat massal, santunan untuk masyarakat tidak mampu. Nuansa politik dari seremoni tersebut terlihat jelas dari simbol-simbol partai yang dilekatkan pada penyelenggaraan seremoni tersebut. Dalam perspektif politik, ini wajar saja memang. Namun sejauh fenomena ini memberikan ekses negatif pada pendangkalan pemahaman keagamaan masyarakat, dan tindak politisasi agama, maka itu menjadi problem tersendiri yang harus kita antisipasi. Bukan hanya itu, momen Ramadhan menjadi sangat potensial sebagai wahana untuk melakukan lobi dan bargaining politik antar beberapa politisi dan pejabat. Media yang dimanfaatkan biasanya adalah seremoni buka puasa bersama antar pejabat teras dan elite politik. Ini merupakan karakter dan ciri khas budaya kosmopolitan, yang memanfaatkan momen dan simbol keagamaan sebagai upaya realisasi kepentingan politis individu dan golongan. Ketiga, tatkala Ramadhan menjelang, dengan jelas kita bisa menyimak bagaimana dunia hiburan di Tanah Air tiba-tiba berubah haluan
menjadi sangat religius, seperti dewi sihir, semua disulap dalam
sekejap. Berbagai acara entertainment, dikemas dalam bingkai keagamaan. Salah satunya adalah dunia hiburan sinetron. Yang pada bulan Ramadhan biasanya, mengangkat tema-tema seputar problematika keagamaan yang dihadapi kalangan masyarakat tingkat atas. Yaitu bagaimana kalangan masyarakat ekonomi tingkat atas mengalami perubahan kesadaran keberagamaan secara dramatis dan drastis. Ini memang tidak sepenuhnya salah. Bahkan mungkin juga benar. Namun, jika merujuk pada realitas sosial konkret yang menguak di masyarakat, bukankah ini semacam penggambaran yang sifatnya semu dan manipulatif. Sementara mayoritas masyarakat kita sedang dililit problem kemiskinan, yang salah satunya disebabkan oleh tindak manipulasi dan dominasi ekonomi masyarakat tingkat atas, dunia hiburan kita justru memberikan penggambaran yang sebaliknya. Itulah dunia kosmopolitan yang penuh simbol dan manifulatif ditambah dunia hiburan yang tak punya hati, yang tumbuh berkembang dengan logikanya sendiri. Dalam kapasitasnya pada orientasi dakwah, mungkin fenomena ini bisa ditoleransi. tapi masalahnya, tidak demikian kecenderungan arah orientasinya. Fenomena ini merupakan cerminan budaya kosmopolitan yang semu dan manipulatif. Sebuah budaya yang gandrung pada pembalikan realitas. Tak terkecuali juga dalam realitas keberagamaan. Terakhir, dalam dunia bisnis-ekonomi hal serupa juga mengemuka. Namun dalam aspek ini, kita mungkin masih dapat memakluminya. Sebab orientasi bisnis-ekonomi, memang selalu diarahkan untuk secara jeli dan pandai memanfaatkan potensi efektif yang terkandung dalam sebuah momen atau media. Di bulan Ramadhan, berkembang gejala maraknya penyematan sebuah produk dengan simbol-simbol agama. Tujuannya jelas, menarik simpati dan empati masyarakat pada produk yang bersangkutan. Sehingga bisa memberikan dampak positif secara ekonomis. Tentang fenomena ini, yang penting untuk disadari adalah bagaimana masyarakat disadarkan untuk tidak terjebak pada budaya kosmopolitan yang selalu berorientasi pada bisnis-ekonomi kapitalistik dengan cara memanipulasi budaya konsumtif masyarakat menengah ke bawah (dan juga atas). Hal ini harus selalu diantasipasi. Sebab hanya dengan tingkat kesadaran yang tinggilah, budaya kapitalistik semacam itu bisa dieleminasi ekses negatifnya.
Apa yang sudah dipaparkan diatas, merupakan sedikit potret perihal
budaya kosmopolitan yang merasuki kesadaran dan tindakan keberagamaan masyarakat kita dewasa ini yang masih gandrung pada simbolisme relegiusitas dalam menghadirkan "ke-Tuhan-annya" dalam kehidupan. Wallohu alamu bis showab.