Anda di halaman 1dari 25

7

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori
1. Letak sungsang
a. Pengertian
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian
bawah kavum uteri (Prawirohardjo, 2008, p.606).
b. Klasifikasi letak sungsang
1) Presentasi bokong murni (frank breech)
Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki terangkat ke atas sehingga
ujung kaki setinggi bahu atau kepala janin.
2)

Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech)


Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki dan tangan menyilang
sempurna dan di samping bokong dapat diraba kedua kaki.

3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna (incomplete breech)


Yaitu letak sungsang dimana hanya satu kaki di samping bokong,
sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas.
(Kasdu, 2005, p.28)
c. Diagnosis
Diagnosis letak sungsang yaitu pada pemeriksaan luar kepala
tidak teraba di bagian bawah uterus melainkan teraba di fundus uteri.
7

Kadang-kadang bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan


seolah-olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala.
Seringkali wanita tersebut menyatakan bahwa kehamilannya terasa lain
daripada yang terdahulu, karena terasa penuh di bagian atas dan gerakan terasa
lebih banyak di bagian bawah. Denyut jantung janin pada umumnya
ditemukan setinggi atau sedikit lebih tinggi daripada umbilicus.
Apabila diagnosis letak sungsang dengan pemeriksaan luar tidak
dapat dibuat, karena misalnya dinding perut tebal, uterus mudah berkontraksi
atau banyaknya air ketuban, maka diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan dalam. Apabila masih ada keragu-raguan, harus dipertimbangkan
untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografik. Setelah ketuban pecah, dapat
diraba lebih jelas adanya bokong yang ditandai dengan adanya sacrum, kedua
tuber ossis iskii, dan anus. Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan
dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan
ibu jari yang letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari
kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada persalinan lama,
bokong janin mengalami edema, sehingga kadang-kadang sulit untuk
membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat
membedakan antara bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan
ke dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan ke
dalam mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan. Pada
presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba di samping bokong,

sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempurna, hanya teraba satu
kaki di samping bokong (Prawirohardjo, 2008, pp.609-611).
d. Etiologi
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin
terhadap ruangan didalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32
minggu, jumlah air ketuban relative lebih banyak, sehingga memungkinkan
janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan
diri dalam presentasi kepala, letak sungsang, ataupun letak lintang. Pada
kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relative berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang
terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong dipaksa menempati ruang
yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang
lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat dimengerti
mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih
tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar
ditemukan dalam presentasi kepala. Faktor-faktor lain yang memegang
peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya adalah multiparitas,
hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa, dan panggul sempit.
Kadang-kadang letak sungsang disebabkan karena kelainan uterus dan
kelainan bentuk uterus. Plasenta yang terletak di daerah kornu fundus uteri
dapat pula menyebabkan letak sungsang karena plasenta mengurangi luas
ruangan di daerah fundus (Prawirohardjo, 2008, p.611).

10

e. Cara persalinan letak sungsang :


1) Pervaginam
Persalinan letak sungsang dengan pervaginam mempunyai syarat
yang harus dipenuhi yaitu pembukaan benar-benar lengkap, kulit ketuban
sudah pecah, his adekuat dan tafsiran berat badan janin < 3600 gram.
Terdapat situasi-situasi tertentu yang membuat persalinan pervaginam
tidak dapat dihindarkan yaitu ibu memilih persalinan pervaginam,
direncanakan bedah sesar tetapi terjadi proses persalinan yang sedemikian
cepat, persalinan terjadi di fasilitas yang tidak memungkinkan dilakukan
bedah sesar, presentasi bokong yang tidak terdiagnosis hingga kala II dan
kelahiran janin kedua pada kehamilan kembar. Persalinan pervaginam
tidak dilakukan apabila didapatkan kontra indikasi persalinan pervaginam
bagi ibu dan janin, presentasi kaki, hiperekstensi kepala janin dan berat
bayi > 3600 gram, tidak adanya informed consent, dan tidak adanya
petugas yang berpengalaman dalam melakukan pertolongan persalinan
(Prawirohardjo, 2008, p.593).
a) Persalinan spontan (spontaneous breech)
Yaitu janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu
sendiri (cara bracht). Pada persalinan spontan bracht ada 3 tahapan
yaitu tahapan pertama yaitu fase lambat, fase cepat, dan fase lambat.
Berikut ini prosedur melahirkan secara bracht :
(1) Ibu dalam posisi litotomi, sedang penolong berdiri di depan vulva.

11

(2) Saaat bokong membuka


m
vvulva, dilaku
ukan episiotomi.Segeraa setelah bo
okong
lahhir, bokong
g dicengkerram secara bracht yaittu kedua ibbu jari peno
olong
sejjajar sumbu
u panjang paaha sedangk
kan jari-jari lain memeggang panggul.
(3) Paada waktu tali
t pusat laahir dan tam
mpak tereg
gang, segeraa kendorkan tali
puusat tersebutt.
(4) Penolong meelakukan hhiperlordosis pada badan
b
janinn dengan cara
puunggung jan
nin didekattkan ke peerut ibu. Penolong
P
hhanya meng
gikuti
gerrakan ini tan
npa melakuukan tarika
(5) Deengan gerak
kan hiperloordosis ini berturut-tur
b
rut lahir puusar, perut, bahu
dann lengan, daagu, mulut, dan akhirny
ya seluruh kepala.
k

Gam
mbar 2.1 Perrtolongan peersalinan secara brachtt
(Praawirohardjo
o, 2008, p.61
16)
b) Manuaal aid
Yaitu jaanin dilahirkkan sebagiaan dengan teenaga dan kkekuatan ibu
u dan
sebagiian lagi den
ngan tenagaa penolong.. Pada persalinan denggan cara manual
m
aid adda 3 tahapan
n yaitu : taahap pertam
ma lahirnya bokong sam
mpai pusar yang

12

dilahirkan dengan kekuatan ibu sendiri, tahap kedua lahirnya bahu dan lengan
yang memakai tenaga penolong dengan cara klasik, mueller, lovset; tahap
ketiga lahirnya kepala dengan memakai cara mauriceau dan forceps piper.
Berikut ini cara melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara
klasik :
(1) Kedua kaki janin dipegang dengan tangan kanan penolong pada
pergelangan kakinya dan dielevasi ke atas sejauh mungkin sehingga perut
janin mendekati perut ibu.
(2) Bersamaan dengan itu tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam jalan
lahir dengan jari telunjuk menelusuri bahu janin sampai pada fossa cubiti
kemudian lengan bawah dilahirkan dengan gerakan seolah-olah lengan
bawah mengusap muka janin.
(3) Untuk melahirkan lengan depan, pegangan pada pergelangan kaki janin
diganti dengan tangan kanan penolong dan ditarik curam ke bawah
sehingga punggung janin mendekati punggung ibu. Dengan cara yang
sama lengan dapat dilahirkan.

Gambar 2.2 Pengeluaran lengan secara klasik

(Prawirohardjo, 2008, p.618)

13

Berikut ini melahirkan bahu dan lengan pada letak sungsang dengan cara mueller :
(1) Badan janin dipegang secara femuro-pelvis dan sambil dilakukan traksi curam
ke bawah sejauh mungkin sampai bahu depan di bawah simfisis dan lengan
depan dilahirkan dengan mengait lengan di bawahnya.
(2) Setelah bahu dan lengan depan lahir, maka badan janin yang masih dipegang
secara femuro-pelvis ditarik ke atas sampai bahu belakang lahir.

Gambar 2.3 Pengeluaran lengan secara muller


(Prawirohardjo, 2008, p.619)

Berikut ini melahirkan bahu dan lengan dengan cara lovset :


(1) Badan janin dipegang secara femuro-pelvis dan sambil dilakukan traksi curam
ke bawah badan janin diputar setengah lingkaran, sehingga bahu belakang
menjadi bahu depan.
(2) Sambil melakukan traksi, badan janin diputar kembali ke arah yang
berlawanan setengah lingkaran demikian seterusnya bolak-balik sehingga
bahu belakang tampak di bawah simfisis dan lengan dapat dilahirkan.

14

Gambar 2.4 Pengeluaran lengan secara lovset


(Prawirohardjo, 2008, p.620)
Berikut ini melahirkan kepala dengan cara mauriceau :
(1) Tangan penolong yang sesuai dengan muka janin dimasukkan ke dalam jalan
lahir.
(2) Jari tengah dimasukkan ke dalam mulut dan jari telunjuk serta jari ke empat
mencengkeram fossa canina sedangkan jari yang lain mencengkeram leher.
(3) Badan anak diletakkan di atas lengan bawah penolong seolah-olah janin
menunggang kuda. Jari telunjuk dan jari ke tiga penolong mencengkeram
leher janin dari arah punggung.
(4) Kedua tangan penolong menarik kepala janin curam ke bawah sambil seorang
asisten melakukan fundal pressure.
(5) Saat suboksiput tampak di bawah simfisis, kepala janin dielevasi ke atas
dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga berturut-turut lahir dagu,
mulut, hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya seluruh kepala.

Gambar 2.5 Pengeluaran kepala secara mauriceau


(Prawirohardjo, 2008, p.621)

15

c) Ekstraksi sungsang
Yaitu janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong.
Ekstraksi sungsang dilakukan jika ada indikasi dan memenuhi syarat untuk
mengakhiri persalinan serta tidak ada kontra indikasi. Indikasi ekstraksi
sungsang yaitu gawat janin, tali pusat menumbung, persalinan macet.
Cara ekstraksi kaki :
(1) Bila kaki masih terdapat di dalam vagina, tangan operator yang berada
pada posisi yang sama dengan os sacrum dimasukkan dalam vagina untuk
menelusuri bokong, paha sampai lutut guna mengadakan abduksi paha
janin sehingga kaki janin keluar. Selama melakukan tindakan ini, fundus
uteri ditahan oleh tangan operator yang lain.
(2) Bila satu atau dua kaki sudah berada di luar vulva, maka dipegang dengan
dua tangan operator pada betis dengan kedua ibu jari berada punggung
betis. Lakukan traksi ke bawah. Setelah lutut dan sebagian paha keluar,
pegangan dialihkan pada paha dengan kedua ibu jari pada punggung paha.
(3) Dilakukan traksi ke bawah lagi (operator jongkok) dengan tujuan
menyesuaikan arah traksi dengan sumbu panggul ibu.
Cara ekstraksi bokong
(1) Lakukan periksa dalam vagina untuk memastikan titik penunjuk (os
sacrum).
(2) Jari telunjuk tangan operator yang berhadapan dengan os sacrum dikaitkan
pada lipat paha depan janin. Kemudian dilakukan ekstraksi curam ke
bawah

16

(3) Bila trokanter depan sudah berada di bawah simfisis, jari telunjuk tangan
operator yang lain dipasang pada lipat paha belakang untuk membantu
traksi sehingga bokong berada di luar vulva.
(4) Arah ekstraksi berubah ke atas untuk mengeluarkan trokanter belakang.
(5) Ekstraksi kemudian mengikuti putaran paksi dalam.
(6) Bila pusat sudah berada di luar vulva, dikendorkan.
(7) Ekstraksi diteruskan dengan cara menempatkan kedua tangan pada bokong
janin dengan kedua ibu jari berada di atas sacrum dan jari-jari kedua
tangan berada di atas lipat paha janin.
(8) Ekstraksi dilakukan dengan punggung janin di depan, kemudian mengikuti
putaran paksi dalam bahu, salah satu bahu akan ke depan.
(9) Setelah ujung tulang belikat terlihat dilakukan periksa dalam vagina untuk
menentukan letak lengan janin, apakah tetap berada di depan dada,
menjungkit atau di belakang tengkuk. Pada ekstraksi bokong sampai
tulang belikat sering diperlukan bantuan dorongan kristeller.
2) Perabdominam
Memperhatikan komplikasi persalinan letak sungsang melalui
pervaginam, maka sebagian besar pertolongan persalinan letak sungsang
dilakukan dengan seksio sesarea. Pada saat ini seksio sesarea menduduki
tempat yang sangat penting dalam menghadapi persalinan letak sungsang.
Seksio sesarea direkomendasikan pada presentasi kaki ganda dan panggul
sempit (Prawirohardjo, 2008, p.622).

17

Seksio sesarea bisa dipertimbangkan pada keadaan ibu yang primi


tua, riwayat persalinan yang jelek, riwayat kematian perinatal, curiga panggul
sempit, ada indikasi janin untuk mengakhiri persalinan (hipertensi, KPD >12
jam, fetal distress), kontraksi uterus tidak adekuat, ingin steril, dan bekas SC.
Sedangkan seksio sesarea bias dipertimbangkan pada bayi yang prematuritas
>26 minggu dalam fase aktif atau perlu dilahirkan, IUGR berat, nilai social
janin tinggi, hiperekstensi kepala, presentasi kaki, dan janin >3500 gram
(janin besar) (Cunningham, 2005, p.568).
f. Komplikasi persalinan letak sungsang
1) Komplikasi pada ibu
a) Perdarahan
b) Robekan jalan lahir
c) Infeksi
2) Komplikasi pada bayi
a) Asfiksia bayi, dapat disebabkan oleh :
(1) Kemacetan persalinan kepala (aspirasi air ketuban-lendir)
(2) Perdarahan atau edema jaringan otak
(3) Kerusakan medula oblongata
(4) Kerusakan persendian tulang leher
(5) kematian bayi karena asfiksia berat.
b) Trauma persalinan
(1) Dislokasi-fraktur persendian, tulang ekstremitas
(2) Kerusakan alat vital : limpa, hati, paru-paru atau jantung

18

(3) Dislokasi fraktur persendian tulang leher : fraktur tulang dasar


kepala ; fraktur tulang kepala ; kerusakan pada mata, hidung atau
telinga ; kerusakan pada jaringan otak.
c) Infeksi, dapat terjadi karena :
(1) Persalinan berlangsung lama
(2) Ketuban pecah pada pembukaan kecil
(3) Manipulasi dengan pemeriksaan dalam
2. Asfiksia Neonatorum
a. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Prawirohardjo,
2008, p.709).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi lahir tidak
dapat bernafas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat
janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat
dilahirkan (Winknjosastro, 2008, p.107).
b. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi darah uterus plasenter sehingga pasokan oksigen ke
bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan
gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, yaitu :

19

1) Faktor ibu
(a) Preeklamsia dan eklamsia
Telah diketahui bahwa pada preeklamsia, janin diancam bahaya
hipoksia dan pada persalinan bahaya ini makin besar. Pada gawat janin,
dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea ; pada kala II dilakukan
ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum. Postpartum bayi sering
menunjukkan tanda asfiksia neonatorum karena hipoksia intrauterine,
pengaruh obat penenang atau narcosis umum, sehingga diperlukan
resusitasi (Prawirohardjo, 2008, p.294).
(b) Perdarahan abdominal (plasenta previa atau solusio plasenta)
Perdarahan perabdominal ada dua yaitu plasenta previa dan
solusio plasenta. Pada plasenta previa, perdarahannya dapat menimbulkan
penyulit bagi janin maupun ibu. Penyulit bagi ibu dapat menimbulkan
anemia sampai syok, sedangkan pada janin dapat menimbulkan asfiksia
sampai kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2010, p.249). Sedangkan
pada solusio plasenta, nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas dari dinding uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya
terlepas, anoksia akan mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian
kecil yang terlepas, mugkin tidak berpengaruh sama sekali atau
mengakibatkan gawat janin (Prawirohardjo, 2008, p.380).
(c) Partus lama atau macet
Hasil penelitian dari Anisa di Ruang VK Bersalin RSUD dr. R.
Koesma Tuban Tahun 2009 menunjukkan responden yang mengalami

20

partus lama sebagain besar bayi baru lahir yang tidak asfiksia 113 bayi
(85,61%), dan sebagain kecil bayi baru lahir yang mengalami asfiksia 19
bayi

(14,39%). Berdasarkan analisa data antara variabel partus lama

dengan kejadian asfiksia bayi baru lahir didapatkan X2 hitung 14,31 dan
X2 tabel 3,81, sehingga X2 hitung > X2 tabel yang bearti H0 ditolak.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara partus lama dengan
kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. Maka untuk menghindari terjadinya
asfiksia yaitu dengan mencegah partus lama, asuhan persalinan
mengunakan partograf untuk memantau kondisi ibu dan janin serta
kemajuan proses persalinan.
(d) Demam selama persalinan dan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Demam selama persalinan biasanya disebabkan karena terjadinya
infeksi berat. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan
dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak
terdeteksi. Gawat janin yang tidak ditangani secara cepat, dapat membuat
janin kekurangan oksigen dan akhirnya menimbulkan kematian. Harus
diupayakan segala cara untuk menurunkan suhu tuuh dengan cepat, baik
dengan kompres dingin maupun antipiretika seperti paracetamol
(Prawirohardjo, 2008, p.642).
(e) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
Pada 62.804 kelahiran di National Maternity Hospital, Dublin
antara 1979 sampai 1986, tingginya angka kematian perinatal akibat
kehamilan lewat waktu hanya terjadi pada masa intrapartum dan neonatal

21

(Crowley, 1991). Asfiksia intrapartum dan asfiksia mekoneum terjadi pada


hampir tiga perempat kematian bayi (Cunningham, 2005, p. 812).
2) Faktor tali pusat
a)

Kelainan tali pusat


Ada beberapa macam kelainan tali pusat yaitu lilitan tali pusat,
tali pusat pendek atau panjang dan simpul tali pusat. Tali pusat yang
terlalu panjang atau terlalu pendek, dapat menimbulkan bahaya asfiksia
sampai kematian. Gerakan janin yang begitu aktif yang dapat
menimbulkan simpul sering juga dijumpai. Bila simpul tersebut
sedemikian eratnya sehingga menutup sama sekali pembuluh darah
umbilikalis dapat dipastikan terjadi asfiksia intrauterin dan kematian janin.
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tai pusat yang panjang
kemungkinan besar dapat menyebabkan lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat
pada leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali.
Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul,
makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan
dari janin (Manuaba, 2010, p.322).

b) Prolapsus tali pusat

Tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir
akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Gangguan aliran
darah yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan
metabolik yang berat, berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardi yang
menetap dan akhirnya kematian janin (Prawirohardjo, 2008, p.626).

22

3) Faktor bayi
a) Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada
usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia
kehamilan < 34 minggu.4 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum
kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk
meningkatkan maturasi paru fetus.
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar)
Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi
dibandingkan dengan letak kepala. Ada dua cara persalinan letak sungsang
yaitu secara pervaginam dan perabdominal. Albrechtsen dkk mengevaluasi
sebuah protokol untuk memilih pelahiran pervaginam atau seksio sesarea
pada letak sungsang. Pada 1212 letak sungsang, angka pelahiran
pervaginam meningkat dari 45 menjadi 57 persen dan angka seksio sesarea
setelah pelahiran pervaginam gagal menurun dari 21 persen menjadi 6
persen. Asfiksia secara klinis didiagnosis pada 2,5 persen di antara mereka
yang dilahirkan pervaginam dengan letak sungsang (Cunningham, 2005,
p.564).
Tingginya prevalensi bayi berat lahir rendah pada kehamilan
kembar, berhubungan dengan kelahiran preterm dan intrauterine growth
retardation (IUGR). Kehamilan kembar meningkatkan frekuensi kelainan
kongenital,

plasenta

previa,

abrupsio

plasenta,

preeklampsia,

23

malpresentasi, juga meningkatkan kejadian asfiksia perinatal, infeksi


Streptococcus group B, dan hyalin membrane disease (HMD).
c) Distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep
Pelahiran pervaginam dengan bantuan alat, terutama apabila
dilakukan

dari

ketinggian

panggul

tengah,

dapat

menyebabkan

peningkatan morbiditas perinatal, yaitu skor apgar, sefalohematoma,


kaput, cedera atau tanda wajah, trauma, peningkatan bilirubin dan
perdarahan retina (Cunningham, 2005, p. 812).
d) Kelainan bawaan (congenital)
Kelainan congenital yang dapat menyebabkan asfiksia adalah
hernia diafragmatika dan atresia atau stenosis jalan nafas (Prawirohardjo,
2008, p.626).
e) Air ketuban bercapur mekonium
Para ahli kebidanan telah lama menyadari bahwa deteksi
mekonium selama persalinan menimbulkan masalah dalam memprediksi
asfiksia atau gawat janin. Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir
8000 persalinan yang air ketubannya tercemar mekonium di Parkland
Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara bermakna berkaitan dengan
asidemia janin saat lahir. Hal-hal lain yang secara bermakna berkaitan
dengan aspirasi antara lain seksio sesarea, pemakaian forceps untuk
mempercepat pelahiran, kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum,
penurunan skor apgar dan perlunya bantuan ventilasi saat lahir
(Cunningham, 2005, p. 812).

24

c. Gejala dan Tanda asfiksia


1) Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
2) Warna kulit kebiruan
3) Kejang
4) Penurunan kesadaran
(Winkjosastro, 2008, p.109)
d. Penilaian asfiksia neonatorum
Tabel 2.1 Skor Apgar
0

2
Seluruh
kemerahan

Tidak ada

1
Badan merah dan
ekstremitas
kebiruan
<100

Tidak ada

Menyeringai

Bersin atau batuk

Tidak ada

Ekstremitas sedikit
fleksi
Lemah atau tidak
teratur

Gerakan aktif

Appearance
(warna kulit)

Pucat

Pulse
(denyut jantung)
Grimace
(reaksi
terhadap
rangsang)
Activity
(kontraksi otot)
Respiration
(pernafasan)

Tidak ada

tubuh

>100

Menangis kuat

(Yanti, 2010, p.253)


Arti nilai apgar :
1) Nilai 10

: normal

2) Nilai 7-9

: asfiksia ringan

3) Nilai 4-6

: asfiksia sedang

4) Nilai 0-3

: asfiksia berat

e. Manajemen terapi
Resusitasi BBL adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir. Tujuan utama resusitasi pada BBL adalah untuk

25

memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas (IDAI,
2008, p.103).
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna dalam resusitasi, prinsip
dasar yang perlu diingat adalah menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi
dan mengusahakan tetap bebasnya jalan nafas, memberikan bantuan
pernafasan secara aktif kepada bayi dengan usaha pernafasan buatan,
memperbaiki asidosis yang terjadi dan menjaga agar peredaran darah tetap
baik (Prawirohardjo, 2008, p.711).
Tindakan-tindakan yang diberikan kepada bayi dapat dibagi dalam 2
golongan.
1) Tindakan umum
Tindakan dikerjakan pada bayi tanpa memandang nilai apgar.
Setelah bayi lahir, diusahakan agar bayi mendapatkan pemanasan yang
baik. Harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya.
Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk mengeringkan
tubuh bayi mengurangi evaporasi. Bayi diletakkan dengan kepala lebih
rendah dan penghisapan saluran pernafasan bagian atas segera dilakukan.
Hal ini harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menghindarkan timbulnya
kerusakan-kerusakan mukosa jalan nafas, spasmus laring, dan kolaps paruparu. Bila bayi belum menunjukkan usaha bernafas, rangsangan
terhadapnya harus segera dikerjakan. Hal ini dapat berupa rangsangan
nyeri dengan memukul kedua telapak kaki, menekan thendos Achilles atau

26

pada bayi-bayi tertentu diberikan suntikan vitamin K (Prawirohardjo,


2008, p.712).
2) Tindakan khusus
a) Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2 secara tekanan
langsung dan berulang-ulang. Cara terbaik ialah melakukan intubasi
endotrakeal dan setelah kateter dimasukkan ke dalam trakea, O2 diberikan
dengan tekanan tidak lebih dari 30 ml air. Tekanan positif dikerjakan
dengan meniupkan udara yang telah diperkaya dengan O2 melalui kateter
tadi. Untuk mencapai tekanan 30 ml air peniupan dapat dilakukan dengan
kekuatan kurang lebih 1/3 1/2 dari tiupan maksimal yang dapat
dikerjakan. Secara ideal napas buatan harus dilakukan dengan terlebih
dahulu memasang manometer. Untuk memperoleh tekanan positif yang
lebih aman dan efektif, dapat digunakan pompa resusitasi. Pompa ini
dihubungkan dengan kateter trachea, kemudian udara dengan O2
dipompakan secara teratur dengan memperhatikan gerakan-gerakan
dinding toraks. Bila bayi telah memperlihatkan pernapasan spontan,
kateter trakea segera dikeluarkan. Keadaan asfiksia berat ini hampir selalu
disertai dengan asidosis yang membutuhkan perbaikan segera. Karena itu,
bikarbonas natrikus 7,5% harus segera diberikan dengan dosis 2-4 ml/kg
berat badan.

27

Di samping itu glukosa 40% diberikan pula dengan dosis 1-2 ml/kg
berat badan. Obat-obat ini harus diberikan secara berhati-hati dan perlahanlahan.Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan
frekuensi jantung menurun (kurang dari 100 permenit) maka pemberian obatobat yang lain serta massage jantung sebaiknya segera dilakukan. Massage
jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan di atas tulang dada secara
teratur 80-100 kali permenit. Tindakan ini dilakukan berselingan dengan nafas
buatan, setiap 5 kali massage jantung diikuti dengan satu kali pemberian nafas
buatan. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya
komplikasi

pneumotoraks

atau

pneumomediastinum

apabila

tindakan

dilakukan secara bersamaan. Di samping massage jantung ini obat yang dapat
diberikan ialah larutan 1/10.000 adrenalin dengan dosis 0,5-1 cc secara
intravena atau intrakardial (untuk meningkatkan frekuensi jantung) dan
kalsium glukonat 50-100 mg/kg berat badan secara perlahan-lahan melalui
intravena (sebagai obat inotropik). Pada bayi dengan tanda-tanda renjatan,
cairan intravena berupa plasma darah atau cairan pengganti lainnya (volume
expander) harus segera diberikan. Bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak
memberi hasil yang diharapkan, keadaan bayi harus dinilai lagi karena hal ini
mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam dan basa yang belum
diperbaiki secara semestinya, adanya gangguan organic seperti hernia
diafragmatik, atresia atau stenosis jalan nafas dan lain-lain (Prawirohardjo,
2008, p.713).

28

b) Asfiksia ringan-sedang
Di sini dapat dicoba melakukan rangsangan untuk menimbulkan efek
pernafasan. Hal ini dapat dikerjakan selama 30-60 detik setelah penilaian
menurut apgar 1menit. Bila dalam waktu tersebut pernafasan tidak timbul,
pernafasan buatan harus segera dimulai. Pernafasan aktif yang sederhana
dapat dilakukan secara pernafasan kodok (frog breathing). Cara ini dikerjakan
dengan memasukkan pipa ke dalam hidung, dan O2 dialirkan dengan
kecepatan 1-2 liter dalam satu menit. Agar saluran nafas bebas, bayi
diletakkan dengan kepala dorsofleksi. Secara teratur dilakukan gerakan
membuka dan menutup lubang hidung dan mulut dengan disertai
menggerakan dagu ke atas dan ke bawah dalam frekuensi 20 kali semenit.
Tindakan ini dilakukan dengan memperhatikan gerakan dinding toraks dan
abdomen. Bila bayi mulai memperlihatkan gerakan pernafasan, ushakanlah
supaya gerakan tersebut diikuti. Pernafasan ini dihentikan bila setelah 1-2
menit tidak juga dicapai hasil yang diharapkan dan segera dilakukan
pernafasan buatan dengan tekanan postif secara tidak langsung. Pernafasan ini
dapat dilakukan dahulu dengan pernafasan dari mulut ke mulut. Sebelum
tindakan dilakukan, ke dalam mulut bayi dimasukkan pharyngeal airway yang
berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan, agar jalan nafas berada dalam
keadaan sebebas-bebasnya. Pada pernafasan dari mulut ke mulut, mulut
penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum peniupan. Peniupan
dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan
gerakan pernafasan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil

29

bila setelah dilakukan beberapa saat, terjadi penurunan frekuensi jantung atau
pemburukan tonus otot. Dalam hal ini bayi harus diperlakukan sebagai
penderita asfiksia berat (Prawirohardjo, 2008, p.714).
c) Tindakan lain-lain dalam resusitasi
Penghisapan cairan lambung hanya dilakukan pada bayi-bayi tertentu
untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya regurgitasi dan aspirasi,
terutama pada bayi yang sebelumnya menderita gawat janin, yang dilahirkan
dari ibu yang mendapat obat-obatan analgesia atau anesthesia dalam
persalinannya, bayi premature, dan sebagainya (Prawirohardjo, 2008, p.714).
3. Hubungan Cara Persalinan Letak Sungsang dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Prawihardjo, 2008, p.709).
Asfiksia pada BBL (Bayi Baru Lahir) menjadi penyebab kematian 19% dari 5
juta kematian BBL setiap tahun. Letak sungsang merupakan keadaan dimana
janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri (Prawirohardjo, 2008, p.606). Kejadian letak
sungsang berkisar antara 2% sampai 3% bervariasi di berbagai tempat.
Sekalipun kejadiannya kecil, tetapi mempunyai penyulit yang besar dengan
angka kematian sekitar 20% sampai 30%. (Manuaba, 2010, p.491). Angka
kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi dibandingkan
dengan letak kepala. Ada dua cara persalinan letak sungsang yaitu secara
pervaginam dan perabdominal.

30

Pada persalinan letak sungsang dengan cara pervaginam, kelahiran


kepala yang lebih lama dari 8 menit setelah umbilicus dilahirkan, akan
membahayakan kehidupan janin. Selain itu, bila janin bernafas sebelum
hidung dan mulut lahir dapat membahayakan, karena mucus yang terhisap
dapat menyumbat jalan nafas. Bahaya asfiksia janin juga terjadi akibat tali
pusat yang menumbung (Prawirohardjo, 2007, p.613). Sedangkan persalinan
letak sungsang dengan cara perabdominal dianggap memiliki prognosis lebih
baik pada bayi yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan skor apgar, terutama 1
menit pertama, pada bayi yang dilahirkan pervaginam umumnya lebih rendah
daripada bila dilakukan seksio sesarea (Cunningham, 2005, p.564).

B. Kerangka Teori
Faktor ibu
a) Preeklamsia dan eklamsia
b) Perdarahan abdominal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c) Partus lama atau macet
d) Demam selama persalinan dan infeksi berat
e) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

Faktor tali pusat


a) Kelainan tali pusat
b) Prolapsus tali pusat

Asfiksia Neonatorum

Faktor bayi
a) Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
b) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar)
c) Distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep
d) Kelainan bawaan (congenital)
e) Air ketuban bercapur mekonium

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Winknjosastro 2008

31

Kerangka Konsep
Variabel Independent

Variabel Dependent

Persalinan letak
sungsang

Kejadian asfiksia
neonatorum

Bagan 2.2 Kerangka Konsep


C. Hipotesis
Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara, yang
mungkin benar mungkin juga salah. Meskipun hipotesis adalah suatu dugaan,
namun hipotesis tidaklah asal membuat, akan tetapi dugaan tersebut,
didasarkan atas teori-teori yang terdapat di dalam buku, atau hasil-hasil
penelitian terdahulu yang pernah dilakukan. Oleh karena itu hipotesis
merupakan dugaan, maka bisa diterima juga bisa ditolak (Machfoedz, 2008,
p.58).
Hipotesis yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : ada
hubungan cara persalinan letak sungsang dengan kejadian asfiksia neonatorum
di RSUD Kota Semarang Tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai