Obesitas Faal Paru
Obesitas Faal Paru
Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang
sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan
teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga
yang relatif murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak geraigerai makanan cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan
penggunaan alat-alat elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan
kurangnya aktifitas fisik. Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktor
genetik juga ikut berperan pada timbulnya obesitas.
Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health
and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES
II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 19992000.
Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan
metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain:
resistensi insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit
hati dan kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe
morbid) juga berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang
terjadi antara lain meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan,
pertukaran gas dan respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal
paru.
Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan
pernafasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil
penderita obesitas morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan
parenkim paru (obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas
dampak obesitas pada sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta
manfast penurunan berat badan.
KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS
Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar
ditentukan oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi
mekanika dan fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis
telah menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk
pada OSAS, OHS, dan asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas
Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
OS
Normal
OHS
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity,
TLC = total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl
max = maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle
pressure
Peningkatan beban kerja pernafasan
Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan.
Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara
berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter
ventilasi (oxygen cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali
lipat. Secara keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas
karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru
(compliance), peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban
inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami
peningkatan tahanan saluran nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan
Indeks Masa Tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita
obesitas sederhana mengalami peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60%
dibandingkan orang normal, sedangkan penderita OHS mengalami peningkatan sebesar
250% 42.
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik.
Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel
3). Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada
penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan.
Penderita obese mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini
makin bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang
dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab
meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang.
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban
kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekwensi
pernafasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya
hanya sub-maksimal. Dengan demikian penderita obese akan mengalami penurunan
kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi kardiovaskulernya cukup sehat.
Konsumsi oksigen maksimal (V02 max) yang dinyatakan dalam mL/kg berat badan/menit
adalah rendah dan berbanding terbalik dengan prosentase lemak tubuh. Perbandingan nilai
ambang anaerobik terhadap berat badan juga menurun.
Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita
obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor
kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguan
pernafasan saet tidur akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul
gangguan fungsi ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat
terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait
dengan Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal
(misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi aktivitas
penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional Penderita
obesitas berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.
Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan
Gangguan pernafasan saat tidur
Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43
cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah
retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax
dan abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian
atas pada saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan
saturasi oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid
bodies dan membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas
saraf simpatis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang
elektroensefalografik (EEG). Pada saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian
atas kembali terbuka, apnea terhenti, ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen
kembali normal, demikian pula aktivitas saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi
memiliki mortalitas yang tinggi.
Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi
alveolar, hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita
tidur, hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar
penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguan
neuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi
pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, polisitemia, dan stroke.
Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru
Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risiko
terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli
terutama terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis
pada obesitas diduga mendasari kedua hal tersebut.
Risiko teriadinya aspirasi
Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan
peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan
risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.
KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS
Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan
fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan
faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2).
Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume
cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban
massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru,
serta naiknya posisi diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat
obesitas, lebih-lebih pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan
kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1
detik (forced expiratory volume in 1 second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana
kapasitas vital (vital capacity [VC]) dan FRC mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru
total (total lung capacity [TLC]) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan
TLC pada penderita obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan
volume paru (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS
dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernafasan juga
menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas CO umumnya
masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada penderita OHS.
Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan
penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,,
TLC, dan MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT
dan penurunan aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.
MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN
Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya
pengaturan diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan
pada obesitas. Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon
dioksida, volume paru, fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan
pertukaran gas saat aktivitas fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami
perbaikan dan dengan demikian memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala
mengantuk pada pagi dan siang hari.
Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur
dan program olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu
dipertimbangkan pada penderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama
olahraga saturasi oksigen harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan
hipertensi pulmoner, agar tidak terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis
saat aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami
kegagalan sirkulasi.
RINGKASAN
Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan
fungsi pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan
paru, peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan,
peningkatan beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransi
terhadap aktivitas fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko
tromboemboli dan aspirasi, khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan
tersebut tidak tergantung pada adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi
pernafasan ikut menambah keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin
meningkatkan mortalitas.
Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan
pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus
diikutsertakan dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet,
olahraga, dan perubahan perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional
dan kwalitas hidup, serta mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan
kardiorespirasi.
DAFTAR PUSTAKA ada di Redaksi
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi April 2007 , Halaman: 68 (8722 hits)