Anda di halaman 1dari 11

Hal-Hal yang Bisa Memalingkan Hati dari Cinta Kepada Allah

Bag.1
1. Orang tua
Apabila kita merujuk kembali kepada Al Quran surat At Taubah ayat 24 tersebut di
atas, ada orang yang begitu mencintai orang tuanya lebih dari segala-galanya. Dia
merasa begitu bangga dengan jabatan yang diemban oleh ayahnya. Dia merasa terbawa
mulia dengan kedudukan yang dimiliki ayahnya. Dia merasa terbawa hebat dengan
pangkat dan gelar yang disandang oleh ayahnya. Ia sangat mengandalkan nama
ayahnya. Ia membawa-bawa nama ayahnya, seolah itulah jaminan yang akan membuat
segala urusannya menjadi terpenuhi dengan sangat mudah. Ia membawa-bawa nama
ayahnya dengan harapan orang lain akan memuliakan dirinya karena memiliki ayah yang
luar biasa.
Sikap seperti di atas sangat berpotensi mendatangkan masalah. Yaitu ketika
seseorang lebih takut kepada murka orang tua daripada murka Allah. Ketika seseorang
lebih cinta kepada orang tua karena menganggap orang tua adalah pemberi segala
kebutuhannya. Ketika seseorang menuruti segala kehendak orangtuanya terlepas dari
benar ataupun salah, maka ini akan mendatangkan kesulitan. Ketika seseorang sangat
takut, cinta dan harap terhadap orang tuanya melebihi takut, cinta dan harapnya kepada
Allah Swt, maka itu adalah awal dari malapetaka.
Cinta, hormat dan patuh kepada orang tua adalah hal yang disyariatkan di dalam
Islam. Bahkan di dalam Al Quran, Allah Swt langsung yang melarang kita membantah
atau melawan kepada orang tua. Allah Swt berfirman,














Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam

pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya


perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (QS. Al Israa
[17]: 23-24).

Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa mengucapkan kata Ah kepada orang


tua saja tidak diperbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu. Penghormatan kepada
orangtua adalah hal yang sangat diperhatikan. Seorang anak dilarang melontarkan katakata atau melakukan suatu perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa sakit hati orang
tuanya. Jikapun ada ketidaksetujuan dengan orang tua, maka hendaknya disampaikan
dengan tetap menunjukkan penghormatan kita kepada mereka.

Hal yang perlu disadari adalah bahwasanya niat kita menghormati dan mencintai
kedua orang tua itu haruslah dilatarbelakangi karena rasa cinta kita kepada Allah Swt.
Kecintaan dan pengormatan kita terhadap mereka harus dalam rangka penghambaan
kita kepada Allah Swt. Inilah wujud dari rasa cinta kepada-Nya.
2. Anak

Bagi yang sudah dikaruniai anak, juga penting untuk selalu mawas diri. Ada orang
yang begitu mencintai anaknya melebihi dari apapun. Ia sangat membangga-banggakan
anaknya, memamer-mamerkan foto-fotonya, apalagi jika ada piala-piala, piagam dan
medali yang banyak. Kemudian, ia terjerumus kepada sikap sombong, riya, ingin dipuji
oleh manusia. Terjebak kepada sikap takabur dan merendahkan orang lain karena anakanak mereka tidak sehebat anaknya.

Atau ada juga orang tua yang menjadi terhalang dirinya dari ibadah kepada Allah
Swt hanya karena lebih mengutamakan untuk memenuhi suatu keinginan anaknya.
Bahkan, tidak jarang orang tua yang menjadi gelap mata, melakukan perbuatan korupsi
karena demi memenuhi keinginan anaknya untuk memiliki motor atau mobil misalnya.

Ada orang yang sebelum punya anak, tahajudnya bagus, tadarrusnya giat, shalat
fardhu selalu di masjid, langka absen dari pengajian, kesempatan untuk bersedekah
selalu dicari, dan amal-amal kebaikan lainnya. Akan tetapi setelah Allah Swt menitipkan
anak kepadanya, amal-amal kebaikan itu berkurang secara perlahan atau secara cepat
karena lebih sibuk mengurus anaknya. Jadi banyak amal kebaikan yang terhambat,
padahal hambatan itupun dibuat oleh dirinya sendiri. Karena sebenarnya amal-amal
kebaikan itu tetap bisa dilakukan meski sudah memiliki anak. Bahkan sebenarnya amalamal kebaikan itu bisa semakin bertambah setelah memiliki anak.
Allah Swt berfirman,


Artinya: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al Anfal [8]: 28).

Ketika hati terlalu didominasi oleh anak. Ketika sang anak sakit, maka orang
tuanya menjadi was-was, tegang dan diserang rasa takut bertubi-tubi. Mengapa terjadi
seperti itu? Karena Allah tidak dia hadirkan di dalam hatinya. Ia hanya berpikir seakan
anaknya

itu

adalah

sepenuhnya

miliknya,

ia

merasa

telah

bersusah-payah

membesarkannya dan seterusnya. Padahal sudah jelas, anak adalah ciptaan, titipan dan
milik Allah Swt.

Semestinya ketika anak sakit, sikap orang tua adalah merawatnya, membawanya
berobat dan libatkan Allah Swt di dalam setiap proses itu. Karena sesungguhnya hanya
kekuasaan-Nya-lah yang bisa memberikan kesembuhan pada sang anak. Karena
hakikatnya sang anak adalah milik-Nya dan hanya Dia yang kuasa membuatnya sakit
dan membuatnya sembuh.

Hadirkanlah Allah Swt di dalam hati ketika kita mengungkapkan kecintaan kita
kepada anak kita. Amal kita saat merawatnya, menjaganya, membesarkannya,
mendidiknya, niatkanlah sebagai wujud kita mencintai Allah Swt Yang telah mempercayai
kita dengan titipan berupa kehadiran anak. Niatkanlah amal kita tersebut sebagai wujud
ketundukan dan ibadah kita terhadap-Nya. Jika Allah Swt yang jadi niat besar kita dalam
menjaga dan mendidik anak kita, maka Allah akan membimbing kita dalam menjadikan
anak ini sebagai insan yang shaleh dan berbakti dan berguna.

Mawas dirilah untuk kita yang sudah diamanahi anak oleh Allah Swt, karena
sesungguhnya sangatlah mudah bagi Allah Swt untuk mengambil kembali titipan-Nya itu.
Jadikanlah kehadiran anak sebagai penyemangat untuk semakin mendekatkan diri
kepada-Nya. Jangan berlebihan dalam mencintai anak, karena sesungguhnya anak
bukanlah milik kita. Anak hanya titipan Allah kepada kita.
3. Saudara dan pasangan
Dalam ayat yang disebutkan di atas juga Allah Swt memperingatkan tentang
saudara-saudara kita dan pasangan kita. Berhati-hatilah dalam menyikapi kehadiran
pasangan hidup. Apalagi untuk mereka yang menjalin hubungan namun belum resmi
dengan pernikahan. Berhati-hatilah dengan hubungan yang belum resmi karena di sana
terdapat jebakan syaitan yang besar sekali.

Periksalah diri ketika mencintai pasangan kita. Jangan mudah terhipnotis dengan
lagu-lagu zaman sekarang yang banyak sekali mengumbar asmara dan hawa nafsu.
Apalagi jika kita perhatikan, anak-anak muda zaman sekarang yang seolah hidupnya tak
lengkap jika tidak berpacaran, mereka punya lagu-lagu yang sudah seperti lagu
kebangsaannya. Lagu-lagu tersebut banyak sekali dipenuhi dengan syair-syair
kemusyrikan. Pemujaan terhadap pasangan yang sangat berlebihan, seolah-olah
kehidupan tak akan berjalan tanpa kehadirannya. Seolah-olah kerugian besar akan
datang jika pasangannya meninggalkannya. Perhatikan kalimat-kalimat ini, Hidupku
hanya untukmu, atau cintaku hanya padamu, atau tanpa dirimu hidupku hampa tak
bermakna, atau engkau adalah denyut jantungku, dan kalimat-kalimat lainnya.
Kalimat-kalimat yang menjadi wujud sikap berlebihan. Ini adalah sikap yang sia-sia
bahkan membahayakan.

Demikian juga bagi mereka yang sudah terikat dengan tali pernikahan, hendaklah
tidak berlebihan dalam menunjukkan rasa cinta dan sayang. Hendaklah tidak pula

memamerkan romantisme di hadapan banyak orang. Karena sesungguhnya


keharmonisan dan romantisme itu justru akan terpancar dengan sendirinya secara
natural. Kehangatan dalam kehidupan berumah tangga dengan sendirinya akan
berpengaruh juga dalam kehidupan bertetangga. Keharmonisan di dalam rumah akan
berpengaruh pada hubungan yang baik dengan sesama di luar rumah.

Kemesraan adalah hal yang tidak memerlukan akting. Kemesraan bukanlah hal
yang perlu dipamerkan dengan begitu demonstratif di hadapan orang lain. Karena Allah
sungguh Maha Tahu mana sikap yang sebenarnya dan mana sikap pura-pura. Malah,
orang lain pun sebenarnya bisa merasakan mana sikap yang apa adanya dan mana sikap
yang hanya dihiasi dengan kepura-puraan. Justru sikap yang berlebihan biasanya
dilakukan karena untuk menutupi sesuatu.

Kebahagiaan, termasuk kebahagiaan di dalam rumah tangga, tidaklah datang dari


banyaknya cumbu rayu, banyaknya pujian, penampilan, atau bergelimangnya harta
kekayaan. Kebahagiaan itu datang dari Allah Swt bagi orang yang senantiasa bersikap
menjaga kebersihan hati.

Jangan berlebihan jika memuji pasangan. Teladanilah bagaimana ketika Rasullah


Saw memuji istrinya, Aishah RA dengan panggilan Humaira karena memang pipi Aisyah
RA yang merona kemerah-merahan. Pujian Rasulullah Saw kepada isterinya adalah pujian
yang sederhana namun bersahaja dan meninggalkan kesan mendalam di hati istrinya.

Hati-hati, janganlah jadikan pasangan kita terlalu mendominasi hati dan pikiran
kita. Jangan biarkan diri kita dipenuhi dengan sikap gelisah dan cemburu yang
berlebihan. Kita tentu tak jarang menemukan atau mengalaminya sendiri, pasangan
yang sangat pencemburu bahkan selalu curiga kepada pasangannya.Handphone-nya
selalu diperiksa, sms-nya dibaca satu persatu, jika sedang di luar berkali-kali ditanya
sedang di mana dan dengan siapa. Siapapun yang mengalami hal ini tentu tidak akan
merasa nyaman.

Kita memiliki pasangan bukanlah untuk membuat hati menjadi berpaling.


Bukankah pasangan itupun pemberian dari Allah Swt. Maka, tidak sepatutnya pasangan
malah menjadikan kita jadi tidak lebih ingat kepada pasangan daripada ingat kepada
Allah Swt. Tidak sepatutnya kita malah jadi lebih cinta kepada pasangan daripada kepada
Dzat Yang memberi kita pasangan.

Jika kita menempatkan hati hanya untuk Allah Swt, maka Allah akan
menempatkan makhluk-Nya di hati kita dengan porsi yang pas. Sedangkan jika kita
menempatkan hati untuk makhluk, maka makhluk itu akan merusak hati kita dan
membuatnya kering hampa karena jauh dari Allah.
Cinta kepada Allah Swt itu wujudnya adalah jika kita mencintai makhluk maka kita
mencintainya dengan kadar yang Allah sukai. Cinta kepada Allah itu buktinya adalah
apabila kita mencintai makhluk, maka cinta kita itu dilatarbelakangi oleh rasa cinta
kepada Allah. Sehingga apapun yang kita lakukan adalah dalam rangka memenuhi apa
yang Allah ridhai. Tidak boleh kecintaan kita kepada makhluk itu mengalahkan kadar
kecintaan kita kepada Allah Swt.

Jangan biarkan shalat berjamaah di awal waktu terganggu hanya karena lebih
ingin ngobrol dengan orang yang kita sayangi. Jangan biarkan tadarrus Al Quran kita
terganggu hanya karena lebih mementingkan untuk menjawab telepon dari orang yang
kita cintai. Sungguh tidaklah patut kita melakukan hal yang demikian. Karena orang yang
kita cintai itu hanyalah makhluk, dia tak bisa memberikan apapun kepada kita. Hanya
Allah Swt yang semestinya selalu kita utamakan. Karena Dia-lah Dzat Yang Maha Memiliki
segalanya.
Untuk mereka yang belum menikah, berhati-hatilah terhadap hubungan yang
dinamakan pacaran. Karena orang yang berpacaran itu belum tentu jodoh. Mungkin
saja jodoh itu adalah orang yang tidak pernah kita sangka-sangka. Berhati-hatilah
terhadap hubungan pacaran. Karena mengumbar cinta kepada pacar yang belum tentu
jodoh malah membuat boros pulsa, boros waktu, boros biaya dan boros dosa. Jika ada
fotonya di dalam dompet, buang saja, apalagi foto selalu cenderung berdusta karena
berbeda dengan yang aslinya. Foto selalu dibuat-buat dengan menampilkan penampilan
terbaik saja.

Mungkin ini terlihat seperti urusan yang remeh-temeh. Tapi sesungguhnya ini
adalah hal yang sangat penting. Apapun urusan yang bisa lebih mendominasi hati kita
sehingga memalingkan kita dari mengingat Allah Swt, maka itu adalah urusan yang
sangat serius, termasuk urusan pacaran. Sudahlah, kesampingkan urusan pacaran, hal
yang hanya menguras waktu, tenaga dan pikiran secara sia-sia dan malah semakin
menambah dosa. Toh, jodoh itu jika sudah waktunya pasti datang juga. Semakin kita
memperbaiki kualitas diri, maka kita akan semakin dekat dengan jodoh yang senantiasa
memperbaiki kualitas dirinya pula.

Usahakanlah sekuat tenaga untuk menekan perasaan. Tekanlah sekuat mungkin


rasa cinta terhadap makhluk hingga mencapai titik di mana perasaan cinta kepadanya
itu tidak mendominasi hati. Tekanlah sekuat mungkin hingga mencapai kondisi di mana

Allah Swt lebih besar kita cintai secara sadar ketimbang dirinya. Karena sekuat apapun
rasa cinta kita kepada manusia, Allah tidaklah bisa dipaksa oleh kita untuk menjadikan
orang yang kita cintai itu menjadi jodoh kita. Apa yang bisa kita lakukan adalah sungguhsungguh mencintai Allah Swt sehingga Allah mempertemukan dan mempersatukan kita
dengan seseorang yang dipilihkan oleh-Nya untuk kita. Hingga Allah Swt memilihkan
sosok terbaik menurut-Nya untuk kita. Sungguh, Allah Swt Maha Mengetahui apa yang
terbaik untuk hamba-Nya.

Untuk para suami, hendaknya mencintai istrinya secara tidak berlebihan,


melainkan cintailah ia sekadarnya saja. Cintailah istri sesuai dengan batasan yang
dibenarkan oleh syariat, sehingga tidak terus-menerus memenuhi pikiran siang dan
malam. Cintai istri sekadarnya saja sehingga pikiran-pikiran tentangnya tidak
mengganggu konsentrasi dalam shalat. Cintailah istri sekadarnya sehingga tidak
mengganggu kualitas ibadah kita. Cintailah istri sekadarnya sehingga tidak mengganggu
aktifitas jihad kita.

Untuk para istri pun demikian. Cintailah suami dengan sekadarnya saja. Suami
bukanlah segala-galanya. Ia hanya pasangan yang dititipkan oleh Allah Swt sebagai mitra
untuk beribadah kepada-Nya. Jika seorang istri mencintai suaminya secara berlebihan
pasti tidak akan bahagia. Hanya akan menimbulkan perasaan-perasaan yang
menggelisahkan. Cemburu yang berlebihan, sensitif yang tidak karuan, curiga yang
kelewatan, dan lain sebagainya.

Tekanlah rasa cinta kepada makhluk hingga titik di mana ia tidak lagi
mendominasi hati dan perasaan kita. Tekanlah hingga titik di mana hanya Allah Swt saja
yang mendominasi hati kita.
Ada satu cerita tentang seorang suami yang tuna netra memiliki istri yang
berpenglihatan normal. Ada satu hal yang mengherankan di dalam keseharian rumah
tangga pasangan ini. Yaitu, sang istri senantiasa berdandan dan menjaga penampilannya
di dalam rumah. Padahal sang suami tidak bisa melihatnya. Suatu ketika teman dari sang
istri bertanya kepadanya, Mengapa kamu berdandan, bukankah suamimu tidak bisa
melihatmu?! Kemudian wanita itu menjawab, Suamiku memang tidak bisa melihat.
Tapi, bukankah Allah selalu melihat kita?! Mudah-mudahan Allah suka kepadaku karena
apa yang aku lakukan ini. Aku yakin, kelak Allah yang akan menjelaskan kepada suamiku
tentang hal ini.

Sikap-sikap seperti ini harus kita latih agar kita terbiasa menjadikan Allah Swt
yang selalu lebih banyak hadir di dalam hati kita ketimbang yang lain selain-Nya. Karena
terlalu mencintai sesuatu selain Allah Swt tidak akan menimbulkan kebahagiaan di dalam

hati kita. Justru hal itu hanya akan membuat waktu atau kesempatan ibadah kita
terbuang percuma. Sungguh tidak akan nyaman ketika hati kita didominasi oleh sesuatu
yang selain Allah Swt. Rasa resah, gelisah dan takut akan menghantui hati kita dari
waktu ke waktu.

3. Harta kekayaan

Allah Swt berfirman,







Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(QS. Ali Imran [3]: 14).

Hal lain yang bisa menyita rasa cinta kita dan memalingkan hati kita dari Allah
Swt adalah harta kekayaan. Sehingga tidak heran jika ujian dengan harta kekayaan itu
jauh lebih berat dibandingkan ujian dengan kefakiran. Hal ini karena harta kekayaan
mudah sekali menjebak manusia kepada sikap
sombong, pamer, boros dan lupa kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan
harta kekayaan itu.

Apabila kita sedang dianugerahi harta kekayaan yang berlebih, maka berhatihatilah

menggunakannya, sikapilah dengan wajar-wajar saja. Jangan biarkan diri larut di


dalam keasyikan berbelanja hal-hal yang tidak perlu atau barang-barang yang sifatnya
kemewahan semata. Selain itu, waspadai juga sikap diri ketika mulai muncul rasa takut
harta kekayaannya itu berkurang. Karena sikap ini akan menjauhkan kita dari semangat
untuk bersedekah dan berderma.

Lantas bagaimana seharusnya kita menyikapi harta kekayaan kita?

Pertama, jagalah selalu kesadaran diri bahwasanya harta kekayaan yang kita
miliki adalah titipan Allah Swt. Jangan biarkan perhatian kita terhadap harta kekayaan itu
menyibukkan hati dan pikiran kita sehingga tak ada lagi tempat untuk mengingat Allah di
dalam hati. Bersikaplah zuhud, hanya meletakkan harta dunia di tangan, tidak
meletakkannya di dalam hati.

Kedua, tidak hanyut dalam memburu harta duniawi hingga mengakibatkan kita
lupa dan lalai pada kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Jangan sampai kita menjadi
lalai dalam ibadah karena alasan sibuk mengelola bisnis perusahaan. Jangan sampai kita
jadi menomorsekiankan Allah Swt dan menomorsatukan harta kita. Contohlah Utsman
bin Affan dan Abdurrahman bin Auf RA, dua sahabat Rasulullah Saw yang sangat terkenal
kaya raya tetapi selalu mempergunakan harta kekayaannya itu untuk mengejar
keridhaan Allah Swt semata.

Ketiga, tidak menumpuk-numpuk harta duniawi. Jadikanlah harta kekayaan dunia


sebagai jalan dan bukan tujuan. Jangan berikan kesempatan kepada syetan untuk
menang dalam berusaha merayu dan membujuk kita untuk terus memburu, menimbun
dan menumpuk harta tanpa menginfakkannya di jalan Allah Swt.

Keempat, latihlah terus diri kita agar gemar berinfak, bersedekah di jalan Allah
Swt. Jangan menunggu bergelimang harta untuk melakukan sedekah atau berinfak. Ini
adalah salah satu bentuk sikap bersyukur atas karunia harta duniawi. Rasulullah Saw
bersabda, Hai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memberikan kelebihan untuk
berinfak adalah lebih baik bagimu. Dan jika engkau kikir adalah lebih buruk bagimu. Dan

janganlah kamu boros terhadap kekayaanmu. Dan bantulah kepada orang-orang yang
membutuhkan pertolongan. Dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah. (HR. Muslim dan Turmudzi).

Harta kekayaan itu seperti jebakan. Ada seseorang yang memiliki mobil mewah.
Dia sangat sayang kepada mobilnya itu karena harganya yang mahal juga karena bentuk
dan penampilannya yang memukau. Ia selalu merasa bangga jika bepergian dengan
mobil tersebut, terutama ketika ada orang yang melihatnya dan terkagum-kagum.
Namun, ada hal yang membuat hatinya tidak pernah tenang, yaitu ia selalu merasa waswas seandainya ada seseorang yang mencuri mobilnya. Ia pun merasa takut
jika body mobilnya itu tergores. Akhirnya, hati dan pikirannya lebih disibukkan dengan
pikiran dan ingatan kepada mobil daripada kepada Allah Swt.

Ada juga seseorang yang diberi kelebihan dalam harta kekayaan. Ia gemar sekali
mengoleksi guci dan ukiran-ukiran. Hampir setiap hari semua koleksinya itu dibersihkan.
Ia senang sekali jika ada teman-temannya yang berkunjung ke rumahnya karena dengan
begitu, ia bisa memamerkan semua koleksinya itu. Ada rasa kepuasan tersendiri jika
teman-temannya terkagum-kagum pada koleksinya itu.

Namun, ternyata hampir setiap saat pula hati dan pikirannya tidak tenang.
Mengapa? Karena rasa takut guci-guci dan ukiran-ukirannya itu tersenggol sehingga
pecah atau patah. Demikianlah, kepemilikian harta kekayaan berupa ukiran dan guciguci itu membuat dirinya sibuk mengingat-ingat dan memikirkannya.

Bukan tidak boleh memiliki mobil bagus. Bukan tidak boleh memiliki guci atau
ukiran. Bukan dilarang memiliki perhiasan emas perak atau batu permata. Apa yang
dilarang adalah jika semua benda-benda itu membuat diri kita melakukan perbuatanperbuatan yang tidak diridhai oleh Allah Swt. Bukan tidak boleh menjadi orang yang kaya
raya. Apa yang tidak boleh adalah kekayaan kita itu menjadi berhala yang kita ingatingat setiap waktu hingga mengalahkan ingatan kita kepada Allah Swt. Naudzubillahi
mindzalik.

Anda mungkin juga menyukai