TINJUAN PUSTAKA
2.1.
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) dalam
Sulistiono (2008), wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batasbatas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain
saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu
bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen
wilayah mencakup komponen biofisik alam, Sumberdaya buatan (infrastruktur),
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah
menekankan interaksi antar manusia dengan Sumberdaya-Sumberdaya lainnya yang
ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik
(Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
wilayah perencanaan (planning region atau programming region).
Menurut Saefulhakim, dkk (2002), dalam Sulistiono, (2008), wilayah adalah
10
satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara
fungsional. Perkataan wilayah berasal dari bahasa Arab wl-yuwl-wilyah
yang mengandung arti dasar saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara
geometris maupun similarity. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Sedangkan
konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan.
Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah
diciptakan, misalnya konsep lokasi industri yang menerangkan tentang analisis
penentuan lokasi optimum dan aglomerasi industri (Weber, 1909 dalam Adisasmita,
2008),
(Christaller, 1966, dalam Adisasmita, 2008) dan konsep growth pole yang
mengidentifikasikan tata ruang sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya
terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat (Perroux, 1955 dalam Adisasmita, 2008).
Konsep tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan,
dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil
industri, dan lain-lain. Selain terciptanya megaurban pada berbagai wilayah yang sulit
dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan lain-lain sebagai akibat
penerapan konsep growth pole, dampak lain yang dirasakan adalah pengangguran di
perkotaan, sulitnya mencari alternatif pekerjaan di pedesaan dan lain-lain.
Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal
kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada
kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/Sumber penghidupan,
yaitu menuju kota-kota utama tersebut (Martina, 2004).
Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial,
sebagaimana halnya dengan perkembangan industri adalah bahwa pertumbuhan
tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan
itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang
berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka
ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian.
(Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004).
Selanjutnya Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan harus
disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan
ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 dalam Martina, 2004)
Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai
sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah
perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh
daerah pengaruhnya. (Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004) dan ia juga membangun
konsep growth pole sebagai suatu model perencanaan yang bersifat operasional, yang
menerangkan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang
menimbulkan adanya kutub (polarized region). Menurut Glasson (Sitohang, 1977
dalam Martina, 2004) konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik
berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai berikut:
a. Konsep leading industries dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan
pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang
besar, yang termasuk dalam leading industries yang mendominasi unit-unit
ekonomi lainnya.
b. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading
industries mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub
pertumbuhan.
c. Konsep spread effect atau trickling down effect menyatakan bahwa pada
waktunya, kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar
keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.
Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung
mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang
diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah
hinterland-nya, ternyata tidak terwujud, yang terjadi malah justru back wash effect
yang pada akhirnya mengakibatkan disparitas wilayah dan sektoral yaitu kesenjangan
antara perkotaan dan perdesaan dan antara sektor industri dengan sektor pertanian.
Sektor industri di perkotaan tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian,
konsep
growth pole menuai kritik (Miyoshi,1977 dalam Martina, 2004). Sehingga untuk
mengantisipasi permasalahan yang muncul, dan agar pemecahan persoalan efektif,
perlu dipikirkan konsep keruangan yang dapat memecahkan permasalahan yang
timbul sekaligus mempunyai tujuan keadaan lebih baik di masa depan. Konsentrasi
kegiatan
Indonesia, serta strategi pembangunan growth pole yang juga diikuti oleh pemerintah
Indonesia pada masanya, menunjukkan bahwa konsep growth pole pada akhirnya
menimbulkan masalah, khususnya di pulau Jawa.
Jumlah penduduk pulau Jawa sebesar 59,97% dari seluruh penduduk
Indonesia pada tahun 1990, meningkat menjadi 61,54% pada tahun 2000. Jumlah
penduduk perkotaan di pulau Jawa pada tahun 1971 baru sebesar 18,04% menjadi
48,75% pada tahun 2000. Kebijakan pemerintah Indonesia yang pro Jawa dan pro
urban menurut Garcia-Garcia, 2000 dalam Martina (2004) dan sentralisasi industri di
pulau Jawa yang menimbulkan mega urban di pulau Jawa (Henderson dan Kuncoro,
dalam Martina, 2004), menunjukkan konsep growth pole telah menimbulkan
permasalahan baik di pulau Jawa maupun Indonesia secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian
tersebut,
dapat
diketahui
bahwa
suatu
strategi
semakin berkurang, dan tenaga kerja di bidang pertanian mencurahkan jam kerjanya
di sektor pertanian berkurang dan mengalihkan kepada pekerjaan-pekerjaan lain di
sektor non pertanian. Namun demikian, kesempatan kerja disektor pertanian masih
menjadi pilihan yang utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dalam
memenuhi pendapatan hidup, karena sektor pertanian relatif mudah dikuasai petani,
Prijono (2000).
Perkembangan
Kinerja
Ekonomi
(khususnya
Sektor
Pertanian)
dan
di Indonesia. Bila dikaitkan dengan dasar pemikiran konsep growth pole, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia juga menerapkan konsep ini dalam kebijakan
pembangunan nasional.
Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep
growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari,
seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan
pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.
Untuk mengetahui sentralisasi sektor industri di Indonesia sebagai dampak
dari penerapan konsep growth pole akan dilihat berdasarkan data PDB di Indonesia
yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Bila diasumsikan sektor primer
lebih terkonsentrasi di pedesaan, sektor sekunder dan tersier lebih terkonsentrasi di
perkotaan, maka berdasarkan data PDB menunjukkan sumbangan sektor sekunder
dan tersier bagi PDB semakin meningkat dari tahun 1976 s/d tahun 1998 (lihat Tabel
2.1 dan Gambar 2.1). Hal ini memperkuat dugaan bahwa strategi growth pole diikuti
di Indonesia.
Tabel 2.1. Persentase PDB Sektor Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia
Tahun
1976
Pedesaan
47,8
Perkotaan
52,2
Jumlah
100,0
1983
43,0
57,0
100,0
1992
32,0
68,0
100,0
1997
25,9
74,1
100,0
1998
26,9
73,1
100,0
2.2.
dan Mac Doughlas, 1974 (dalam BPTP, 2008) sebagai suatu siasat untuk percepatan
1. Memiliki
Sumberdaya
lahan
dengan
agroklimat
yang
sesuai
untuk
Sumberdaya
dan Komoditi
Unggulan
Sarana dan
Prasarana
Umum
Sarana dan
Prasarana
Agribinis
Sarana dan
prasarana
Sosial
Kelestarian
Lingkungan
pertanian,
perdagangan
hasil-hasil
pertanian,
perdagangan
Pemasaran /Sarana
Hasil Pertanian
a.
pengembangan
kawasan
agropolitan.
Dengan
melibatkan
dalam
pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi
(budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan
kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan
pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, propinsi, kabupaten/kota dan
kawasan agropolitan.
3. Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi
tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha,
dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan
keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompok tani,
kelembagaan kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana
produksi, pemasaran dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaaan
seperti lembaga keuangan pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga
perkreditan desa .
pertanian,
perdagangan
hasil-hasil
pertanian,
perdagangan
2.3.
Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala
besar sebagai:
1.
2.
3.
4.
pelayanan
agro-industri
khusus
(special
agro-industry
services),
a.
Lokalita Percontohan
Lokalita Percontohan Agropolitan adalah merupakan unit/satuan terkecil dari
Distrik Agropolitan
Distrik Agropolitan merupakan suatu hamparan yang merupakan gabungan
2.
3.
Memiliki
sistem
dan
jaringan
jalan
serta
sarana
transportasi
yang
Kawasan Agropolitan
Kawasan agropolitan merupakan gabungan dari distrik-distrik yang ada dalam
suatu kawasan.
Peta Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara dapat
dilihat pada Gambar 2.4.
PETA KAWASAN AGROPOLITAN DATARAN TINGGI
BUKIT BARISAN SUMATERA UTARA
MEDA N
KARO
SIMALUNGUN
DAI RI
Ke c. D.Pa nrib ua n
PAKPAKBHARAT
SAMOSIR
TOBASAMOSIR
HUMBANGHASUNDUTAN
TAPANULI UTARA
lokalita
Kabupaten/Kota
pada
yang
diusulkan
pertemuan
Forum
oleh
masing-masing
Komunikasi
Pemerintah
Sekretaris
Daerah
Komodita
s
1.
Cabe
Tomat
Kubis
4
5
Sawi
Kentang
Lobak/gob
o
Wortel
Bawang
Merah
Bawang
Putih
7
8
9
Kabupaten/Nilai LQ
Pakpa
k
Bhara
t
Kar
o
Tapu
t
Simalungu
n
Dair
i
Humbaha
s
Tobas
a
Samosi
r
5,96
1,66
4,07
6,07
5,57
1,47
2,76
0,97
0,37
0,28
0,67
0,33
0,66
1,18
0,74
1,70
1,70
1,59
1,41
1,61
Nilai
KADTBB
(Rp.
Juta)
323.567,4
0
253.536,0
0
138.763,1
5
1.404,64
401.346,0
0
13.412,00
1,43
1,92
1,22
2,52
1,22
1,67
1,22
0,96
1,22
1,22
3,83
2,93
1,47
1,47
1,48
0,90
1,10
1,48
1,42
1,48
62.568,82
42.300,40
0,03
1,20
0,80
0,13
14.624,00
Pertanian untuk mewujudkan pertanian modern secara mendasar merubah pola usaha
tani (proses produksi pertanian) termasuk yang menyangkut alokasi Sumberdaya
lahan dan air. Secara umum kelembagaan agribisnis belum secara terpadu memberi
Apakah
memiliki
jiwa
kepemimpinan
(leadership).
memiliki
nilai-nilai
sosial.
Konsep
ini
mencerminkan
paradigma
baru
berdaya.
Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan
taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam Sumber-Sumber
kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana
dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling
bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena
program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat,
tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja
keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari
upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di
dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan,
pengamalan demokrasi.
juga dapat dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan penderitaan dan
kerugian baik fisik maupun non fisik bagi masyarakat petani (Soetomo, 1995).
Pengembangan
kawasan
agropolitan
melalui
konsep
pendekatan
pemberdayaan Sumberdaya manusia atau masyarakat juga harus seiring dan sejalan.
Pemberdayaan Sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting, karena
tanpa didukung oleh Sumberdaya manusia yang berkualitas maka pengembangan
kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang bisa mencapai hasil
yang optimal.
Beberapa aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan, antara lain:
a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan dan
berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat, misalnya
berfungsinya HKTI, HNSI , dan organisasi lokal lainya.
b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi masyarakat yang
terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat tani dan nelayan,
misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan, baik dalam skala nasional,
wilayah, maupun lokal.
c. Kemampuan kelompok petani dan nelayan kecil dalam mengakses SumberSumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang
informasi pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk
didalamnya kemampuan lobi ekonomi. Di sinilah maka perlunya ekonomi
jaringan dipembangkan. Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang
2.5.
Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisis permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat
PEMBANGUNAN
KAWASAN AGROPOLITAN DATARAN TINGGI BUKIT BARISAN
SUMATERA UTARA
LOKALITA
AGROPOLITAN
KELEMBAGAAN
PARTISIPASI
MASYARAKAT
PEMERINTAH
DUNIA USAHA
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
PENINGKATAN
PENGGUNAAN
LAHAN
PRODUKTIFITAS
KOMODITI
UNGGULAN
(KENTANG)
PENINGKATAN
PENDAPATAN PETANI
PENGEMBANGAN
WILAYAH
Gambar 2.5. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian
2.6.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan
pada Bab-I, untuk mengarahkan pelaksanaan penelitian agar tujuan penelitian dapat
dicapai, maka rumusan hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini
adalah:
1. Terdapat perbedaan yang nyata penggunaan lahan sebelum dan sesudah
pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.
2. Terdapat perbedaan yang nyata produktifitas komoditi unggulan sebelum dan
sesudah pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.
3. Terdapat perbedaan yang nyata pendapatan petani sebelum dan sesudah
pembangunan Kawasan Agropolitan di Lokalita Saribu Dolok.