REVIEW KEBIJAKAN
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Pasal 1, 11, 21, 31, 41, 51, dan 61)
Oleh :
SUCI ANGELA DILIANA
LUH WAYAN RIMASWARI
P1806212001
P1806212011
RINGKASAN EKSEKUTIF
Isu dan Masalah Publik
Pengaturan mengenai rumah sakit dirasakan belum cukup memadai untuk dapat dijadikan
landasan hukum dalam penyelenggaraan sebuah intitusi kesehatan yaitu rumah sakit sebagai
pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, maka dibentuklah undang-undang yang
sekiranya dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan rumah sakit yaitu UU No. 44
Tahun 2009 tentang RS.
Tujuan Kebijakan
UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS secara garis besar bertujuan untuk mempermudah
akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan
terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia
di rumah sakit, meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit dan
memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit,
dan Rumah Sakit.
Tipe Pendekatan dalam Siklus Kebijakan
Pendekatan yang digunakan secara umum merupakan pendekatan normative, dimana
undang-undang ini memfokuskan perhatian pada masalah pokok, yaitu tentang tindakan apa
yang semestinya dilakukan. Pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah pada
UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS berupa acuan atau rekomendasi yang merupakan inti
pendekatan normative.
Masalah yang timbul akibat kebijakan
Pro dan kontra akan selalu ada mendampingi setiap kebijakan yang dibentuk, termasuk
pula UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS. Secara umum, UU ini bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap penyelenggaraan RS, namun beberapa penyesuaian terhadap
peraturan ini cukup memacu rumah sakit yang belum sesuai standar untuk meningkatkan
mutu pelayanannya sehingga berbagai hambatan dapat ditemukan pada setiap rumah sakit.
Hal ini merupakan proses panjang untuk mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan
oleh undang-undang.
Rekomendasi kebijakan
Pelatihan standar
pelayanan paripurna
untuk meningkatkan
kinerja tenaga medin dan
non medis dalam
pelayanan .
Mensosialisasi Undang
Undang nomor 44 tahun
2009 ini kepada
masyarakat
Implikasi kebijakan
Pelaksana/instansi terkait
Daftar Isi
Judul .
Ringkasan Eksekutif.
Daftar Isi
Macam..
Nilai..
Karakteristik.
Aktor.
Isu publik .
1.2
1.3
1.4
Ciri kebijakan.
- Kriteria kebijakan
- Tipe pendekatan..
- Pasal yang bermasalah
6
7
8
9
10
11
13
13
13
14
2.1
15
2.2
Resistensi
16
16
18
22
24
24
4.1. Kesimpulan
26
4.2. Rekomendasi
28
28
28
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
1.1. Masalah dasar
- Macam
Di dalam Undang-undang no.44 bab I pasal 1 ayat 1 sampai 4 membahas tentang
peran rumah sakit sebagai insitusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
kesehatan perorangan secara paripurna dimana pelayanannya berupa pelayanan rawat
inap,rawat jalan dan darurat, dan pasien adalah orang yang terlibat di dalammnya,
selain itu pada pasal 1 ayat 5,6,7 membahas bagaimana peran pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dan menteri yang berhubungan langsung dengan kesehatan.
Pada pasal 11 mengenai standar prasarana, maka rumah sakit harus memenuhi
standar keamanan dan kesehatan kerja dan harus berfungsi dengan baik, dan dalam
pengoperasiaanyapun harus dilakukan oleh petugas yang berkompetensi pada
bidangnya, dan juga perlu adanya dokumentasi untuk kepentingan pengevaluasian
secara berkala dan berkesinambungan, dan ketentuan ini pun di atur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan.
Dalam Pasal 21 mengatur bahwa Rumah sakit Privat dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Sehingga rumah
sakit privat dibenarkan oleh undang-undang dalam tujuan utamanya mencari profit.
Selain itu, pasal ini menjadi acuan dari berdirinya berbagai rumah sakit privat di
Indonesia.
Pasal 31 membahas kewajiban pasien secara umum yaitu berkewajiban atas
pelayanan yang diterimanya. Kewajiban tersebut antara lain : Memberikan informasi
yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat,
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi dan perawat dalam
pengobatannya dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima dan
berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
Pasal 41 membahas mengenai jejaring dan system rujukan untuk meningkatkan
pelayanan. Terbentuknya jejaring tersebut sangat penting untuk menjalin sinergi antar
regulator dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan
yang muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Selanjutnya ditentukan bahwa sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik, baik vertikal
5
maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau
permasalahan kesehatan. Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien
yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 51 membahas mengenai pendapatan rumah sakit public yang dikelola
Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya
operasional Rumah Sakit dan dana tersebut tidak dapat dijadikan pendapatan negara
atau Pemerintah Daerah. Sehingga jelas pengelolaan keuangan rumah sakit perlu untuk
dimonitoring secara berkala agar kegiatan operasional dapat berjalan dengan lancar dan
kualitas pelayanan pun dapat optimal.
Pasal 61 membahas tentang ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas
Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi yang diatur pada
Peraturan Pemerintah.
- Nilai
Undang-undang no.44 tahun 2009 tentang rumah sakit :
Pasal 1 terkandung nilai bahwa rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan harus menyediakan pelayanan rawat inap ,rawat jalan dan gawat
darurat sesuai standar yang telah ditetapkan,selain itu Pemerintah pusat dan
Daerah juga harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas rumah sakit
terlebih Menteri Kesehatan yang harus bekerja secara terpadu untuk
memajukan fungsi rumah sakit khususnya rumah sakit daerah untuk
kepentingan masyarakat umum.
Pasal 11 terkandung nilai bahwa Prasarana yang terkandung di dalam ayat 1
harus ada di dalam Rumah Sakit selain itu prasarana tersebut harus memenuhi
standard dan terpelihara dengan baik dan yang terpenting harus di kelola oleh
orang-orang yang berkompeten di dalam bidannya untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam hal pengoperasian ,atau biasa disebut human error,
para tenaga tersebut harus memiliki skill /keahlian yang telah teruji di bidang
keilmuwannya masing-masing.
Pasal 21 mengandung nilai bahwa rumah sakit privat dikelola oleh bada hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas, Badan hukum itu dapat
berupa Yayasan, Perseroan, PT, Perkumpulan dan Perusahaan Umum.
Pasal 31 terkandung nilai selain pasien memiliki hak atas pelayanan, pasien
juga memiliki kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi dalam menerima
sebuah pelayanan di rumah sakit.
Pasal 41 terkandung nilai bahwa penting untuk rumah sakit membentuk
jejaring dan system rujukan yang tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini tentu saja memudahkan masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan optimal dan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 51 terkandung nilai bahwa rumah sakit public diberikan hak seluasluasnya untuk mengelola pendapatannya agar dapat membiayai kegiatan
operasional, serta pendapatan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pendapatan
Negara.
Pasal 61 terkandung nilai bahwa Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan
Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur lebih lanjut pada Peraturan
Pemerintah.
- Karakteristik
Pasal 1 memiliki karakteristik mengatur yakni mengatur agar Rumah Sakit
benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara kesehatan
yang menyediakan pelayannan yang baik berupa pelayanan rawat inap, rawat
jalan ,maupun pelayanan gawat darurat, pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggungjawab
berdasarkan
untuk mengawasi
dan menyediakan
Rumah
Sakit
dapat
menggunakan
pendapatannya
dalam
membiayai
kegiatan
Pasal 41 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah rumah sakit itu sendiri
untuk membentuk jejaring sesama rumah sakit di Indonesia sedangkan system
rujukan lebih lanjut dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam bentuk
undang-undang.
Pasal 51 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Rumah Sakit itu
sendiri dalam pengelolaan pendapatannya.
Pasal 61 yang menjadi pengendali atau aktornya adalah Badan Pengawas
Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi.
- Isu publik
Pasal 1 : Peran pemerintah sebagai pemberi sumber pembiayaan dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembiayaan Sektor Kesehatan dari
Pemerintah Pusat yaitu bersumber dari APBN yang dibagi menjadi Dana
Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus, Dana Dekonsentrasi yaitu dana yang
membiayai sektor Kesehatan di tingkat Pusat dan di tingkat provinsi, sedangkan
Dana Alokasi Khusus adalah dana APBN yang membiayai sektor Kesehatan di
tingkat Kabupaten/Kota. Sedang pembiayaan pada sektor Kesehatan oleh Pemerintah
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).
Peran Pemerintah sebagai Regulator dan penetap kebijakan pelayanan Kesehatan
dapat dilakukan oleh DEPKES di Pemerintah Pusat melalui Sistem Kesehatan
Nasional di Tingkat Indonesia dan Sistem Kesehatan Daerah di tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Contoh lain Penetapan Kebijakan/Regulasi oleh DEPKES dengan
ditetapkannya
Standar
Pelayanan
Minimal
yang
berisi
Indikator-indikator
Pembangunan Kesehatan dan oleh daerah di buat Standar Pelayanan Minimal daerah
sesuai kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Peran Pemerintah Sebagai
Pelaksana dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah berupa
rumah sakit Pusat maupun daerah, dan Puskesmas. Pelayanan Kesehatan terhadap
masyarakat tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tapi dilaksanakan juga oleh
swasta untuk itu Pemerintah sebagai pelaksana perlu mencipatakan sistem
Manajeman Pelayanan Kesehatan yang baik.
Pasal 11 : Rumah Sakit dalam hal ini diharapkan dapat menyediakan prasarana
yang sesuai strandar, kesehatan dan keselamatan, kerja, minimnya prasarana yang
terkadang terjadi di rumah sakit public terkadang menggganggu proses pelayanan
terhadap pasien,seperti minimnya fasilitas RS seperti air,instalasi mekanikal ataupun
eklektrikal, uap, pengelolaan limbah jika tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan dampak besar bagi proses yang berlangsung d RS, minimnya
prasarana seperti di ruang UGD atau Rawat Inap bisa membahayakan jiwa pasien,
kurangnya fasilitas tertentu di rumah sakit teritama dalam hal alat-alat medis, proses
pelayanan bisa tersendat seperti tidak adanya fasilitas untuk pasien dalam kondisi
tertentu seperti konsultasi syraf yang di karenakan RS itu todak memiliki ahli itu
maka harus di rujuk ke RS yang lebih berkompeten dan memiliki ahli serta alat-alat
yang lebih menunjang penyembuhan penyakit si pasien tsb, selain itu terkadang
kurangnya skill dari petugas mengakibatkan human error, yaitu kesalahan dalam
hal pemeriksaan lab ataupun pemeriksaan hasil lab yang terkadang berakibat fatal.
Sehingga pelatihan yang berkesinambungan sangat diperlukan untuk para petugas
dan lapangan agar berkompeten terhadap bidangnya masing-masing.
Pasal 21 : Rumah Sakit Privat menyebar ke seluruh Indonesia dan jumlahnya
cukup besar dan pertumbuhannya lebih besar di banding rumah sakir public yaitu
sekitar 2,91 pertahun pertahun di banding rumah sakit public yang hanya 1,25 persen
pertahun.
Pasal 31 : Dalam UU 44 ttg Rumah Sakit selain hak pasien yang menjadi focus
terdapat pula hal penting lainnya yaitu kewajiban pasien yang diatur dalam Peraturan
Menteri, hal ini timbul dari adanya isu public yang sering muncul mengenai
kewajiban yang semestinya dianut oleh pasien dalam menerima pelayanan kesehatan
disebuah rumah sakit. Hal ini merujuk pada kasus yang sering terjadi dimana pasien
sering menuntut haknya namun sayangnya tidak dibarengi dengan pemenuhan
kewajibannya sebagai pasien. Jadi pasal ini merupakan pedoman bagi rumah sakit
agar dapat membentuk peraturan sehubungan dengan kewajiban pasien, agar pasien
mengetahui secara jelas bahwa agar proses pelayanan yang diterimanya dapat
optimal dan terstandar maka ada beberapa hal yang mesti dipatuhi pasien maupun
10
keluarga pasien. Sehingga pasien tidak hanya dapat menuntut hak nya, tetapi juga
wajib memenuhi kewajiban pasien dalam menerima pelayanan.
Pasal 41 : Kasus-kasus dalam bidang kesehatan setiap waktu mengalami
peningkatan sehingga komunikasi terpadu antar penyedia pelayanan kesehatan
penting adanya. Selain itu, mengingat setiap tipe rumah sakit memiliki keterbatasan
dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal maka system rujukan perlu
diatur agar memudahkan system alur penerimaan pelayanan berjalan dengan tepat.
Terbentuknya jejaring tersebut sangat penting untuk menjalin sinergi antar regulator
dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan yang
muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Pasal 51 : agar pembiayaan rumah sakit dapat berjalan lancar maka ia
membutuhkan dana yang sangat besar. Hal ini banyak dialami terutama oleh rumah
sakit public yang melayani berbagai karakteristik masyrakat. Sehingga hal ini
berdampak pada terganggunya sitem pembiayaan operasional, maka penting adanya
pengelolaan keuangan yang lebih baik di rumah sakit. Salah satunya dengan
melegalkan rumah sakit public untuk menggunakan pendapatannya agar dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan operasionalnya.
Pasal 61 : penyelenggaraan rumah sakit memerlukan pembinaan dan pengawasan
yang berkelanjutan agar dapat berjalan dengan sesuai.
1.2
11
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 11 adalah untuk membuat rumah sakit agar
berusaha memenehi prasarana sesuai dengan standar minimal berdirinya RS dan harus
adanya evaluasi secara periodic terhadap prasarana yang ada di RS agar berfungsi
sebagai mana mestinya untuk menghindadri terjadinya mall praktek yang mungkin di
kibatkan oleh minimnya prasarana dan kurangnya skill dan kurangnya berkompeten
petugas di lapamgan dalan menangani pasien.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 21 agar pemerintah pusat ataupun pemerintah
daerah dapat mengawasi berjalannya RS Privat agar berdirinya RS tersebut tidak
menyalahi atruran perundang-undangan yang ada, dan masyarakat bisa menjamin
kesehatannya ke RS Privat, selain itu keberadaan RS Privat di harapkan bukan menjadi
alat persaingan dengan RS Public yang pada akhirnya hanya mendarsarkan pada
keuntungan semata bukan keselamatan dan peningkatan kesehatan.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 31 adalah selain memiliki hak bahwa pasien
memiliki juga kewajiban yang mesti dipenuhi dalam menerima pelayanan.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 41 adalah untuk menjalin sinergi antar regulator
dengan pelaksana pelayanan dan antar sesama pelaksana pelayanan kesehatan yang
muaranya ialah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Selanjutnya
sistem rujukan bertujuan agar setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban untuk merujuk
pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan diatur dengan Peraturan Menteri
Kesehatan.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 51 adalah memberikan jaminan keamanan kepada
rumah sakit untuk mengelola pendapatannya dalam menjalankan kegiatan operasional.
Tujuan yang ingin dicapai pada pasal 61 adalah terbentuknya sebuah Badan Pengawas
Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi untuk mengatur,
membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit agar sesuai dengan standar dan
peraturaan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
1.3
menerima pelayanan.
Substansi kebijakan pasal 41 adalah menegaskan pentingnya asosiasi rumah sakit untuk
membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan yang meliputi
informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan
tenaga. Selain itu mengaskan pulan pentingnya system rujukan dalam menopang akses
1.4
Ciri kebijakan
-
Kriteria kebijakan
Kriteria kebijakan pada pasal 1 adalah Kriteria Kebijakan Peran Pemerintah
Sebagai Pelaksana dilakukan melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah berupa
rumah sakit Pusat maupun daerah, dan Puskesmas. Pelayanan Kesehatan terhadap
masyarakat tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tapi dilaksanakan juga oleh swasta
untuk itu Pemerintah sebagai pelaksana perlu mencipatakan sistem Manajeman
Pelayanan Kesehatan yang baik.
Kriteria kebijakan pasal 11 UU No.44 tahun 2009 adalah adalah menekankan
pada tanggungjawab Rumah Sakit agar menyediakan prasarana yang memadai untuk
berlangsungnya proses kegiatan di Rumah sakit.
Kriteria kebijakan pasal 21 UU No.44 tahun 2009 adalah menekankan tentang
Badan Hukum Rumah Sakit Privat.
13
Tipe pendekatan
Pasal 1 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif yaitu
menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam menyediakan rumah sakit pelayanan kesehatan yang layak bagi
masyarakat.
Pasal 11 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif dan prediktif.
Deskriptif karena menjelaskan persyaratan spesifik peralatan-peralatan medis dan
nonmedis yang akan digunakan suatu rumah sakit dalam pelaksanaan
operasionalnya serta prediktif karena diharapkan kedepannya ketersediaan
peralatan yang sesuai standar, bermutu dan dioperasikan oleh tenaga kesehatan
yang kompeten mampu menunjang pengembangan rumah sakit sehingga mampu
RS Public.
Pasal 31 UU No 44 tahun 2009 menggunakan pendekatan deskriptif yaitu
14
masyarakat.
Selain itu pasal yang juga bermasalah adalah pasal 51 mengenai Pendapatan
Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat
digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan
dimana pendapatan tersebut tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah
Daerah. Hal yang bermasalah pada redaksi kata biaya operasional, hal tersebut
merujuk pada ketidakjelasan kategori apa saja yang dimaksud oleh undang-undang
sebagai biaya operasional. Karena faktanya penerapan di setiap rumah sakit pemerintah
mengenai biaya operasional dapat berbeda-beda. Perbedaan persepsi seperti inilah yang
dapat menimbulkan kerancuan informasi dan kesalahan pengelolaan keuangan.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
2.1.
dampak langsung kepada semua yang terlibat, baik pemerintah, praktisi kesehatan dan tentunya
juga kepada masyarakat secara luas. Perilaku yang muncul dapat berupa perilaku positif yang
muncul karena setuju dengan kebijakan tersebut dan perilaku negatif yang muncul karena
ketidaksetujuan dengan kebijakan tersebut.
-
Dengan adanya pasal 1 UU no 44 tahun 2009, dapat mendorong agar Pemerintah Pusat
Dan Pemerintah Daerah berperan aktif dalam proses berlangsungnya RS,RR pun dapat
15
menjalankan funsinya baik berupa pelayanan Rawat Inap, Rawat Jalan atuapun
Pelayanan Gawat Darurat,dan RS di harapkan dapat lebih memprhatikan hak-hak pasien
dalam usaha memperoleh kesembuhan dan pelayanan kesehatan,sehingga masyarakat
-
kesehatannnya di RS Privat.
Pasal 31 UU no 44 tahun 2009, menimbulkan perilaku positif dimana rumah sakit saat ini
sudah mulai memperkenalkan secara langsung kewajiban-kewajiban pasien dalam
menerima pelayanan di rumah sakit tersebut, informasi ini berdampak positif pula
terhadap hubungan pasien dan rumah sakit. Dimana pasien mendapatkan kemudahan dan
pengertian akan hak dan kewajibannya, sehingga proses pengobatan akan berjalan
dengan optimal dan rumah sakit akan lebih mudah memberikan pelayanan karena telah
pemerintah maupun pemerintah daerah dapat tidak dapat dijadikan pendapatan Negara,
sehingga keseluruhan pendapatan tersebut secara langsung dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan operasional rumah sakit. Hal ini memudahkan sebuah rumah sakit
untuk mengembangkan dan memajukan pelayananannya sehingga dapat memberikan
jaminan akan mutu pelayanannya. Namun dengan pasal ini tidak memungkiri akan
munculnya pula praktik-praktik kecurangan perilaku negative segelintir orang tidak
-
2.2. Resistensi
Disahkannya UU no 44 tahun 2009 tentang rumah sakit tidak telepas dari berbagai
kontroversi, salah satu diantaranya yaitu sikap menolak atau resistensi. Setiap kebijakan yang
dibuat oleh siapa pun pasti akan menimbulkan resistensi atau penolakan, Umumnya, resistensi
terjadi bila ada beberapa pihak yang merasa dirugikan akan suatu kebijakan, terlebih jika suatu
kebijakan tidak berjalan dengan baik. Berikut ini merupakan sikap resistensi terhadap Undang
undang no 44 tahun 2009, yaitu:
Aktor resistensi dalam hal ini berasal dari pihak rumah sakit sendiri, terutama dari
pimpinan rumah sakit yang khawatir akan intervensi
2. Sumber Resistensi
Resistensi bersumber dari perilaku pemerintah yang kurang memahami sistem rumah
sakit
3. Intensitas Resitensi
Sikap resistensi terhadap pasal ini dimungkinkan akan terjadi selama batas waktu yang
tidak ditentukan
Pasal 11 UU no.4 tahun 2009
1. Bentuk Resistensi
Bentuk resistensi, pasal ini menjelaskan tentang Prasarana yang ada di RS juga tenaga
yang ada di RS, minimnya prasarana RS dan minimnya tingkat skill dari para petugas
membuat RS itu kurang berkompeten yang lama kelamaan menimbulkan asumsi kurang
kepercayaan masyarakat untuk menggunakan fasilitas RS tersebut dan cenderung
memilih RS yang lebih canggih dengan tenaga yang berkompeten dalam bidangnya.
2. Aktor
Aktor resistensi, berasal dari pihak rumah sakit yang kesulitan dalam memenuhi
persyaratan peralatan dan sumber daya manusia, karena biaya yang tinggi dan kurangnya
pelatihan bagi para petugasnya.
3. Sumber Resistensi
Sumber resistensi berasal dari tingginya biaya yang diperlukan untuk mempertahankan
peralatan agar tetap memenuhi persyaratan yang ditetapkan,kurangnya informasi tentang
pelatihan-pelatihan yang mendukung kompetensi petugas dalam keahliannya masingmasing.
4. Intensitas Resistensi
Intensitas resistensi, akan tetap terjadi selama rumah sakit tidak memiliki biaya yang
cukup untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan membiarkan petugasnya
18
saja
kewajiban
pasien
tersebut
dalam
menerima
pelayanan
dan
juga
Itensitas resistensi akan terus semakin besar jika sumber dan tujuan dari pembentukan
pasal ini tidak didukung oleh kejelasan informasi apa saja yang menjadi kewajiban
pasien atas pelayanannya yang diterimanya.
b. Pasal 41 UU no 44 tahun 2009
1. Bentuk Resistensi
Pasal ini boleh tepatnya tidak terjadi resistensi karena pasal ini mengarahkan setiap
rumah sakit untuk berkerja sama dalam mengembangkan Jejaring yang meliputi
informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan
tenaga. Sehingga hal tersebut saling menguntungkan seluruh pihak dalam prosesnya
memberikan pelayanan optimal.
2. Aktor
Aktornya yaitu seluruh rumah sakit yang saling membentuk jejaring kerjasama.
c. Pasal 51 UU no 44 tahun 2009
1. Bentuk Resistensi
Bentuk resistensi yang dapat terjadi adalah adanya Pemerintah Daerah yang menentang
pasal ini karena memberikan hak langsung kepada rumah sakit untuk menggunakan
pendapatannya untuk biaya operasional.
2. Aktor
Aktor resistensi adalah orang-orang pada pemerintahan yang menentang kebijakan
tersebut.
3. Sumber Resistensi
Yang menjadi sumber resistensi adalah ketakutan akan terancamnya salah satu sumber
pendapatan daerah/Negara dan ketakutan akan munculnya kepentingan kelompok
tertentu yang menggunakan dana tersebut dengan tujuan profit pribadi.
4. Intensitas Resitensi
Itensitas resistensi akan terus semakin besar jika hal ini tidak diawasi dengan benar oleh
Badan Pengawas Rumah Sakit.
d. Pasal 61 UU no 44 tahun 2009
1. Bentuk Resistensi
Adanya Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit
Provinsi akan membuat rumah sakit lebih waspada dalam melakukan penyelenggaraan
agar tidak terjadi penyimpangan sesuai dengan pedoman perumahsakitan.
2. Aktor
Aktor resistensi adalah rumah sakit yang merasa terancam oleh keberadaan Badan
Pengawas Rumah Sakit Indonesia.
3. Sumber Resistensi
20
Sumber resistensi adalah adanya ancaman terhadap eksistensi rumah sakit dengan
adanya keberdaaan Badan Pengawas Rumah Sakit.
4. Intensitas Resistensi
Intensitas resistensi akan semakin kecil jika Badan Pengawas Rumah Sakit melakukan
pembinaan berkala sehingga penyelenggaraan rumah sakit dapat berjalan dengan lancar.
2.3. Masalah baru yang timbul
Dengan disahkannya kebijakan ini maka dapat timbul masalah baru ketika
penjelasan dan hal-hal spesifik mengenai beberapa pasal yang bermasalah tidak di
carikan solusi yang dapat berupa direvisinya undang-undang ataupun dibuat undangundang pendukung yang baru. Masalah yang timbul dapat berasal dari berbagai pihak
baik pemerintah, investor, rumah sakit, tenaga kesehatan, dan masyarakat.
Masalah dapat muncul karena kurangnya penjelasan pada UU, sehingga banyak
pihak yang menafsirkan secara berbeda. Pada pasal 1 mengenai tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah tidak diketahui sejauh mana pemertintah dapat
melasanakan tanggungjawab dan bagaimana pertanggungjawaban uu itu terhadap
masyarakat. Pada pasal 11 mengenai peralatan, karena tidak meratanya peralatanperalatan canggih, distribusi ke daerah tersendat sehingga hanya rumah sakit di kota yang
memiliki peralatan canggih yang mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat di daerah
dan ekonomi rendah . Seperti pada pasal 21 mengenai RS Privat yang tidak memiliki
badan hukum yang jelas dan lebih bersifat profit dan mencari keuntungan semata,
mengakibatkan terabaikannya hak-hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan dan
hubungannya dengan SJSN tahun 2014, RS Privat terkendala dalam hal :
1.
2.
3.
4.
yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung
untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau
Pemerintah Daerah merupakan pasal yang sangat baik untuk tujuan yang baik. Namun
dalam proses implementasinya tidak mencegah kemungkinan akan timbulnya
21
penyelewengan dana oleh kelompok kepentingan tertentu. Sedangkan untuk pasal 31, 41
dan 61 kedepannya diharapkan tidak akan ada masalah yang timbul karena penyusunan
dan tujuannya sudah sangat jelas. Sehingga selanjutnya merupakan tugas badan
pengawas untuk melakukan pembinaaan dan pengawasan agar :
1. Tercapai Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh
2.
3.
4.
5.
BAB III
PREDIKSI KEBERHASILAN
Prediksi Trade-Off
Analisis Trade-off menawarkan bantuan untuk mendapatkan sebuah kebijakan yang
akomodatif melalui proses analisis kebijakan publik yang melibatkan banyak ragam stakeholders
dengan banyak kepentingan sehingga dalam pengelolaan berbagai kepentingan ini harus
dilakukan secara bijak dan tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan (win-win solution).
22
Metode ini sangat signifikan manfaatnya dalam kebijakan yang menyangkut pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan serta kebijakan lain yang menyangkut kepentingan publik.
-
Prediksi trade off undang-undang no.44 pasal 1 yakni pelayanan kesehatan yang paripurna
sesuai dengan standar yakni pelayanan yang mengemban tugas memberikan pelayanan
kesehatan yang berkualiatas serta sebagai komunikator dan motivator kepada masyarakat.
Dengan sitem rujukan yang baik, pelayanan yang adil, merata dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat bisa tercapai. Sehingga banyak digunakan untuk sebagai slogan pemerintah
menjelang pemilu untuk mendapat simpati rakyat dengan slogan kesehatan gratis. Selain itu
di pihak pemerintah pusat atau daerah dapat menjalankan funsinya sbb:
- Komitmen Politik untuk pengembangan pelayanan Kesehatan, terutama bagi pemerintah
daerah ditingkat Provinsi maupun Kabupaten kota yang kenyataanya sekarang ini Sektor
Kesehatan bagi pemda masih kalah prioritas dibandingkan dengan sector-sektor lain.
- Pendekatan Pro-orang miskin
- Menyeimbangkan peran pemerintah, lembaga usaha swasta dan lembaga swadaya
masayarakat dalam pelayanan Kesehatan
- Menangani kegagalan pasar, misalnya pemerintah sebaiknya membiayai masyarakat
miskin yang tidak mampu membeli pelayanan Kesehatan
- Menajemen lembaga pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada pengguna
- partisipasi luas dari masyarakat dan lembaga usaha dalam pengambilan keputusan,
reformasi bidang Kesehatan, dan pengembangan system Kesehatan
- Memberantas praktik-praktik illegal dalam pelayanan Kesehatan, termasuk korupsi8.
Pembiayaan pelayanan Kesehatan yang responsive dan fair
- Desentralisasi Pelayanan
23
Prediksi trade off undang-undang no.44 pasal 11 yakni ketersediaan alat kesehatan yang
bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas
pelayanan. Selain itu keuntungan lainnya berupa terjaminnya kualitas dan kelayakan dari
24
suatu rumah sakit setelah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang atas pendirian dan
operasional rumah sakit dan petugas yang handal di bidangnya untuk meminimalisir human
-
error.
Prediksi trade off undang-undang no.44 pasal 21 yakni rumah sakit Privat diharuskan
memliki badan hukum yang jelas dan tidak hanya berdasarakan mencari keuntungan semata
pelayanan.
Prediksi trade off undang-undang no.44 pasal 41 yakni peran pemerintah sangat penting
agar asosiasi rumah sakit dapat membentuk jejaring yang lebih erat dalam hal informasi,
sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga kesehatan.
Prediksi trade off undang-undang no.44 pasal 51 yakni perlu adanya pengawasan berkala
agar kegiatan ini dapat berjalan dengan sesuai sehingga laporan keuangan yang dilaporkan
3.2.
Prediksi keberhasilan
Prediksi keberhasilan dari pemberlakuan kebijakan sangat besar, dimana Undang-undang ini
dibuat untuk menjamin pemenuhan hak pasien akan pelayanan kesehatan di RS yang berkualitas
Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 1 yakni maksimalnya pelayanan yang
diberikan oleh RS dan RS bisa lebih proaktif karena keterlibatan dengan Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah Setempat.
Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 11 yakni setiap rumah sakit memiliki
prasaran yang lengkap dan sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan kerja dan
petugas yang handal di bidangnya. Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 5
yakni kurangnya rasa ketidakadilan dari pasien jika terjadi malpraktek atau kerugian yang
dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Prediksi keberhasilan undang-undang no.44 pasal 21 yakni RS Privat dan RS Public
dapat bergandengan untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap pasiennya dengan
menghilangkan keuntungan semata.
25
BAB IV
26
(rehabilitatif)
yang
dilaksanakan
secara
serasi
dan
terpadu
serta
berkesinambungan.
Perlunya keterlibatan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengawasan RS, selain
dari itu Prasarana di RS harus mendapat perhatian yang lebih dari pihak RS itu sendiri dan
Instansi yang terkait agar RS Public dapat kompetitif di masa yang akan datang dan tidak
tertinggal dari RS Privat,
4.2 Rekomendasi
- Pelatihan standar pelayanan paripurna untuk meningkatkan kinerja tenaga medis dan non
medis dalam pelayanan sehingga mutu rumah sakit dapat ditinggkatkan oleh Tim ISO
manajemen mutu rumah sakit Indonesia dengan tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan
-
27
Aturan mengenai batasan kerugian yang dialami pasien atas kelalaian tenaga kesehatan
dirumah sakit oleh kementrian kesehatan, aparat pemerintah dan pakar serta sanksi bagi
rumah sakit yang tidak melakukan pengelolaan rumah sakit dengan baik oleh kementrian
kesehatan, pemerintah dan stakeholder rumah sakit. Dengan tujuan kebijakan ini adalah
untuk mengontrol suatu rumah sakit dalam menjalankan segala kegiatannya. Dalam hal ini
pengelolaan yang baik akan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan serta meminimalisir
komplai, keluhan,kritikan bahkan tuntutan atas buruknya pelayanan rumah sakit.
Didalamnya tertuang sanksi yang tegas atas buruknya pengelolaan RS atau ketika RS tidak
28
LAMPIRAN
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 21
Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau
Persero.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pasien
Pasal 31
(1) Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Jejaring dan Sistem Rujukan
Pasal 41
(1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatan.
(2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana,
pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 51
Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan
seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan
pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Ketiga
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas
Rumah Sakit Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
31