Rasanya, sudah sangat sering kita membahas istilah percaya diri alias pede.
Tak terbilang forum yang digelar hanya untuk masalah yang satu ini. Lantas ada apa
gerangan jika dua kata ini masih terus juga dibahas. Tak cukupkah forum yang ada
selama ini? Jangan-jangan persoalannya selesai hanya di tingkat wacana. Tak ada
langkah konkritnya. Kalau sudah begini, cape deh.
Karena persoalan ini bisa menimpa siapa saja di level individu, masyarakat
bahkan bangsa ini, maka dalam tulisan ringkas ini, mari kita selami percaya dirikah kita
sesungguhnya? Lalu, bagaimana sesungguhnya menumbuhkan dan memelihara rasa
percaya diri? Agar mantap lagi berkah, semua ini kita selami dalam perspektif Islam.
Sebab, hanya Islam yang mampu membuat percaya diri yang sejati. Terlebih lagi, karena
umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini sudah seharusnya memiliki kontribusi positif
yang signifikan bagi upaya perbaikan keadaan ke arah yang lebih baik.
Open Mind : Sudah Percaya Dirikah Kita?
Saudaraku, perasaan apa yang terlintas dalam benak kita jika membaca informasi di
bawah ini?
Produktivitas SDM. Nilai output rata-rata pekerja Indonesia (dan Filipina) = 8 jam.
Thailand 2 jam 45 menit, Malaysia 1 jam 5 menit, Singapura 11 menit (David J
Lamotte, ILO, 2005).
Kualitas SDM berdasarkan Human Development Index (HDI). Indonesia berada
pada urutan ke-109 dari 174 negara (UNDP, 2000), urutan ke-112 dari 175 negara
(UNDP, 2002) dan urutan ke-110 dari 177 negara (UNDP, 2003).
Peringkat Daya Saing Global. Indonesia berada pada posisi ke-59 dari survei
terhadap 60 negara, di bawah Singapura (3), Thailand (27) dan Malaysia (28) (IMD
World Competitiveness Yearbook, 2005).
Ah, tak ada perasaan yang paling tepat selain menunjukkan sikap keprihatinan yang
mendalam. Yap, sangat boleh jadi, kita memang sedang dihinggapi kemiskinan pede.
Peri kehidupan kita sehari-hari telah dihiasi oleh karakter miskin pede, seperti berikut ini :
Sulit menerima realita diri dan memandang rendah kemampuan diri sendiri.
Selalu memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai diri tidak mampu,
padahal kita sesungguhnya mampu dan belum mencobanya.
Tak berani menentukan sikap yang benar secara benar dan karenanya berusaha
menunjukkan sikap kompromi, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan
penerimaan kelompok/masyarakat.
Tak berani menyampaikan kebaikan karena menyimpan rasa takut/kekhawatiran
terhadap penolakan.
Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif yang berujung pada
munculnya sikap pragmatis, lebih baik mengikuti arus sekalipun hal itu bertentangan
dengan prinsip dan hukum syara.
Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target
untuk berhasil, padahal Rasulullah SAW mengkritik orang yang takut gagal dan
perlu
mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri. (Ar Rodu:
11). Dengan begini, baik secara individu maupun secara bersama-sama :
Kita berani menerima realita diri. Dengan berpikir dan bersikap positif, kekurangan
diri diubah menjadi kekuatan diri yang dahsyat.
Kita berani menentukan sikap yang benar secara benar.
Kita berani menyampaikan kebaikan tanpa menyimpan rasa takut/kekhawatiran
terhadap penolakan.
Tak lagi pesimis dan pragmatis.
Berani mengambil resiko dan memasang target keberhasilan dengan selalu
bertawakkal pada Allah.
Yakin akan kemampuan diri dan mau mencobanya.
Kita punya internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan,
tergantung dari usaha diri sendiri, mandiri dan pantang menyerah).
Ketiga, kenali dan bakar habis sindrom trapped in a comfort zone yang
melekat pada diri. Sindrom inilah yang sering menghambat penumbuhan dan
keberlangsungan rasa percaya diri. Sindrom ini berupa rasa kemapanan dan
kenyamanan yang dengannya kita jadi enggan untuk berubah lebih baik. Ada dua jenis
sindrom yang harus kita waspadai dan hancurkan. Yang pertama, sindrom yang bersifat
paradigmatik, yakni pola pikir dan pola sikap kita yang sekuler. Inilah sindrom ganas yang
berasal dari way of life sekulerisme. Sebuah paham (ideologi) memisahkan agama
(Islam) dari kehidupan (Qutb, 1986; An Nabhani, 1953). Way of life inilah yang
membawa darah kotor kapitalistik pada tatanan ekonominya, racun oportunistik pada
perilaku politiknya, obat bius hedonistik pada budayanya, kuman individualistik pada
kehidupan sosialnya, borok sinkretistik pada sikap beragamanya, dan hawa materialistik
pada sistem pendidikannya.
Saudaraku, dapat kita bayangkan bagaimana mungkin kita dapat percaya diri,
jika seluruh peri kehidupan kita disandarkan pada way of life rusak semacam ini. Itulah
sebabnya, dapat kita mengerti, mengapa MUI menegaskan keharaman sekulerisme,
berikut saudara kembarnya pluralisme dan liberalisme dalam fatwanya tahun 2005 lalu.
Maka, hancurkan pola pikir dan pola sikap sekuler yang masih menjalar pada diri kita.
Gantikan dengan Islam sebagai satu-satunya pola pikir dan pola sikap kita. Setuju?
Harus itu.
Yang kedua, sindrom fungsional, yang kerap menyergap. Sindrom ini adalah
sindrom 4L1M alias Lessu Lellah Lettih Lemmah n Mualles. Dengan pola pikir dan pola
sikap Islami, kita bisa menghadapi sindrom fungsional ini. Bagaimana caranya? Mudah
saja. Tangkis saja dengan senjata Taawudz plus Konsentrasi sembari melempar
senyum. Minumlah pil Islam Kaffah. Lalui hari demi hari dengan 6 at : Tekad Bulat
Kerja Taat Belajar Giat Mengkaji Islam dengan Hebat Badan Sehat Makan
Ngembat (maksudnya makan dan ngemil yang bermanfaat, halal dan thoyyib).
Nah, buat Anda yang tengah menggapai rasa percaya diri sejati, cobalah. Insya
Allah.
*TheMetanoiac Trainer and Consultant
dalam bidang manajemen dan motivasi ini
sehari-hari adalah Direktur Konsultasi dan
Pelatihan SEM Institute Jakarta.
*Tulisan ini pernah dimuat di salah satu harian di Kalimantan Selatan tahun 2006