ࡶࢇ
NO.BP : 06151126
DOSEN : Prof.Dr. Fashbir Noor Sidin SE,MSP
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan
tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau
koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dengan proses jual beli barang
dagangan melalui tawar menawar.
Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh Pemda setempat, biasanya
di bawah kendali Dinas Pasar. Sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan melalui
kerjasama antara Pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema bangun,
operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian
membayar setiap tahun kepada Pemda sejumlah dana yang telah disepakati.
Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik
Pemda. Di beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar
sekaligus. Dinas Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar
tradisional miliknya. Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan
target yang sudah ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut
pada pemberhentian langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari
Maka dari itu. revitalisasi pasar tradisional pada dasarnya bukan hanya persoalan
teknis, melainkan bagaimana mengubah cara pandang masyarakat. Masyarakat harus
disadarkan bahwa berbelanja di pasar tradisional bukan berarti kuno dan
antimodemisme. Berbelanja di pasar tradisional merupakan bentuk penghargaan
terhadap diri sendiri dan menguji kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Pasar modern meskipun memiliki banyak kelebihan, akan tetapi dalam sistem
pasar modern penentuan harga tidak bisa ditawar/sudah ditetapkan. Sedangkan pasar
tradisional memiliki beberapa keunggulan, yakni :
(1) masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli.
Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga
yang sudah dipatok;
(2) keinginan masyarakat memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis
membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern; dan
(3) pasar tradisional menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat
kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari
mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang
becak. Di balik kelebihan tersebut, pasar tradisional biasanya becek dan bau,
malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan
timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.
(1) permasalahan dan citra negatif pasar tradisional umumnya terjadi akibat kurang
disiplinnya pedagang, pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas
dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar;
(2) pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk
minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya
"preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya
kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009);
(3) masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana
pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan
retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan
pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi
pedagang tradisional.
Kendala yang membuat perbankan sulit mengucurkan dana untuk pasar tradisional
antara lain :
(1) pengelola pasar tidak mengetahui aset yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kredit bank. Sebagian besar kepemilikan kios di pasar tradisional berstatus hak
pakai. Pengelola pasar bersedia meningkatkan status menjadi Hak Pengelolaan
(1) Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas
mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada
desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut
memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan
pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru
dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan
pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada
Pemerintah Kota; dan
(2) tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman
antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model
revitalisasi yang akan diterapkan.
Solusi Permasalahan
Untuk menciptakan kondisi lingkungan pasar tradisional yang lebih baik dan
lebih nyaman, kebijakan-kebijakan yang akan membantu meningkatkan daya saing
pasar tradisional harus diciptakan dan dilaksanakan, dengan upaya-upaya : Pertama,
memperbaiki infrastruktur. Hanl ini mencakup jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan
yang layak, penerangan yang cukup, dan lingkungan keseluruhan yang nyaman.
Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai dua tidak disukai di kalangan
pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan berbelanja di lantai dua.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat
pasar tradisional bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, revitalisasi pasar tradisional
yang dilakukan pemerintah tidak boleh hanya memerhatikan kondisi pasar, volume
perdagangan, ketersediaan lahan untuk perbaikan pasar, dan desain rencana perbaikan
pasar;melainkan juga perlu membatasi pertumbuhan pasar modern.
Kedua, Pemerintah daerah juga harus berani menata keberadaan pasar modern.
Pendirian pasar modem harus jauh dari keberadaan pasar tradisional.
Kota Padang berpenduduk + 800.000 orang yang dilayani oleh satu pasar
regional di Pasaraya dan enam belas pasar lokal tersebar mengikuti sebaran konsentrasi
penduduk. Pasar regional di pusat kota sangat dominan sehingga terjadi pemusatan
yang berlebihan yang menimbulkan kemacetan sebaliknya pasar lokal cenderung
kurang berkembang. Faktor kemacetan tersebut juga dipengaruhi oleh pertumbuhan
jumlah angkutan kota yang tinggi disamping dihapusnya terminal angkutan kota dan
antar kota untuk membangun pasar modern. Keadaan ini memberi gambaran tentang
kebijakan publik yang cenderung mengabaikan kepentingan publik.
Pasar tradisional masih diminati karena berbagai pertimbangan antara lain faktor
emosional, jenis barang dan sifat perbelanjaan, jarak dan akses dan sebagainya. Suasana
belanja berkait dengan faktor emosional antara pembeli dan penjual menjadi satu faktor
penting dihubungkan dengan eksistensi pasar tradisional. Selain itu jenis barang dan
sifat perbelanjaan juga dapat berpengaruh karena beberapa pasar tradisional masih
mempertahankan hari-hari pasar tertentu yang ramai dikunjungi. Jarak relatif dekat
dengan permukiman dan akses yang tinggi terutama keberadaan ojek dan becak motor
sehingga berbelanja menjadi rekreasi yang menyenangkan.
Masa depan pasar tradisional tersebut dapat terancam oleh perkembangan pasar
semimodren dan modern berdasarkan preferensi berbelanja masyarakat. Jika keadaan
dan pelayanan pasar tradisional tidak berubah dan gaya hidup modern makin
menggejala maka pasar tradisional ini dapat saja ditinggalkan para pelanggannya.
Indikasi ke arah itu sudah mulai tampak walaupun belum dapat dijadikan pertanda
pergeresaran selera belanja masyarakat. Oleh sebab itu perlu perubahan keadaan
terutama faktor keamanan dan kenyamanan berbelanja di pasar tradisional seperti yang
ditawarkan oleh pasar semimodern dan modern.
Kebijakan publik tentang revitaliasi pasar lokal sudah dicanangkan sejak lima
tahun yang lalu namun belum pernah direaliasikan. Kajian dan desain sudah dilakukan
namun aplikasi tentang pola pengembangan termasuk kemitraan belum dilakukan.
Berbagai masalah berkait dengan upaya revitalisasi termasuk respon masyarakat
tentang wujud revitalisasi. Jika revitalisasi itu ‘meruntuhkan’ pasar lama dengan
‘membangun’ pasar baru dengan standar tinggi cenderung menyebabkan biaya modal
pedagang semakin tinggi seterusnya berpengaruh kepada margin keuntungan dan
harga yang semakin tidak kompetitif.
Observasi dilakukan terhadap tujuh pasar tradisional, lima pasar semimodern dan
tiga pasar modern yang tersebar di empat wilayah Kota Padang. Ketujuh pasar
tradisional yaitu pasar Tanah Kongsi, Pasar Simpang Haru, Pasar Bandar Buat, Pasar
Siteba, Pasar Alai, Pasar Ulak Karang dan Pasar Lubuk Buaya. Kelima pasar semimodern
yaitu Damar Plaza, Mini Market Singgalang, Citra Swalayan, Mitra Swalayan dan Yossi
Swalayan serta tiga pasar modern yaitu Plaza Andalas, Minang Plaza dan Rocky Plaza.
Observasi tentang keadaan fisik, akses beserta sarana dan prasarana pendukung,
keamanan dan kenyamanan dan sebagainya.
Pasar tradisional menyediakan bahan mentah yaitu ikan, daging, ayam, sayur,
bahan makanan lainnya secara terbuka dan sebagian dibuang sebagai sampah yang
menyebabkan kotor dan bau. Di pasar semimodern dan modern semua bahan mentah
sudah dikemas yang ditempatkan dalam tempat pendinginan sehingga terhindari dari
kesan kotor dan tidak menimbulkan bau. Menurut responden, faktor kesegaran dan
dapat memilih menjadi pertimbangan bagi pembeli
Pola transaksi. Di pasar tradisional terjadi tawar menawar antara pembeli dan
penjual namun faktor kedekatan emosional sebagai pelanggan biasanya tidak terjadi
penawaran oleh pembeli karena percaya penjual telah memberi harga yang baik. Di
pasar semimodern dan modern ada kebijakan pelabelan harga untuk memberi
kepastian disamping terbatasnya pelayan. Keadaan ini tidak mungkin diterapkan di
pasar tradisional dimana pembeli tidak dapat memilih barang karena tidak tersedia
Pemko Padang akan segera membangun Pasar Inpres I, II dan III di kawasan Pasar
Raya Padang yang runtuh akibat gempa 30 September 2009 lalu dengan bangunan
berlantai empat. Sebelum proses pembangunan dilaksanakan, Pemko Padang telah
mendatangkan konsultan nasional untuk mengkaji dan menganggarkan pagu dananya
dengan membuatkan studi kelayakan dengan umur pakai 30-40 tahun. Walikota
Padang, Fauzi Bahar mengemukakan hal itu dalam jumpa pers di Aula Balaikota Padang,
Dikatakan, dibangunnya pasar Inpres I, II dan III direncanakan empat lantai memiliki
2.000 unit kios yang dileng kapi tangga elektronik berupa lift, drainase dan penerangan
listrik dan pada lantai IV akan dibangun shelter. "Shelter dibangun, sekaligus tempat
pendaratan helikopter atau sebagai tempat evakuasi tsunami bagi warga pada radius 1
kilometer yang bisa menampung 12.000 warga,"
Dalam pembangunan pasar tradisioanl ala modern ini akan dibangun di atas
tanah seluas 13.600 m2 menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) “Dengan adanya peninjauan kali ini, Pemko Padang bersama konsultan
dapat menganggarkan pagu dananya sehingga dalam waktu dekat ini didapatkan hasil
studi kelayakan. Setelah itu Pemko Padang akan mengajukannya ke pusat,” Dalam
pembangunan Pasar Raya Padang yang rusak itu tidak ditenderkan, kendati dana
pembangunannya berasal dari APBN sebesar Rp232 miliar lebih Jika ditenderkan jelas
akan menghabiskan waktu sampai enam bulan lebih, sementara pasar tersebut
pascagempa mendesak dibangun guna menyelamatkan kegiatan perekonomian di Kota
Pendahuluan
World Tourism and Trade Center (WTTC) menyatakan bahwa sektor pariwisata
saat ini merupakan industri terbesar didunia, sektor ini telah menjadi salah satu
penggerak utama perekonomian abad 21 bersama dengan industri telekomunikasi dan
teknologi informasi. Perkembangan industri pariwisata yang sangat dinamis dan terus
diperkuat oleh kemajuan tingkat kesejahteraan ekonomi didunia, menjadikan pariwisata
memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian bangsa-bangsa didunia.
Pariwisata bahkan dimasukkan kedalam hak azazi manusia sebagaimana dinyatakan
oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was
considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.
Sumatra Barat (Sumbar) sebagai daerah yang sudah dikenal sebagai salah satu
daerah tujuan wisata nasional tentu saja menyadari prospek pariwisata sebagai
unggulan daerah masa depan. Liberalisasi wisata yang berpotensi untuk dikembangkan
oleh Sumbar terutama (satu-satu nya?) adalah keindahan alam (natural beauty), namun
keindahan alam yang kita miliki tersebut belumlah dikelola secara maksimal. Sumatera
Barat memiliki banyak sekali potensi wisata alam seperti gunung, lembah/ngarai, pantai,
laut, goa, sungai, air terjun, danau dan hutan yang masih belum berkelanjutan
(sustainable) untuk dikembangkan.
Ketersediaan prasarana dan sarana untuk itu jelas memegang peranan yang
penting, dengan demikian diharapkan adanya usaha yang aktif bagi pemerintah daerah
di Sumatera Barat untuk menjamin keberlangsungan faktor-faktor pembangunan
pariwisata tersebut. Dengan menggunakan 8
Permasalahan
Untuk itu sebagai bahan diskusi kita coba memaparkan akar permasalahan maupun
kelemahan berbagai aspek pengelolaan wisata Sumatera Barat selama ini.
2. Pengelolaan pariwisata baik dari aspek manajemen maupun teknis belum sepenuhnya
didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.
“ if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web
then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the
internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on
the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in
there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars”
b. tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata
khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah
yang tidak pernah terselesaikan. Efek dari keadaan ini bisa dilihat dari tingginya angka
pelaku copet, tukang palak, WC umum yang kotor, sampah berserakan, harga yang
melonjak seenaknya dll. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada
pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya
masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).
Disini muncul pertanyaan apakah sebelum merumuskan program sudah terlebih dahulu
di lakukan survey dan riset mendalam terhadap masyarakat sebagai komponen
terpenting?
D. Aspek Promosi
1. Dana yang tersedia bagi pengembangan pariwisata sangat minim, dalam RAPBD
tahun 2006 hanya tersedia Rp 13 M itupun hanya tersedot oleh biaya operasional (65 %)
dan pembangunan infrastruktur belaka (35%).
Itulah barangkali peta permasalahan yang bisa diuraikan pada kesempatan ini. Memang
tidak menyeluruh namun ada beberapa poin yang penting dan mendasar sekali
sehingga perlu mendapat perhatian kita bersama .
Sesungguhnya jika memahami persoalan yang ada banyak hal yang bisa kita
lakukan demi memajukan industri pariwisata Sumbar. Hal yang mendasar sekali adalah
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan membentuk
Community Based Tourism Development (CBT) akan mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat setempat sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup
masyarakat. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari
kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan
kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan
mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.
Selama ini pemerintah hanya melibatkan pelaku besar (hotel berbintang, Tour &
Travel, Restoran besar) dalam merangsang pertumbuhan pariwisata. Tentu saja
keuntungan/manfaat dunia wisata Sumbar saat ini hanyalah dinikmati oleh segelintir
orang itu saja. Padahal esensi industri pariwisata itu sendiri adalah demi kesejahteraan
seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana agar semua elemen masyarakat mulai dari yang
terbesar hingga yang terkecil semua bergerak menjadi bagian dalam suatu system dan
Yang perlu diperhatikan juga, saat ini telah terjadi perubahan consumers-
behaviour pattern atau pola konsumsi wisatawan dunia . Mereka tidak lagi terfokus
hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai
berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan
selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan
peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau
negara. Sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari
kegiatan pariwisata Indonesia dan Sumbar khususnya. Tanpa adanya budaya maka
pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk
dikunjungi. Sepertinya kembali merumuskan daya tarik wisata Sumbar adalah sesuatu
yang musti dilakukan secepatnya.
Penutup
Demikianlah sedikit pemikiran untuk dijadikan bahan acuan kita bersama dalam
membahas kemungkinan akselerasi pertumbuhan pariwisata Sumbar di forum ini.
Dengan meningkatkan kemampuan dibidang ini diharapkan upaya pemulihan
perekonomian masyarakat akan dapat segera diwujudkan.
Pekerjaan ini memang dirasa sangat sulit dan memakan banyak waktu. Oleh
karena itu mari kita nantikan dan dukung kebijakan/program MAPPAS dalam rangka
mendorong terciptanya daerah wisata Sumbar yang sarat dengan nilai lokal dan simbol
Minangkabau nan humanis
− Fashbir Noor Sidin, 2008. Mengembangkan Pasar Modern Dan Melindungi Pasar
Tradisional Dilematika Kebijakan Pembangunan Ekonomi Lokal. abstrak
− Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit Andi.
− Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung : Penerbit
Mandar Maju.
− Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
− Wahab, Salah. 1975. Tourist Management. London : Tourist International Press.
− Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : Penerbit Angkasa.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis
Pembangunan Kebudayaan danPariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta.
− Porter, Michael E. (2004), Competitive Advantage: Creating and Sustaining
Superior Performance, with a new introduction, copyright 1985, Free Press
Publishing, New York.
− Pembangunan Sektor Pariwisata Di Era Otonomi Daerah