Anda di halaman 1dari 22

Referat

Depresi Pada Penderita Diabetes

Disusun Oleh :
Shandi Iriana. Sitorus
070111253

Pembimbing :
Dr. dr. Theresia. Kaunang, SpKJ

BAGIAN / SMF PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT
RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU
MANADO
2013

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :


Depresi pada penderita diabetes
Telah dikoreksi, disetujui dan dibacakan
Pada tanggal

Agustus 2013

Pembimbing,

Dr. dr. Theresia. Kaunang, SpKJ

PENDAHULUAN
Penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kondisi psikologis
individu. Gangguan yang paling sering muncul akibat diagnosa diabetes mellitus ialah
depresi. Depresi merupakan gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai
seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Depresi ditandai
dengan

perasaan

sedih

yang psikopatologis,

kehilangan

minat

dan

kegembiraan,

berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat
nyata sesudah sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Dari Data Badan Kesehatan Dunia
didapatkan 27% penderita depresi pada penderita diabetes.
Penyakit Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit kronis yang cukup banyak
dijumpai dewasa ini. Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolism yang
ditandai oleh peningkatan kadar gula darah puasa dan kadar gula postprandial. Diabetes
Mellitus juga diketahui dapat terjadi karena kelainan dari insulin, kerja insulin atau keduanya.
Penyakit Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan kepada 3 jenis yaitu diabetes mellitus tipe 1,
diabetes mellitus tipe 2 dan diabetes gestational.
Lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes mellitus dan
diperkirakan akan meningkat kepada 370 juta orang pada tahun 2030. Menurut survey
World Health Organization (WHO), memprediksikan akan terjadi peningkatan pasien
diabetes di Indonesia dari 8,4 juta orang pada tahun 2000 dan menjadi sekitar 21,3 juta orang
pada tahun 2030. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) 2002, Indonesia
menempati urutan yang keempat dengan jumlah penderita diabetes yang terbesar di dunia
setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Penderita diabetes mellitus mengalami depresi
akibat dari penyakitnya sehingga gejala depresi sering dijumpai pada penderita diabetes.
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis, stress psikologis dapat timbul pada
saat seseorang menerima diagnosa diabetes mellitus. Penderita sering kali mengalami kesulitan
untuk menerima diagnosa DM pada saat seseorang mengetahui bahwa hidupnya diatur oleh diet,
obat- obatan dan insulin, biasanya seseorang tersebut berada pada tahap krisis yang ditandai oleh
ketidaksseimbangan fisik, social dan psikologis. Hal ini berlanjut menjadi perasaan gelisah,
takut, cemas dan depresi.

Penderita Diabetes Melitus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya, mulai dari
pengaturan pola makan, olahraga, kontrol gula darah, dan lain-lain yang harus dilakukan
sepanjan hidupnya. Perubahan dalam hidup yang mendadak membuat

penderita Diabetes

Melitus manunjukan beberapa reaksi psikologis yang negatif diantaranya adalah marah,
merasa tidak berguna, kecemasan yang meningkat dan depresi. Selain perubahan tersebut
jika penderita Diabetes Melitus telah mengalami komplikasi maka akan menambah depresi
pada penderita karena dengan adanya komplikasi akan membuat penderita mengeluarkan
lebih banyak biaya, pandangan negatif tentang masa depan, dan lain-lain.
Penderita sakit kronis cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang bersifat negatif
berkenaan dengan kondisi sakitnya. Penderita sakit kronis sangat membutuhkan dukungan
sosial. Dukungan sosial adalah tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi,
pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang

positif

pada

individu

dalam

menghadapi permasalahannya. Dukungan sosial tersebut sangat berpengaruh bagi individu


dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dukungan tersebut berkaitan
dengan pembentuk keseimbangan mental dan kepuasan psikologi.
Dukungan sosial merupakan sumber yang mempengaruhi situasi yang dinilai stressful
dan menyebabkan orang yang stres mampu mengubah situasi, mengubah arti situasi atau
mengubah reaksi emosinya terhadap situasi yang ada. Dukungan sosial pada penderita
Diabetes Melitus dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman, kerabat maupun paramedis
yang merupakan sumber eksternal yang dapat memberikan bantuan bagi penderita diabetes
dalam mengatasi dan menghadapi suatu permasalahan terutama yang menyangkut penyakit yang
diderita.
Fenomena yang ada saat ini, ternyata depresi masih tetap ada pada penderita Diabetes
Melitus walaupn mereka hidup di tengah-tengah keluarganya. Oleh karena itu peneliti ingin
meneliti apakah ada hubungannya antara dukungan sosial dengan derajat depresi pada penderita
Diabetes Melitus terutama yang dengan komplikasi.

PEMBAHASAN
A. Diabetes Mellitus
1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi
dalam

jumlah

tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari

makanan

yang

dikonsumsi. Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi, dimana kadar gula di dalam darah lebih
tinggi dari biasa/normal (normal: 60 mg/dl sampai dengan 145 mg/dl), ini disebabkan tidak
dapatnya gula memasuki sel-sel.

Ini terjadi karena tidak terdapat atau kekurangan atau

resisten terhadap insulin. Diabetes adalah suatu kondisi yang berjalan lama, disebabkan oleh
kadar gula yang tinggi dalam darah. Diabetes dapat dikontrol. Kadar gula dalam darah akan
kembali seperti biasa atau normal, dengan merubah beberapa kebiasaan hidup seseorang yaitu :
mengikuti suatu susunan makanan yang sehat dan makan secara teratur, mengawasi/menjaga
berat badan, memakan obat resep dokter, olahraga secara teratur. Diabetes Mellitus adalah
penyakit kronis yang memerlukan perawatan medis dan penyuluhan untuk self management
yang berkesinambungan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronis.
2. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut Amarican Diabetes Association (1997) sesuai anjuran
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah :
a. Diabetes Tipe I : Insuline Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
b. Diabetes Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non Insuline Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM)), terjadi akibat penurunan sesitivitas
terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah
produksi insulin. 10
c. Diabetes Melitus tipe lain
d. Diabetes Melitus Gastasional (Gastasinoal Diabetes Mellitus(GDM)).

3. Komplikasi Diabetes Mellitus


Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah
ditemukannya insulin, angka kematian penderita

diabetes

akibat

komplikasi

akut

bisa

menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita

diabetes lebih panjang dan diabetes dapat

dikontrol lebih lama. Selama bertahun-tahun penderita hidup dengan diabetes dan dapat
memungkinkan munculnya

berbagai

kerusakan

atau

komplikasi

yang

kronis

pada

penderitanya. Komplikasi kronis tersebut yaitu :


a. Kerusakan saraf (Neuropathy)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sum-sum
tulang belakang, susunan saraf

perifer

di otot, kulit, dan organ lain, serta

susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi
normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler
yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan
saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf,
salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan
saraf dan saraf mana yang terkena.
b. Kerusakan ginjal (Nephropathy)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta

nefron

dan berjuta-juta pembuluh darah

kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan
yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja

24 jam sehari untuk 11 membersihkan darah dari racun yang masuk

ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama
terkena

tekanan

darah

tinggi,

maka

penderita

makin

mudah mengalami

kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan
neuropathy atau kerusakan saraf.
c. Kerusakan mata (Retinopathy)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama
kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes,
yaitu :
1) retinopati, retina mendapatkn makanan dari banyak pembuluh darah kapiler
yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah
retina;
2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga
menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah
yang tinggi; dan
3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga

merusak

saraf mata.
d. Penyakit jantung
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan
lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya
suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga
kematian mendadak bisa terjadi.
e. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi
dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau
stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadidua kali lipat apabila penderita
diabetes juga terkena hipertensi.
f.

Penyakit pembuluh darah perifer


Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease

(PVD), dapat terjadi lebih dinidan prosesnya lebih

cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes.
Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila
diabetes

berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat

mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan
saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya
sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
g. Gangguan pada hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes

tidak makan gula bisa

bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu
akibat penyakit

diabetes

itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita

diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau
hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit
hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan
hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga

mudah

terjadi

karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang
sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty
liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan
ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di
jaringan tubuh lainnya.
h. Penyakit paru-paru
Pasien
diabetes

lebih mudah

terserang

infeksi

tuberkulosis paru-paru

dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru-paru, demikian pula sakit paruparu akan menaikkan glukosa darah.
i.

Gangguan saluran makan


Gangguan saluran makan pada penderita

diabetes

disebabkan karena kontrol

glukosa darah yang tidak baik, serta gngguan saraf otonom yang mengenai
saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah
terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan,
sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah
tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah
dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada

lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
j.

pemakaian obat- obatan yang diminum.


Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu

fungsi

kekebalan

tubuh dalam

menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah


terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paruparu, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi

juga merusak sistemsaraf

sehingga mengurangi kepekaan penderita

terhadap adanya infeksi.

B. Depresi
1. Pengertian Depresi
Menurut

sejarah

psikiatri

dapat

dilihat

bahwa

pengertian

depresi sebagai

gangguan tersendiri terpisah dari gangguan mental lain yang telah lama ada sejak zaman
Hipocrates (460-377 SM). Hipocrates inilah yang berusaha mengklasifikasikan gangguan
jiwa dalam beberapa penyakit yang berdiri sendiri: epilepsi, mania (gaduh, gelisah,
melankoli (depresi),

paranoid. Walaupun

namanya

berbeda,

waktu

itu

diberi

nama

melancholy, yang digambarkan sebagai kemurungan atau kesedihan yang ditimbulkan oleh
karena kelebihan cairan empedu yang berwarna hitam (zwartgalligheid). Kemudian pada
tahun 1905 istilah melancholy diganti dengan depresi oleh Meyer dengan alasan etiologi
yang luas. Depresi merupakan kata Indonesia yang disadur dari bahasa Inggris yaitu
depression, sadness dan low spirit.
Depresi adalah suatu penyakit jiwa yang gejala utamanya adalah sedih, yang dapat
disertai gejala-gejala psikologik lainnya, gangguan somatik maupun gangguan psikomotor
dalam kurun waktu tertentu dan digolongkan kedalam penyakit jiwa afektif. Depresi atau
melankolia adalah suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal. Dapat
digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala, sindrom, emosional,
reaksi.

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa III di Indonesia (1993)
yang dimaksud depresi adalah sekumpulan gejala dengan gambaran utama gangguan mood
yang mempengaruhi penampilan kognitif, psikomotor dan psikososial disertai kesulitan
hubungan interpersonal.

2. Teori Penyebab Depresi


Adapun teori penyebab terjadinya depresi meliputi:
a. Teori biologi: depresi berhubungan dengan gangguan pada ritme sirkadian, disfungsi
otak, aktivitas kejang limbik, disfungsi neuroendokrin, defisiensi biogenik amine, cacat
pada sistem imun dan genetic.
b. Teori psicoanalitical: depresi berasal dari respon terhadap kehilangan, kekecewaan atau
kegagalan. Rasa marah dipindahkan dan dikembalikan pada diri sendiri, ketidakmampuan
untuk berduka cita karena adanya kehilangan
c. Teori Behavioral: kegagalan untuk menerima reinforcement positif dari orang lain dan
lingkungan merupakan predisposisi bagi seseorang untuk mengalami gangguan depresi
d. Teori kognitif: konsep negatif dari diri, pengalaman, orang lain dan lingkungan merupakan
kontribusi terjadinya depresi. Kepercayaan bahwa seseorang tidak dapat mengontrol
situasi memberikan kontribusi terjadinya depresi.
e. Teori sociological: kehilangan kekuasaan, status,

identitas, nilai dan tujuan

untuk

menciptakan eksistensi yang tepat akan menyebabkan depresi


f. Teori Holism: depresi adalah hasil dari genetik, biologi, psikoanalisa, tingkah laku,
kognitif dan pengalaman sosiologis

3. Etiologi Depresi
Faktor penyebab terjadinya depresi menurut Kaplan dan Saddock (2007) adalah:

a. Faktor Biologi
Noreepinephrine dan serotonin adalah dua jenis neurotransmitter yang bertanggung
jawab mengendalikan patofisiologi gangguan alam perasaan pada manusia. Gangguan
depresi

melibatkan

hypothalamus.

keadaan patologi

di

limbic

system,

basal

ganglia

dan

Limbic system dan basal ganglia berhubungan sangat erat, hipotesa

sekarang menyebutkan produksi alam perasaan berupa emosi, depresi dan mania
merupakan

peranan

utama

limbic

system.

Disfungsi hypothalamus

berakibat

perubahan regulasi tidur, selera makan, dorongan seksual dan memacu perubahan
biologi dalam endokrin dan imunologik
b. Faktor Genetika
Gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik dan
depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) memiliki kecenderungan menurun
kepada generasinya. Gangguan bipolar
Sebanyak

50

pasien

lebih kuat

menurun

daripada

unipolar.

bipolar memiliki satu orang tua dengan alam perasaan/

gangguan afektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika salah satu orang tua
mengidap gangguan bipolar maka 27 % anaknya memiliki resiko mengidap
gangguan alam perasaan. Bila kedua orang tua mengidap gangguan bipolar maka 75
% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan.

c. Faktor Psikososial
Peristiwa traumatik kehidupan dan

lingkungan

sosial dengan suasana yang

menegangkan dapat menjadi kausa gangguan neurosa depresi. Sejumlah data yang
kuat menunjukkan kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan
pasangan hidup dapat memacu serangan awal gangguan neurosa depresi. Hubungan
sebab-sebab biopsikososial terjadinya depresi pada lansia terdiri dari:
1) Biologik: penyakit fisik, disregulasi neurotransmitter dalam sistem saraf pusat
(SSP), efek samping terapi pengobatan, interaksi pengobatan resep maupun non
resep, gangguan mobilitas, perubahan kapasitas sensorik
2) Psikologis: stress, kehilangan sesuatu dalam hidup, episode depresi sebelumnya
(diawal kehidupan), kemunduran kognitif
3) Sosiokultural: isolasi sosial, kematian atau ketidakmampuan pasangan atau
teman, kesulitan ekonomi, pensiun, gangguan perubahan lingkungan.

4. Faktor Resiko Depresi


Faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh:
a. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 % dari
semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga
mungkin memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun hal
tersebut jarang terjadi
b. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar
pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai
melibatkan perbedaan hormonal, perbedaan stressor psikososial bagi perempuan dan lakilaki
c. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena
perceraian atau berpisah dengan pasangan.
d. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah kelingkungan

baru,

pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari
beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.

5.

Gejala-gejala Depresi

Menurut Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa


depresi ditandai dengan beberapa gejala, yaitu:
a.

Gejala utama pada derajat ringan, sedang dan berat

1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan

(PPDGJ) III (2001)

3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun.
b.

Gejala lain, meliputi:

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang


2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4)

Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik

5)

Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

6) Tidur terganggu
7)

Nafsu makan berkurang

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala
fisik dan sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan
tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan
menurunnya daya tahan.
Gejala-gejala ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu:
a.

Gejala fisik
Gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasiyang luas sesuai
dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namunsecara garis besar ada beberapa
gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. Gejala itu seperti:
1) Sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit
2) Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang
pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton tv,
makan, tidur.

3) Orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada
suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga mereka juga akan sulit memfokuskan energi
pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak efisien
dan tidak berguna, seperti misalnya mengemil, melamun, merokok terusmenerus, sering menelpon yang tidak perlu. Orang yang terkena depresi akan
terlihat dari metode kerjanya yang menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya
jadi kacau atau kerjanya jadi lamban.
4) Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atauseluruh motivasi
kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa
yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan
kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas
membuatnya semakin kehilangan energi karena energi yang ada sudah banyak
terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya.
Mereka mudahsekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang
berarti.
5) Depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan perasaan
negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan
dan ia harus memikulnya dimana saja dan kapan saja, suka tidak suka.
b. Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung
memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka
senang sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai
lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih
diperhatikan oleh atasan dan pikiran negatif lainnya.
2) Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu dengan
dirinya perasaannya sensitive sekali, sehingga sering peristiwa yang netral jadi
dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan.
Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan maksud
orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih
suka menyendiri
3) Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal
terutama dalam bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. Misalnya

seorang manager mengalami depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam


persepsinya, pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja dan
pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang
diharapkan
(4) Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yangmengalami depresi.
Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman
atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya
dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan
menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut.
(5) Perasaan terbebani banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang
dialami. Mereka merasakan beban yang terlalu berat karena merasa dibebani
tanggung jawab yang berat.
c. Gejala Sosial
Masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi
lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas lainnya). Bagaimana tidak, lingkungan
tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada
umumnya

negatif

(mudahmarah, tersinggung, menyendiri, sensitive, mudah letih,

mudah sakit). Masalah

sosial

yang

terjadi

biasanya

berkisar

pada

masalah

yangberinteraksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak
hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder,
malu, cemas jika berada diantara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk
berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka
dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

6. Tingkatan Depresi
Menurut PPDGJ-III tahun 1998, depresi dibagi sesuai dengan tingkat keparahannya,
yaitu:
a. Depresi Ringan
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya


4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu 27
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukan.
b. Depresi Sedang
Pedoman yang dipakai adalah
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
depresi ringan
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
c.

rumah tangga.
Depresi Berat
Pedoman yang dipakai adalah:
1) Semua 3 gejala depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi dan retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejala secara rinci Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap
episode depresif berat masih dapat dibenarkan, yaitu:
a. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya dua minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, masih dibenarkan
untuk menegakkandiagnosis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu
b. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada tahap yang sangat terbatas.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa depresi berat ditandai dengan adanya:
a. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresif berat
tanpa gejala psikotik.
b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan,
waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan
afek (mood-congruent)

7. Penatalaksanaan Depresi pada Lanjut Usia


Penatalaksanaan pada penderita depresi harus dilakukan secara adekuat dengan
menggunakan

kombinasi

terapi

psikologis

multidisiplin yang menyeluruh. Adapun

dan farmakologis disertai pendekatan

penatalaksanaan

depresi

pada

lanjut

usia

meliputi:
a. Terapi Fisik
1) Obat. Secara umum, semua obat anti-depresan sama efektifitasnya. Pemilihan jenis
anti-depresan lebih ditentukan oleh pengalaman klinikus dan familiarity terhadap
jenis-jenis -depresan. Pertimbangkan baik, untung dan rugi dari setiap pemberian
terapi dengan mengacu pada 4 hal yaitu efektivitas, tolerabilitas, keamanan, dan
interaksi obat.
2) Pemberian anti-depresan pada lanjut usia, sama seperti padapemberian psikotropika
pada umumnya harus hati-hati. Umumnya diperlukan dosis yang lebih kecil dari
pada orang dewasa, karena dikuatirkan terjadinya akumulasi akibat fungsi ginjal
yang sudah kurang baik. Demikian pula dengan adanya penyakit jantung atau
hipertensi harus diperhatikan pada pemberian obat golongan tricyclic antidepresant (TCA)
3) Terapi ECT (Electroconvulsive Therapy)Untuk pasien depresi yang tidak bisa
makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT
merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali
seminggu pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi
confusion/ memory problem. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood
(sekitar 5-10 kali), sementara anti-depresan maintenance harus diberikan untuk
mencegah relaps/ kekambuhan.
4) Terapi profilaksis. Terapi profilaksis harus diberikan untukmencegah terjadinya
kekambuhan depresi. Setelah gejala-gejala depresi membaik, terapi anti-depresan
masih harus dilanjutkan selama 4-6 bukan dengan dosis terapeutik penuh. Beberapa
penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai 2 tahun. Kapan
anti-depresan

boleh dihentikan,

sangatlah

tergantung

pada

evaluasi

klinis

(perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi


umum).
b. Terapi psikologik antara lain:
1. Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun
bersama-sama

dengan

kelompok

pemberian

paling

efektif

anti-depresan. Baik

jika dilakukan

pendekatan

secara

psikodinamik maupun kognitif behavioural adalah sama keberhasilannya


2. Terapi kognitif
Terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak
ramah, diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola
pikir yang netral atau positif. Ternyata pasien lanjut usia dengan depresi
dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan secara
singkat dan terfokus. Melalui latihan-30 latihan, tugas-tugas dan aktivitas,
terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.
3. Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi,
sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Proses
penuaan mengubah dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari
dominan menjadi dependen pada lanjut usia. Tujuan dari terapi terhadap
keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan
putus asa, merubah dan memperbaiki sikap/ struktur dalam keluarga yang
menghambat proses penyembuhan pasien
4. Penanganan ansietas (relaksasi)
Macam relaksasi antara lain: Relaksasiprogresif, pernafasan dalam, meditasi,
guided imagery, mendengarkan musik, biofeedback, kesadaran tubuh, dan
visualisasi. Tehnik yang umum dipergunakan adalah program relaksasi progresif
baik secara langsung dengan instruktur (psikolog atau terapis okupasional)
atau melalui tape recorder. Terapi musik sebagai salah satu tehnik relaksasi

sering dipakai dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan stress


(salah

satunya depresi). Terapi Musik

terbukti efektif

dalam

mereduksi

gangguan psikologis pada pasien.

8. Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi


Dalam mengukur tingkat depresi menggunakan Instrumen Beck Depresi Inventory
(BDI) yang dirancang oleh Beck(1960), merupakan skala pengukuran tingkat depresi yang
dapat digunakansebagai instrument penyaringan di komunitas dan klinik. Instrumen ini terdiri
dari 21 item yang memuat tentang kesedihan, pesimisme, perasaan gagal, perasaan tidak puas,
perasaan bersalah atau berdosa, perasaan dihukum,

rasa benci pada diri sendiri, mudah

tersinggung, menarik diri dari lingkungan social, tidak mampu mengambil keputusan,
penyimpangan

citra

tubuh,

kelambanan

dalam

bekerja, menangis,

gangguan

tidur,

kelelahan, hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kecemasan fisik dan penurunan
libido.

KESIMPULAN
-

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronis, stress psikologis dapat timbul pada

saat seseorang menerima diagnosa diabetes mellitus.


Perubahan dalam hidup yang mendadak membuat

penderita Diabetes Melitus

manunjukan beberapa reaksi psikologis yang negatif diantaranya adalah marah,


-

merasa tidak berguna, kecemasan yang meningkat dan depresi.


Diabetes Melitus telah mengalami komplikasi maka akan menambah depresi pada
penderita karena dengan adanya komplikasi akan membuat penderita mengeluarkan

lebih banyak biaya, pandangan negatif tentang masa depan, dan lain-lain.
Penderita sakit kronis cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang bersifat negatif
berkenaan dengan kondisi sakitnya. Penderita sakit kronis sangat membutuhkan

dukungan sosial.
Dukungan sosial adalah tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi,
pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam
menghadapi permasalahannya. Dukungan sosial tersebut sangat berpengaruh bagi

individu dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.


Dukungan sosial pada penderita Diabetes Melitus dapat diperoleh

dari

anggota

keluarga, teman, kerabat maupun paramedis yang merupakan sumber eksternal yang
dapat memberikan bantuan bagi penderita diabetes dalam mengatasi dan menghadapi
suatu permasalahan terutama yang menyangkut penyakit yang diderita.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carlsson A. High prevalence of diagnosis of diabetes,depression, anxiety,
hypertension, asthma and COPD in the total population of Stockholm,Sweden a
challenge for public health in BMC Public health. 2013, 16:670
2. Dijk S. Cost-effectiveness of a stepped-care interventionto prevent major depression
in patients with type 2 diabetes mellitus and/or coronary heart disease and

subthreshold depression: design of a cluster-randomized controlled trial in BMC


Public health. 2013, 13:128
3. Petrak F. Study protocol of the Diabetes and Depression Study (DAD): a multi-center
randomized controlled trial to compare the efficacy of a diabetes-specificcognitive
behavioral group therapy versussertraline in patients with major depression and
poorly controlled diabetes mellitus in BMC Public health. 2013, 13:206
4. Sahlen K. Health coaching to promote healthier lifestyle among older people at
moderate risk for cardiovascular diseases, diabetes and depression: a study protocol
for a randomized controlled trial in Sweden in BMC Public health. 2013, 13:199
5. Kaur G. Depression, anxiety and stress symptoms among diabetics in Malaysia: a
cross sectional study in an urban primary care setting in BMC Public health. 2013,
14:69
6. Yavari A. Diabetes and depression in Journal of stress Physiology & Biochemistry
volume 6. 2010, 38-43
7. Nilasari S. Positive psychotherapy untuk menurunkan tingkat depresi dalam Jurnal
Sains dan Praktik Psikologi volume 2. 2013. 179-189
8. Isworo A. Hubungan depresi dan dukungan keluarga terhadap kadar gula darah pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUD Sragen dalam Jurnal Keperawatan
Soedirman volume 5. 2010. 37-46
9. Yudianto K. Kualitas Hidup penderita diabetes mellitus di rumah sakit umum daerah
cianjur dalam Jurnal kualitas hidup penderita DM volume 10. 2008. 76-87
10. Dooren F. Depression and Risk of Mortality in People with Diabetes
Mellitus: A Systematic Review and Meta-Analysis
11. Mail A. Risk for High Depressive Symptoms in Diagnosed and
Previously Undetected Diabetes: 5-Year Follow-Up Results of the
Heinz Nixdorf Recall Study
12. Alvarez A. Endocrine and inflammatory profiles in type 2 diabetic
patients with and without major depressive disorder
13. Mommersteeg P. Higher levels of psychological distress are associated
with a higher risk of incident diabetes during 18 year follow-up:
results from the British household panel survey
14. Saraswati R. Hubungan antara konsep diri dengan tingkat depresi penderita diabetes
mellitus di rumah sakit umum ungaran dalam Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan
volume 5. 2009. 39-43

15. Widyastuti W. Hubungan antara depresi dengan kepatuhan melaksanakan diet pada
diabetisi di pekalongan dalam Jurnal Ilmiah Kesehatan volume IV. 2012. 25-33

Anda mungkin juga menyukai