Anda di halaman 1dari 4

Doa Berbuka allahuma laka shumtu Tidak Shahih dan Tak Ada Dalam

Kitab Hadits Manapun, Benarkah?


Tanya :

Ustadz, saya mendapat wacana bahwa doa berbuka allahuma laka shumtu dst adalah tidak shahih dan
tidak ada di kitab hadits manapun. Katanya yang shahih hanya doa dzahaba azh zhama`u wab-tallatil
uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah. Mohon penjelasan Ustadz. (Putri Munawwaroh, Bantul)

Jawab :

Tidaklah benar jika ada perkataan bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh allahuma laka shumtu
dst tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun. Dalam kitab Al Adzkar An Nawawiyyah karya Imam
Nawawi, juga dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu karya Syeikh Wahbah Zuhaili, disebutkan
bahwa doa tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud secara mursal dari
Muadz bin Zuhrah. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah,hlm.162; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al
Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46).

Dalam kitab hadits Sunan Abu Dawud nomor 2358 dari Muadz bin Zuhrah, pada bab Al Qaul Inda Al
Ifthaar (Ucapan Pada Saat Berbuka), terdapat hadits yang lengkapnya sebagai berikut :



Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Hushain,
dari Muadz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Nabi SAW jika berbuka puasa
berdoa,Allahumma laka shumtu wa ala rizqika afthartu. (Ya Allah hanya karena-Mu aku berpuasa, dan
hanya dengan rizki-Mu aku berbuka). (HR Abu Dawud, no 2358).

Berdasarkan bukti yang nyata ini, sungguh tidak benar perkataan yang dengan berani telah mengklaim
bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh allahuma laka shumtu dst tidak ada dalam kitab hadits mana
pun.

Kami berprasangka baik (husnuzh zhann) bahwa perkataan itu kemungkinan hanya melebih-lebihkan
(mubalaghah) belaka. Yaitu bahwa maksudnya bukan ingin benar-benar mengatakan doa allahumma
laka shumtu dst tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun. Namun (barangkali) maksudnya adalah,
hadits tentang doa allahumma laka shumtu dst itu sebenarnya ada, namun derajatnya dhaif sehingga
tidak layak untuk diamalkan.

Jika memang demikian yang dimaksudkan, maka hadits tentang doa allahumma laka shumtu dst itu
memang dapat dinilai hadits dhaif. Karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Muadz
bin Zuhrah ini merupakan haditsmursal, sebagaimana kata Imam Nawawi,Haakadza rawaahu
mursalan (Demikianlah Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini secara mursal). Padahal hadits mursal
menurut sebagian ulama termasuk hadits dhaif. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162;
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al
Hadits, hlm. 72).

Menurut Syeikh Shubhi Shalih, hadits mursal adalah hadits yang gugur darinya periwayat dari generasi
shahabat

(maa

saqatha

minhu

as

shahaabi).

Contohnya,

seorang

tabiin

(bukan

shahabat)

mengatakan,Nabi SAW berkata begini atau berbuat begini. Hadits mursal ini menurut sebagian ulama
memang digolongkan ke dalam hadits yang dhaif dan tertolak (dhaiif marduud). Karena ia dianggap
mengandung cacat, yaitu terputusnya sanad (inqithaaus sanad). (Shubhi Shalih,Ulumul Hadits wa
Mushtholahuhu, hlm. 166-167; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72).

Dalam kitab-kitab Syarah Sunan Abu Dawud, dijelaskan periwayat hadits bernama Muadz bin Zuhrah
memang bukanlah seorang shahabat, melainkan seorang tabiin. Imam Ibnu Hibban menyebut nama
Muadz bin Zuhrah dalam kitabnyaTsiqaat At Tabiin. Dan dalam hal ini memang tidak diketahui siapa
nama shababat yang menjadi perantara (waasithah) antara Muadz bin Zuhrah dengan Nabi SAW.
Dengan demikian, hadits Abu Dawud dari Muadz bin Zuhrah di atas memang hadits mursal.
(Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi,Aunul Mabud, Juz 11 hlm. 483; Muhammad Muhammad
Khathab As Subki, Al Manhal Al Adzb Al Maurud, Juz 10 hlm. 81-82).

Maka dari itulah, tidak mengherankan jika ada sebagian ulama yang menilai hadits Muadz bin Zuhrah
tersebut adalah hadits dhaif. Misalnya Imam Suyuthi dalam kitabnya Al Jamiius Shaghir yang telah
menilai dhaif (lemah) terhadap hadits Muadz bin Zuhrah tersebut, dengan alasan hadits tersebut adalah
hadits mursal.

Namun demikian, menurut kami, pendapat yang mendhaifkan hadits tersebut kurang tepat. Karena
sesungguhnya para ulama masih berbeda pendapat mengenai hadits mursal, apakah dapat dijadikan
hujjah (dalil) ataukah tidak. Dalam persoalan ini, pendapat jumhur imam mazhab, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad, yang sekaligus pendapat yang rajih (kuat) menurut Imam
Taqiyuddin An Nabhani, rahimahullah, adalah, hadits mursal dapat dijadikan hujjah. Alasannya, meski
periwayat yang gugur (tidak disebut) tidak diketahui dari segi personnya (min naahiyati syakhshihi),
yaitu apakah shahabat bernama A ataukah shahabat bernama B, tapi jelas diketahui bahwa periwayat
itu adalah seorang shahabat. Padahal semua shahabat adalah orang-orang yang adil (al shahabat
kulluhum uduul), yang sudah pasti merupakan orang yang tsiqah (adil dan dhabit / kuat hapalan). Jadi

alasan yang melemahkan hadits mursal, yaitu terputusnya sanad (inqithaaus sanad), tidak dapat
diberlakukan pada hadits mursal. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 1 hlm.
342; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 73).

Jadi, meskipun hadits Abu Dawud yang mengandung doa allahumma laka shumtu di atas merupakan
hadits mursal, namun hadits ini sesungguhnya bukanlah hadits yang lemah. Karena hadits mursal
menurut tiga imam mazhab adalah hadits yang dapat dijadikan hujjah.

Dalam kasus hadits Muadz bin Zuhrah ini, tidak diketahuinya nama shahabat tidaklah menjadi masalah,
sehingga haditsnya tidak dapat dilemahkan hanya karena tidak disebutnya nama shahabat oleh Muadz
bin Zuhrah. Pensyarah kitab Sunan Abu Dawud, yakni Syeikh Muhammad Muhammad Khathab As Subki,
berkata dalam kitabnya Al Manhal Al Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud :


) (
Tidak diketahui siapakah shahabat yang menjadi perantara antara dia [Muadz bin Zuhrah] dengan
Nabi SAW, namun ketidaktahuan dalam hal [siapa] shahabat ini tidaklah membahayakan(Dan dalam
hadits ini) terdapat dalil mengenai pensyariatan doa ini [allahumma laka shumtu dst] setelah berbuka
dari puasa. (Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi
Dawud, Juz 10 hlm. 81).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pensyarah hadits lebih condong kepada pendapat yang mengambil
hadits mursal sebagai hujjah, yang nampak dari perkataan beliau,namun ketidaktahuan dalam hal
[siapa] shahabat ini tidaklah membahayakan.. .Maka hadits Abu Dawud yang berisi doa allahumm laka
shumtu tak dapat dihukumi sebagai hadits dhaif hanya dengan alasan merupakan hadits mursal.

Nah, kemudian, jika bukan hadits dhaif, lalu hadits tersebut derajatnya apa? Menurut kami, wallahu
alam, derajatnya paling sedikit adalah hadits hasan, khususnya hadits hasan li ghairihi.

Mengapa dapat dikategorikan hadits hasan? Karena menurut kami hadits Muadz bin Zuhrah tersebut
memenuhi syarat-syarat sebagai hadits hasan li ghairihi. Menurut Syeikh Mahmud Thahhan, hadits yang
aslinya

dhaif

dapat

meningkat

derajatnya

menjadi hasan

li

ghairihi jika

memenuhi

(dua)

syarat; Pertama, ada jalur periwayatan lain dengan derajat yang sama atau lebih kuat. Kedua, penyebab
dhaifnya bukan karena kefasikan periwayat dan kedustaan perawi, melainkan karena sebab-sebab lain,
yaitu buruknya hapalan, atau terputusnya sanad, atau ketidaktahuan (al jahaalah) mengenai siapa yang
menjadi periwayat-periwayat suatu hadits. (Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 52-53).

Syarat pertama, dapat dipenuhi. Karena dalam kitab Al Manhal Al Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi
Dawud pada juz 10 hlm. 82, disebut ada hadits dengan jalur periwayatan lain dari Muadz bin Zuhrah
juga, walaupun lafalnya berbeda namun maknanya sama. Disebutkan oleh pensyarah kitab tersebut :

()

:

Telah meriwayatkan Ibnus Sunni dari Muadz bin Zuhrah bahwa dia [Nabi] SAW pernah berdoa [saat
berbuka],Segala puji bagi Allah yang telah menolongku sehingga aku berpuasa, dan yang telah
memberi rizki kepadaku sehingga aku berbuka. (Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal
Al Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud, Juz 10 hlm. 82).

Hadits ini adalah hadits mursal juga, karena Muadz bin Zuhrah tidak menyebut siapa nama shahabat
yang menjadi perantara antara dirinya dengan Nabi SAW (Lihat Al Adzkar An Nawawiyah, hlm. 162).
Jadi ini adalah hadits dengan jalur periwayatan lain yang sama derajatnya dengan hadits Muadz bin
Zuhrah sebelumnya yang berisi doa allahumma laka shumtu dst.

Syarat kedua, juga dapat dipenuhi. Yaitu penyebab kedhaifannya adalah karena ada unsur keterputusan
sanad (inqithaaus sanad), atau unsur al jahaalah (ketidaktahuan) mengenai identitas perawi, bukan
karena ada perawi yang fasik atau dituduh berdusta. Padahal sudah diketahui bahwa perawi yang tak
diketahui itu tidaklah membahayakan, karena dia adalah seorang shahabat. Maka dari itu, hadits Muadz
bin Zuhrah di atas menurut kami derajatnya adalah hadits hasan.

Walhasil, dari seluruh uraian di atas dapat kami simpulkan dua poin utama sebagai berikut; Pertama,
bahwa doa berbuka puasa yang berbunyi allahuma laka shumtu dst tidaklah benar kalau dikatakan
tidak ada di dalam kitab hadits mana pun.Kedua, hadits mursal dari Imam Abu Dawud yang
mengandung doa tersebut, bukanlah hadits dhaif, melainkan hadits yang derajatnya minimal adalah
hasan.

Ini

berarti

hadits

tersebut

dapat

dijadikan

hujjah

dan

sah

untuk

diamalkan

kaum

muslimin. Alhamdu lillah. Wallahu alam. [M. Shiddiq Al Jawi, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, Kamis 5
Ramadhan 1435 H / 3 Juli 2014)

Anda mungkin juga menyukai