Anda di halaman 1dari 6

MENCIPTAKAN INDONESIA YANG BEBAS KORUPSI

Media cetak pun elektronik yang ada di negeri ini hampir tiap hari menampilkan
berita tentang korupsi para pejabat negara. Wabah korupsi di Indonesia kini telah
menjadi gurita yang cengkramannya menyeret sebagian besar aparatur negara
yang notabene menjadi penjaga stabilitas negara. Lingkaran setan persoalan
korupsi terus menggempur bangsa Indonesia di tengah usahanya untuk
merangkak maju. Belum selesai kasus Bank Century, bangsa Indonesia kini
dihantam dari arah yang berlawanan oleh skandal mafia pajak yang melibatkan
banyak pejabat negara (Tempo 19-25/4/2010). Kongkalingkong antara pejabat
negara dan para pengusaha bukan lagi sebuah berita baru, malah menjadi
sesuatu yang dimaklumi. Namun korupsi kini bukan hanya milik mereka yang
berpangkat. Dari kepala desa hingga pejabat negara kini tak luput dari korupsi.
ICW mencatat bahwa Indonesia merupakan juara korupsi se- Asia. Stigma ini
melekat begitu kuat bagi bangsa Indonesia sehingga tindakan korupsi dilihat
sebagai kultur yang sudah mendarah-daging di Indonesia. Agenda reformasi
untuk memberantas korupsi yang telah dimulai beberapa tahun silam seakan
berjalan di tempat. Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
belum mencapai tujuan yang dicita-citakan. Nampaknya korupsi telah menjadi
suatu penyakit kronis, menahun dan struktural sifatnya serta menggerogoti
bangsa Indonesia dalam seluruh dimensi kehidupannya. Seberapa parahkah
moralitas anak bangsa sehingga mereka mudah dijangkiti korupsi dan tak lagi
mengindahkan tata hidup bersama ?

Korupsi sebagai Persoalan Moral-Etis.

Korupsi ialah tindakan mengumpulkan atau mengggelapkan kekayaan negara


untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi dipandang sebagai sebuah
patologi sosial sebab korupsi pada saat yang sama merampas hak hidup orang
lain. Para koruptor adalah mereka yang menciderai kesejahteraan warga negara
lainnya sebab mereka bertindak berdasarkan dorongan untuk menumpuk
kekayaan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama. Inilah bahaya laten
yang bisa mengancam societas bangsa Indonesia. Para founding father bangsa
Indonesia telah lama menyadari bahaya laten korupsi ini. Melalui pasal 33 UUD
1945 mereka dengan tegas menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Karena itu monopoli dan aneka praktik
lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dilarang sebab
mengakibatkan kesejahteraan semua warga negara diabaikan. Pada hakekatnya
makna yang tersirat dari bunyi pasal tersebut tidak memberikan secelah
kesempatan pun bagi warga negara untuk melakukan praktik korupsi. Dengan
demikian korupsi bukanlah mentalitas yang diwariskan oleh para pendahulu

bangsa ini. Korupsi yang menggurita lebih karena kurangnya budaya malu dari
setiap orang untuk melakukan praktik korupsi. Budaya malu untuk korupsi
menjadi penting sebab budaya malu hendak menjelaskan sebuah persoalan
penting yang menyentuh ranah etis. Malu untuk korupsi mencerminkan
kedalaman moralitas seseorang. Memasyarakatkan budaya malu untuk korupsi
boleh dikatakan sebagai sebuah langkah awal yang mesti dimiliki oleh setiap
pribadi agar gurita korupsi tidak menjalar semakin luas serta cengkramannya
tidak semakin dalam. Korupsi yang mencederai kehidupan bersama sungguh
sangat mengancam persatuan bangsa yang semestinya dijaga dan
dipertahankan.

Korupsi mudah memecah belah kesatuan bangsa sebab korupsi bisa membuat
kesejahteraan bersama suatu bangsa tergadaikan. Penempatan semangat
komunitarian ini mengadung makna yang mendalam bagi setiap orang
khususnya bagi para aparatur negara yang rentan dengan penyalahgunaan
jabatannya. Di sana terbersit sebuah panggilan untuk bertindak dan
bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa. Maka setiap tindakan korupsi
(yang selalu bertendensi egosentris) merupakan tindakan yang melukai prinsip
kemanusiaan dan mengancam kesatuan bangsa. Dengan kata lain korupsi
merampas kehidupan karena gagal melihat orang lain sebagai sesama. Prinsip
altrusitis ini membawa kita pada realitas bangsa Indonesia yang sebagian besar
warga negaranya berada di bawah garis kemiskinan. Wajah-wajah lusuh para
gembel, anak jalanan, dll sejatinya mengugah setiap pribadi untuk bertindak
secara manusiawi. Inilah panggilan paling luhur yang dimiliki oleh manusia.
Penampakan wajah sesama yang menampilkan penderitaan mengajak kita
untuk bertindak dan berbagi. Melalui Emanuel Levinas (Bertens, 2006: 318-328)
kita diajak untuk menyelami dan menceburkan diri dalam keluhuran manusia
yang direpresentasikan dengan penampakan wajahnya. Dengan demikian
mengisap sesama dan membiarkannya menderita merupakan hal yang
berseberangan dengan gagasan Levinas. Gagasan Levinasian ini mestinya
menjadi sebuah bahan pertimbangan bagi para aparatur negara untuk tidak
melakukan korupsi. Bahwa dengan korupsi mereka justru menjadi musuh bagi
panggilan sejati ini. Persoalannya ialah para koruptor tak membelalakkan mata
untuk melihat realitas. Kepekaan mereka tak terusik melihat realitas kemiskinan
bangsa ini sebab mereka hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan tragisnya
mereka mengumbar janji tanpa realisasi. Kesadaran akan realitas tersebut
semestinya menjadi pelecut yang menggugah mereka untuk lebih berorientasi
pada kesejahteraan semua orang.

Lemahnya Penegakan Hukum


Pemerintah SBY-Boediono dengan gencar menyerukan perang terhadap korupsi.
Banyak lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi. Namun sungguh
ironis bahwa pada saat yang sama lembaga peradilan dan kepolisian yang
diharapkan mampu menegakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia

digerogoti dari segala arah oleh wabah korupsi. Para hakim menjadi makelar
kasus sehingga membuat penegakan supremasi hukum di Indonesia semakin
lemah. Hukum menjadi pasif dan memberi ruang kepada setiap orang untuk
berkelit dari tindakan korupsinya. KPK sebagai komisi khusus untuk
memberantas korupsi boleh dikatakan telah berhasil (meski belum seluruhnya)
mengusut sebagian kasus penggelapan uang negara namun usaha mereka
kadang tak dihargai sebagai mana mestinya oleh penegak hukum. Penegak
hukum yang terkooptasi korupsi dengan mudah menjatuhkan hukuman yang
ringan bagi pelaku korupsi sebab para penegak hukum menjadi bagian dari
sistem yang korup tersebut.

Diungkapnya pelbagai macam kasus korupsi yang terjadi di tanah air


menampilkan kepada kita dua sisi pencapaian yang dialami oleh negara. Di satu
sisi pengungkapan beberapa kasus korupsi adalah langkah maju yang
menyadarkan banyak orang akan konsekuensi jika melakukan tindakan korupsi
sekaligus membangkitkan kesadaran nasional untuk memberantas korupsi
hingga ke akar-akarnya. Tak heran jika wacana tentang hukuman mati bagi para
koruptor menguak ke permukaan dan menjadi bahan pertimbangan dalam
menyusun Undang-Undang antikorupsi.. Di lain sisi penegakan hukum bagi para
koruptor menyisakan sebuah kesan akan ketidakmampuan hukum pun
penegaknya untuk menembus barikade golongan atau pihak tertentu. Hukum
seakan kompromistis bahkan terkesan kebal bagi pribadi-pribadi tertentu yang
melakukan korupsi. Para koruptor kelas kakap dibiarkan berkeliaran sedangkan
pemeran figuran dihukum. Hukum dengan mudah dipermainkan. Pada titik inilah
terjadi fenomena maling teriak maling yang sudah tak lazim lagi di negeri ini.

Meski demikian kesadaran untuk menegakkan hukum tidak hanya dibebankan


pada para jaksa, hakim atau polisi saja. Semua orang dipanggil untuk
memberikan kesaksian akan perilaku korupsi dari pihak atau pribadi tertentu.
Kemunculan Susno Duadji dalam artian tertentu patut diberi acungan jempol
sebab dia-lah yang berani meniup peluit untuk membongkar kebobrokan moral
yang terjadi di negeri ini karena korupsi. Para whistle blower seperti Susno
Duadji mesti dilindungi dan dihargai. Semangatnya diharapkan menjadi anutan
bagi setiap pribadi yang menginginkan kehidupan yang harmonis dan sejahtera
dalam berbangsa dan bernegara.

Ditinjau dari reformasi hukum, usaha untuk memberantas korupsi di Indonesia


sangatlah kompleks dan ketat. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi telah diubah dan lebih diberdayakan dengan UU Nomor
20 Tahun 2001, pengesahan UU Nomor 13 tahun 2006 yang secara khusus
melindungi para pelapor kasus korupsi (whistle blowers), serta sederetan
undang-undang lainnya merupakan sebuah gebrakan yang tidak memberikan
ruang bagi terjadinya korupsi (Kompas 27/4/ 2010). Meski demikian korupsi

masih tetap terjadi bahkan meluas di Indonesia. Korupsi nampaknya telah


membudaya di Indonesia. Persoalan utamanya terletak pada perkara buruknya
implementasi hukum-hukum yang telah dibuat. Dengan kata lain hukum tidak
diindahkan dengan baik. Hukum bahkan menjadi boneka bagi pihak-pihak
tertentu untuk melanggengkan korupsi.

Fenomena lemahnya penegakan hukum ini telah lama dilihat oleh salah seorang
tokoh reformis China, Wang An Shih (1021-1086). Ia mengatakan bahwa pasifitas
hukum berjalan seirama dengan buruknya kemanusiaan seseorang (Alatas,
1983: 6-9), sebab hukum yang pasif dan lemah melanggengkan seseorang untuk
melakukan korupsi. Analisis Wang terasa sangat relevan untuk situasi bangsa
Indonesia. Maka diperlukan hukum yang tegas dan penegak hukum yang
mempunyai komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
konteks bangsa Indonesia, korupsi yang terstruktural mengindikasikan sebuah
sistem hukum yang lemah. Kontrol terhadap setiap lembaga negara yang
dilakukan secara teratur mestinya dilakukan secara efektif oleh pemerintah dan
rakyat sendiri.

Menuju Indonesia yang Bebas Korupsi

Melihat realitas korupsi yang terjadi di Indonesia banyak para pakar yang
mengatakan bahwa Indonesia Bebas Korupsi hanya mungkin akan terealisasi dua
puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Dengan kata lain setiap pribadi hanya
akan mempunyai rasa cinta akan tanah air yang sejati dalam kurun waktu
tersebut. Sebab hanya pribadi yang mempunyai rasa nasionalisme sejati yang
tidak akan korupsi. Nasionalisme menempatkan semangat kolektivitas di atas
segala-galanya, tanpa mengabaikan kepentingan diri sendiri. Meski demikian ada
nada-nada pesimistis yang melihat kemustahilan dapat-hilangnya budaya
korupsi dari bangsa Indonesia

Untuk memberantas korupsi dari bumi Indonesia ini, mutlak diperlukan sebuah
restrukturisasi hukum. Sistem hukum mesti dirombak secara total. Sistem hukum
yang memberikan ruang kepada para calon koruptor untuk beraksi mesti diubah.
Namun yang lebih penting dari itu perlu adanya kesadaran bersama dari seluruh
elemen masyarakat Indonesia untuk melihat korupsi sebagai sebuah penyakit
moral yang mesti diperangi. Perlu melihat korupsi sebagai musuh bersama yang
mesti dihilangkan dari bumi Indonesia. Musuh bersama di lain sisi menghasilkan
sebuah kecendrungan psikologis yakni semangat persatuan dan kesamaan tekad
dalam diri setiap warga negara yang semakin meningkat. Dengan melihat
korupsi sebagai musuh yang harus diperangi maka kesadaran masyarakat
dibuka dan diarahkan pada upaya untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Sebuah gerakan penyadaran masyarakat yang berskala nasional mesti digalang

da digalakkan. Gerakan penyadaran ini bisa dimulai dari hal-hal kecil. Karena itu
sektor pendidikan memegang peranan yang penting.

Penanaman kesadaran sejak dini dalam diri setiap pribadi paling efektif jika
dilakukan melalui jalur pendidikan. Korupsi yang dilakukan secara besar-besaran
oleh seorang pribadi bukanlah tanpa awal. Mentalitas korupsi terbentuk oleh
karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak pernah disadari hingga akhirnya
menyebabkan rasa malu dalam diri seseorang kian menebal. Karena itu
pendidikan budi pekerti kian urgen. George Santayana pernah menelurkan
gagasan: kebiasaan lebih kuat dari nalar. Menyitir Santayana, kebiasaan untuk
memberikan input yang baik kepada setiap pribadi mempunyai daya persuasif
yang lebih kuat dari pada nalar. Kebiasaan pada level tertentu bisa mengalahkan
nalar. Poin ini mau menjelaskan sebuah perkara: bahwa kebiasaan membentuk
kepribadian seseorang. Hanya dengan membiasakan anak didik diajari
pendidikan moral yang memadai maka budaya korupsi dapat dikurangi sebab
kesadarannya selalu diarahkan pada hal-hal positif.

Jika pada sisi tertentu lembaga penegak hukum juga digerogoti oleh penyakit
kronis korupsi yang membuat mereka tidak bisa menjalankan fungsinya dengan
baik, maka pada titik ini warga negara diundang untuk memberikan suara
kepada pemerintah. Banyak ruang publik yang bisa digunakan untuk
memberikan tekanan kepada pemerintah agar mengusut tuntas kasus korupsi
dan memberi hukuman setimpal bagi para pelakunya. Dalam bahasa Jrgen
Habermas ruang publik adalah medan dimana gagasan, pikiran dan percakapan
masyarakat bertemu. Ruang publik menjadi medan bagi bagi masyarakat untuk
bersuara. Dalam rumusan yang lain dapat dikatakan bahwa tugas memberantas
korupsi bukan hanya menjadi kewajiban para penegak hukum atau lembagalembaga tertentu semisal KPK. Warga negara mesti turut memberi suggesti
kepada pemerintah untuk melawan korupsi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita alami sekarang ini
memungkinkan setiap warga negara untuk bersuara di ruang publik. Inilah wujud
demokrasi yang sejati. Jejaring sosial dalam dunia virtual seperti facebook,
twitter, dll kini menjadi ruang publik baru bagi warga negara untuk bersuara
menentang korupsi. Meski demikian masih banyak ruang publik lainnya bagi
warga negara untuk mengeskpresikan pendapatnya dalam memerangi korupsi.

Fakta lain yang mesti disikapi sebagai usaha untuk memberantas korupsi di
Indonesia adalah minimnya kerjasama diantara para penegak hukum. Polisi,
kejaksaan, dan bahkan KPK mencari celah untuk saling menggembosi (misalnya
cicak vs buaya) sehingga kewibawaan dan rasa percaya diri mereka akan
semakin merosot. Perpecahan diantara para penegak hukum sendiri membuat

para koruptor merajalela dalam menjalankan aksinya. Kerjasama yang baik


diantara para penegak hukum ini menjadi satu-satunya jalan keluar agar mereka
tetap disegani oleh para koruptor. Persatuan diantara lembaga penegak hukum
merupakan benteng terakhir yang melindungi negara dari praktik korupsi.
Dengan kerjasama yang baik, para penegak hukum bisa menegakkan aturan dan
hukum secara efektif dan efisien.

Akhirnya, korupsi memang telah menjadi sebuah wabah kronis yang


tersistematisasi di negara ini. Ia merasuk di setiap sendi kehidupan berbangsa
dan bertanah air. Setiap pribadi mempunyai panggilan yang luhur untuk kembali
membawa bangsa Indonesia ini pada jalurnya yang benar. Iklim demokrasi yang
mendukung di Indonesia memberi kesempatan yang luas kepada para warga
negara untuk menyuarakan pekik anti korupsi. Karena korupsi bukan hanya
merugikan kita yang hidup di zaman ini tetapi lebih dari itu mengancam
kelangsungan hidup generasi-generasi mendatang. Jika kita yang hidup kini
mempunyai moralitas yang baik, maka sudah barang tentu mata rantai korupsi
bisa terputuskan, sebab generasi mendatang tidak kita warisi dengan mentalitas
yang melihat korupsi sebagai kelaziman. Indonesia bebas korupsi? Mengapa
tidak.

Anda mungkin juga menyukai