Letak Sungsang
Letak Sungsang
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Teori
1. Letak sungsang
a. Pengertian
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri (Prawirohardjo, 2008, p.606).
b. Klasifikasi letak sungsang
1) Presentasi bokong murni (frank breech)
Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki terangkat ke atas sehingga
ujung kaki setinggi bahu atau kepala janin.
2)
sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempurna, hanya teraba satu
kaki di samping bokong (Prawirohardjo, 2008, pp.609-611).
d. Etiologi
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin
terhadap ruangan didalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32
minggu, jumlah air ketuban relative lebih banyak, sehingga memungkinkan
janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan
diri dalam presentasi kepala, letak sungsang, ataupun letak lintang. Pada
kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relative berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang
terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong dipaksa menempati ruang
yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang
lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat dimengerti
mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih
tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar
ditemukan dalam presentasi kepala. Faktor-faktor lain yang memegang
peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya adalah multiparitas,
hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa, dan panggul sempit.
Kadang-kadang letak sungsang disebabkan karena kelainan uterus dan
kelainan bentuk uterus. Plasenta yang terletak di daerah kornu fundus uteri
dapat pula menyebabkan letak sungsang karena plasenta mengurangi luas
ruangan di daerah fundus (Prawirohardjo, 2008, p.611).
10
11
Gam
mbar 2.1 Perrtolongan peersalinan secara brachtt
(Praawirohardjo
o, 2008, p.61
16)
b) Manuaal aid
Yaitu jaanin dilahirkkan sebagiaan dengan teenaga dan kkekuatan ibu
u dan
sebagiian lagi den
ngan tenagaa penolong.. Pada persalinan denggan cara manual
m
aid adda 3 tahapan
n yaitu : taahap pertam
ma lahirnya bokong sam
mpai pusar yang
12
dilahirkan dengan kekuatan ibu sendiri, tahap kedua lahirnya bahu dan lengan
yang memakai tenaga penolong dengan cara klasik, mueller, lovset; tahap
ketiga lahirnya kepala dengan memakai cara mauriceau dan forceps piper.
Berikut ini cara melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara
klasik :
(1) Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada
pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga perut
janin mendekati perut ibu.
(2) Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan
lahir dengan jari telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa cubiti
kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan
bawah mengusap muka janin.
(3) Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin
diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah
sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Dengan cara yang
sama lengan dapat dilahirkan.
13
Berikut ini melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara mueller :
(1) Badan janin dipegang secara femuro-pelvis dan sambil dilakukan traksi curam
ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan di bawah simfisis dan lengan
depan dilahirkan dengan mengait lengan di bawahnya.
(2) Setelah bahu dan lengan depan lahir, maka badan janin yang masih dipegang
secara femuro-pelvis ditarik ke atas sampai bahu belakang lahir.
14
15
c) Ekstraksi sungsang
Yaitu janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong.
Ekstraksi sungsang dilakukan jika ada indikasi dan memenuhi syarat untuk
mengakhiri persalinan serta tidak ada kontra indikasi. Indikasi ekstraksi
sungsang yaitu gawat janin, tali pusat menumbung, persalinan macet.
Cara ekstraksi kaki :
(1) Bila kaki masih terdapat di dalam vagina, tangan operator yang berada
pada posisi yang sama dengan os sacrum dimasukkan dalam vagina untuk
menelusuri bokong, paha sampai lutut guna mengadakan abduksi paha
janin sehingga kaki janin keluar. Selama melakukan tindakan ini, fundus
uteri ditahan oleh tangan operator yang lain.
(2) Bila satu atau dua kaki sudah berada di luar vulva, maka dipegang dengan
dua tangan operator pada betis dengan kedua ibu jari berada punggung
betis. Lakukan traksi ke bawah. Setelah lutut dan sebagian paha keluar,
pegangan dialihkan pada paha dengan kedua ibu jari pada punggung paha.
(3) Dilakukan traksi ke bawah lagi (operator jongkok) dengan tujuan
menyesuaikan arah traksi dengan sumbu panggul ibu.
Cara ekstraksi bokong
(1) Lakukan periksa dalam vagina untuk memastikan titik penunjuk (os
sacrum).
(2) Jari telunjuk tangan operator yang berhadapan dengan os sacrum dikaitkan
pada lipat paha depan janin. Kemudian dilakukan ekstraksi curam ke
bawah
16
(3) Bila trokanter depan sudah berada di bawah simfisis, jari telunjuk tangan
operator yang lain dipasang pada lipat paha belakang untuk membantu
traksi sehingga bokong berada di luar vulva.
(4) Arah ekstraksi berubah ke atas untuk mengeluarkan trokanter belakang.
(5) Ekstraksi kemudian mengikuti putaran paksi dalam.
(6) Bila pusat sudah berada di luar vulva, dikendorkan.
(7) Ekstraksi diteruskan dengan cara menempatkan kedua tangan pada bokong
janin dengan kedua ibu jari berada di atas sacrum dan jari-jari kedua
tangan berada di atas lipat paha janin.
(8) Ekstraksi dilakukan dengan punggung janin di depan, kemudian mengikuti
putaran paksi dalam bahu, salah satu bahu akan ke depan.
(9) Setelah ujung tulang belikat terlihat dilakukan periksa dalam vagina untuk
menentukan letak lengan janin, apakah tetap berada di depan dada,
menjungkit atau di belakang tengkuk. Pada ekstraksi bokong sampai
tulang belikat sering diperlukan bantuan dorongan kristeller.
2) Perabdominam
Memperhatikan komplikasi persalinan letak sungsang melalui
pervaginam, maka sebagian besar pertolongan persalinan letak sungsang
dilakukan dengan seksio sesarea. Pada saat ini seksio sesarea menduduki
tempat yang sangat penting dalam menghadapi persalinan letak sungsang.
Seksio sesarea direkomendasikan pada presentasi kaki ganda dan panggul
sempit (Prawirohardjo, 2008, p.622).
17
18
19
1) Faktor ibu
(a) Preeklamsia dan eklamsia
Telah diketahui bahwa pada preeklamsia, janin diancam bahaya
hipoksia dan pada persalinan bahaya ini makin besar. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea ; pada kala II dilakukan
ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum. Postpartum bayi sering
menunjukkan tanda asfiksia neonatorum karena hipoksia intrauterine,
pengaruh obat penenang atau narcosis umum, sehingga diperlukan
resusitasi (Prawirohardjo, 2008, p.294).
(b) Perdarahan abdominal (plasenta previa atau solusio plasenta)
Perdarahan perabdominal ada dua yaitu plasenta previa dan
solusio plasenta. Pada plasenta previa, perdarahannya dapat menimbulkan
penyulit bagi janin maupun ibu. Penyulit bagi ibu dapat menimbulkan
anemia sampai syok, sedangkan pada janin dapat menimbulkan asfiksia
sampai kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2010, p.249). Sedangkan
pada solusio plasenta, nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas dari dinding uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya
terlepas, anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian
kecil yang terlepas, mugkin tidak berpengaruh sama sekali atau
mengakibatkan gawat janin (Prawirohardjo, 2008, p.380).
(c) Partus lama atau macet
Hasil penelitian dari Anisa di Ruang VK Bersalin RSUD dr. R.
Koesma Tuban Tahun 2009 menunjukkan responden yang mengalami
20
partus lama sebagain besar bayi baru lahir yang tidak asfiksia 113 bayi
(85,61%), dan sebagain kecil bayi baru lahir yang mengalami asfiksia 19
bayi
dengan kejadian asfiksia bayi baru lahir didapatkan X2 hitung 14,31 dan
X2 tabel 3,81, sehingga X2 hitung > X2 tabel yang bearti H0 ditolak.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara partus lama dengan
kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. Maka untuk menghindari terjadinya
asfiksia yaitu dengan mencegah partus lama, asuhan persalinan
mengunakan partograf untuk memantau kondisi ibu dan janin serta
kemajuan proses persalinan.
(d) Demam selama persalinan dan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Demam selama persalinan biasanya disebabkan karena terjadinya
infeksi berat. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan
dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak
terdeteksi. Gawat janin yang tidak ditangani secara cepat, dapat membuat
janin kekurangan oksigen dan akhirnya menimbulkan kematian. Harus
diupayakan segala cara untuk menurunkan suhu tuuh dengan cepat, baik
dengan kompres dingin maupun antipiretika seperti paracetamol
(Prawirohardjo, 2008, p.642).
(e) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
Pada 62.804 kelahiran di National Maternity Hospital, Dublin
antara 1979 sampai 1986, tingginya angka kematian perinatal akibat
kehamilan lewat waktu hanya terjadi pada masa intrapartum dan neonatal
21
Tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir
akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Gangguan aliran
darah yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan
metabolik yang berat, berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardi yang
menetap dan akhirnya kematian janin (Prawirohardjo, 2008, p.626).
22
3) Faktor bayi
a) Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada
usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia
kehamilan < 34 minggu.4 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum
kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk
meningkatkan maturasi paru fetus.
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar)
Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi
dibandingkan dengan letak kepala. Ada dua cara persalinan letak sungsang
yaitu secara pervaginam dan perabdominal. Albrechtsen dkk mengevaluasi
sebuah protokol untuk memilih pelahiran pervaginam atau seksio sesarea
pada letak sungsang. Pada 1212 letak sungsang, angka pelahiran
pervaginam meningkat dari 45 menjadi 57 persen dan angka seksio sesarea
setelah pelahiran pervaginam gagal menurun dari 21 persen menjadi 6
persen. Asfiksia secara klinis didiagnosis pada 2,5 persen di antara mereka
yang dilahirkan pervaginam dengan letak sungsang (Cunningham, 2005,
p.564).
Tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah pada kehamilan
kembar, berhubungan dengan kelahiran preterm dan intrauterine growth
retardation (IUGR). Kehamilan kembar meningkatkan frekuensi kelainan
kongenital,
plasenta
previa,
abrupsio
plasenta,
preeklampsia,
23
dari
ketinggian
panggul
tengah,
dapat
menyebabkan
24
2
Seluruh
kemerahan
Tidak ada
1
Badan merah dan
ekstremitas
kebiruan
<100
Tidak ada
Menyeringai
Tidak ada
Ekstremitas sedikit
fleksi
Lemah atau tidak
teratur
Gerakan aktif
Appearance
(warna kulit)
Pucat
Pulse
(denyut jantung)
Grimace
(reaksi
terhadap
rangsang)
Activity
(kontraksi otot)
Respiration
(pernafasan)
Tidak ada
tubuh
>100
Menangis kuat
: normal
2) Nilai 7-9
: asfiksia ringan
3) Nilai 4-6
: asfiksia sedang
4) Nilai 0-3
: asfiksia berat
e. Manajemen terapi
Resusitasi BBL adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir. Tujuan utama resusitasi pada BBL adalah untuk
25
memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas (IDAI,
2008, p.103).
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna dalam resusitasi, prinsip
dasar yang perlu diingat adalah menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi
dan mengusahakan tetap bebasnya jalan nafas, memberikan bantuan
pernafasan secara aktif kepada bayi dengan usaha pernafasan buatan,
memperbaiki asidosis yang terjadi dan menjaga agar peredaran darah tetap
baik (Prawirohardjo, 2008, p.711).
Tindakan-tindakan yang diberikan kepada bayi dapat dibagi dalam 2
golongan.
1) Tindakan umum
Tindakan dikerjakan pada bayi tanpa memandang nilai apgar.
Setelah bayi lahir, diusahakan agar bayi mendapatkan pemanasan yang
baik. Harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya.
Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk mengeringkan
tubuh bayi mengurangi evaporasi. Bayi diletakkan dengan kepala lebih
rendah dan penghisapan saluran pernafasan bagian atas segera dilakukan.
Hal ini harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menghindarkan timbulnya
kerusakan-kerusakan mukosa jalan nafas, spasmus laring, dan kolaps paruparu. Bila bayi belum menunjukkan usaha bernafas, rangsangan
terhadapnya harus segera dikerjakan. Hal ini dapat berupa rangsangan
nyeri dengan memukul kedua telapak kaki, menekan thendos Achilles atau
26
27
Di samping itu glukosa 40% diberikan pula dengan dosis 1-2 ml/kg
berat badan. Obat-obat ini harus diberikan secara berhati-hati dan perlahanlahan.Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan
frekuensi jantung menurun (kurang dari 100 permenit) maka pemberian obatobat yang lain serta massage jantung sebaiknya segera dilakukan. Massage
jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan di atas tulang dada secara
teratur 80-100 kali permenit. Tindakan ini dilakukan berselingan dengan nafas
buatan, setiap 5 kali massage jantung diikuti dengan satu kali pemberian nafas
buatan. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya
komplikasi
pneumotoraks
atau
pneumomediastinum
apabila
tindakan
dilakukan secara bersamaan. Di samping massage jantung ini obat yang dapat
diberikan ialah larutan 1/10.000 adrenalin dengan dosis 0,5-1 cc secara
intravena atau intrakardial (untuk meningkatkan frekuensi jantung) dan
kalsium glukonat 50-100 mg/kg berat badan secara perlahan-lahan melalui
intravena (sebagai obat inotropik). Pada bayi dengan tanda-tanda renjatan,
cairan intravena berupa plasma darah atau cairan pengganti lainnya (volume
expander) harus segera diberikan. Bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak
memberi hasil yang diharapkan, keadaan bayi harus dinilai lagi karena hal ini
mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam dan basa yang belum
diperbaiki secara semestinya, adanya gangguan organic seperti hernia
diafragmatik, atresia atau stenosis jalan nafas dan lain-lain (Prawirohardjo,
2008, p.713).
28
b) Asfiksia ringan-sedang
Di sini dapat dicoba melakukan rangsangan untuk menimbulkan efek
pernafasan. Hal ini dapat dikerjakan selama 30-60 detik setelah penilaian
menurut apgar 1menit. Bila dalam waktu tersebut pernafasan tidak timbul,
pernafasan buatan harus segera dimulai. Pernafasan aktif yang sederhana
dapat dilakukan secara pernafasan kodok (frog breathing). Cara ini dikerjakan
dengan memasukkan pipa ke dalam hidung, dan O2 dialirkan dengan
kecepatan 1-2 liter dalam satu menit. Agar saluran nafas bebas, bayi
diletakkan dengan kepala dorsofleksi. Secara teratur dilakukan gerakan
membuka dan menutup lubang hidung dan mulut dengan disertai
menggerakan dagu ke atas dan ke bawah dalam frekuensi 20 kali semenit.
Tindakan ini dilakukan dengan memperhatikan gerakan dinding toraks dan
abdomen. Bila bayi mulai memperlihatkan gerakan pernafasan, ushakanlah
supaya gerakan tersebut diikuti. Pernafasan ini dihentikan bila setelah 1-2
menit tidak juga dicapai hasil yang diharapkan dan segera dilakukan
pernafasan buatan dengan tekanan postif secara tidak langsung. Pernafasan ini
dapat dilakukan dahulu dengan pernafasan dari mulut ke mulut. Sebelum
tindakan dilakukan, ke dalam mulut bayi dimasukkan pharyngeal airway yang
berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan, agar jalan nafas berada dalam
keadaan sebebas-bebasnya. Pada pernafasan dari mulut ke mulut, mulut
penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum peniupan. Peniupan
dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan
gerakan pernafasan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil
29
bila setelah dilakukan beberapa saat, terjadi penurunan frekuensi jantung atau
pemburukan tonus otot. Dalam hal ini bayi harus diperlakukan sebagai
penderita asfiksia berat (Prawirohardjo, 2008, p.714).
c) Tindakan lain-lain dalam resusitasi
Penghisapan cairan lambung hanya dilakukan pada bayi-bayi tertentu
untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya regurgitasi dan aspirasi,
terutama pada bayi yang sebelumnya menderita gawat janin, yang dilahirkan
dari ibu yang mendapat obat-obatan analgesia atau anesthesia dalam
persalinannya, bayi premature, dan sebagainya (Prawirohardjo, 2008, p.714).
3. Hubungan Cara Persalinan Letak Sungsang dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Prawihardjo, 2008, p.709).
Asfiksia pada BBL (Bayi Baru Lahir) menjadi penyebab kematian 19% dari 5
juta kematian BBL setiap tahun. Letak sungsang merupakan keadaan dimana
janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri (Prawirohardjo, 2008, p.606). Kejadian letak
sungsang berkisar antara 2% sampai 3% bervariasi di berbagai tempat.
Sekalipun kejadiannya kecil, tetapi mempunyai penyulit yang besar dengan
angka kematian sekitar 20% sampai 30%. (Manuaba, 2010, p.491). Angka
kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi dibandingkan
dengan letak kepala. Ada dua cara persalinan letak sungsang yaitu secara
pervaginam dan perabdominal.
30
B. Kerangka Teori
Faktor ibu
a) Preeklamsia dan eklamsia
b) Perdarahan abdominal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c) Partus lama atau macet
d) Demam selama persalinan dan infeksi berat
e) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
Asfiksia Neonatorum
Faktor bayi
a) Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar)
c) Distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep
d) Kelainan bawaan (congenital)
e) Air ketuban bercapur mekonium
31
Kerangka Konsep
Variabel Independent
Variabel Dependent
Persalinan letak
sungsang
Kejadian asfiksia
neonatorum