Keberadaan al-Hadits
merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas
Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam
risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits pada hakikatnya adalah sebagai penjelas dari ajaran
al-Quran itu sendiri.
Meski demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan
al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW maupun
para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi
dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin
Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian, hal itu karena adanya
larangan Nabi terhadap penulisan selain al-Quran. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru
dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz salah satu dari khalifah Bani Umayyah
yang memerintah antara tahun 99-101 H, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw.
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
yang tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Hal ini juga
menunjukan bahwa izin penulisan hadits kepada sahabat tertentu juga efektif.
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan alHadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama
berbeda pendapat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat yaitu:
a.
Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa
hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah terjadinya peristiwa Fathu alMakkah.
b.
Larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat
yang yang mempunyai kompetensi dalam hal tulis-menulis, hal ini lebih disebabkan karena
kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu dalam hal tulis-menulis sehingga
dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan.
c.
Larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini
lambat laun akan berpotensi menimbulkan kerancuan.
Sebenarnya inisiatif penulisan hadits pernah muncul pada masa kekhalifahan Umar bi
Khattab, akan tetapi inisiatif atu gagasan tersebut diurungkan bukan karena takut hadits
bercampur dengan al-Quran, tetapi lebih dikarenakan suatu kekhawatiran yaitu jikalau terlalu
berkonsentrasi pada hadits lambat laun perhatian pada al-Quran akan menurun atau bahkan
terabaikan.
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada tujuh periode yaitu :
a.
Masa Nabi.
b. Masa Sahabat.
c.
Masa Tabiin
f.
g.
a.
sehingga pada masa ini transmisi hadits hanya melalui media pendengaran dan dihafalkan untuk
selanjutnya, hal ini dikarenakan beberapa sebab, yaitu :
1.
Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau
dan itupun hanya untuk sebatas sebagai catatan pribadi.
2.
Rasulullah masih berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga penulisan diwaktu itu dirasa
tidak diperlukan.
3.
sangat sedikit dari kalangan sahabat yang mempunyai kompetensi dalam bidang tulis-menulis.
4.
5.
Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang
sangat penting.
b.
c.
a.
c.
d. Ibrahim an Nakhai (W 96 H)
d.
Mubarak (118-181H) di Khurasan, Husyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin abdul
Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir. Mereka tidak hanya
menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in.
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
a.
Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
f.
e.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
b.
c.
d.
Al-Muntaqa tulisan dari Qasim bin Ashbag salah satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia
(Spanyol) (340-H)
e.
f.
g.
Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V dan seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada klasifikasi hadits, mengumpulkan
kandungan-kandungan dan tema-tema hadits yang sama. Disamping itu juga men-syarahi
(memberi semacam komentar atau ulasan) kepada hal-hal yang gharib dan musykil, men-takhrij
hadits-hadits yang berada pada kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas kitab-kitab hadits
sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits yang membahas hukum, seperti:
a.
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan
dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
a.
a.
Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam
Bukhari dan Muslim.
b.
Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih (asal tidak munkar), seperti yang
ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan sebagainya.
b. Penyusunan berdasarkan nama sahabat-sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi empat
macam, yaitu:
a.
b.
Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka lebih mendahulukan
Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c.
d.
Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar,
ibadat, dan af'alun Nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahih-nya.
c.
Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh
Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
C. Tingkatan Kitab Hadits
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits
tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
a.
Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk
hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih.
b.
Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun
mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai kepada munkar). Dan
sebagian mereka menjelaskan ke-dha'ifan-nya.
c.
Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para
penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti.
Oleh karena itu didalamnya bercampur-aduk antara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if dan
yang lebih rendah lagi tingkatannya. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan alMusnad ini.
d.
Kitab yang ditulis tidak dengan sungguh-sungguh pada abad-abad terakhir, yaitu dari sumbersumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, para sufi dan sejarawan yang kurng diakui
kredibilitasnya.
Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik
dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para
ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang
dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim
lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap
lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang
diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits,
dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil (bersambung) saja.
D. Tipologi Kitab-kitab Hadits
Tipologi penulisan hadits berawal pada bentuk sahifah (lembaran-lembaran) seperti sahifah
Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash dan lain sebagainya yang kemudian seiring
dengan perkembangan penulisan hadits sehingga bentuk penulisan hadits menjadi berbagai
macam, yaitu :
1. Al Jami yaitu kitab koleksi hadits yang memuat materi pokok hadits meliputi aqidah, hukum,
akhlak, tafsir sejarah dan lain sebagainya, seperti Karya al Bukhori.
2.
Musnad yaitu kitab hadits yang penulisannya berdasarkan urutan nasab, nama periwayat dan
senioritas keislaman perawi, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H), Musnad
Imam SyafiI dan lain sebagainya.
3. Sunan yaitu kitab susnannya fokus kepada hadits Marfu (hadits yang disandarkan kepada Nabi)
seperti ashabus sunan yaitu Abu Dawud, Nasai, Turmudzi, Ibnu Majah dan lain sebagainya.
4. Mustadrak yaitu kitab yang memuat hadits-hadits shahih yang tidak ditulis pada kitab standart
sebelumnya. Seperti Mustadrak Imam Hakim an Naisaburi yang mengacu pada standarisasi
shahih versi Imam Bukhori dan Abu Dzar Al Anshari yang mengacu pada Imam Muslim.
5. Mustakhraj yaitu kitab yang mengeluarkan hadits berdasrkan sanad untuk dirinya sendiri, yang
memungkinkan bergabung bersama seorang guru atau orang lain yang lebih senior seperti
Mustakhraj Abu Bakar Ismail terhadap al Bukhori.
6. Takhrij yaitu kitab yang meneliti terhadap derajat suatu hadits, yang tertulis dalam kitab-kitab
fiqh, tafsir dan lain sebagainya, serta memberikan komentar, kritik dari para Ahli Tarjih, seperti
karya Ibnu Hajar yang mentahrij hadits kitab fiqih al Minhaj.
7. Mujam yaitu Kitab yang berisi Hadits-hadits yang menyebutkan nama-nama guru, negeri atau
kabilah seperti Mujam At Thabarani.
E. Thabaqah Perawi
Thabaqah adalah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan
seorang guru. Para perawi dibagi menjadi beberapa thabaqah, yakan tetapi dalam pembagiannya
terdapat perbedaan pendapat.
Thabaqah versi Ibnu Hajar, yaitu :
1. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
2. Tabiin pertama seperti Said bin Musaiyyab.
3. Tabiin pertengahan seperti Ibnu Sirin.
4. Tabiin akhir yaitu yang tidak bisa dipastikan mereka mendengar hadits langsung dari sahabat
seperti Al Amasi.
5.
orang yang satu masa dengan thabaqah keempat akan tetapi tidak pernah bertemu dengan
sahabat, seperti Ibnu Juraij.
6. Thabaqah Atbaut Tabiin yang pertama seperti Imam Malik dan Sufyan ats Tsauri.
7. Thabaqah Atbaut Tabiin pertengahan seperti Ibnu Uyainah.
Masa Nabi.
b. Masa Sahabat.
c.
Masa Tabiin
f.
g.