pemerintah/BP Migas tak berdaya dan tak berani (karena kedaulatan telah hilang) untuk
mengalihkan pengapalan LNG dari Papua ke China menjadi ke dalam negeri. Sebagai
gambaran, potensi kerugian akibat penjualan gas secara murah ke China sekitar Rp 30
triliun per tahun, sementara kerugian karena tak dialokasikannya gas dari train 1 dan 2
LNG Tangguh ke dalam negeriyang antara lain menyebabkan PLN harus beralih ke
BBMmencapai sekitar Rp 37 triliun dalam dua tahun.
Jika benar seandainya pemerintah tetap berdaulat atas aset/kekayaan migas nasional
seperti yang diklaim dalam iklan UU Migas di berbagai media, seharusnya pengapalan
LNG ke China bisa dialihkan untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Dengan begitu,
PLN tak perlu pindah ke BBM dan gas milik negara tak harus diekspor dengan harga
sangat murah. Yang terjadi hingga saat ini, tidak satu pun pengapalan LNG dari Papua ke
China yang dialihkan untuk keperluan dalam negeri.
Selain kedaulatan telah hilang, sejak berlakunya UU Migas, kegiatan eksplorasi untuk
mencari cadangan di blok baru mengalami anjlok secara drastis sehingga lifting atau
produksi minyak terus anjlok karena penemuan sangat langka, padahal potensi sumber
daya migas di perut bumi masih sangat besar. Ini terjadi karena kehadiran BP Migas telah
menyebabkan sistem perminyakan nasional menjadi sangat ribet dan birokratik.
Kehadiran BP Migas juga telah menciptakan inefisiensi yang sistemik karena
organisasi BP Migas didesain tanpa adanya Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat. Ini
diperburuk oleh sistem yang tak akuntabel dan tak transparan. Padahal, BP Migas
mengontrol cost recovery yang dibayar negara ke perusahaan asing yang nilainya kini
sekitar 18 miliar dollar AS (Rp 170 triliun) per tahun serta aset berupa alat-alat/benda
modal yang dibeli dari dana cost recovery yang nilainya menurut KPK sekitar Rp 115
triliun. Semua itu keberadaannya juga tidak jelas.
Keputusan MK No 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November yang membubarkan BP
Migas merupakan langkah yang sangat tepat karena kehadiran BP Migas telah
menghilangkan kedaulatan negara dan merugikan negara secara finansial. MK juga
memutuskan bahwa semua pasal-pasal UU Migas yang mengandung frasa Badan
Pelaksana, seperti Pasal 11 Ayat 1, Pasal 20 Ayat 3, Pasal 21 Ayat 1, dan Pasal 49,
dinyatakan tak berlaku. MK juga memutuskan, Pasal 1 Angka 23, Pasal 4 Ayat 3, Pasal
41 Ayat 2, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 Ayat 1, Pasal 59 Huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63
dari UU Migas No 22/2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam merespons pembubaran BP Migas, Presiden SBY bertindak cepat dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden No 95/ 2012 tentang Pengalihan Tugas dan Fungsi
Usaha Hulu Migas dari BP Migas ke Satuan Kerja Sementara Usaha Hulu Migas
(SKSUHM) yang langsung di bawah koordinasi Menteri ESDM. Segala kontrak yang
dibuat BP Migas tetap berlaku.
Perpres ini harus dilihat sebagai solusi yang sangat sementara karena SKSUHM yang
menggantikan BP Migas berbentuk dan berstatus mirip BP Migas yang merupakan
lembaga pemerintah, bukan merupakan entitas bisnis. Dengan demikian, kelemahan yang
ada pada BP Migas masih melekat pada diri SKSUHM.
Ke depan, perlu dicari solusi permanen. Di sektor tambang, model kontrak karya
berdasarkan UU No 11/1967 di mana pemerintah berkontrak langsung dengan perusahaan
asing/swasta jelas bukan merupakan model yang baik. Pemerintah kehilangan kekuasaan
untuk sekadar menaikkan royalti. Demikian juga rezim izin usaha pertambangan (IUP)
berdasarkan
UU
Minerba
No
4/2009
di
mana
pemerintah/bupati
bumi Indonesia. Mulai dari biaya pembangkit listrik panas bumi yang sangat mahal,
kurangnya investor yang tertarik untuk mendukung pengembangan sumber energi panas
bumi, sumber daya ilmuwan dan penelitian yang cukup memadai untuk mengawal energi
panas bumi yang menyebabkan pengelolaan panas bumi di Indonesia tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Tetapi hal yang paling utama dan paling krusial menurut
kami yang menyebabkan terhalangnya pemanfaatan sumber daya panas bumi dengan
baik adalah regulasi yang mengatur pengelolaan panas bumi seperti undang-undang dan
peraturan lainnya. Salah satu peraturan tersebut adalah Undang-Undang No.27 Tahun
2003 Tentang Panas Bumi. Dalam UU tersebut terdapat poin-poin yang secara langsung
menghambat proses pemanfaatan dan pengelolaan panas bumi di Indonesia.
Undang-Undang No 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi dinilai sebagai salah satu
penghambat implementasi panas bumi di Indonesia. Maka dari itu revisi terhadap
undang-undang tersebut sangat diperlukan untuk kebaikan pengelolaan panas bumi
Indonesia. Beberapa hal dalam undang-undang panas bumi dianggap bertentangan atau
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-Undang
No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan
hutan konservasi memang menjadi salah satu kendala yang seringkali menghambat dalam
pengembangan panas bumi di Indonesia, menjadikan pemanfaatan potensi panas bumi
menjadi tidak optimal. Hal tersebut menjadi tantangan besar dalam pengembangan panas
bumi Indonesia. Ketidaksesuaian antar dua undang-undang tersebut menyebabkan
terhentinya kegiatan di sejumlah wilayah kerja panas bumi di tingkat eksplorasi dan
eksploitasi.
Selain perbedaan antara UU Panas Bumi dengan UU Kehutanan, hal-hal lain yang
dipersoalkan dalam UU Panas Bumi adalah pembatasan pengelolaan sumber daya panas
bumi dimana dalam UU Panas Bumi membatasi pengelolaan sumber daya panas bumi
hanya sampai pada daratan saja seperti di daerah kaki gunung atau di kawasan hutan
lindung. Padahal terdapat juga kekayaan panas bumi selain di darat yang sangat kaya.
Contohnya di laut, kekayaan panas bumi di bawah laut sangat besar. Dengan posisi
geografis indonesia yang terletak di lingkaran atau cincin api pasifik yang
menguntungkan Indonesia dengan sumber daya panas bumi yang sangat besar baik di
darat maupun di laut. Tetapi dengan peraturan yang membatasi pengelolaan panas bumi
hanya sampai pada daratan maka sumber panas bumi yang terletak di lautan tak akan bisa
dieksplorasi dan dimanfaatkan dengan baik.
Permasalaahan terkait Undang-Undang No.27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi
meliputi poin-poin sbb:
1. Panas bumi sebagai sumber penerimaan negara.
Dijelaskan dalam UU No.27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi bahwa sumber daya
panas bumi merupakan sumber penerimaan negara. Tepatnya pada Pasal 30 UU tersebut
menjelaskan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (izin agar dapat mengelolan
panas bumi) wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Wardaya Karnika, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementrian ESDM,
seharusnya panas bumi tidak dianggap sebagai sumber penerimaan negara, bila panas
bumi dianggap sebagai sumber penerimaan negara maka secara langsung sumber daya
panas bumi akan menjadi sumber energi yang utama, dimana panas bumi akan
diutamakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Akan ada dampak
lainnya bila panas bumi dijadikan sebagai sumber energi utama. Sebaliknya sumber daya
panas bumi seharusnya dianggap sebagai sumber energi alternatif agar dapat
menyediakan energi yang berkelanjutan. Sedangkan jika ingin menjadikan panas bumi
sebagai sumber penerimaan negara, itu bukanlah hal terpenting.
2. Penghapusan istilah Pertambangan dan Penambangan.
Diatas telah disebut bahwa terdapat pertentangan antara Undang-Undang No.27 Tahun
2003 Tentan Panas Bumi dan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan,
yaitu pada istilah yang terdapat pada UU Kehutanan yang menghambat proses
pengelolaan sumber daya panas bumi dalam UU Panas Bumi. Istilah yang dimaksud
adalah kata pertambangan dan penambangan. Dalam UU Panas Bumi, kegiatan
mengelola sumber daya panas bumi dikategorikan sebagai kegiatan penambangan.
Sedangkan di UU Kehutanan, kawasan-kawasan seperti hutan lindung dan hutan
konservasi melarang terjadinya proses kegiatan penambangan.
Kaitannya adalah area yang sangat kaya akan sumber daya panas bumi terdapat pada
hutan lindung yang lokasiya terletak di dekat gunung berapi. Jika di area hutan lindung
tersebut melarang kegiatan penambangan, maka pengelolaan sumber daya panas bumi
tidak akan pernah bisa dilaksanakan disana karena sifatnya yang merupakan kegiatan
proses penambangan.
Dalam UU Panas Bumi, kegiatan pengelolaan panas bumi yang memerlukan proses
penambangan terdapat pada Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air,
dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak
dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan
proses penambangan.
Dalam UU Kehutanan, pelarangan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung
terdapat pada Pasal 38 ayat (4), yang berbunyi:
Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka.
Pertentangan antara kedua undang-undang ini sangat menghambat proses
pengembangan energi panas bumi yang. Sebenarnya proses penambangan yang dimaksud
dalam pemanfaatan sumber daya panas bumi adalah pola pertambangan tertutup. Untuk
mengelola dan memanfaatkan energi panas bumi hanya membutuhkan instalasi pipa air
dalam tanah, cukup dalam mendekati layar magma agar air yang mengalir pada pipa
tersebut menjadi uap yang dapat memutarkan turbin yang selanjutnya akan menghasilkan
listrik. Kesalahpahaman fatal dalam pengertian pengelolaan sumber daya panas bumi
yang mengakibatkan terhambatnya proses pengelolaan tersebut menjadi salah satu faktor
mengapa UU No.27 Tahun 2003 harus direvisi segera, agar eksploitasi sumber daya
panas bumi di Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan secepatnya.
3. Perluasan wilayah panas bumi.
Pada penjelasan Umum UU 27/2003 paragraf ke-6 menjelaskan bahwa pemanfaatan
panas bumi itu seolah-olah hanya bisa didapatkan di darat, tidak di laut. Sementara hal
tersebut tidak benar, panas bumi itu berkaitan dengan gunung berapi, dan gunung berapi
tidak hanya terdapat di darat, tetapi juga di laut. Indonesia mempunyai keuntungan besar
karena letak geografisnya yang persis di garis lingkaran atau cincin api pasifik, dimana
sumber daya panas buminya sangat kaya dan tidak terbatas. Kekuatan panas bumi yang
terdapat di darat saja sudah sangat besar, puluhan ribu Megawatt (MW) dapat
dimanfaatkan dengan energi panas bumi di darat. Itu pun belum termasuk simber daya
panas bumi yang ada di dasar laut. Oleh karena itu sangat penting adanya sebuah undangundang yang mengatur dan mendukung eksplorasi dan eksploitasi sumber daya panas
bumi di laut agar dapat dimanfaatkan dengan baik.
KESIMPULAN
1. Terdapat revisi atas UU Migas dan Panasbumi.
2. UU Migas direvisi dengan UU No. 22/2001.
3. UU Panasbumi direvisi dengan UU No. 27/2003.
4. Isi UU No. 22/2001 tentang Migas dianggap menghilangkan penguasaan/kedaulatan
dan kepemilikan negara atas aset/ kekayaan sumber daya alam migas serta diserahkannya
pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak dan gas dalam negeri berikut harga jualnya
sepenuhnya pada mekanisme pasar.
5. Pemerintah diarahkan untuk berperan sebagai regulator dan pengawas yang baik dan
fair.
6. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
- Mengakhiri kedudukan Pertamina sebagai pemegang Kuasa Pertambangan;
- Mengakhiri Pertamina sebagai pemegang monopoli atas penyelenggaraan sektor hilir
migas serta memecah Pertamina menjadi beberapa ranting perusahaan dengan badan
hukum tersendiri;
- Menghapus subsidi BBM secara bertahap untuk akhirnya menyerahkan harga BBM
kepada mekanisme pasar; dan
- Membuka peluang bagi badan usaha swasta, baik domestik maupun asing, untuk
bergerak di sektor hulu dan hilir migas.
7. Isi UU No. 27/2003 tentang Panasbumi dianggap kurang memaksimalkan pemanfaatan
potensi panasbumi Indonesia karena masih bertentangan dengan UU Kehutanan.
8. Permasalahan lain meliputi :
- Panas bumi sebagai sumber penerimaan negara.
Pasal 30 UU menjelaskan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (izin agar dapat
mengelolan panas bumi) wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Seharusnya panas bumi tidak dianggap sebagai sumber penerimaan negara, bila panas
bumi dianggap sebagai sumber penerimaan negara maka secara langsung sumber daya
panas bumi akan menjadi sumber energi yang utama, dimana panas bumi akan
diutamakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
- Penghapusan istilah Pertambangan dan Penambangan.
Dalam UU Panas Bumi, kegiatan pengelolaan panas bumi yang memerlukan proses
penambangan terdapat pada Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air,
dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak
dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan
proses penambangan.
Dalam UU Kehutanan, pelarangan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung