Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan
adalah keselamatan pasien (patient safety). Isu ini praktis mulai
dibicarakan kembali pada tahun 2000an, sejak laporan dari Institute
of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is human,
building a safer health system, yang memuat data menarik tentang
Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan
pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien sehubungan
dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan
angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan keselamatan pasien
dalam konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di
seluruh dunia. WHO kemudian meluncurkan program World Alliance
for Patient Safety pada tahun 2004. Di dalam program itu dikatakan
bahwa keselamatan pasien adalah prinsip fundamental pelayanan
pasien sekaligus komponen kritis dalam manajemen mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan telah menerbitkan Panduan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat
sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS)
Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan
Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah
Sakit. Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus
dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, muncul berbagai
tuntutan hukum kepada dokter dan rumah sakit. Salah satu cara
mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem keselamatan
pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di
dalam rumah sakit sebagaimana dituangkan dalam instrumen standar
akreditasi rumah sakit ini diharapkan memberikan asuhan kepada
pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera akibat melakukan
atau tidak melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan
pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen
risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko.
Pelaporan dan analisis insiden keselamatan pasien akan
meningkatkan kemampuan belajar dari insiden yang terjadi untuk
mencegah terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.
2. Pendekatan sistem
Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat
berbuat salah dan karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan
dianggap lebih sebagai konsekwensi daripada sebagai penyebab.
Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat
mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah
kondisi dimana manusia itu bekerja.
Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem
yang digambarkan sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai
pengembangan pada kebijakan, prosedur, profesionalisme, tim,
individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau
meminimalkan terjadinya KTD.
Penyebab utama terjadinya errors, antara lain:
1. Communication problems
2. Inadequate information flow
3. Human problems
4. Patient-related issues
5. Organizational transfer of knowledge
6. Staffing patterns/work flow
7. Technical failures
8. Inadequate policies and procedures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for
Healthcare Research and Quality
PENDEKATAN
KOMPREHENSIF
PENGKAJIAN
KESELAMATAN PASIEN
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada
struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan
budaya.
1. Struktur
Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat
kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan
mempertimbangkan keselamatan pasien.
Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan
?
Persediaan : Apakah hal hal yang dibutuhkan sudah tersedia
seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU.
2. Lingkungan
Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh
atau cedera
Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa
ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat
operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap
cepatnya pengerasan dari semen
Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat
tenaga kesehatan sedang memberikan pengobatan dan tidak
terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap
penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi
kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu
penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan
fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat
sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan
alat dan desain dari alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat
cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat
secara tepat dan benar.
Keamanan : Alatalat yang digunakan juga harus didesain
penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat
dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten
perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap
kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research
based practice yang diimplementasikan.
Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus
menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan
daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan
atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk
mengurangi kesalahan.
Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini
lebih mudah tergambar saat ada pasien yang memerlukan resusitasi,
yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan
cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien pasien emergensi,
oleh karena itu pada saatsaat tertentu waktu dapat menentukan
apakah pasien selamat atau tidak.
Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap
keselamatan pasien karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk
melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan
tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti
pada pemberian antibiotic atau trombolitik, keterlambatan akan
mempengaruhi terhadap diagnosis dan pengobatan.
Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan
memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan
pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada
kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan
menimbulkan kesalahan-kesalahan.
Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak
kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi
seseorang.
Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap
perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang
penuh akan terjadi kesalahankesalahan dalam bertindak.
Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga
kesehatan memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan
kepada penggunaan alatalat kesehatan dengan teknologi baru dan
perawatan penyakitpenyakit yang sebelumnya belum tren seperti
perawatan flu babi (swine flu).
Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat
berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan
(error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana
cara
membuat
keputusan,
pemecahan
masalah,
dan
mengkomunikasikan halhal yang baru.
6. Budaya
Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman
kesalahan dan keselamatan pasien.
Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada
pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan
kesehatan.
Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika
terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa
yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan
mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya
menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal.
Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur
komunikasi yang jelas.
Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor
lainnya yang penting adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam
merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal
termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan
sakit.
PATIENT SAFETY DI INDONESIA
Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005
yaitu dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI),
dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan
pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi
Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety