Anda di halaman 1dari 5

GAMBARAN UMUM PATIENT SAFETY

Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan
adalah keselamatan pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai
dibicarakan kembali pada tahun 2000an, sejak laporan dari Institute
of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is human,
building a safer health system, yang memuat data menarik tentang
Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan
pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien sehubungan
dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan
angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan keselamatan pasien
dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di
seluruh dunia. WHO kemudian meluncurkan program World Alliance
for Patient Safety pada tahun 2004. Di dalam program itu dikatakan
bahwa keselamatan pasien adalah prinsip fundamental pelayanan
pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan telah menerbitkan Panduan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat
sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS)
Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan
Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah
Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai
tuntutan hukum kepada dokter dan rumah sakit. Salah satu cara
mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem keselamatan
pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di
dalam rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar
akreditasi rumah sakit ini diharapkan memberikan asuhan kepada
pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera akibat melakukan
atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan
pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen
risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko.
Pelaporan dan analisis insiden keselamatan pasien akan
meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk
mencegah terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.

3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan,


diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap
penerapan keselamatan pasien adalah:
1. Identify patients correctly
2. Improve effective communication
3. Improve the safety of high-alert medications
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
5. Reduce the risk of health care-associated infections
6. Reduce the risk of patient harm from falls
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama
diimplementasikan diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan
pengembangan dalam implementasinya. Di Indonesia, PERSI telah
mensosialisasikan langkah-langkah yang dipakai untuk implementasi
di rumah sakit seluruh Indonesia.
Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is
open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus
on Patient Safety throughout your organization)
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop
systems and processes to manage your risks and identify and assess
things that could go wrong)
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily
report incidents locally and nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to
communicate openly with and listen to patients)
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
(Encourage staff to use root cause analysis to learn how and why
incidents happen)
7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons
through changes to practice, processes or systems).
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan
tujuan agar pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali,
sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam perawatan di rumah sakit
pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang
sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga
keselamatannya dari akibat yang timbul karena error. Bila program
keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak pada terjadinya
tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan
efisisiensi, serta kerugian lainnya.

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)


Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang
dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses
dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang
lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi, dan
manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan
menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya
risiko. Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah
keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak diharapkan
(adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient
Safety) didefinisikan sebagai freedom from accidental injury.
Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan
suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai
tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam prakteknya
akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau
hampir terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini
dapat disebabkan karena:
1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi
tetapi tidak timbul reaksi obat)
2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat
diberikan)

Element keselamatan pasien terdiri dari:


Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)
Restraint use
Nosocomial infections
Surgical mishaps
Pressure ulcers
Blood product safety/administration
Antimicrobial resistance
Immunization program
Falls
Blood stream vascular catheter care
Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor
incident reports
Pendekatan Penanganan KTD atau Error
Menurut James Reason dalam Human error management : models
and management dikatakan ada dua pendekatan dalam penanganan
error atau KTD.
1. pendekatan personal.
Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman,
melakukan pelanggaran prosedur, dari orang-orang yang menjadi
ujung tombak pelayanan kesehatan (dokter, perawat, ahli bedah, ahli
anestesi, farmasis dll). Tindakan tidak aman ini dianggap berasal dari
proses mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang
perhatian, motivasi yang buruk, tidak hati-hati, dan sembrono.
Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang berbuat salah.

2. Pendekatan sistem
Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat
berbuat salah dan karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan
dianggap lebih sebagai konsekwensi daripada sebagai penyebab.
Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat
mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah
kondisi dimana manusia itu bekerja.
Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem
yang digambarkan sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai
pengembangan pada kebijakan, prosedur, profesionalisme, tim,
individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau
meminimalkan terjadinya KTD.
Penyebab utama terjadinya errors, antara lain:
1. Communication problems
2. Inadequate information flow
3. Human problems
4. Patient-related issues
5. Organizational transfer of knowledge
6. Staffing patterns/work flow
7. Technical failures
8. Inadequate policies and procedures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for
Healthcare Research and Quality
PENDEKATAN
KOMPREHENSIF
PENGKAJIAN
KESELAMATAN PASIEN
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada
struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan
budaya.
1. Struktur
Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat
kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan
mempertimbangkan keselamatan pasien.
Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan
?
Persediaan : Apakah hal hal yang dibutuhkan sudah tersedia
seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU.
2. Lingkungan
Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh
atau cedera
Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa
ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat
operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap
cepatnya pengerasan dari semen
Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat
tenaga kesehatan sedang memberikan pengobatan dan tidak
terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap
penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi
kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu
penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan
fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat
sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan
alat dan desain dari alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat
cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat
secara tepat dan benar.
Keamanan : Alatalat yang digunakan juga harus didesain
penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat
dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten
perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap
kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research
based practice yang diimplementasikan.
Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus
menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan

daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan
atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk
mengurangi kesalahan.
Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini
lebih mudah tergambar saat ada pasien yang memerlukan resusitasi,
yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan
cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien pasien emergensi,
oleh karena itu pada saatsaat tertentu waktu dapat menentukan
apakah pasien selamat atau tidak.
Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap
keselamatan pasien karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk
melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan
tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti
pada pemberian antibiotic atau trombolitik, keterlambatan akan
mempengaruhi terhadap diagnosis dan pengobatan.
Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan
memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan
pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada
kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan
menimbulkan kesalahan-kesalahan.
Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak
kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi
seseorang.
Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap
perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang
penuh akan terjadi kesalahankesalahan dalam bertindak.
Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga
kesehatan memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan
kepada penggunaan alatalat kesehatan dengan teknologi baru dan
perawatan penyakitpenyakit yang sebelumnya belum tren seperti
perawatan flu babi (swine flu).
Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat
berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan
(error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana
cara
membuat
keputusan,
pemecahan
masalah,
dan
mengkomunikasikan halhal yang baru.
6. Budaya
Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman
kesalahan dan keselamatan pasien.
Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada
pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan
kesehatan.
Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika
terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa
yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan
mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya
menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal.
Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur
komunikasi yang jelas.
Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor
lainnya yang penting adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam
merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal
termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan
sakit.
PATIENT SAFETY DI INDONESIA
Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005
yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI),
dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan
pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi
Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety

di rumah sakit adalah untuk menciptakan budaya keselamatan pasien


di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan
KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan
masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang
penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar
keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah
sakit yang saat ini digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety
Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation
of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian
keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan
menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan
oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada
tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut
Departemen Kesehatan RI menganjurkan Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei
2007 resmi menerbitkan Nine Life Saving Patient Safety Solutions
(Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit).
Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan
pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan
mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat,
mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari
proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan
yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan
pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat
dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RSRS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau
bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike,
Sound-Alike Medication Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang
membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang
paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini
merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu
obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi
terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau
generik serta kemasan.

Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk


pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau
penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan
resep secara elektronik.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi
pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan,
transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru
orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dan sebagainya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap
identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam
suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam
konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan
identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan,
bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan
yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap
pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien
termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi
yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk
bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah
terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah
terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.
Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau
pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan
miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak
benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahankesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses prabedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang
tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan
melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur
Time out sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan
dibedah.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras
memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk
injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah
membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit
pekat yang spesifik.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan
medikasi
terjadi
paling
sering
pada
saat
transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi
adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat
(medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya
adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan
seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai
home medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat
admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana
menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada
petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau
dilepaskan.
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas
pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta
memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru.
Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas
medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian

medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan


bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya
menggunakan sambungan dan slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum
suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang
jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas
di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsippninsip pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga
mereka mengenai penularan infeksi melalui darah;dan praktek jarum
sekali pakai yang aman.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan
lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di
seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit.
Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer
untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah
mendorong implementasi penggunaan cairan alcohol-based handrubs tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada
semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan
yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja;
dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui
pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis.
Sekalipun staf medis rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan
pelayanan berdasarkan standar profesi dan standar pelayanan, namun
potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi mengalami
cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan
perlindungan kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit,
serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations
(JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas
klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya
cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah
sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum
(legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan
respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko
dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun
upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan
risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas
rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko
dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini
meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko
kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan,
corporate compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif,
meskipun sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari
pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau
mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya
manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus,
yang terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem
bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya
masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya
mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat
medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini
melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah,
perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan
ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem
pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence
report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan
sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention).


Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam
menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya
dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama
erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah
tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat
keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah
dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan
probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan
untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak
mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik
terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau
apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk
mengurangi dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan
bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan
bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan;
pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan
penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker,
dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau
kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak
terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah
mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang
tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya
biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap
kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian,
maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak
yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut
pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko
cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan
keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan
dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah
satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi
layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan
kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya,
harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk
mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari
pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply
with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya
(resolve them). Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan
bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah
sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen tersebut
diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko
yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Elemenelemen untuk mencegah medical errors tersebut, adalah:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi
kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada
seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan
(kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan
suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum pelakunya harus
dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan
kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada
akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa
di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien,
dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan
dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko,
termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang
pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana
mengidentifikasi
errors,
serta
upaya-upaya
meningkatkan
keselamatan pasien.

4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang


beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporanlaporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan,
mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang
aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak
menimbulkan kesalahan baru.
TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA
Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang
diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum,baikperundanganundangan maupun peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak
semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan namun
berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai
wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat
kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hakhak masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan
kesehatan yang aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban
rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas menyatakan
bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden,
menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan,
rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU
Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum
atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada
rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap
karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat
membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur
pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh
masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu
tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban
pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit
Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan
itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah
sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan
keselamatan pasien dalam UU Kesehatan tersebut adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak
dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan
terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman,
efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan
harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu,
serta merata dan non diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan
telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam
instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan
RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari
dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan


4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien
Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang
ditimbulkannya berpotensi untuk menjadi sengketa hukum.
Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang
keselamatan pasien.
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58
UU Kesehatan No. 36 tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur
dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan di rumah sakit
Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien
dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang
dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis
yang komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam
rangka menyelamatkan nyawa manusia.

Anda mungkin juga menyukai