Anda di halaman 1dari 24

NAMA : RIDHWAN ࢀࢍ࢒.

૛૜ ࡶࢇ࢔ ૛૙૚૙
NO.BP : 06151126
DOSEN : Prof.Dr. Fashbir Noor Sidin SE,MSP

TUGAS EKONOMI REGIONAL DAN PERKOTAAN

REVITALISASI PASAR TRADISIONAL

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan
tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau
koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dengan proses jual beli barang
dagangan melalui tawar menawar.

Isu-isu Utama Pasar Tradisional

Pasar tradisional mendapatkan keuntungan dari krisis keuangan dunia (global


crisis) saat ini. Keinginan masyarakat/konsumen untuk memperoleh produk dengan
harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar
modern. Kondisi ini bertolak belakang dengan pertumbuhan pasar modern yang kian
agresif dan terus meningkatkan distribusi, promosi dan perbaikan model bisnis ritel.

Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh Pemda setempat, biasanya
di bawah kendali Dinas Pasar. Sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan melalui
kerjasama antara Pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema bangun,
operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian
membayar setiap tahun kepada Pemda sejumlah dana yang telah disepakati.

Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik
Pemda. Di beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar
sekaligus. Dinas Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar
tradisional miliknya. Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan
target yang sudah ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut
pada pemberhentian langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 1


para pedagang menjadi ajang perhatian utama dari setiap kepala pasar daripada
pengelolaan pasar yang lebih baik.

Ruh perdagangan bangsa

Pasar tradisional merupakan ruh perdagangan bangsa Indonesia Pasalnya, di


pasar tradisional terdapat interaksi antara pedagang dan pembeli, yang tidak dapat
ditemui di dalam pasar modern. Tawar-menawar, canda riang yang sesekali diselingi
rasa kerjdaksukaan merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang semakin
asing di tengah semakin banyaknya masyarakat berbelanja di pasar modem.

Maka dari itu. revitalisasi pasar tradisional pada dasarnya bukan hanya persoalan
teknis, melainkan bagaimana mengubah cara pandang masyarakat. Masyarakat harus
disadarkan bahwa berbelanja di pasar tradisional bukan berarti kuno dan
antimodemisme. Berbelanja di pasar tradisional merupakan bentuk penghargaan
terhadap diri sendiri dan menguji kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Pada akhirnya, keberadaan pasar tradisional sudah saatnya di-uri-uri


(dilestarikan). Salah satunya adalah dengan mengajak anggota keluarga berkunjung dan
berbelanja di pasar tradisional.

Kondisi pasar tradisional:

- Pasar Tradisional merupakan Infrastruktur ekonomi daerah, menjadi pusat


kegiatan distribusi dan pemasaran
- Keberadaannya kian menurun dengan berkembangnya perpasaran swasta
modern khususnya diperkotaan
- Berdasarkan Survey AC Nielsen pertumbuhan Pasar Modern (termasuk
Hypermarket) sebesar 31,4%, sementara pertumbuhan Pasar Tradisional - 8,1%
(SWA, Edisi Desember 2004).
- Serbuan pasar modern / hypermarket dengan dukungan kekuatan modal besar,
sistem dan teknologi modern, berhadapan langsung dengan pedagang pasar
tradisional.
- Image Pasar tradisional terkesan Becek, Kotor, kurang nyaman, dan Fasilitas
Minim : parkir, toilet, tidak ada tempat pengolahan sampah, fisik kurang terawat.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 2


- Kurang mampu berkompetisi dengan perpasaran swasta
- Lemah dalam manajemen dan kurang mengantisipasi perubahan

Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat


sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional disebabkan : pertama,
supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga
yang lebih murah; kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan
mudah diakses publik; ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang
lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka
pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit
untuk peralatan rumahtangga berukuran besar; keempat, produk yang dijual di
supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan
dijual bila telah kedaluwarsa.

Keunggulan Pasar Tradisional

Pasar modern meskipun memiliki banyak kelebihan, akan tetapi dalam sistem
pasar modern penentuan harga tidak bisa ditawar/sudah ditetapkan. Sedangkan pasar
tradisional memiliki beberapa keunggulan, yakni :

(1) masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli.
Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga
yang sudah dipatok;
(2) keinginan masyarakat memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis
membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern; dan
(3) pasar tradisional menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat
kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari
mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang
becak. Di balik kelebihan tersebut, pasar tradisional biasanya becek dan bau,
malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan
timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 3


Persoalan Pasar Tradisional

Permasalahan terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain :

(1) permasalahan dan citra negatif pasar tradisional umumnya terjadi akibat kurang
disiplinnya pedagang, pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas
dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar;
(2) pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk
minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya
"preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya
kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009);
(3) masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana
pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan
retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan
pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi
pedagang tradisional.

Kendala terberat bagi pasar tradisional adalah sulitnya perbankan mengucurkan


kredit pembangunan pasar tradisional. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti
tidak jelasnya jenis aset pasar tradisional, serta status kepemilikan kios berupa hak pakai,
bukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Selain kendala
tersebut, pasar tradisional juga dihadapkan pada permasalahan belum adanya bank
khusus untuk penyaluran kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, dan belum
dibuatnya standar khusus pelayanan publik pasar tradisional.

Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas


mikro di pasar-pasar tersebut. Total dana yang tesedia untuk merevitalisasi pasar
tradisional pada tahun 2009 mencapai Rp 585 milyar berasal dari tiga sumber yakni
stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi
khusus 120 milyar dan DIPA Depdag Rp 150 Miliar. Jumlah dana tesebut masih jauh dari
kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional.

Kendala yang membuat perbankan sulit mengucurkan dana untuk pasar tradisional
antara lain :

(1) pengelola pasar tidak mengetahui aset yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kredit bank. Sebagian besar kepemilikan kios di pasar tradisional berstatus hak
pakai. Pengelola pasar bersedia meningkatkan status menjadi Hak Pengelolaan

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 4


Lahan (HPL bahkan menjadi HGB jika bank mensyaratkan perubahan status
tersebut);
(2) belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk revitalisasi pasar
tradisional; dan
(3) adanya persaingan dengan pasar modern. Pada saat ini yang dibutuhkan dalam
revitalisasi pasar tradisional yaitu pemotongan biaya transaksi, kreativitas, dan
inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar (Kompas,
Februari 2009).

Konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah


disebabkan :

(1) Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas
mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada
desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut
memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan
pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru
dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan
pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada
Pemerintah Kota; dan
(2) tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman
antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model
revitalisasi yang akan diterapkan.

Solusi Permasalahan

Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Yang diperlukan adalah


aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar
modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap
wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika
pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar
modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara
keduanya.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 5


Selain itu, perlu merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur.
Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya lebih sering mengedepankan
kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagang sendiri. Harga kios yang
tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata
pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara
pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar
tradisional (Indrakh wordpress.com. 2007).

Saat ini, Departemen Perdagangan menfokuskan program 2009 pada pembinaan


dan revitalisasi pasar tradisional termasuk melakukan pelatihan manajemen pengelolaan
pasar tradisional, penyusunan model pembangunan dan pengelolaan pasar,
pelaksanaan pos ukur ulang dan perlindungan konsumen (Kompas, 16 Februari 2009).

Untuk menciptakan kondisi lingkungan pasar tradisional yang lebih baik dan
lebih nyaman, kebijakan-kebijakan yang akan membantu meningkatkan daya saing
pasar tradisional harus diciptakan dan dilaksanakan, dengan upaya-upaya : Pertama,
memperbaiki infrastruktur. Hanl ini mencakup jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan
yang layak, penerangan yang cukup, dan lingkungan keseluruhan yang nyaman.
Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai dua tidak disukai di kalangan
pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan berbelanja di lantai dua.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat
pasar tradisional bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan.

Kedua, harus melakukan investasi dalam pengembangan pasar tradisional dan


menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini mensyaratkan pengangkatan
orang-orang berkualitas sebagai pengelola pasar dan memberikan mereka wewenang
yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka tidak hanya bertindak
sebagai pengumpul retribusi semata.

Ketiga, peningkatan kinerja pengelola pasar dengan menyediakan pelatihan atau


evaluasi berkala. Selanjutnya, pengelola pasar harus secara konsisten berkoordinasi
dengan para pedagang untuk mendapatkan pengelolaan pasar yang lebih baik.
Kerjasama antar Pemda dan sektor swasta dapat menjadi contoh solusi untuk
meningkatkan daya saing pasar tradisional (www.semeru.co.id, 2007).

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 6


Terakhir, bahwa pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah
permodalan dan jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah
saatnya Pemda dan lembaga keuangan setempat memperhatikan hal ini. Strategi
pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah
membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya.
Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap
kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga yang
tidak menentu.

Membatasi pasar modern

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, revitalisasi pasar tradisional
yang dilakukan pemerintah tidak boleh hanya memerhatikan kondisi pasar, volume
perdagangan, ketersediaan lahan untuk perbaikan pasar, dan desain rencana perbaikan
pasar;melainkan juga perlu membatasi pertumbuhan pasar modern.

Revitalisasi pasar tradisional tanpa membatasi pertumbuhan pasar modem tidak


ada gunanya. Ketika program revitalisasi pemerintah hanya dalam bentuk fisik tanpa
memperbaiki regulasi dalam menekan jumlah pasar modem, program ini hanya akan
semakin mematikan sektor usaha riil masyarakat kecil.

Kedua, Pemerintah daerah juga harus berani menata keberadaan pasar modern.
Pendirian pasar modem harus jauh dari keberadaan pasar tradisional.

Ketiga, pemerintah perlu memerhatikan persaingan harga. Persaingan harga


perlu dikelola dengan baik agar tidak merugikan pihak lain. Pedagang kecil yang selama
ini menggunakan pasar tradisional bisa kehilangan pelanggannya karena mereka
memilih berbelanja ke pasar modemdengan harga lebih murah.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 7


REVITALISASI PASAR RAYA PADANG SEBAGAI PASAR SENTRAL DI KOTA PADANG

Kota Padang berpenduduk + 800.000 orang yang dilayani oleh satu pasar
regional di Pasaraya dan enam belas pasar lokal tersebar mengikuti sebaran konsentrasi
penduduk. Pasar regional di pusat kota sangat dominan sehingga terjadi pemusatan
yang berlebihan yang menimbulkan kemacetan sebaliknya pasar lokal cenderung
kurang berkembang. Faktor kemacetan tersebut juga dipengaruhi oleh pertumbuhan
jumlah angkutan kota yang tinggi disamping dihapusnya terminal angkutan kota dan
antar kota untuk membangun pasar modern. Keadaan ini memberi gambaran tentang
kebijakan publik yang cenderung mengabaikan kepentingan publik.

Pasar regional dan pasar-pasar lokal tidak mengalami perkembangan yang


signifikan terutama pelayanan yang semakin buruk sehingga mendorong
perkembangan pasar semimodern. Telah tumbuh dan berkembang puluhan minimarket
sebagai alternatif tempat berbelanja disamping warung yang makin menggejala sejak
krisis ekonomi. Dalam lima tahun terakhir telah tumbuh lima pasar modern dan empat
diantaranya berdekatan dengan lokasi pasar regional. Berbagai keluhan bahkan
penolakan sudah disampaikan pedagang para pasar tradisional yang merasa tersaingi
kepada pemerintah namun ‘kafilah tetap berlalu’.

Pasar tradisional masih diminati karena berbagai pertimbangan antara lain faktor
emosional, jenis barang dan sifat perbelanjaan, jarak dan akses dan sebagainya. Suasana
belanja berkait dengan faktor emosional antara pembeli dan penjual menjadi satu faktor
penting dihubungkan dengan eksistensi pasar tradisional. Selain itu jenis barang dan
sifat perbelanjaan juga dapat berpengaruh karena beberapa pasar tradisional masih
mempertahankan hari-hari pasar tertentu yang ramai dikunjungi. Jarak relatif dekat
dengan permukiman dan akses yang tinggi terutama keberadaan ojek dan becak motor
sehingga berbelanja menjadi rekreasi yang menyenangkan.

Masa depan pasar tradisional tersebut dapat terancam oleh perkembangan pasar
semimodren dan modern berdasarkan preferensi berbelanja masyarakat. Jika keadaan
dan pelayanan pasar tradisional tidak berubah dan gaya hidup modern makin
menggejala maka pasar tradisional ini dapat saja ditinggalkan para pelanggannya.
Indikasi ke arah itu sudah mulai tampak walaupun belum dapat dijadikan pertanda
pergeresaran selera belanja masyarakat. Oleh sebab itu perlu perubahan keadaan
terutama faktor keamanan dan kenyamanan berbelanja di pasar tradisional seperti yang
ditawarkan oleh pasar semimodern dan modern.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 8


Pembangunan pasar modern dianggap relevan dengan perkembangan kota
antara lain diukur dari perubahan struktur fisik dan kegiatan ekonomi serta perilaku
masyarakat. Modernisasi ini kurang berpengaruh kepada perkembangan ekonomi kota
dimana kontribusi perdagangan dan transportasi tidak mengalami perubahan yang
signifikan sebagai akibat dari investasi tersebut. Pendapatan asli daerah dari pajak dan
retribusi daerah terutama berasal dari sektor pasar juga tidak terpengaruh oleh
keberadaan pasar modern. Jika ini sebagai indikatornya maka dapat dikatakan pasar
modern belum memberi sumbangan berarti kepada kemajuan ekonomi kota.

Kebijakan publik tentang revitaliasi pasar lokal sudah dicanangkan sejak lima
tahun yang lalu namun belum pernah direaliasikan. Kajian dan desain sudah dilakukan
namun aplikasi tentang pola pengembangan termasuk kemitraan belum dilakukan.
Berbagai masalah berkait dengan upaya revitalisasi termasuk respon masyarakat
tentang wujud revitalisasi. Jika revitalisasi itu ‘meruntuhkan’ pasar lama dengan
‘membangun’ pasar baru dengan standar tinggi cenderung menyebabkan biaya modal
pedagang semakin tinggi seterusnya berpengaruh kepada margin keuntungan dan
harga yang semakin tidak kompetitif.

Preferensi Masyarakat Berbelanja di Pasar Padang

Metoda observasi terhadap ketiga jenis pasar dilakukan untuk mengetahui


keadaan pasar dan berbagai faktor yang terkait dengan eksistensinya. Wawancara
dengan metoda sampel acak terpilih untuk mengatahui persepsi dan sikap serta
perilaku terhadap perkembangan konsep pasar. Pendalaman informasi untuk
menemukan akar masalah dan solusi yang ditawarkannya bagi perbaikan kebijakan
publik melalui diskusi dengan beberapa responden kunci. Proses ini melibatkan
sejumlah mahasiswa sebagai bagian proses belajar mengajar untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam memahami persoalan ekonomi riel.

Observasi dilakukan terhadap tujuh pasar tradisional, lima pasar semimodern dan
tiga pasar modern yang tersebar di empat wilayah Kota Padang. Ketujuh pasar
tradisional yaitu pasar Tanah Kongsi, Pasar Simpang Haru, Pasar Bandar Buat, Pasar
Siteba, Pasar Alai, Pasar Ulak Karang dan Pasar Lubuk Buaya. Kelima pasar semimodern
yaitu Damar Plaza, Mini Market Singgalang, Citra Swalayan, Mitra Swalayan dan Yossi
Swalayan serta tiga pasar modern yaitu Plaza Andalas, Minang Plaza dan Rocky Plaza.
Observasi tentang keadaan fisik, akses beserta sarana dan prasarana pendukung,
keamanan dan kenyamanan dan sebagainya.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 9


Keadaan pasar. Hasil observasi memberikan gambaran tentang kondisi fisik
bangunan pasar tradisional yang sudah tua karena umur teknisnya rata-rata di atas 15
tahun. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap tingkat keamanan dan kenyamanan
termasuk risiko kebakaran sehingga perlu pengaturan yang lebih baik untuk menjaga
kelangsungannya. Banyak pasar tradisional yang terbakar karena salah urus dalam
jaringan listrik disamping perilaku pedagang. Sebagian kecil responden mengeluhkan
kondisi fisik namun sebagian besar sebaliknya risau jika pasar direvitalisasi akan
menyulitkan bagi pedagang sebagai pertanda simpati mereka.
Tata letak. Pasar tradisional relatif kotor dan tidak tertata sebaliknya pasar
semimodern dan modern bersih dan tertata baik. Sebagian responden mengeluhkan
keadaan tersebut namun tidak dapat mengubah pilihannya. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi yaitu pendapatan, jenis perbelanjaan dan frekuensi serta karakteristik
pembelanja yang umumnya ibu rumah tangga. Keadaan pasar tidak dirisukan oleh
kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah yang berbelanja keperluan
harian dengan frekeunsi berbelanja 2-3 kali per minggu. Bagi mereka yang bekerja ada
pilihan lain yaitu membeli masakan karena lebih ekonomis.

Pasar tradisional menyediakan bahan mentah yaitu ikan, daging, ayam, sayur,
bahan makanan lainnya secara terbuka dan sebagian dibuang sebagai sampah yang
menyebabkan kotor dan bau. Di pasar semimodern dan modern semua bahan mentah
sudah dikemas yang ditempatkan dalam tempat pendinginan sehingga terhindari dari
kesan kotor dan tidak menimbulkan bau. Menurut responden, faktor kesegaran dan
dapat memilih menjadi pertimbangan bagi pembeli

Sirkulasi. Pasar tradional yang semrawut juga menjadi perhatian responden


karena merasa gerah dan tidak nyaman dengan suasana tersebut. Sebaliknya pasar
semimodern dan modern menata barang menurut kelompok bahkan didukung oleh
pendingin ruang untuk kenyamanan pelanggan. Para responden berharap agar
pengelola pasar mampu mengatur pedagang yang menggunakan lorong bagi pejalan
kaki karena mengurangi kenyamanannya bahkan dapat pula meningkatkan risiko
kecopetan dalam keadaan berdesakan. Faktor keamanan sangat terjamin di pasar
semimodern dan modern sebagai bagian dari promosi untuk menarik pelanggan.

Pedagang menggunakan toko sebagai tempat berjualan sekaligus gudang


sehingga memberi kesan sumpek dan berisiko kerugian besar jika terjadi kebakaran.
Bagi pedagang, keadaan ini menggambarkan ‘kemakmuran’ tokonya sehingga agak
sukat mengubah perilakunya. Mereka yakin dengan banyak ragam dan jumlah barang

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 10


akan menarik pelanggan dan mempertahankan kelangsungan usaha. Keadaan ini dapat
menggambarkan toko dengan pelayanan penuh yang disebut ‘one stop shopping’
namun jika keadaan ini mengganggu ruang pembeli dan risiko kepada penjualnya maka
pengelola pasar perlu menertibkannya.

Keamanan dan kenyamanan. Sebagian besar responden mengakui tingkat


keamanan dan kenyamanan di pasar tradisional lebih rendah daripada pasar
semimodern dan modern namun kejahatan diakuinya jarang terjadi. Pasar semimodern
dan modern menyediakan petugas yang mengawasi pengunjung yang keluar masuk
sehingga kejahatan dapat diantisipasi. Responden mengakui pula tingkat kenyamanan
di pasar tradisional kurang karena faktor pencahayaan dan sirkulasi udara. Walaupun
faktor keamanan dan kenyamanan kurang terpenuhi namun mereka mengakui tetap
menyukai pasar tradsional terutama untuk belanja keperluan harian.

Kenyamanan juga terkait dengan ketersediaan faktor penunjang seperti akses


yang mudah dan langsung dengan pelayanan angkutan. Bahkan ada pula anak-anak
yang mau membawakan barang belanja dengan memberi sedikit tips sebaliknya di
pasar modern tersedia kereta untuk membawa belanjaan sampai ke tempat parkir tanpa
bayaran. Di pasar tradisional tersedia pula tempat jajan walaupun di pasar modern lebih
baik keadaannya namun faktor harga dan rasa mungkin jadi pertimbangan tertentu.
Tempat parkir diakui mereka bermasalah baik di pasar tradisional dan semimodern dan
modern karena terbatasnya lahan pasar untuk tempat parkir.

Sarana sosial seperti tempat beribadah umumnya tidak disediakan untuk


pengunjung karena waktu berbelanja relatif singkat antara setengah sampai dua jam
umumnya pagi hari. Tempat istirahat termasuk arena bermain anak juga tidak tersedia
di pasar tradisional sebaliknya pasar modern menyediakan tempat beribadah dan
tempat istirahat berupa bangku tempat duduk. Ini kelengkapan standar yang harus
disediakan oleh pengelola pasar modern karena fungsinya juga wadah rekreasi bagi
masyarakat. Kelengkapan itu berkait pula dengan waktu operasinya dari siang sampai
malam sebaliknya pasar tradisional beroperasi dari pagi sampai sore saja.

Pengunjung. Sebagian besar pengunjung pasar tradisional adalah ibu rumah


tangga terutama mereka yang tidak bekerja. Pada hari libur jumlah pengunjung
meningkat karena ibu rumah tangga yang bekerja juga menyempatkan diri berbelanja
ke pasar tradisional untuk mengisi lemari pendingin mereka. Kunjungan sangat tinggi
menjelang perayaan keagamaan karena ibu rumah tangga harus memasak untuk
keluarganya sebagai perlambang kesejahteraan keluarga. Kunjungan ke pasar modern

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 11


kadang-kadang untuk mengetahui perkembangan mode terkini selain mengecek harga
karena pasar modern memajang semua barang termasuk harganya.

Sebagian besar pengunjung pasar modern adalah remaja dengan berbagai


kepentingannya dan ‘orang kampung’ karena fungsi pasar tersebut sebagai wadah
berbelanja dan rekreasi. Jumlah pengunjung ke pasar modern semakin meningkat jika
digelar ‘pesta diskon’ karena dipercayai harga barang-barang tertentu memang lebih
murah. Walaupun mempromosikan ‘diskon’ tidak selamanya barang-barang tersebut
lebih murah karena terkait dengan strategi penjual menarik pengunjung. Peningkatan
kunjungan ke pasar modern juga dipengaruhi oleh suguhan tertentu seperti pegelaran
musik atau perlombaan tertentu di plazanya..

Pedagang atau penjual. Di pasar tradisional umumnya pedagang sekaligus


penjual termasuk anggota keluraga yang membantu sebagai penjual. Sebaliknya pasar
semimodern dan modern merekrut tenaga penjual yang sudah dilatih menjadi penjual
profesional. Jumlah pedagang di pasar tradisional sangat banyak termasuk pedagang
kaki lima sebaliknya di pasar semimodern dan modern sangat terbatas bergantung
kepada kemampuan modal dan jaringan bisnisnya. Ini sangat berpengaruh kepada pola
bisnis dimana ketergantungan kepada hasil penjualan sangat tinggi baik untuk
kelangsungan bisnis maupun untuk menghidupi keluarganya.

Sebagian besar penjual yang diwawancarai mengaku bekerja sebagai pramuniaga


karena tidak ada pilihan lain terutama dikaitkan dengan jenjang pendidikan yang rata-
rata tamat sekolah menengah. Sebagian berpendapat jika ada sektor industri mungkin
mereka akan memilihnya sebaliknya sebagian dari mereka merasa betah dan menyukai
pekerjaan sebagai pramuniaga karena relatif santai dan suasana kerja menyenangkan.
Mereka mengaku tidak akan bekerja selamanya sebagai pramuniaga kecuali keadaan
menuntutnya seperti tidak punya sumber lain termasuk belum punya suami yang akan
menghidupinya.

Pola transaksi. Di pasar tradisional terjadi tawar menawar antara pembeli dan
penjual namun faktor kedekatan emosional sebagai pelanggan biasanya tidak terjadi
penawaran oleh pembeli karena percaya penjual telah memberi harga yang baik. Di
pasar semimodern dan modern ada kebijakan pelabelan harga untuk memberi
kepastian disamping terbatasnya pelayan. Keadaan ini tidak mungkin diterapkan di
pasar tradisional dimana pembeli tidak dapat memilih barang karena tidak tersedia

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 12


pajangan barang. Sebagian penjual di pasar tradisional menerapkan pola harga pasti
untuk menghindari tawar menawar yang diakuinya sebagai cara nabi berdagang.

Pola transaksi berkait dengan marjin keuntungan dengan konsekuensi kepada


kemampuannya meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Di pasar tradisional, kemampuan
mengikat pelanggan akan membantu mencapai marjin keuntungan berdasarkan skala
ekonomi sebaliknya penjual yang ‘menerkam’ pembelinya hanya memperoleh marjin
besar. Di pasar semimodern terjadi pembedaan harga yang relatif murah untuk barang
kebutuhan harian karena menimbang skala sebaliknya barang lain pada harga normal.
Kebijakan ini menarik sebagian pembeli di pasar tradisional untuk beralih terutama
untuk kegiatan belanja bulanan barang keperluan harian.

Keuntungan. Sebagian besar pedagang di pasar tradisional mengaku berdagang


sekarang ini tidak dapat membuatnya menjadi ‘orang kaya’ kecuali mampu
meningkatkan kehidupan dari masa ke masa. Sebagian lainnya mengaku tidak mampu
memperkirakan keadaan masa depan karena persaingan semakin ketat termasuk
kemungkingan beralihnya pelanggan mereka ke pasar semimodern dan modern.
Keuntungan pedagang di pasar semimodern dan modern atas dasar kalkulasi dengan
skala besar dikurangi biaya operasi dan promosi dimana efisiensi dan efektivitas sangat
menentukan kelangsungan bisnisnya.

Sebagian dari pedagang di pasar tradisional tidak memiliki catatan yang


memadai bahkan ada yang tidak membuat catatan penjual dan pembelian. Keadaan ini
amat membahayakan dalam jangka panjang karena sukar menghitung keuntungan yang
sebenarnya. Walaupun demikian ada kiat tertentu dengan cara menabungkan sebagian
keuntungan atau terlibat dalam julo-julo atau arisan uang, Hanya mereka yang mampu
mengendalikan kegiatan bisnis dan terhindar dari perilaku menyimpang seperti berjudi
atau kawin batambuah dapat bertahan. Selain itu juga berkait dengan kemampuan
menjaga kepercayaan dari pemasok yang memberi hutang.

Kebijakan publik. Sebagian besar pedagang pasar tradisional amat berharap


agar kebijakan publik dapat melindunginya dari persaingan yang mematikan dengan
pasar semimodern dan modern. Bentuk perlindungan tersebut antara lain pembatasan
jumlah pasar semimodern dan modern disamping lokasinya yang tidak berdekatan
dengan pasar tradisional. Menurut mereka pelangganmya terikat dengan faktor lokasi
yang berkait dengan akses dan interaksi terutama kemudahan angkutan umum. Mereka

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 13


mengharapkan agar suasana pasar diperbaiki terutama berkait dengan faktor
kenyamanan pengunjung disamping faktor keamanannya.

Kebijakan lainnya berkaitan dengan spesialisasi antara produsen, distribusi dan


perdagangan, konsumen. Sangat sedikit yang ingin menjadi produsen karena lemahnya
perlindungan untuk meningkatkan kesejahtearaan produsen. Sebagian dari mereka
menjadi pedagang karena lebih mudah termasuk besaran modal usaha dan dapat
mengendalikan risiko berdasarkan modalnya berbanding sebagai produsen. Sifat
ekonomis tersebut menyebabkan sangat banyak pedagang di pasar tradisional terutama
pedagang kaki lima. Pemerintah perlu mengendalikan jumlahnya karena persaingan
seterusnya tingkat keuntungan ditentukan pula oleh jumlah pedagang.

Pasar Raya Padang Pasca Gempa 30 September 2009

Pemko Padang akan segera membangun Pasar Inpres I, II dan III di kawasan Pasar
Raya Padang yang runtuh akibat gempa 30 September 2009 lalu dengan bangunan
berlantai empat. Sebelum proses pembangunan dilaksanakan, Pemko Padang telah
mendatangkan konsultan nasional untuk mengkaji dan menganggarkan pagu dananya
dengan membuatkan studi kelayakan dengan umur pakai 30-40 tahun. Walikota
Padang, Fauzi Bahar mengemukakan hal itu dalam jumpa pers di Aula Balaikota Padang,
Dikatakan, dibangunnya pasar Inpres I, II dan III direncanakan empat lantai memiliki
2.000 unit kios yang dileng kapi tangga elektronik berupa lift, drainase dan penerangan
listrik dan pada lantai IV akan dibangun shelter. "Shelter dibangun, sekaligus tempat
pendaratan helikopter atau sebagai tempat evakuasi tsunami bagi warga pada radius 1
kilometer yang bisa menampung 12.000 warga,"

Dalam pembangunan pasar tradisioanl ala modern ini akan dibangun di atas
tanah seluas 13.600 m2 menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) “Dengan adanya peninjauan kali ini, Pemko Padang bersama konsultan
dapat menganggarkan pagu dananya sehingga dalam waktu dekat ini didapatkan hasil
studi kelayakan. Setelah itu Pemko Padang akan mengajukannya ke pusat,” Dalam
pembangunan Pasar Raya Padang yang rusak itu tidak ditenderkan, kendati dana
pembangunannya berasal dari APBN sebesar Rp232 miliar lebih Jika ditenderkan jelas
akan menghabiskan waktu sampai enam bulan lebih, sementara pasar tersebut
pascagempa mendesak dibangun guna menyelamatkan kegiatan perekonomian di Kota

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 14


Padang, katanya lagi. Setelah didapatkan hasil studi kelayakan ini, Pemko Padang akan
mengajukannya ke pemerintahan pusat.

Pasar tersebut statusnya tetap pasar tradisional (milik pemerintah-Red). Bukan


sebaliknya, pasar modern karena yang mengelolanya bukan pihak ketiga (investor),
imbuh Walikota Terkait masalah kepemilikan, Fauzi mengingkatkan pedagang jangan
sampai hilang kartu kuning dan kalau tempat ber jualan rusak (rubuh-Red) hendaknya
bisa bertahan di tenda darurat Dalam waktu dekat ini, pihaknya akan akan melakukan
pendataan siapa pedagang yang masih aktif berjualan di Pasar Raya Padang, imbuh
Fauzi Koordinator konsultan gedung dan bangunan, Bambang mengemukakan,
pihaknya akan mengeluarkan hasil studi ke layakan di awal tahun 2010 mendatang ka
rena sekarang pihaknya tengah melakukan survei dan proses penghitungan pagu dana
pembangunan pasar tradisional ala modern Ia mengatakan studi kelayakan untuk
merehabilitasi Pasar Inpres I, II, dan III yang hancur memakai sekitar Rp700 juta lebih.
“Kegiatan studi kelayakan meliputi se gala sesuatu yang dilakukan mulai dari gambaran
menyeluruh mengenai layak atau tidaknya pasar tersebut direhab, bagai mana pasar
tersebut dibangun dari sisi ma najemen organisasi, manajemen keuangan, sumber daya
manusia,

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 15


POTENSI DAN PERMASALAHAN DALAM
KEBIJAKAN INDUSTRI PARIWISATA DAERAH
Studi Kasus Pariwisata Sumatera Barat

Pendahuluan

World Tourism and Trade Center (WTTC) menyatakan bahwa sektor pariwisata
saat ini merupakan industri terbesar didunia, sektor ini telah menjadi salah satu
penggerak utama perekonomian abad 21 bersama dengan industri telekomunikasi dan
teknologi informasi. Perkembangan industri pariwisata yang sangat dinamis dan terus
diperkuat oleh kemajuan tingkat kesejahteraan ekonomi didunia, menjadikan pariwisata
memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian bangsa-bangsa didunia.
Pariwisata bahkan dimasukkan kedalam hak azazi manusia sebagaimana dinyatakan
oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was
considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.

Sumatra Barat (Sumbar) sebagai daerah yang sudah dikenal sebagai salah satu
daerah tujuan wisata nasional tentu saja menyadari prospek pariwisata sebagai
unggulan daerah masa depan. Liberalisasi wisata yang berpotensi untuk dikembangkan
oleh Sumbar terutama (satu-satu nya?) adalah keindahan alam (natural beauty), namun
keindahan alam yang kita miliki tersebut belumlah dikelola secara maksimal. Sumatera
Barat memiliki banyak sekali potensi wisata alam seperti gunung, lembah/ngarai, pantai,
laut, goa, sungai, air terjun, danau dan hutan yang masih belum berkelanjutan
(sustainable) untuk dikembangkan.

Realitas Faktual dan Persoalan Pariwisata

Ketersediaan prasarana dan sarana untuk itu jelas memegang peranan yang
penting, dengan demikian diharapkan adanya usaha yang aktif bagi pemerintah daerah
di Sumatera Barat untuk menjamin keberlangsungan faktor-faktor pembangunan
pariwisata tersebut. Dengan menggunakan 8

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 16


indikator seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih terlihat sejumlah kelemahan
mendasar dalam pengelolaan pariwisata selama ini. Ini dengan dengan mudah dapat
kita saksikan di sejumlah objek wisata yang ada, dimana objek-objek tersebut
kebanyakan tidak diurus secara baik, malah kadang terkesan dibiarkan terbengkalai
begitu saja. Belum lagi kurangnya perhatian akan masalah kebersihan di sejumlah
pantai-pantai yang menjadi objek wisata.

Keamanan dan kenyamanan (kepuasan) merupakan salah satu faktor penting


bagi wisatawan selama berkunjung. Karena tujuan dan motivasi utama berwisata itu
sendiri untuk bersenang-senang (leisure), relaksasi, dan memperoleh kenyamanan
setelah penat menjalani rutinitas (bekerja) dan alieanasi dalam jangka waktu tertentu di
lingkungan kerja. Akan tetapi faktor ini sering terabaikan dalam realitas kepariwisataan
di Sumatera Barat. Banyak wisatawan yang memperoleh perlakukan yang tidak
mengenakkan di terminal bus, bandar udara oleh para calo ataupun para petugas
lainnya. Di kota Padang sebagian besar sopir taksi tidak menggunakan tarif resmi dalam
menetapkan ongkos kepada penumpang. Belum lagi kasus-kasus kecopetan uang dan
kamera yang sering dialami oleh turis asing di berbagai objek wisata atau tempat
penginapan. Malah harus diakui, dalam hal pelayanan di berbagai hotel dan restoran
sekalipun masih sering dijumpai sejumlah kelemahan terutama yang menyangkut
lambannya pelayanan kepada konsumen. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai
profesionalisme dalam manajemen pengelolaan industri jasa ini harus lebih
ditingkatkan, misalnya melalui pelatihan-pelatihan yang bersifat reguler dan
berkelanjutan.

Merujuk kepada konsep yang dikemukakan oleh Wahab tentang ketersediaan


general infrastructures dan basic needs of civilized life untuk wilayah propinsi Sumatera
Barat secara umum sebenarnya sudah lumayan memadai. Jaringan jalan sudah
menjangkau seluruh objek wisata sekalipun yang berada di pelosok pedesaan dengan
kondisi yang baik. Demikian juga halnya dengan sistem telekomunikasi yang sudah
semakin lancar, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Akan tetapi yang
perlu menjadi catatan adalah pelayanan birokrasi pemerintah yang diberikan masih jauh
dari standar memadai dan memuaskan. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain,
petugas imigrasi, bea dan cukai, petugas kesehatan, polisi dan pejabat-pejabat
pemerintah lain yang berkaitan dengan pelayanan kepada wisatawan. Layanan yang
diberikan petugas dan aparat pemerintah setempat merupakan cerminan bagi
wisatawan akan “citra” daerah itu sendiri setelah mereka pulang.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 17


Tingkat kepuasan yang diperoleh wisatawan selama kunjungan tentu saja akan
mempengaruhi keputusan mereka berikutnya untuk melancong di masa-masa akan
datang. Ini tentu saja akan mengakibatkan menurunnya tingkat kunjungan yang
selanjutnya berkurangnya devisa dan pemasukan bagi negara. Sebaliknya imej yang
terbentuk bersifat positif bagi wisatawan tersebut, dengan sendirinya akan menjadi
promosi bagi keluarga dan kerabat untuk ikut berkunjung di masa-masa datang.
Berdasarkan hasil beberapa riset pariwisata yang dilakukan terhadap wisatawan (turis
asing) membuktikan, bahwa sumber utama informasi tentang daerah (negara) yang
akan mereka kunjungi justru diperoleh dari teman-teman dan keluarga. Sumber
informasi lain yang persentasenya lebih rendah adalah lewat biro-biro perjalanan (tour
agency), buku pemandu wisata serta TV dan internet.

Merujuk ke persoalan di atas sudah saatnya pemerintah daerah Sumatera Barat,


melalui pejabat yang bertanggung jawab, melakukan berbagai pembenahan dalam
sebuah kerangka berpikir penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk memajukan
dunia pariwisata Sumatera Barat.

Berdasarkan data statistik tingkat kunjungan wisatawan asing ke Indonesia


mencapai angka 5,2 juta (tahun 2003). Dari angka tersebut propinsi Sumatera Barat
hanya memperoleh bagian kunjungan wisatawan asing sekitar 20-30 ribu setahunnya
atau hanya 0,5 % dari angka nasional. Padahal daerah ini memiliki kondisi alam yang
potensial (marketable) dengan dukungan infrastruktur memadai serta aksesibilitas yang
memungkinkan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu usaha serius dalam merumuskan
berbagai kebijakan yang nantinya untuk diimplementasikan dalam sejumlah program
pariwisata yang realistis dan available.

Permasalahan

Pertumbuhan Industri pariwisata di Sumbar beberapa dekade ini terasa berjalan


di tempat. Penanganan yang semrawut ditengarai sebagai biang keladi semakin
lemahnya daya saing industri pariwisata sumbar dibanding dengan sektor lainnya.
Meskipun begitu dari data PDRB tahun 2006 industri pariwisata masih menempati
peringkat dua setelah pertanian sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dengan banyaknya keindahan alam yang belum diolah dengan baik, tentu saja Industri
pariwisata masih memiliki potensi yang lebih kuat untuk melampaui sektor pertanian

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 18


sebagai sektor utama unggulan Sumatera Barat. Dengan segala keunggulan dan
kompetensi Sumatra Barat dalam menyediakan daya tarik wisata yang gejalanya secara
global memperlihatkan kembali ke alam (back to nature), sebuah peluang terbentang
dihadapan kita bersama. Sekarang tinggal bagaimana kita mengolah dan memanfaatkan
keindahan alam yang terbentang agar tidak sia-sia.

Untuk itu sebagai bahan diskusi kita coba memaparkan akar permasalahan maupun
kelemahan berbagai aspek pengelolaan wisata Sumatera Barat selama ini.

A. Aspek Pelaksanaan Otonomi Daerah

1. Pembagian kewenangan pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota di bidang


pariwisata belum didukung dengan pedoman pelaksanaan yang jelas sehingga timbul
berbagai penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mekanisme hubungan kerja baik secara vertikal, horizontal belum tertata dengan baik,
menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan koordinasi/keterpaduan.

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPDA) Sumbar sampai sekarang


masih terkendala sehingga kalau belum ditetapkan dikhawatirkan akan terjadi tumpang
tindih dalam mengembangkan objek wisata. Belum ditetapkannya RIPDA yang diajukan
oleh Dinas Pariwisata Sumbar ini akan mempengaruhi kebijakan serupa yang sedang
disusun oleh kabupaten/ kota.

2. Pengelolaan pariwisata baik dari aspek manajemen maupun teknis belum sepenuhnya
didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.

B. Aspek Keterpaduan Pengelolaan

1. Penanganan pariwisata yang bersifat dinamis, multidimensional dan kompleks belum


didukung/berlandaskan kesamaan visi oleh aparat pemerintah (pusat, propinsi,
kabupaten/kota), kalangan industri pariwisata dan masyarakat, menyebabkan timbulnya
egoisme sektoral, kesalahan pemahaman terhadap substansi inti.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 19


2. Kebijakan, pedoman dan standar-standar teknis pariwisata belum didukung oleh
sistem informasi yang memadai (teknologi informasi) sehingga me-nyebabkan
sosialisasinya kurang efektif dalam rangka mewujudkan kesamaan pandangan dalam
pengelolaan pariwisata maupun dalam promosi.

Ini memang masalah yang elementer sekali di Sumbar dimana penerapan


teknologi informasi sangat minim. Data yang disajikan WTO terdapat hal yang menarik
yakni bahwa dikenali adanya 4 negara kelompok besar penyumbang wisatawan dunia
yakni Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggeris yang menyumbangkan 41% dari
pendapatan pariwisata dunia. Dari segi teknologi, keempat negara inipun merupakan
negara-negara terbesar pengguna teknologi informasi- internet, yakni 79 persen dari
populasi internet dunia (tahun 1997) k.l. 130 juta pengguna internet. Angka-angka ini
memperlihatkan memang ada korelasi yang erat antara pemakaian teknologi informasi
dengan peningkatan jumlah wisatawan di suatu negara. Internet memberikan semua
informasi yang dibutuhkan dalam dunia pariwisata. Hingga dikenal new truth dari
marketers pariwisata yakni;

“ if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web
then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the
internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on
the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in
there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars”

C. Aspek Peran Serta Masyarakat

1. Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap peran serta masyarakat, dimana masyarakat


lokal serta pengusaha kecil menengah kurang diberi kesempatan untuk terlibat sebagai
pelaku industri usaha jasa pariwisata.

Pemerintah sebagai regulator selama ini mempercayai indikator keberhasilan pariwisata


adalah jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel berbintang, jumlah uang yang
dibelanjakan dll. Jadi pemerintah belum menempatkan tolak ukur keberhasilan dari
kesejahteraan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wisatawan (terutama
penduduk sekitar). Kesalahan cara berfikir para stakeholder pariwisata yang berfikir
pragmatis bahwa pengembangan pariwisata dikatakan sukses apabila mampu
mendulang investor sebanyak-banyaknya. Tanpa melihat bahwa sesungguhnya

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 20


masyarakat pemilik tanah mampu melakukan investasi diatas tanah yang di milikinya
untuk pengembangan wisata.

2. Masih terbatasnya sosialisasi menyebabkan:

a. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya serta timbulnya ekses


negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian masyarakat (pengkambinghitaman
ABS – SBK dan Tanah Ulayat/communal).

b. tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata
khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah
yang tidak pernah terselesaikan. Efek dari keadaan ini bisa dilihat dari tingginya angka
pelaku copet, tukang palak, WC umum yang kotor, sampah berserakan, harga yang
melonjak seenaknya dll. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada
pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya
masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).

3. Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya pengembangan


strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat baik dilihat dari aspek
kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun pedoman, mencakup: produk,
market, pedoman, pelatihan SDM dan perencanaan bisnis (statement operational
procedure) menyebabkan tersendatnya upaya pening-katan peran serta masyarakat di
bidang pariwisata.

Disini muncul pertanyaan apakah sebelum merumuskan program sudah terlebih dahulu
di lakukan survey dan riset mendalam terhadap masyarakat sebagai komponen
terpenting?

D. Aspek Promosi

1. Dana yang tersedia bagi pengembangan pariwisata sangat minim, dalam RAPBD
tahun 2006 hanya tersedia Rp 13 M itupun hanya tersedot oleh biaya operasional (65 %)
dan pembangunan infrastruktur belaka (35%).

2. Promosi selama ini dilakukan tidak terarah & fokus.

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 21


Selama ini marketnya terlalu luas demi mengejar pangsa pasar global. Dengan dana
yang minim adalah mustahil untuk menggarap promosi secara tuntas ditataran dunia
yang begitu luasnya. Sepertinya belum terpikirkan perumusan target pasar yang
objektif. Misalnya dengan fokus menggarap hanya 3 negara yang paling potensial
contohnya Jepang, Belanda, malaysia, yang selama ini merupakan daftar pengunjung
wisatawan terbanyak. Secara sederhana pembagian upaya promosi misalnya akan dapat
ditempuh langkah-langkah dimana pemerintah pusat melakukan country-image
promotion, daerah melakukan destination promotion sesuai dengan keunggulan daerah
masing-masing, sedangkan industri atau swasta melakukan product promotion masing-
masing pelaku industri.

Itulah barangkali peta permasalahan yang bisa diuraikan pada kesempatan ini. Memang
tidak menyeluruh namun ada beberapa poin yang penting dan mendasar sekali
sehingga perlu mendapat perhatian kita bersama .

Optimalisasi Peran Masyarakat

Sesungguhnya jika memahami persoalan yang ada banyak hal yang bisa kita
lakukan demi memajukan industri pariwisata Sumbar. Hal yang mendasar sekali adalah
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan membentuk
Community Based Tourism Development (CBT) akan mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat setempat sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup
masyarakat. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari
kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan
kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan
mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.

Selama ini pemerintah hanya melibatkan pelaku besar (hotel berbintang, Tour &
Travel, Restoran besar) dalam merangsang pertumbuhan pariwisata. Tentu saja
keuntungan/manfaat dunia wisata Sumbar saat ini hanyalah dinikmati oleh segelintir
orang itu saja. Padahal esensi industri pariwisata itu sendiri adalah demi kesejahteraan
seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana agar semua elemen masyarakat mulai dari yang
terbesar hingga yang terkecil semua bergerak menjadi bagian dalam suatu system dan

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 22


menuai pendapatan/kesejahteraan dari apa yang dinamakan industri pariwisata
tersebut.

Yang perlu diperhatikan juga, saat ini telah terjadi perubahan consumers-
behaviour pattern atau pola konsumsi wisatawan dunia . Mereka tidak lagi terfokus
hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai
berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan
selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan
peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau
negara. Sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari
kegiatan pariwisata Indonesia dan Sumbar khususnya. Tanpa adanya budaya maka
pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk
dikunjungi. Sepertinya kembali merumuskan daya tarik wisata Sumbar adalah sesuatu
yang musti dilakukan secepatnya.

Oleh karena itu kita berharap dengan dibentuknya Masyarakat Pencinta


Pariwisata Sumbar (MAPPAS) ini, keberpihakan pemerintah sebagai regulator kepada
masyarakat akan semakin nyata. Untuk memenuhi harapan kita bersama itu terlebih
dulu musti jelas positioning MAPPAS dalam menjalan kan program2nya. Apakah hanya
sekedar menjadi lembaga think tank Gubernur atau menjadi sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang tentu saja bergerak berbasiskan masyarakat demi meningkatkan
taraf hidup masyarakat (empowering the grass root). Positioning itu mendasar sekali
karena dengan posisi sangat menentukan langkah langkah apa yang akan ditempuh
MAPPAS nantinya

Penutup

Demikianlah sedikit pemikiran untuk dijadikan bahan acuan kita bersama dalam
membahas kemungkinan akselerasi pertumbuhan pariwisata Sumbar di forum ini.
Dengan meningkatkan kemampuan dibidang ini diharapkan upaya pemulihan
perekonomian masyarakat akan dapat segera diwujudkan.

Pekerjaan ini memang dirasa sangat sulit dan memakan banyak waktu. Oleh
karena itu mari kita nantikan dan dukung kebijakan/program MAPPAS dalam rangka
mendorong terciptanya daerah wisata Sumbar yang sarat dengan nilai lokal dan simbol
Minangkabau nan humanis

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 23


Referensi

− Setiyanto, Y. Joko,2008.Masa Depan Pasar Tradisional.ASPARINO ( Asosiasi


Pengelola Pasar Indonesia),jakarta
− Sugianto,2009.Revitalisasi Pasar Tradisional.harian kontan
− S, zainuddin.Fil. M.si, 2009.Pasar Tradisional di antara Raksasa global.
padangtoday.com
− Fashbir Noor Sidin, 2000. Ekonomi Perkotaan. Buku Ajar di Fak. Ekonomi Unand

− Fashbir Noor Sidin, 2008. Mengembangkan Pasar Modern Dan Melindungi Pasar
Tradisional Dilematika Kebijakan Pembangunan Ekonomi Lokal. abstrak

− Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Penerbit Andi.
− Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung : Penerbit
Mandar Maju.
− Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
− Wahab, Salah. 1975. Tourist Management. London : Tourist International Press.
− Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : Penerbit Angkasa.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis
Pembangunan Kebudayaan danPariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta.
− Porter, Michael E. (2004), Competitive Advantage: Creating and Sustaining
Superior Performance, with a new introduction, copyright 1985, Free Press
Publishing, New York.
− Pembangunan Sektor Pariwisata Di Era Otonomi Daerah

Tugas Ekonomi Regional dan Perkotaan 24

Anda mungkin juga menyukai