Anda di halaman 1dari 3

Warga Negara, Pemilu, dan Demokrasi Transformatif

Pemilihan presiden, legislatif, dan pilkada merupakan mekanisme memilih pemimpin


yang akan melaksanakan konstitusi dan membuat kebijakan publik guna melaksanakan
cita-cita bangsa dan menjalankan aspirasi rakyat.
Dalam demokrasi perwakilan, warga negara menjadi pemilih (voter). Diharapkan, pada
masa pascapemilu mereka memetik buah hasil pilihan mereka.
Warga negara dan pemilu
Sejak 1955 hingga kini, antusiasme pemilih dalam pemilu di Indonesia relatif tinggi
meski dalam konteks politik beragam.
Keikutsertaan warga dapat dijelaskan dengan aneka faktor, seperti idealisme, untuk
partisipasi peristiwa penting lima tahun sekali. Atau mereka menunjukkan loyalitas
kepada calon atau parpol tertentu entah karena kesamaan ideologi atau kebetulan karena
tetangga satu desa atau kabupaten. Ada juga pemilih yang terbujuk janji kampanye atau
berniat memilih-tidak memilih calon sesuai pengalaman mereka selama lima tahun
terakhir.
Keikutsertaan dalam pemilu juga dapat merupakan upaya agar tidak dicemooh
lingkungan, komunitas maupun keluarga, karena tidak ada bekas tinta pada jari. Ini dapat
dianggap sebagai warga negara yang kurang baik.
Selain itu, warga menjadi raja atau ratu sehari dan merasa di atas calon atau parpol
yang dipilih. Ini adalah kelanjutan masa kampanye di mana calon dan parpol menjadi
amat ramah, terbuka, dan dekat dengan pemilih.
Demokrasi transformatif
Sistem dan proses politik sering memberi penekanan pada mekanisme koreksi kekuasaan
agar tidak terjadi penyimpangan kekuasaan. Namun, sebenarnya demokrasi bukan hanya
bersifat korektif sehingga hanya akan mempertahankan status quo. Demokrasi dapat
menjadi alat transformasi sosial di mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam
masyarakat.
Dalam hal ini, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola perubahan dalam masyarakat,
misalnya pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua periode berturut-turut.
Secara spasial juga terjadi perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar
meski masih lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal, berbagai
golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah mendapat kesempatan lebih
besar. Jika dilihat secara vertikal, ada perubahan dalam hubungan masyarakat dengan

negara di mana kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan
kebijakan negara.
Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan perubahan signifikan,
masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota, misalnya perbaikan warga desa melalui
land reform yang baru terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar.
Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh, sektor informal, atau
Indonesia bagian bawah yang berjumlah sekitar 60 persen, belum terwakili secara
nyata dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi
terobosan di mana Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946
telah memberi jatah kepada golongan-golongan besar, yakni petani dan buruh masingmasing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen dalam KNIP/parlemen (lihat Deliar Noer
dan Akbarsyah, 2005). Hal ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah,
dan golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda.
Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian Linggarjati. Namun, yang
penting, terlihat bagaimana ada upaya peningkatan representasi atau kebhinekaan
masyarakat Indonesia. Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan
kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau pelapisan/kelas masyarakat.
Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas perlu lebih banyak meningkatkan representasi
golongan besar ini dalam organisasi dan kebijakan mereka.
Transformasi warga negara
Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa bahwa setelah pemilu,
mereka bukan lagi menjadi warga negara dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi
warga kota, warga desa, atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan
bahwa organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak terlaksana.
Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak berdaya menghadapi negara,
perusahaan, atau organisasi masyarakat.
Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana warga negara
dapat mengalami transformasi menjadi lebih berdaya dan berkuasa. Dalam hal ini, UU
Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku tahun 2010 dapat membuat warga negara
menjadi seperti mempunyai hak angket dan interpelasi.
Demikian juga UU Pelayanan Publik yang akan berlaku tahun 2011. UU yang
memberdayakan warga negara ini perlu diamandemenkan di UUD pada amandemen ke5. Ini menunjukkan, warga negara harus berjuang sendiri untuk menikmati buah
demokrasi.
Kasus terakhir ditunjukkan dua warga negara, Refly Harun dan Maheswara Prabandono,
yang berhasil mengatasi masalah DPT dalam Pilpres 2009 di Mahkamah Konstitusi.

Kekuasaan mereka setara dengan perppu (kekuasaan presiden) dan dapat mendukung hak
konstitusional mereka berdua serta jutaan pemilih atau warga negara lain.
Dinamika kekuasaan
Pilpres 2009 telah menunjukkan kepada kita dinamika kekuasaan warga negara dalam
berdemokrasi dan hubungannya dengan pemimpin, parpol, dan ormas. Berbagai aturan
baru (UU KIP, UU Pelayanan Publik, dan Kewenangan MK) memberi ruang dan peluang
baru bagi warga negara untuk menegakkan hak konstitusional mereka meski sejumlah
lembaga negara dalam demokrasi perwakilan ini kurang aspiratif dan representatif.
Keadaan ini dapat membuat warga negara menjadi lebih aktif sehingga prospek
demokrasi Indonesia menjadi lebih baik di masa depan.
Sumber : cetak.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai